Nonier's Blog, page 3

November 4, 2016

Gandrung #8

Desa di bawah bukit itu nampak damai. Sawah terbentang menghijau. Pohon-pohon kelapa berjajar rapi. Hewan ternak merumput, dijaga oleh anak-anak berkepala kuncung. Ada yang menunggu sambil bermain dengan temannya, ada yang terlelungkup tiduran di atas punggung kerbau. Para perempuan menumbuk gabah. Ada pula yang duduk memanjang, saling mencari kutu rambut. Masih ada satu desa lagi sebelum sampai di tempat tinggal Mpu Soma. Hari ini terik bukan main, Enggar sampai berkunang-kunang karena lapar dan haus.  “Minum es pasti seger banget nih. Huuhh...dehidrasi... Panas...panas..,” keluhnya.“Mengeluh saja. Tadi malam kedinginan, sekarang kepanasan. Apalagi? Pasar masih agak jauh. Sabar sedikit,” ujar Singo Abang. “Nggak ada sungai di sekitar sini kah? Pengen nyebur aja deh. Udah bener-bener kegerahan. Lagian tadi pagi nggak mandi kan? Eh eh, tuh ada sungai. Turun situ bentar ya. Please...” Enggar menepuk-nepuk pundak Singo Abang.“Kudaku juga butuh minum,” kata Haryo iba melihat Enggar sudah bercucuran keringat.. “Kita istirathat dulu, Bar.”Singo Abang terpaksa menurut.Mereka berhenti tak jauh dari sungai, sebelum jembatan kayu. Sungai di bawah itu dihiasi batu-batu besar dan airnya terlihat begitu segar. Enggar turun dari kuda, menyambar buntelan kain yang biasa dibawanya lalu lari ke sungai. Beberapa kali dia terpeleset, tapi buru-buru bangun. Kedua kaki Enggar masuk ke dalam air. Kesegarannya terasa hingga ke hati. Enggar sejenak lupa diri, asyik bermain air. Ikat kepalanya dilepas. Dibasahinya rambut dan kepalanya yang terasa kotor. Enam hari tidak keramas.Haryo menarik tali kekang kudanya untuk diajaknya turun. Singo Abang menyusul kemudian. Mereka duduk di bebatuan, tak jauh dari sungai, memperhatikan Enggar yang sudah melompat kesana ke mari dari batu satu ke batu lainnya sementara kuda-kuda mereka minum.“Apa di jamanmu anak perempuannya sepertimu semua?” tanya Singo Abang. “Banyak tingkah,” lanjutnya. Haryo terkekeh.“Maksudnya apa banyak tingkah?” Enggar menangkup air di kedua telapak tangannya lalu memercikkan air ke arah Singo Abang yang sedang mengunyah pisang. “Hei! Jangan macam-macam!” seru Singo Abang, menghindari percikan air. Lengan bajunya basah. “Anak perempuan itu menundukkan pandangan, bicaranya sopan, tidak jumpalitan...”“Eh eh eh.” Enggar memercikkan air lagi. “Kenapa harus menunduk? Kalau diajak berbicara ya ngeliat mata dong, masa ngeliat jempol kaki. Entar malah dikirain nyari duit jatuh,” protesnya. “Diberitahu tentang adab kesopanan malah ngelunjak.”“Memangnya selama ini aku nggak sopan, Bang? Aku nggak pernah menyumpah atau bicara kasar. Nada bicaraku saja yang nggak bisa selembut sutera. Dari sononya udah begitu. Entar kalau aku tiba-tiba mendayu, Bang Singo ngirain aku kesambet.” Haryo tertawa melihat tampang Singo Abang yang geregetan. Dia menikmati konflik kecil antara Enggar dan Singo Abang itu. “Aku baru bicara satu kalimat, dia sudah lima belas baris. Pening kepalaku,” ujar Singo Abang pada Haryo. Singo Abang berdiri, hendak menuju kudanya. Tapi cipratan air dari Enggar mengenainya lagi.“Bang Singo senewen melulu hari ini, kenapa sih?”“Ya karena kamu, kok masih bertanya. Kamu itu merusak semua rencana yang sudah kususun rapi.” Singo Abang berkacak pinggang. “Masalah Puteri Anggoro seharusnya sudah kelar, tidak berlarut-larut seperti ini.”Byur! Singo Abang diguyur lagi.   “Siapa juga sih yang minta kesasar di Majapahit? Apalagi ketemu sama Bang Singo yang darah tinggian. Banyakin senyum kek, biar indah pemandangannya.” Enggar membalas berkacak pinggang.Singo Abang yang sudah kesal itu secepat kilat turun ke sungai, menangkup air sebanyak mungkin lalu menumpahkannya ke kepada Enggar tanpa sempat gadis itu melarikan diri.Enggar yang nggak menyangka dapat serangan mendadak begitu hanya bisa berdiri membatu dengan mulut terbuka. Basah kuyub. Singo Abang menyeringai puas, kemudian pergi mengambil kudanya yang sudah kenyang minum untuk diikatkan ke pohon, di sebelah kuda Haryo. Kuda-kuda itu dibiarkan merumput. Singo Abang sekarang duduk di bawah pohon, menjauh dari jangkauan serangan air Enggar. Sambil mengelap wajahnya yang basah, dia menghela napas berat. Pandangan matanya tak lepas dari Enggar.“Dia mengingatkanmu pada Shiao Lan kan?” tanya Haryo yang sudah duduk di samping Singo Abang. “Apa yang kau bicarakan?” Singo Abang memalingkan muka. “Sifat gadis itu. Sinar matanya yang ceria. Cara dia menghadapimu.”  Senyum Haryo menghilang. “Aku masih ingat betul pertemuan pertama kalian di arena panahan. Shiao Lan membidik tepat di semua sasaran tanpa sisa. Mempecundangimu di hadapan para ksatria di keraton.”Tidak ada tanggapan dari Singo Abang. “Jayengwangsa membawa berapa orang?” Singo Abang mengalihkan pembicaraan. “Dia hanya membawa lima orang, tapi Tumengung Sukmo tidak hanya mengirimnya untuk mengejarmu. Dia juga menyebar telik sandi. Belum lagi para pemburu bayaran,” kata Haryo.“Kita mampir ke pasar sebentar, sekalian beli persediaan. Setelah itu kita tidak usah mampir-mampir lagi, langsung menemui Mpu Soma,” ucap Singo Abang sambil melempar pandangan kembali ke sungai. Tidak tampak Enggar di tempatnya semula.Singo Abang berdiri. “Hei, Enggar, kita pergi sekarang,” seru Singo Abang. Matanya mencari sosok gadis itu. Begitu tidak melihat tanda-tanda kemunculan Enggar, Singo Abang berdiri. “Kemana dia? Jangan-jangan kabur lagi. Ah, sial!”Singo Abang berlari turun. Haryo menyusulnya. Mereka mencari Enggar di sepanjang sungai, mengambil arah yang berbeda. Enggar keluar dari celah batu besar, agak jauh dari tempatnya bermain air. Dari bawah dia melihat kuda-kuda Singo Abang dan Haryo di atas, tapi kedua lelaki itu tidak ada. Dengan hati deg deg an Enggar naik ke atas, mencari keberadaaan mereka, walau tidak berani terlalu jauh. Suara derap kaki kuda terdengar mendekati jembatan. Enggar segera bersembunyi di balik semak, mengintip siapa yang lewat. Panji-panji itu dikenalnya. Rombongan yang lewat sepertinya rombongan yang ditemuinya beberapa hari lalu. Enggar tetap bersembunyi sampai rombongan itu menjauh. Setelah dirasa aman, dia keluar. Enggar berdiri menempel pada batang pohon tempat kuda-kuda itu ditambatkan, setengah bersembunyi. Dia masih mewaspadai kemungkinan rombongan tadi kembali. Kuda milik Haryo yang dinamai Bintang mendengus. Ekornya bergerak-gerak gelisah. Enggar menatapnya penasaran. Setelah beberapa saat berpikir, dia memutuskan untuk mencoba menaikinya. Tetapi saat kuda itu didekati, sang kuda makin gusar, jadi Enggar mengangkat kedua tangan tanda menyerah.Kuda Singo Abang lebih tenang. Mungkin dia bisa coba menaikinya, toh dia sudah beberapa hari membonceng di kuda itu. “Kamu darimana? Tiba-tiba hilang, membuat panik saja. Sekarang malah mau melarikan diri naik kuda?” seru Singo Abang mengagetkan Enggar. Hampir gadis itu terjatuh dari pelana yang baru sebagian ditumpangi kakinya. Jantung Singo Abang masih berdetak kencang karena kehilangan Enggar barusan. “Jangan sewot mulu dong, Bang. Tolongin kek, nyangkut,” pinta Enggar. Singo Abang melepaskan kaki Enggar yang tersangkut tali pelana. “Yang panik itu aku, Bang. Balik kesini hanya ketemu kuda, nggak ada orangnya. Siapa yangg nggak sport jantung? Apalagi rombongan yang tempo hari itu lewat barusan.” Enggar mengibaskan rerumputan kering yang menempel di bajunya. “Rombongan Cakrawaja maksudmu?” tanya Singo Abang yang melepaskan tali kekang kudanya dari batang pohon. Enggar menganggukkan kepala. “Untung mereka tidak melihatmu. Kamu darimana saja?”“Memenuhi panggilan alam. Nggak sempat bilang tadi, sudah mendesak,” jawab Enggar diplomatis. Singo Abang menatapnya tidak mengerti. “Ih, masak harus dijelasin panggilan alam yang mana. Udah deh, ayo ke pasar, aku lapar. Buruan naik.” Singo Abang naik ke atas kuda, kemudian dia membantu Enggar naik dengan menarik tangannya. “Mulai sekarang, mau kemana pun, kamu harus bilang dulu padaku. Jangan suka menghilang-hilang seperti itu lagi. Pergerakan kita sudah semakin sempit karena makin banyak orang yang tahu keberadaan kita,” kata Singo Abang sambil melirik Haryo. Haryo hanya membalasnya dengan gelengan kepala.“Sori, sori, Bang.” Perjalanan mereka dilanjutkan. Pasar yang dituju sudah tidak begitu ramai karena hari sudah siang. Yang masih ada hanya penjual buah, peralatan rumah tangga yang sebagian besar terbuat dari tanah liat dan warung-warung makanan.Mereka masuk ke salah satu warung. Ada satu atau dua orang memperhatikan mereka. Singo Abang bisa merasakan itu. Mereka makan dengan cepat, tapi tidak segera meninggalkan warung. Menjaring informasi di tempat ini lebih mudah dibandingkan di tempat lain. “Boleh nggak aku beli buah?” tanya Enggar pada Singo Abang. Semangka yang dijual di seberang sana betul-betul menggoda. “Uangnya?”“Ini. Aku yang traktir.” Haryo mengeluarkan tiga keping uang perak. Ini berbeda dengan uang yang dibawa Singo Abang. “Ini harganya lebih tinggi daripada uang Bang Singo ya? Uang Bang Singo lebih jelek soalnya,” celetuk Enggar tanpa bermaksud merendahkan.“Kamu ini, sudah mending kita punya uang.” Singo Abang mulai sewot.“Ini derham perak. Satu kepingnya sama dengan 400 gobog,” jelas Haryo.  “Wah, bisa belanja banyak nih. Terima kasih.” Enggar mengambil uang itu dan bergegas keluar. Tambah satu nilai Haryo. Sudah ganteng, kaya pula. Gadis itu nampaknya senang sekali berada di pasar. Benda-benda yang dijual unik, sederhana, nyeni, kuno, beberapa tidak pernah dilihat di masanya. Enggar berhenti lama di penjual semangka. Haryo tersenyum melihat gaya Enggar memilih buah itu. Sepertinya dia membuat penjualnya kesal dengan menawar harga semaunya dan minta mencicipi semua semangka.“Kamu terlalu banyak tertawa dan tersenyum,” sindir Singo Abang tanpa menoleh ke arah Haryo. Haryo hanya tersenyum saja dan mengamati gerak-gerik Enggar yang sedang menikmati semangka.Tak jauh dari warung tempat Singo Abang dan Haryo berada, Cakrawaja memicingkan matanya, meyakinkan dia tidak salah lihat. Pemuda yang tadi membeli semangka dan sekarang sedang membeli manggis seperti pemuda imut yang ditemuinya beberapa hari lalu. Si imut yang tidak bisa dilupakannya. Si imut yang dicurigainya sebagai seorang gadis yang menyamar. “Bawa dia kemari,” perintahnya pada anak buahnya.Dua orang itu mendatangi Enggar dan memaksanya ikut. Manggis di tangan Enggar jatuh menggelinding. Dia mengenali seragam mereka. Mata Enggar nanar menatap ke arah warung tempat Haryo dan Singo Abang, di dalam hatinya dia berteriak meminta pertolongan.
***
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on November 04, 2016 00:53

November 1, 2016

Gandrung #7

Singo Abang mengambil sobekan kain warna merah yang terikat di salah satu cabang perdu ketika mereka akan melewati hutan Wonorogo. Hutan ini adalah hutan terakhir yang akan mereka lewati untuk menuju kotaraja. “Ada apa, Bang?” tanya Enggar. Dia cukup tahu kalau ada sesuatu yang nggak beres. Wajah laki-laki itu terlalu serius. “Kita harus memutar, tidak bisa melewati hutan ini,” kata Singo Abang. “Kenapa, Ketua?” tanya Bogar.“Jandul bilang komplotan Kolojinggo beraksi lagi. Musim dagang dengan orang-orang Cina sudah dimulai. Banyak barang yang lewat, banyak perampokan yang terjadi. Untuk saat ini mereka akan mengira siapa pun yang lewat membawa barang dagangan atau barang berharga, jadi hampir bisa dipastikan kita bakal dihadang. Kita akan kerepotan kalau nekat masuk. Jadi sebaiknya kita memutar.”“Kalau memutar menambah berapa hari lagi?” tanya Enggar. Dia sudah capek berkuda. Tiap kali turun inginnya merebahkan diri saja.“Dua sampai tiga hari.” Singo Abang memutar arah kudanya.“Kalau masuk hutan ini?” tanya Enggar lagi. Singo Abang mengacungkan jari telunjuknya, menandakan satu hari. “Kita masuk hutan ini saja. Biar cepat sampai. Sudah capek.”“Kamu tidak mendengar apa yang kukatakan tadi? Kita hanya bertiga. Bogar hanya tahu sedikit ilmu beladiri dan kamu tidak bisa sama sekali. Kalau hanya lima sampai sepuluh orang aku masih sanggup menghadapi. Kalau puluhan, namanya berniat mati konyol,” kata Singo Abang, entah realistis atau pesimis. “Kalau aku jadi rampoknya, aku keder kok liat tampangmu, Bang. Sesama perampok dilarang saling mendahului. Iya kan?” kata Enggar cengengesan.“Jangan melucu. Kita memutar,” putus Singo Abang, mengarahkan kudanya ke timur. Tidak sampai setengah jam mereka berkuda, mereka melihat ada asap di kejauhan. Semakin dekat ke desa, semakin terlihat jelas asap itu.“Apa ada kebakaran?” tanya Enggar sambil melongokkan kepala dari balik punggung Singo Abang. Desa itu seperti medan perang. Jeritan wanita dan anak-anak dimana-mana. Beberapa rumah habis terbakar. Tubuh-tubuh bergelimpangan. Enggar sampai mual-mual dan sakit kepala melihatnya. Ada suara pedang beradu dan teriakan nyaring. Singo Abang memacu kudanya. Pedang sudah dihunus. Bogar juga demikian. Bukan pedang yang dihunus, tapi pisau dapur besar.Terlihat seorang lelaki gundul berkelahi melawan tiga orang.  Jandul.“Bogar, jaga Enggar.” Singo Abang melompat turun dan membantu Jandul.Enggar gemetaran di atas kuda. Dia harus bagaimana? Dia pernah berantem, satu lawan satu. Itu pun jambak-jambakan. Kalau berbanyak begini ngeri juga.Seorang bocah kecil menangis. Dia memanggil-manggil ibunya. Rumah di dekatnya yang sedang terbakar mulai berjatuhan palang-palangnya. Tanpa sadar Enggar turun dari kuda dan berlari ke arah bocah itu. Disambarnya si bocah sebelum rumah itu ambruk dan penyangganya mengenainya.“Anakku!” Seorang wanita keluar dari samping rumah yang lain. Dia menghambur ke arah Enggar. Didekapnya bocah itu dengan tubuh gemetaran. “Terima kasih, Tuan.” Perempuan itu bergegas lari mencari tempat yang aman. Bogar menarik tangan Enggar, hendak membawanya kembali. Tapi tiba-tiba dari arah belakang muncul seseorang dengan golok dan hampir menebas Bogar kalau Enggar tidak berteriak dan menariknya ke depan.Si penyerang menggerak-gerakkan golok di tangannya. Bogar berbalik dan melindungi Enggar di belakangnya.  Datang lagi seseorang dari samping, langsung menyerang ke arah Enggar dengan belati. Enggar spontan berlari, tanpa memikirkan arah. “Ketua! Den Enggar!” teriak Bogar. Singo Abang yang baru saja melumpuhkan dua orang langsung melesat ke arah Bogar. “Ke sebelah sana!”Lari Enggar terhenti. Orang yang tadi mengejar di belakangnya sudah ada di depan. Seringainya begitu menjijikkan, sepertinya tidak pernah sikat gigi.“Jangan macam-macam padaku! Aku punya jurus andalan yang tidak pernah kau lihat di manapun,” ancam Enggar, sambil bergerak kesana kemari dengan hitungan satu sampai delapan. Dia bersenam kesegaran jasmani! Gerakan apapun jadilah asal bisa mengulur waktu. Rampok di depannya terbengong-bengong. “Awas ada sapi gila!” seru Enggar sambil menunjuk ke belakang. Si penjahat spontan menengok ke belakang dan hal itu dimanfaatkan oleh Enggar untuk melarikan diri. Langkahnya terhenti ketika ada sesuatu melesat cepat melewati sisi kanan kepalanya, hanya berjarak sejengkal. Benda itu, sebuah belati, menancap ke batang pohon di depannya. Enggar menoleh ke belakang dan mendapati penyerangnya sudah menyusul, bahkan melemparkan belatinya lagi. Gadis itu menjerit, menutup wajahnya dengan kedua tangan. Lho, tidak ada yang terasa sakit. Enggar membuka tangan dan memeriksa seluruh tubuhnya. Lemparan belati itu tidak mengenainya. Saat dia menengadahkan kepala untuk mengetahui apa yang akan diperbuat lagi oleh penyerangnya, napasnya tertahan. Penyerangnya ternyata sudah terkapar di tanah dengan anak panah tertancap di punggung. “Ciaaaaat..!” Ada suara keras di belakang Enggar. Rampok yang menyerang Bogar mengayunkan golok padanya dan Enggar hanya mematung.Jleb!Anak panah melesat melewati kepala Enggar dan menancap tepat di dada si pembawa golok, membuat gadis itu pingsan karena ketegangan dan ketakutan yang berlebihan. Singo Abang yang berlari ke arah Enggar terlambat menangkap tubuhnya. Enggar keburu jatuh ke tanah. Segera diperiksanya gadis itu, memastikan tidak terluka. Orang yang membidikkan panah dari atas punggung kudanya tersenyum melihat Singo Abang.  “Akhirnya kutemukan juga kau, Barata.” Laki-laki di atas kuda yang masih memegang busur itu bertanya.  “Jangan sekarang, Haryo. Kamu tidak melihat aku sedang sibuk?” Singo Abang mengangkat tubuh Enggar, sementara Bogar dan Jandul mengambil kuda-kuda mereka. Singo Abang menaikkan Enggar ke atas punggung kuda, baru kemudian dia naik. Diraihnya tubuh Enggar dan didudukkan di depannya. “Hei hei, enak saja mau langsung pergi,” seru Haryo ketika Singo Abang hendak meninggalkannya.“Urusan pribadi kita bisa diselesaikan belakangan. Aku tidak ada waktu untuk bertarung denganmu,” ucap Singo Abang serius.“Aku mencarimu bukan untuk membuat perhitungan. Aku ditugaskan untuk menangkapmu. Kamu buronan, kepalamu berharga lumayan.” Haryo menghadang Singo Abang. “Itu Puteri Anggoro?” tanya dia. “Bukan. Namanya Enggar,” elak Singo Abang.“Ayolah, jangan bohong. Meskipun aku belum pernah melihat Puteri itu secara langsung, aku bisa mengenalinya. Walau dia berdandan laki-laki, dia tetap terlihat perempuan bagiku.” Haryo tersenyum.“Bisa juga kamu mengenali perempuan,” kata Singo Abang. Haryo, teman sekaligus rivalnya itu selama ini hanya tertarik dengan ilmu beladiri. Belum ada gadis yang bisa menarik hatinya. Padahal di kalangan puteri-puteri istana, Haryo sangat populer. Dia tampan, rapi, bersih dan wangi. Berbeda seratus delapan puluh derajat dengan Singo Abang saat ini. “Kamu membawanya kabur saat dia mau menjalani pengadilan, Barata. Itu sama saja menemaninya menjalani hukuman. Puteri Anggoro terbukti bersalah.”“Satu, dia Enggar, bukan Puteri Anggoro. Dua, Puteri Anggoro tidak bersalah. Bisa kau menyingkir sekarang?” Singo Abang mulai menggerakkan tali kuda. Dia benar-benar ingin pergi segera dari hadapan Haryo.Haryo seketika membentangkan busur dan anak panah, mengarahkan ke muka Singo Abang. Saat itu juga pedang Jandul terhunus di muka Haryo, begitu pun pisau dapur Bogar. Haryo tertawa. Setahun tidak bertemu Barata, dia sudah mempunyai anak buah yang loyal. Tidak mengira si penyendiri itu bisa juga berinteraksi dengan orang lain. Kemajuan.Haryo menyarungkan pedangnya. “Aku tidak bisa membiarkanmu pergi.”“Kamu masih mau membawa kepalaku ke Tumengung Sukmo? Kamu mau jadi orang suruhan?” tanya Singo Abang sinis.“Ini tidak ada hubungannya dengan Tumengung Sukmo. Orang tuamu yang memintaku membawamu pulang. Tapi tentu saja bukan karena keduanya aku mencarimu. Kita masih ada urusan,” ujar Haryo dengan tatapan mata tajam.“Perkara sepele masih saja kamu ingat. Kita sudah setahun tidak bertemu, lupakan saja masalah itu. Aku saja sudah tidak ingat,” sahut Singo Abang. “Utang tetap utang, Barata. Kita harus bertanding. Panah dan pedang. Dan jangan mengalah lagi.” Haryo bersikeras.“Aku memang kalah, guru juga mengetahui itu, untuk apa diperpanjang. Sekarang kembali saja ke rumah, bilang pada orangtuaku aku baik-baik saja.” “Rasa penasaranku harus dijawab, Bar. Kamu memang gila, tapi tidak sembrono. Apa yang membuatmu yakin dia tidak membunuh Sukmana?”“Apa yang membuatmu yakin aku tidak sembrono?” Singo Abang alias Barata balik bertanya.Haryo tidak menjawab. “Jadi dia benar-benar tidak bersalah?” Busur di tangannya diturunkan dan anak panah dikembalikan ke tempatnya semula.“Aku yakin begitu. Aku hanya perlu bukti-bukti. Ada sesuatu yang besar di balik kejadian ini. Kamu pasti berpikir sama.” Singo Abang memberi kode Jandul untuk mendekat. “Jandul, kamu dan Bogar bantu orang-orang di sini. Banyak yang terluka. Aku harus membawa Enggar pergi dulu. Cari tahu siapa yang menyerang tadi. Aku mendengar akhir-akhir ini banyak desa yang diserang. Sepertinya ada yang ingin merusak stabilitas keamanan kerajaan. Kalian nanti menyusul kalau sudah selesai di sini,” perintah Singo Abang. “Ketua tidak apa-apa bersama dia?” tanya Bogar, melirik ke arah Haryo.“Dia temanku, aku akan baik-baik saja.”Akhirnya Jandul dan Bogar ditinggal dulu untuk membantu penduduk desa sekaligus mencari infomasi tentang penyerangan barusan, sementara Singo Abang dan Haryo mencari tempat terdekat untuk menyadarkan Enggar.Menjelang malam mereka tiba penginapan di sebuah desa. Singo Abang membaringkan Enggar di atas balai-balai yang hanya dilapisi tikar. Setelah itu dia keluar sebentar mencari air. Haryo yang masih ada di ruangan berdiri di samping balai-balai, mengamati gadis yang masih tidak sadarkan diri itu. Dari berita mulut ke mulut, Puteri Anggoro terkenal cantik. Tidak salah. Hanya saja dia tampak lemah, kurus dan tak terurus. Meragukan kalau dia punya kemampuan membunuh. Kalau Haryo tidak melepaskan anak panah ke dua orang tadi, mungkin puteri itu sudah mati.Tapi entahlah. Orang yang terlihat lemah belum tentu tidak berbahaya.Mata Enggar terbuka perlahan. Seiring kesadarannya yang terkumpul, mulai tampaklah kayu-kayu penyangga genting, lalu dinding dari bambu. Enggar menggerakkan kepalanya ke samping. Satu denyutan nyeri terasa di belakang lehernya. Mata Enggar menutup, alis dan dahinya berkerut menahan sakit. Dia mengerjap beberapa kali baru kemudian bisa melihat jelas wajah seseorang. Ganteng. Bukan si berewok. Wajahnya bersih, hidungnya mancung, matanya bagus, alisnya juga. Senyumnya luar biasa indah. Enggar bersorak dalam hati. Dia sudah tidak berada di jaman Majapahit.“Sudah sadar?” Tiba-tiba seraut wajah berbulu menggantikan wajah tampan itu. Singo Abang jongkok tepat di samping  balai-balai, menutupi keberadaan Haryo. Enggar langsung menutup mukanya. Kecewa berat. “Minum dulu.” Singo Abang menyodorkan air di cawan kecil. Enggar menurunkan kaki, duduk di tepi balai-balai. Meminum air yang diberikan Singo Abang dengan tatapan mata ke arah cowok di belakang laki-laki itu. “Kamu tidak apa-apa?” tanya Singo Abang pada Enggar. Enggar menggelengkan kepala. Matanya tidak sengaja melihat bajunya yang kotor karena abu. “Bagaimana dengan desa yang dibakar itu? Penjahatnya sudah diusir? Dimana Pak Bogar? Dia nggak terluka?” Enggar parno begitu mengingat kejadian terakhir yang dialaminya. “Penjahat-penjahatnya sudah bisa diusir. Bogar dan Jandul masih berada di sana untuk membantu penduduk desa. Kamu harus berterima kasih pada Haryo, dia yang menyelamatkanmu,” kata Singo Abang sambil menoleh ke arah Haryo. Haryo melambaikan tangan dan tersenyum di sana.“Jadi dia yang memanah orang-orang itu? Apa mereka mati? Orang yang kamu panah?” tanya Enggar. Haryo menaikkan bahu. “Terima kasih sudah menolongku. Tapi yang kamu lakukan mengerikan sekali. Membunuh orang itu melanggar hukum. Nggak boleh.”“Lucu sekali kamu mengatakan begitu, padahal kamu sudah membunuh Sukmana,” kata Haryo. Singo Abang melirik Haryo dengan galak.“Eh, Mas, aku baru di sini enam hari, pembunuhan Raden Sukmana itu hampir dua pekan lalu. Kalau Mas mengira aku Puteri Anggoro, itu salah besar. Namaku Enggar Penggalih.” Enggar meminum lagi air yang ada di cawan. “Tahu nggak, tadi waktu aku bangun aku sudah seneng banget, kukira aku sudah kembali ke Depok, taunya masih di sini,” katanya. “Kalau di fim Back to the Future,Martin McFly dan Doc bisa ke masa lalu dan ke masa depan karena menggunakan kendaraan dengan kecepatan melebihi kecepatan cahaya. Di Chronicle of Narnia, tokohnya bisa masuk ke negeri Narnia melalui lemari tua ajaib. Di film Enchanted, Puteri Gissele terkirim ke New York lewat sumur. Nah aku? Aku pingsan dan tiba-tiba saja ada di sini, bagaimana cara kembali ke jamanku lagi? Aku sudah beberapa kali pingsan, tapi tetap saja ada di sini?”  “Bicaranya tidak keruan,” bisik Haryo pada Singo Abang, disambut dengan kode Singo Abang agar Haryo mengikutinya keluar. Enggar yang ditinggal di kamar membaringkan tubuhnya lagi. Mengingat-ingat kejadian di desa tadi. Rasanya masih tidak percaya itu nyata. Pembakaran sebuah desa dan pertarungan dengan senjata. Asli terluka dan asli berdarah. Sudah enam hari dia berada di Majapahit. Sampai kapan dia akan berada di tempat ini?  Di luar, Singo Abang menceritakan tentang “Puteri Anggoro” kepada Haryo dan hanya ditanggapi dengan tawa tidak percaya. “Dari masa depan? Dia pura-pura gila ya, Bar?”“Kurasa dia mengatakan yang sebenarnya. Kamu lihat sendiri bahasa yang digunakannya. Bukan begitu gaya puteri bicara. Tahu tidak, dia bilang Gajah Mada akan menjadi mahapatih.”   “Benarkah? Paman Gajah Mada jadi mahapatih?” Haryo menggelengkan kepala. “Tapi mungkin juga. Dia berani,  pandai berdiplomasi dan ahli siasat perang. Kembali ke masalah Enggar tadi. Bagaimana mungkin orang dari masa ratusan tahun di depan bisa berada di sini?”“Itu yang dia mau cari jawabannya. Itu juga yang ingin aku ketahui. Keadaannya serba repot, Har. Kalau dia benar-benar Enggar, maka tidak akan ada ingatan mengenai Puteri Anggoro, yang berarti aku tidak bisa menggali informasi darinya mengenai pembunuhan itu.” Singo Abang menghela napas pendek.“Menurutmu ada rencana besar di balik pembunuhan itu?”“Ya. Aku sudah menyelidiki tentang Tumengung Sukmo. Dia orangnya Adipati Sadeng. Pangeran Palawa memantau Adipati Sadeng sudah cukup lama. Pengeran Palawa mencurigai sesuatu, makanya dia mengirim orang ke Kadipaten untuk mengetahui kemana arah rencananya. Kalau bisa menggali informasi dari Tumengung Sukmo, mungkin bisa tahu maunya Adipati Sadeng.”“Orang yang dikirim itu Puteri Anggoro?”“Kupikir bukan. Puteri Anggoro datang ke Kadipaten Sadeng untuk belajar sastra. Kebetulan dia belajar di tempat Sukmana belajar. Suatu hari Sukmana mengundang Puteri Anggoro ke Mertabumi untuk menghadiri pertemuan para sastrawan. Sehari sebelum kembali ke Sadeng, Puteri Anggoro dan Sukmana terlihat bertengkar dan malamnya Puteri ditemukan di kamar Sukmana dengan senjata berdarah di tangannya.” Singo Abang mengelap wajahnya. “Entahlah, itu terlalu mudah, sepertinya sudah diatur sedemikian rupa.”“Jadi menurutmu Puteri Anggoro dijebak?”“Aku menduga Puteri Anggoro mendengar apa yang seharusnya tidak didengar dan dia disingkirkan,” duga Singo Abang. “Sepanjang yang kutahu, Sukmana anak baik-baik, hanya tertarik pada kesenian dan sastra. Justru bapaknya Sukmana, Tumenggung Sukmo, yang perlu diselidiki lebih lanjut. Dia abu-abu dan ambisius.”“Menurutmu dia ingin maju melalui Adipati Sadeng? Bahkan sampai mengorbankan anaknya?” tanya Haryo. “Kekuasaan menggelapkan mata, teman. Seperti tidak tahu saja.”“Bagaimana kalau pembunuhan itu terkait masalah asmara. Puteri Anggoro calon istri Pangeran Palawa. Kedekatannya dengan Sukmana bukan sesuatu yang pantas.” Haryo mencoba melihat dari sisi lain.“Ehem. Permisi. Maaf, mengganggu sebentar.” Enggar menyela pembicaraan mereka. “Boleh aku bicara denganmu, Bang?”“Ada apa?” Singo Abang mendekat.    “Aku ingin tahu rencanamu besok seperti apa? Jadinya kamu akan membawaku menemui hakin Jogoroso, menemui Pangeran Palawa, atau Mpu Soma?” tanya Enggar. Sebelum Singo Abang menjawab, Enggar sudah melanjutkan omongannya. “Kalau kita menemui hakim Jogoroso dahulu, kurasa itu nggak ada gunanya. Aku bukan Puteri Anggoro, jadi aku sama sekali tidak ingat tentang apa saja yang dialaminya, jadi nggak ada kasus yang bisa direview sama Pak Jogo. Per-cu-ma,” kata Enggar dengan gaya Bang Haji. “Jadi opsi pertama kita coret saja ya. Opsi kedua, bertemu dengan Pangeran Palawa, yang kau bilang dia cowokku. Itu otomatis juga harus dicoret. Aku bukan ceweknya. Dia bisa sakit encok kalau tahu Puteri pujaannya yang lemah lembut santun gemulai jadi amburadul begini. Ya kan?” kata Enggar polos.“Hahaha...” Haryo tertawa lagi. Makin lama Enggar makin menarik hatinya.  “So, diputuskan kita ketemu Mpu Soma saja untuk menganalisa keadaanku. Syukur-syukur dia bisa membantuku mencari cara untuk kembali ke masa depan. Semakin cepat aku kembali, semakin cepat Bang Singo mendapatkan Puteri Anggoro yang asli, semakin cepat pula kasus yang kau selidiki selesai.” Enggar bertepuk tangan sambil nyengir, membuat Singo Abang hanya bisa menatapnya saja. “Kenapa temanmu itu ketawa terus, apanya yang lucu?” Enggar menggerak-gerakkan kepalanya menunjuk ke arah Haryo. “Jadi bagaimana, Bang? Berapa lama lagi perjalanan ke Mpu Soma? Sehari? Dua hari? Kita berangkat saja sekarang,  gimana? Untuk mempersingkat waktu. Yuk!”“Haha...kamu bisa membuat Barata bengong, bagus sekali.” Haryo mendekati Enggar dan menepuk pundaknya. “Hei, aku belum pernah melihat wajahnya begitu tolol, kecuali saat berhadapan dengan Shiao Lan,” bisiknya.“Kamu tadi bukannya bertanya apa rencanaku, kenapa malah kamu yang menentukan kemana dan kapan kita pergi?” tanya Singo Abang.“Siapa Barata?” Enggar bertanya pada Haryo. Haryo menunjuk Singo Abang. “Siapa Shiao Lan?” bisik Enggar. Haryo hanya berdehem tanpa menjawab pertanyaan Enggar. “Hei, kamu mau kita pergi malam ini? Ide bagus itu. Aku akan menemanimu,” kata Haryo. Enggar menganggukkan kepala dengan antusias.“Jangan sembarangan ya.” Singo Abang menghalangi mereka. “Perjalanan malam hari tidak aman, apalagi akhir-akhir ini...”“Eh, justru kalau kita terlalu lama di suatu tempat malah tidak aman. Kamu ini masih belum sadar kalau jadi buronan? Jayengwangsa ada bersamaku di Wonokawi. Mungkin saat ini dia sudah tahu kalau aku menipunya dan menurut perhitunganku dia sudah menuju kesini.”“Mereka tidak mengetahui identitasku,” kata Singo Abang kalem.“Mereka mengenali Anggoro. Walau sudah menyamar, ada kemungkinan ketahuan. Lihat saja, masih cantik begini.” Kalau Haryo tidak yakin gadis di hadapannya bukan Puteri Anggoro, dia tidak akan berani berkata seperti itu.“Tuh kan, Bang.” Enggar tersenyum tersipu malu dibilang cantik. “Sudah, kita pergi saja sekarang.”“Kamu yakin? Katamu bosan berkuda terus-terusan,” kata Singo Abang “Keselamatan lebih penting. Oh ya, Mas Haryo, pelana kudanya lebih empuk daripada pelana kuda Bang Singo nggak?” tanya Enggar.“Memangnya kenapa?” tanya Haryo dan Singo Abang bersamaan.“Kalau lebih empuk aku mbonceng Mas Haryo saja ya.”“Maaf, Enggar. Aku tidak biasa memboncengkan perempuan,” tolak Haryo halus. “Kamu membonceng Barata saja ya.”“Hahahaha...” Singo Abang tertawa puas. “Baiklah, kita berangkat malam ini. Aku akan meninggalkan pesan dulu untuk Jandul dan Bogar,” katanya setelah tertawanya reda.
*** 
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on November 01, 2016 02:15

October 13, 2016

Gandrung #6


Haryo menyepak abu bekas perapian di depan pondok. Barata ada di kemarin malam. Dia barusan melihat isi pondok dan menemukan kain yang dari bentuknya digunakan untuk mengikat. Kemungkinan mengikat kaki dan tangan seseorang. Puteri Anggoro. Tapi kenapa? Kenapa dia harus diikat?Diperiksanya sekitar pondok. Jejaknya mengarah ke sungai lalu menghilang. Haryo meraup air sungai dan membasuh wajahnya dengan air itu. Dia kemudian minum sedikit. Rambutnya yang tidak terlalu gondrong dibasahi, dari arah depan ke belakang. Otaknya berpikir, apa yang akan dia lakukan kalau dia adalah Barata.Sudah jelas ada lebih dari empat orang yang menginap di tempat itu, meskipun jejaknya berusaha dihilangkan. Mereka berjalan ke sini, lalu menyusuri sungai. Haryo masuk ke dalam sungai dan mulai berjalan. Berjalan berombongan akan memperlambat sampai ke tempat tujuan, jadi kemungkinan mereka akan berpisah di suatu tempat. Puteri Anggoro adalah kekasih Pangeran Palawa, apa Barata akan membawa dia kepadanya? Barata diduganya menuju kotaraja, padahal saat ini Pangeran Palawa sedang tidak ada di istana. Bukan pilihan yang bijak mengingat orang-orang mengenalnya. Seharusnya dia bersembunyi dahulu di suatu tempat sampai keadaan benar-benar aman. Haryo berhenti. Tanah di pinggir sungai sebelah sana agak berbeda. Diseberanginya sungai dengan cepat. Mereka mencoba mengaburkankan jejak kaki itu, tapi Haryo terlalu pintar untuk diperdaya. Mungkin ini saatnya mencari Barata tanpa direcokin Jayengwangsa dan prajuritnya. Haryo bergegas kembali ke pondok. Sudah ada Jayengwangsa dan anak buahnya di situ. “Mereka menginap di sini?” tanya Jayengwangsa.“Iya.” Haryo mengangguk dan melewati orang itu, menuju kudanya. “Mereka menyeberangi sungai. Aku melihat jejaknya. Mereka pasti akan berpencar. Kurasa kita juga.” Haryo naik ke atas kuda. “Mereka ke arah timur dan utara. Kemungkinan Puteri Anggoro dan ketua penculik berpisah arah untuk mengecoh kita dan akan bertemu lagi di suatu tempat. Aku akan mengambil arah timur.”“Tunggu, kami saja yang ke timur. Anda yang ke utara.”Haryo tersenyum dalam hati, umpannya dengan mudah ditangkap Jayengwangsa. “Kenapa? Aku mengenal Kepala Merah, aku pernah ketemu dengannya, sedangkan kau belum.”“Anak buahku pernah melihatnya. Biarkan kami yang ke timur.”“Baiklah kalau kalian memaksa. Ayo, Bintang, jalan!” Haryo menepuk perut kudanya dengan kaki dan kuda itu bergerak. “Bodoh,” gumamnya setelah meninggalkan orang-orang itu. Dia tahu Jayengwangsa akan memilih arah yang dipilihnya. Orang seperti dia selalu ingin cari muka. Kalau dia bisa menangkap Barata, sesumbarnya pasti luar biasa. Kalau bisa.
*** Awan bergerak lambat di angkasa. Angin kadang-kadang saja berembus. Siang  terasa panjang. Sudah lebih dari tiga hari sejak penculikan itu dan belum ada berita yang menggembirakan tentang keberadaan Puteri Anggoro. Telik sandi, atau istilah modernnya intel, yang disebar hanya bisa melaporkan kalau si penculik bukan orang sembarangan. Kemungkinan dia kerabat istana.Tumengung Sukmo meneguk air dari kendi. Laki-laki tinggi kurus itu gelisah menunggu kedatangan seseorang. “Kita sudah dua kali bertemu di sini, tempat ini tidak aman lagi. Lain kali cari tempat lain.” Orang yang ditunggunya sudah datang. Tumengung Sukmo berdiri menyambut laki-laki tinggi berkumis lebat itu. “Aku akan sebentar saja. Aku sangat kecewa padamu. Kalau pekerjaan kecil begini saja tidak bisa beres, bagaimana mungkin aku akan mengajakmu naik bersamaku? Puteri itu seharusnya sudah mati. Dia terlalu tahu banyak rencana kita.”“Dia sayuran, Tuan. Tabib saya sudah memastikan dia tidak akan bicara.”Sikap tubuh laki-laki berkumis itu makin kaku, tanda dia marah. “Kau bisa menjamin itu? Dia dibawa kabur. Dan apapun ramuan yang diberikan tabibmu padanya juga bisa dinetralkan oleh tabib lain. Kau membahayakan rencana kita. Aku sudah memperingatkanmu untuk membunuhnya langsung saat itu juga, tapi kau malah membuatnya dipenjara terlebih dahulu. Bodoh!”“Itu juga untuk mengalihkan perhatian orang, Tuan. Hukum harus kelihatan berjalan, sehingga orang-orang tidak akan curiga. Pihak istana selalu saja memantau, apalagi Puteri Anggoro masih keluarga jauh menteri. Dengan pengadilan yang sesuai hukum, mereka tidak ada alasan lagi untuk menyelidiki lebih jauh.” Tumenggung Sukmo membela diri.“Jangan mencari alasan, Sukmo. Aku mau semua tuntas sampai akarnya. Rencana ini tidak boleh bocor. Sebaiknya Puteri Anggoro ditemukan dalam keadaan tak bernyawa, atau kau yang akan menggantikannya. Aku tidak peduli bagaimana caramu. Kuberi waktu dua hari. Nyawanya atau nyawamu.”Orang itu pergi, meninggalkan Tumengung Sukmo yang terduduk lemas. “Jayengwira, cari perempuan yang mirip Anggoro. Kita harus menjalankan rencana cadangan,” perintah Tumenggung Sukmo kepada bawahannya.“Baik, Tuan.”     ***
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on October 13, 2016 19:18

October 12, 2016

Gandrung #5


Di hadapan mereka berdiri pepohonan tinggi besar, batas hutan Wonokawi. Dari informasi yang didapatkan, dua hari lalu ada tiga orang yang menjual kudanya di pasar dengan ciri-ciri salah seorang dari mereka berambut gondrong dan berewokan. Pangeran Haryo tahu orang itu adalah Pangeran Barata. Dia menduga Pangeran Barata masuk ke hutan untuk menghilangkan jejak. Sebenarnya pengejaran akan lebih efektif kalau dilanjutkan, tetapi orang-orang itu sudah lelah, jadi diputuskan mereka beristirahat di pinggir hutan.“Pangeran Haryo, anda yakin mereka menuju ke sini?” tanya Jayengwangsa, kerabat Tumengung Sukmo. Haryo mengangguk sekilas. Dia berjalan menuju dekat api unggun, merebahkan merebahkan badan di rerumputan yang sudah diberi alas kain. Jayengwangsa mendekat. “Pangeran Haryo, apakah...” “Aku mau tidur, jadi diamlah. Sepanjang hari kamu ngomong tidak ada habisnya. Kalau aku sudah benar-benar kesal, kutinggal kalian. Sekarang jangan mengangguku!” bentak Haryo. Jayengwangsa terpaksa mundur.       “Kalau saja kau bukan kerabat istana, kutendang kau hingga alun-alun.” “Lakukan saja kalau berani,” sahut Haryo yang rupanya mendengar gerutuan laki-laki itu. Jayengwangsa minta maaf dan meninggalkan Haryo sendiri. Haryo tersenyum. Dia tidak mendengar gumaman Jayengwangsa barusan, tapi kalau melihat ekspresinya, orang itu pasti sedang mengutuknya atau mengancamnya. Jadi iseng saja ngomong begitu.Lelaki tampan itu memejamkan mata, mencoba mengurai kejadian yang melatarbelakangi pengejarannya. Barata menculik Puteri Anggoro yang akan dihukum mati. Dia memang sudah gila. Mertabumi gempar dan beritanya sampai ke istana. Sekarang Haryo diutus membawa Barata oleh para petinggi kerajaan, dan orang tua Barata. Sebenarnya meskipun tidak ditugaskan pun Haryo akan tetap mengejar Barata. Mereka masih punya urusan yang belum diselesaikan.Malam berlalu dengan cepat. Pagi-pagi sekali Haryo sudah bangun dan masuk hutan. Kudanya ditinggalkan agar lebih leluasa memeriksa keadaan.Ada jejak kaki. Lebih dari seorang. Dia sudah menuju arah yang benar.
*** Desa Dadialas yang berada di sebelah Desa Wonorandu sudah nampak. Sesuai rencana mereka berpencar setelah mendapatkan kuda. Baru ada satu kuda yang bisa didapat saat itu, yang diperuntukkan bagi Sanip yang akan pergi pertama kali. Jandul pergi setelah Sanip. Pertama untuk mencarikan kuda di pasar dan kemudian mendahului ke kotaraja. Dia akan memberi peringatan pada Singo Abang kalau ada apa-apa di depan. Mereka sudah ada di dunia luar, kemungkinan untuk dikenali dan diperhatikan lebih besar daripada saat mereka berada di hutan.Bogar menemukan rumah kosong tak jauh dari tempat mereka berpisah. Untuk alasan keamanan dan kenyamanan dalam perjalanan, Enggar harus berubah penampilan.“Kita akan berkuda mulai sekarang. Dengan pakaianmu seperti itu akan menyulitkan, jadi kamu harus menyamar menjadi laki-laki. Pakaialah yang ada di bungkusan ini.”“Menyamar jadi cowok?” tanya Enggar. “Baguslah. Kemben ini sudah bikin was was,” kata Enggar sedikit lega.  Singo Abang keluar dari rumah, menunggu Enggar ganti baju.“Ketua, Puteri Anggoro aneh ya? Selama saya bekerja di Mertabumi, saya beberapa kali pernah melihat Puteri Anggoro. Beliau lemah lembut seperti bidadari. Berjalannya pelan, bicaranya pelan. Tapi sekarang...” Bogar menggaruk pipinya.“Puteri Anggoro harus seperti ini biar tidak dikenali. Kamu tahu kita sekarang jadi buronan, setidaknya oleh orang Tumenggung Sukmo.”“Iya, Ketua.”“Satu lagi, mulai sekarang kamu akan memanggilnya Enggar. Tidak ada yang boleh tahu dia Puteri Anggoro, mengerti?” perintah Singo Abang.“Iya, Ketua.” Bogar menganggukkan kepala.“Selama perjalanan, jangan membuat perhatian, jangan terlihat mencolok,” kata Singo Abang sambil memperbaiki ikat kepala merahnya. “Ketua memakai ikat kepala begitu apa tidak mencolok?” tanya Bogar takut-takut. Singo Abang meliriknya. “Kamu benar.” dilepaskannya ikat kepala itu dengan agak berat hati, lalu dibebatkan di pergelangan tangan. “Berewoknya apa nggak sekalian dicukur, Ketua?” usul Bogar lagi. Mata Singo Abang melotot. “M..maaf, Ketua.” “Aku tidak akan mencukurnya.” Singo Abang mengetuk pintu. “Enggar, sudah selesai ganti pakaiannya? Aku buka pintunya.” Singo Abang membuka pintu, dan mendapat sambutan lemparan sandal. Singo Abang terpaksa menutup pintu lagi dan menunggu.Enggar membuka pintu. Singo Abang dan Bogar memperhatikannya dari ujung rambut ke ujung kaki. Dia sudah terlihat lebih nyowok, hanya saja rambutnya masih terkuncir panjang. “Bang, gimana? Gagah nggak?” Enggar berpose bak binaraga. Bogar tertawa, membuat Enggar tertawa juga. Cantik.“Kamu selalu memanggilku Bang, apa itu artinya?” tanya Singo Abang.“Bang sama dengan Kangmas,” jelas Enggar. “Oh ya, rambutku diapain ya, Bang, biar mirip laki-laki?”“Sini.” Singo Abang masuk ke dalam rumah diikuti Enggar. Mereka berhadapan. Singo Abang berpikir mau diapain rambut panjang Enggar. Dia berjalan dan kemudian berdiri di belakang Enggar. “Bagaimana kalau dipotong saja rambutnya?” tanya Singo Abang. “Lho, boleh? Kalau Puteri Anggoronya marah gimana? Kalau di jamanku perempuan berambut cepak nggak aneh, kalau jaman ini kan nggak lazim.”“Rambut bisa tumbuh lagi, tidak masalah. Yang penting sekarang tidak ada orang yang tahu identitasmu sampai benar-benar masalahnya terpecahkan, baik tentang pembunuhan itu maupun tentang kepastian kamu berkepribadian ganda atau benar-benar datang dari masa depan.” Singo Abang mengeluarkan pedang.“Kamu mau memotong rambut apa memotong leher, Bang? Jangan nakutin dong.” Enggar bergidik.“Sini,” kata Singo Abang. Beberapa kali tebas, rambut Enggar sudah tinggal sebahu dalam waktu singkat. Lalu laki-laki itu mengeluarkan kain dari kantong bajunya dan mengikatkannya di kepala Enggar.“Bang, berapa umurmu?” tanya Enggar iseng. Tebakannya pasti sekitar dua puluh lima tahun atau lebih.“Dua puluh dua,” jawab Singo Abang singkat.“Kok keliatannya udah om-om? Orang jaman dulu lekas tua apa ya?” Enggar mengepaskan ikat kepalanya yang sudah selesai dibuatkan Singo Abang. “Bagaimana penampilanku? Sudah seperti cowok?”Cowok imut, batin Singo Abang. “Ya ya, sudah. Tidak ada yang mengira kamu perempuan, apalagi seorang Puteri. Kamu sekarang kurus, tidak ada bentuk perempuan.” Kata-kata terakhir diucapkan Singo Abang dengan pelan, tapi masih kedengaran di telinga Enggar dan membuatnya geregetan. “Kita pergi sekarang.”Mereka tiba di pasar desa beberapa waktu kemudian. Enggar nggak berhenti meyakinkan dirinya bahwa dia tidak bermimpi. Orang-orang yang menggelar dagangan berupa hasil bumi, orang-orang yang membeli beraneka kebutuhan, yang berlalu lalang, yang menjual hewan ternak, semuanya asli.“Ini hari pasaran, makanya ramai sekali. Di hari biasanya nggak seramai ini. Mereka datang dari berbagai desa. Kebanyakan orang gunung yang turun karena ini pasar terdekat,” kata Bogar.Mereka segera menuju tempat penjual kuda yang sudah ditandai oleh Jandul dengan coretan warna merah di salah satu palang bambu pengikat tali kuda.Hanya dua kuda yang dibeli karena Enggar nggak bisa naik kuda. Baru ini kesamaan yang dimiliki Anggoro dan Enggar. Setelah membayar kuda, mereka segera pergi dari tempat itu. Enggar berkuda bersama Singo Abang, dia duduk di belakang. “Kita akan ke Mpu Soma, meminta bantuannya untuk mengembalikan ingatanmu. Itu sangat penting untuk mengetahui kenapa kamu berada di tempat terjadinya pembunuhan dan apa yang kamu alami selama dipenjara.”“Yang penting bagiku, aku bisa dikembalikan ke masa depan. Yang lainnya aku nggak peduli,” sahut Enggar.“Aku masih belum percaya kalau kamu benar-benar bukan Puteri Anggoro. Apa yang bisa membuktikan kalau kamu dari masa depan?”“Aku tau beberapa hal tentang apa yang terjadi di Majapahit di tahun-tahun ke depan,” kata Enggar. “Meskipun itu aku tahunya dari buku sejarah dan pelajaran sekolah,” lanjutnya dalam hati.    “Orang-orang tertentu yang berilmu tinggi di Majapahit bisa juga melihat apa yang terjadi di tahun-tahun ke depan. Itu tidak bisa menjadi bukti,” tukas Singo Abang.“Oke. Tapi aku tahu lebih detil tentang apa saja yang ada di jamanku, yang nggak bakalan diketahui orang berilmu tinggi di Majapahit,” ujar Enggar percaya diri. Pasti peramal di Majapahit nggak tahu hebohnya media sosial. “Seperti apa jamanmu?” tanya Singo Abang ingin tahu. Enggar belum sempat menanggapi pertanyaan Singo Abang karena dari arah depan terdengar suara derap rombongan berkuda dengan membawa panji-panji. Singo Abang memberi tanda agar mereka turun dari kuda dan segera menyingkir dari jalan. Ketika rombongan itu melewati mereka, sekilas Enggar bertatapan dengan salah seorang pengendara kuda yang berpakaian paling indah. Orang itu juga membalas tatapannya.“Berhenti!” teriak orang itu seketika.“Apa yang kamu lakukan?” bisiknya pada Enggar.“Nggak ngapa-ngapain, hanya melihat mereka saja,” jawab Enggar polos.“Kamu tidak tahu apa kalau itu rombongan Pangeran Cakrawaja, orang paling congkak seluruh jagad. Tidak ada orang yang boleh menatapnya, apalagi rakyat jelata. Kita harus menundukkan kepala dalam-dalam kalau orang istana lewat, kecuali kita dapat ijin untuk menegakkan kepala,” kata Singo Abang.“Heh? Mana aku tahu ada aturan begitu?” Enggar membela diri. “Berlutut dan menyembah. Tundukkan kepalamu, cepat!” Tangan Singo Abang menekan kepala Enggar agar tertunduk.Mereka mendengar suara langkah kaki kuda mendekat. Salah satunya bahkan dekat sekali, hingga dengan kepala tertunduk pun mereka bisa melihat kaki kuda itu bergerak-gerak.“Kau, baju coklat, kau tahu apa salahmu?” tanya seseorang yang kemungkinan besar adalah si Cakrawaja. Enggar melirik ke kiri dan ke kanan. Baju Bogar berwarna putih kumal, baju Singo Abang berwarna hitam, jadi yang dimaksud adalah dia.“Maafkan kami, Tuanku. Adik hamba ini baru pertama kali turun gunung, belum mengenal tata krama dan mengenali Tuan. Mohon diampuni, Tuan.” Singo Abang mencoba menenangkan sebelum Cakrawaja makin tersinggung.  “Siapa yang menyuruhmu bicara? Kau, baju coklat, beraninya melihatku. Kau mau matamu kukeluarkan dari tempatnya?” bentak Cakrawaja. “Ampun, Tuanku. Hamba bersalah karena begitu mengagumi Tuanku,” sahut Enggar cepat-cepat saat Singo Abang mau membuka mulut. “Hamba baru pertama kali turun gunung, belum pernah melihat pasukan berkuda sebanyak ini dan belum pernah melihat Tuanku yang tampak begitu gagah dan hebat.” Cakrawaja tersenyum. “Meskipun kata-katamu manis, tapi aku tetap tidak suka dengan perbuatanmu tadi. Tegakkan kepalamu. Akan kuputuskan hukuman apa yang akan kau terima. Tegakkan kepalamu!” perintah Cakrawaja.Perlahan Enggar menegakkan kepalanya, tapi dia menatap lurus ke depan, hanya melihat kaki Cakrawaja di atas kuda.“Tatap mataku. Ayo, tatap mataku!” Suara Cakrawaja makin garang.Enggar menghela napas baru kemudian mendongakkan kepala hingga kedua matanya bisa menatap mata Cakrawaja secara langsung.  Laki-laki pendek berbaju indah itu tertegun melihat wajah imut Enggar. “Kau didik adikmu baik-baik, jangan sampai terulang karena aku bisa saja membuatnya dihukum berat. Kali ini saja aku tidak punya waktu.”“Terima kasih banyak, Tuanku. Anda sungguh mulia,” kata Singo Abang.“Kita pergi!” Cakrawaja menggebrak kuda diikuti para prajuritnya. Bogar terduduk dengan lega seakan lepas dari mulut buaya. “Lain kali, jangan menatap mata orang. Kecuali orang-orang yang kamu kenal, mengerti? Apalagi kalau kita sudah sampai di kota raja nanti. Untung Cakrawaja tidak melakukan apa-apa padamu. Heran,” ucap Singo Abang sambil naik ke atas kuda. Tangannya terulur menarik Enggar ke belakangnya.“Siapa orang itu tadi?” Kepala Enggar ditelengkan ke arah Cakrawaja pergi.“Anak salah satu menteri. Kemampuan terbaiknya hanya menggertak dan sedikit memanah.” Singo Abang melecut tali kudanya.“Kamu sepertinya kenal banget dengan orang-orang istana, kayaknya tahu betul pangeran ini dan pangeran itu, padahal penampilanmu seperti perampok, ng, pengangguran.” Enggar menggigit lidah, menunggu reaksi Singo Abang. “Apa pekerjaanmu dulu, Bang? Mantan pembantu di istana ya?” tanya Enggar lugu.Bogar tertawa geli. Puteri Anggoro yang sekarang betul-betul berbeda. Dugaan Bogar kalau si Puteri kehilangan ingatan dan menjadi orang lain mungkin benar. Dia sudah curiga sejak ditugaskan menjaga puteri di hutan. *** 
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on October 12, 2016 19:48

October 10, 2016

Gandrung #4


 “Bagaimana keadaanmu?” Suara laki-laki itu membuat Enggar geragapan. Dia celingukan seperti burung hantu. Yang dilihatnya adalah dinding kayu dan atap dedaunan serta Singo Abang. Raut kecewa terlukis di wajahnya yang masih pucat. “Jangan lakukan seperti itu lagi, mengerti? Kamu tidak tahu berbahanya hutan ini, apalagi malam hari? Untung saja kamu ditemukan dalam keadaan hidup, bagaimana kalau kamu ditemukan sudah berada di perut ular atau tinggal tulang belulang?” Singo Abang mengatakannya dengan suara yang ditahan-tahan. Dia sangat kesal, tapi tidak ingin membuat gadis di depannya makin terguncang. Enggar beringsut untuk duduk. Diliriknya sela-sela dinding kamar yang diterobos sinar matahari. Ini sudah pagi. Dia tidak mempedulikan kata-kata Singo Abang tadi, pikirannya masih mencari cara bagaimana melarikan diri. “Permisi, Ketua. Ini sarapan buat Puteri Anggoro.” Bogar muncul dari pintu dengan membawa mangkok berisi makanan yang harumnya membuat perut Enggar perih. Setelah mangkok itu diterima Singo Abang, Bogar pamit keluar.  “Makanlah dulu.” Singo Abang menyodorkan mangkok dan langsung diambil Enggar dengan semangat. Tanpa menunggu komentar, Enggar mulai makan. Baru dua suap dia sudah terbatuk-batuk, tersedak karena terburu-buru menelan. Singo Abang segera mengambilkan air minum. “Rencana kita mundur. Seharusnya kita keluar dari hutan pagi-pagi tadi, tapi karena keadaanmu saat ini, kuputuskan untuk istirahat dulu. Siang nanti baru kita pergi,” kata Singo Abang yang mau duduk di sebelah Enggar.“Boleh minta tambah?” Enggar menyerahkan mangkok yang sudah kosong itu. Singo Abang mengangguk, tidak jadi duduk. Dia membawa mangkok itu keluar. Sanip terlihat sedang makan, sementara Jandul dan Bogar membuat bekal perjalanan.“Dia minta tambah,” kata Singo Abang. Bogar tersenyum senang karena puteri menyukai masakannya. Singo Abang masuk kembali ke dalam pondok untuk sarapan kedua Enggar dan hanya menemukan tempat itu sudah kosong. “Dasar! Dia kabur. Jandul, bantu aku cari dia,” seru Singo Abang. Mijil yang baru kembali dari sungai untuk mengisi kantong-kantong air tampak kebingungan melihat Singo Abang dan Jandul berlari menembus hutan.“Puteri kabur lagi?” tanya dia pada Bogar. “Puteri kok jadi penuh semangat begitu ya? Seperti bukan beliau saja,” lanjutnya heran.Tidak begitu jauh dari pondok, Enggar berusaha berlari kencang di antara pepohonan. Tetapi karena kondisi tubuhnya belum benar-benar sehat dan medan yang dihadapinya banyak rintangan, dengan mudah dia tersusul. Baru saja dia mau bersembunyi sebentar di semak-semak, Jandul sudah menangkapnya.     “Lepasiiiin. Aku mau pulaaaaang,” teriaknya. Dipukulinya Jandul yang mencengkeram erat lengannya kirinya. “Jandul? Kamu temukan Puteri Anggoro?” Singo Abang datang menyusul. Jandul menarik tangan Enggar untuk dibawa pergi, tapi Enggar terus berontak. “Kenapa sih kalian nggak mau ngelepasin aku? Aku nggak mau ada di sini. Aku bukan Puteri Anggoro,” teriak Enggar. “Kamu merepotkan orang saja. Aku harus bilang apa lagi untuk meyakinkan kamu kalau kami tidak bermaksud jahat. Puteri, kalau aku ingin membunuhmu, sudah sejak tiga hari lalu, tidak perlu membawamu kesini. Jangan kabur lagi! Ayo, kembali ke pondok,” kata Singo Abang yang mendekat dengan kesal.“Nggak mauuuuuuu..!” Enggar menggigit tangan Jandul dan lari lagi. Tapi Singo Abang keburu menangkapnya. Karena masih berontak juga, akhirnya dia digendong di pundak Singo Abang. “Let me goooooo...!”Tidak ada yang menggubris.Enggar yang semula masih teriak-teriak, terpaksa bungkam karena dengan sengaja Singo Abang melewatkannya menerobos semak dan dahan-dahan yang rendah, hingga kepala dan wajah Enggar kena gampar tumbuh-tumbuhan itu. Sesampainya di depan pondok, Enggar dijatuhkan begitu saja di lantai hutan, seperti karung beras. Singo Abang mondar-mandir di hadapannya, sementara anak buahnya mengawasi. Laki-laki gondrong dan berewokan itu terlihat amat kesal. Kedua tangannya terkepal dan pipinya sampai menggembung, menahan banyak kata. Tugasnya sederhana. Menculik Puteri Anggoro lalu menyembunyikannya sehari atau dua hari, kemudian membawanya ke kotaraja untuk dipertemukan dengan Pangeran Palawa dan hakim Jogoroso. Secara perhitungan normal tidak akan ada masalah karena Puteri Anggoro itu seperti mayat hidup, yang tidak akan berbuat aneh-aneh. Tapi sekarang mayat hidup itu sudah dua kali melarikan diri. Bahkan Singo Abang menduga dia akan melakukannya lagi. “Hhh.. Puteri Anggoro...” Suara Singo Abang mencoba tenang.“Aku bukan Puteri Anggoro, aku sudah bilang berapa kali sih, Bang? Namaku Enggar! Enggar Penggalih,” potong Enggar yang sudah berdiri, membersihkan dedaunan yang menempel di tubuhnya.“Dengar...”“Kamu yang dengar. Aku bukan Puteri Anggoro. Aku nggak peduli kalian mau membawaku ke kotaraja atau kemana, yang pasti aku nggak mau ikut kalian. Aku mau pergi sendiri, pulang ke rumahku. Aku...” Enggar melotot. Telunjuk Singo Abang tiba-tiba menyentuh leher Enggar dan dia kehilangan suara meskipun mulutnya tetep nyerocos. Totok pita suara. Anak buah Singo Abang menutup mulut menahan tawa. Puteri itu seperti ikan kekurangan air, megap-megap tanpa suara. Seekor ikan yang tampaknya marah sekali. “Kita akan meninggalkan hutan sesegera mungkin sebelum kamu berbuat nekat lagi. Mijil, kamu kembali ke Mertabumi. Kita tidak bisa pergi dengan terlalu banyak orang. Aku akan mengirim pesan kalau memerlukan tenaga kalian. Sanip, kamu pergi ke Mpu Soma, sampaikan aku akan menemui beliau dalam waktu dekat. Aku akan pergi bersama Jandul dan Bogar ke kotaraja. Sekarang bereskan semuanya, jangan sampai ada yang tahu kehadiran kita.”“Baik, Ketua.”
***Lelaki berkepala plontos dengan beberapa bekas luka itu mengangkat tangannya. Mereka sudah tiba di pinggiran hutan, tapi nampaknya keadaan tidak terlalu aman. Jandul memberi tanda agar mereka sembunyi. Ada beberapa orang mendekat. Mereka membawa bungkusan di punggungnya. Melihat tampangnya mereka sepertinya bukan orang-orang yang ramah. Mereka berwajah sangar dan sepertinya tidak pernah mandi bertahun-tahun.“Mereka perampok yang bermarkas di bagian timur hutan ini. Sepertinya baru dapat hasil lumayan,” bisik Singo Abang pada Enggar. “Matahari sudah turun. Kalau bisa sebelum gelap kita sudah tiba di desa untuk beristirahat sekalian nanti kita cari kuda. Setelah mendapatkan kuda, kita berpisah arah. Mijil ke Mertabumi dan Sanip ke Ketanggung,” lanjutnya. Enggar membandingkan wajah mereka dengan wajah Singo Abang di sebelahnya. Kok Singo Abang kelihatan jauh lebih cakep ya. Tapi misalnya dia tidak mandi beberapa bulan dan tidak mengurus mukanya pasti tidak jauh beda.Setelah memastikan para perampok itu sudah jauh, baru rombongan Singo Abang keluar dari persembunyian. “Mereka tidak lagi merampok malam-malam, siang hari pun mereka beraksi. Akhir-akhir ini semakin banyak saja rampok yang berkeliaran, membuat penduduk resah,” kata Sanip sedih mengingat keluarga, rumah dan harta benda sudah tidak ada karena perampokan dan penjarahan di desanya. Enam orang itu meneruskan perjalanan. Enggar sudah tampak kelelahan. Singo Abang bilang mereka sekitar lima hari perjalanan dari kotaraja. Lima hari jalan kaki? Bisa kekar betisnya. Langit sudah kemerahan saat mereka tiba di desa pertama setelah keluar dari hutan Wonokawi. Karena ini desa Wonorandu kecil dan sepi, tidak ada tempat penginapan. Salah satu penduduk memperbolehkan mereka menggunakan pondok kecil di tepi sawah berbatasan dengan kebun pisang setelah Singo Abang memberi beberapa keping uang gobog dari perunggu. Uang gobog adalah mata uang logam lokal yang bahannya dari tembaga, timah, perunggu dan kuningan. Ada juga mata uang dari Cina yang disebut kepeng, dari campuran tembaga dan timah putih. Enggar menarik lengan baju Singo Abang dan menunjuk-nunjuk lehernya, meminta laki-laki itu melepaskan totokannya. “Janji tidak akan teriak-teriak?” Singo Abang dua kali memijit lehernya. “Bang, sudah bau nih, ada kamar mandi nggak? Pengen mandi.” Enggar mencium badannya.Singo Abang menujuk ke arah kebun pisang. “Setelah kebun ada sungai kecil. Kamu mau kesana?” tanya Singo Abang. Enggar mengangguk. Dia bersiap berangkat, tapi diurungkan karena Singo Abang ikut.“Aku mau mandi, jangan diikuti.” Enggar menggerakkan tangan seperti mengusir kucing dari meja makan.“Di hutan saja kamu kabur, apalagi di sini. Aku ikut denganmu dan memastikanmu tidak melarikan diri lagi,” tukas Singo Abang.“Apaan sih? Siapa juga yang mau kabur? Seharian jalan, badan lengket-lengket semua, pasti pengen mandi lah.” Di mulut ngomong begitu, di dalam hati jelas ingin melarikan diri. Mumpung sudah di desa, tidak perlu takut babi hutan, ular ataupun harimau.“Mandi saja, tapi aku akan tetap mengawasimu. Aku tidak mau repot lagi membuang waktu. Aku tahu kamu masih punya niat untuk lari.”“Oh ya? Aku bersama orang-orang yang nggak kukenal, yang nggak kutahu apa maunya, wajar aku merasa nggak aman dan pengen kabur. Kalau Bang Singo ada di posisiku sekarang, pasti juga akan melakukan hal sama.”Singo Abang menatap Enggar dingin. “Kami bukan orang jahat, apa kamu tidak bisa membedakan?”“Bukan orang jahat? Hm...coba kita lihat dulu dari sudut pandangku. Satu, aku disembunyikan di pondok di tengah hutan. Dua, ketika aku bangun mulut, tangan dan kakiku diikat. Tiga, suaraku dihilangkan. Empat, aku akan dibawa ke tempat yang nggak aku tahu, untuk bertemu orang yang nggak aku kenal. Lima, aku mau mandi sendiri saja diawasi. Menurut Abang gimana tuh perasaanku?” Suara Enggar meninggi. “Satu, kami menyembunyikanmu di tengah hutan karena orang-orang Mertabumi mencarimu, untuk membunuhmu. Dua, kamu histeris dan berontak seperti orang kesetanan, membahayakan dirimu dan anak buahku. Tiga, kamu cerewet sekali tidak mau diam. Suaramu bisa membuat para pemburu itu menemukan keberadaanmu, yang membawamu ke alasan satu. Empat, kenapa aku harus susah payah membawamu pada seseorang kalau tidak untuk menyelamatkanmu? Lima, kamu mau melarikan diri lagi, apa aku punya pilihan selain menemanimu?” Singo Abang marah, tidak ditahan-tahan lagi. “Uh!” Enggar manyun. Dia masuk ke pondok, membanting pintu. Kata-kata Singo Abang membalikkan semua alasan yang diungkapkannya.Pondok ini hanya memiliki satu ruangan dan tidak ada balai-balai untuk tidur. Selain tikar, hanya ada tumpukan kayu bakar di seberangnya dan beberapa kelapa kering. Sebuah kendi diletakkan di pojokan.Diambilnya kendi itu. Masih ada isinya karena lumayan berat. Enggar ceingukan mencari gelas. Karena tidak ada, dia langsung meneguknya saja. Lalu dibasahinya selendang, digunakan untuk mengelap wajah, leher, tangan dan kaki serta rambutnya. Dalam keadaan sedikit basah rambutnya digulung. Dari dalam pondok Enggar mendengar kedatangan Bogar dan Sanip. Mereka melaporkan karena tidak ada kuda yang dijual. “Puteri, buka pintunya.” Singo Abang mengetuk pintu sekitar setengah jam sejak Enggar ada di dalam. “Kamu tidak mau makan malam? Tadi siang kita tidak sempat makan. Bukalah pintunya.” Suara Singo Abang kedengarannya sudah biasa lagi, tidak marah.  Enggar mendekatkan diri ke pintu. Ada bau enak tercium. Kalau tidak salah menebak, itu harum pisang bakar.  Di tangan Singo Abang ada dua buah pisang bakar yang masih mengepul dalam wadah dari daun pisang. Enggar langsung menyambar dan membawanya masuk ke dalam.  “Panas...panas...” desis Enggar. Lidahnya terbakar karena buru-buru mengunyah. Di luar angin bertiup lumayan kencang, menerbangkan bara-bara kecil dari perapian. Kilat beberapa kali menerangi langit dan suara geledek di kejauhan, menandakan hujan tidak akan lama lagi.Gerimis pada awalnya kemudian jadi hujan yang lumayan lebat. Semuanya masuk ke dalam pondok. Perapian pun dipindahkan. Ada kayu bakar di dalam, jadi tidak perlu susah-susah cari kayu di luar sana.Bogar meneruskan membuat pisang bakar, bahkan dengan beberapa variasi rasa. Bumbu-bumbu instan buatannya dikeluarkan dari dalam tas khususnya. Dia meramu beberapa jenis bumbu dan membalutkannya ke pisang yang dibakar, menyemarakkan pondok dengan aroma yang sangat menggoda.Enggar dengan takjub memperhatikan gerak-gerik Bogar. Dia mendekati lelaki gempal itu dan membantunya. Membantu ngicipin. “Pak Bogar chef ya?” tanya Enggar, tidak dijawab oleh Bogar. “Koki.” Enggar mengganti pilihan katanya. Bogar masih bingung. “Tukang masak,” ujar Enggar.“Ya, Tuan Puteri. Saya dulu tukang masak di Sadeng.” Meskipun malam ini mereka hanya makan pisang, tapi rasanya puas. Enggar sampai malas bergerak karena kekenyangan. “Pak Bogar, kalau mau bisnis pisang bakar dan pisang goreng pasti kaya. Enak begitu buatannya,” puji Enggar.“Pisang goreng?”“Iya. Pisang goreng dengan tepung gandum, bisa juga tepung beras, atau pakai tepung crispy. Atau bikin pisang bakar keju...wah... nyam nyam deh.” Enggar nyengir, tapi kemudian mingkem. Bogar nampaknya tidak begitu mengerti yang dia katakan karena dia hanya terbengong-bengong. “Hamba belum pernah mendengar pisang yang seperti itu. Bagaimana cara membuatnya?” tanya Bogar penasaran. Keduanya kemudian membicarakan masalah kuliner itu berdua. Tapi hanya sebentar karena Singo Abang meminta Bogar untuk membiarkan Enggar istirahat. Seperti siang hari, malam hari pun terasa panjang bagi Enggar, apalagi malam berhujan seperti ini. Dia belum bisa tidur. Karena itu dia menggunakan waktunya untuk mengamati orang yang ada di sekitarnya satu per satu. Mencari-cari petunjuk mengapa dia ada bersama mereka. Memikirkan kata-kata Singo Abang tadi. Jandul mengganti kayu yang sudah habis terbakar dengan kayu bakar yang baru. Menjaga api tetap menyala tapi tidak terlalu besar. Di pondok berukuran tiga kali empat meter ini untuk lima orang cukup padat. Jandul kemudian duduk di dekat pintu pondok yang sedikit dibuka. Dia mengeluarkan pedang dan mengasahnya. Sebentar kemudian dia menyarungkan pedangnya kembali dan menutup mata. Lelaki gundul itu sama sekali tidak terdengar suaranya selama ini. Pandangan mata Enggar beralih ke Sanip, si gigi hiu. Laki-laki muda bertubuh kurus itu sudah meringkuk di pojokan dengan mulut menganga, tanda tidur nyenyak. Meskipun Sanip membuatnya ketakutan setengah mati ketika pertama kali melihat, tapi sekarang Enggar bisa merasakan bahwa Sanip tidak berbahaya. Lalu  Enggar melirik Bogar yang berbaring di sebelah Sanip. Orang yang memasak seenak itu tidak mungkin berhati kejam. Terakhir Enggar melihat Singo Abang. Laki-laki itu sibuk menyerut batang kayu dengan pisaunya, seperti sedang membuat patung kecil. Alisnya yang berkerut menandakan dia sedang memikirkan sesuatu.Rasanya sudah sekian puluh jam dia bersama orang-orang itu dan sepertinya tidak akan berakhir. Apa betul dia nyata ada di sini? Apa benar dia berada di suatu waktu di masa lampau? Apa kecelakaan itu menyebabkan ruhnya terkirim ke jaman Majapahit? Lalu bagaimana caranya dia kembali? Apa di masa depan sana dia masih ada, atau jangan-jangan sudah mati? Enggar ngeri membayangkannya.Singo Abang berhenti menyerut kayu di tangannya yang sudah berbentuk seperti kuda. Dia menolehkan kepala ke arah Enggar. Dilihatnya gadis itu menelungkupkan kepala di lututnya yang ditekuk. Pundaknya berguncang. Perlahan Singo Abang berdiri dan berjalan mendekat. Enggar yang merasakan kehadiran seseorang di depannya, mendongakkan kepala dan menghapus air matanya. Mereka saling menatap, seperti kepada orang yang baru kenal. Padahal Puteri Anggoro tidak asing bagi Singo Abang. Setidaknya mereka pernah bertemu beberapa kali. “Kenapa menangis, apa ada yang sakit, Puteri?” tanya Singo Abang. Enggar menggeleng. “Namaku Enggar, Bang. Aku serius. Untuk apa sih aku bohong? Aku nggak seharusnya ada di sini. Aku ingin pulang, tapi nggak tahu bagaimana caranya. Aku takut terjebak di sini selamanya.”“Kalau kamu Enggar, lalu Puteri Anggoro dimana? Secara fisik kamu adalah Puteri Anggoro, aku tidak mungkin salah.” Singo Abang menghela napas. “Tapi kuakui sifatmu jauh berbeda.”“Karena aku bukan dia,” bisik Enggar tertahan.“Bagaimana bisa itu terjadi?” Singo Abang mengulurkan sehelai kain merah dari balik saku bajunya, agar digunakan Enggar untuk menghapus air mata.“Mana aku tahu? Aku sadar tiba-tiba sudah ada di sini. Bagaimana aku tidak panik, Bang. Jaman Majapahit itu tujuh ratus tahun lalu dari jamanku!” Enggar menerima kain merah itu dan digunakannya untuk mengikat rambut.“Tujuh ratus tahun.” Singo Abang menggosok dahinya. “Kamu bukan dari jaman ini. Jiwamu datang dari masa tujuh ratus tahun ke depan...” gumam Singo Abang. Enggar mengangguk, mengharap Singo Abang mempercayainya dan mengerti kenapa dia terkadang paranoid. “Ini kasus kepribadian ganda pertama yang kutahu begitu jelas. Mungkin pembunuhan itu telah memunculkan kepribadian lainmu yang selama ini tersembunyi. Kadang kejadian yang mengguncang jiwa bisa memicu itu. Secara tidak sadar kamu menjadi orang lain untuk melindungi diri. Mengacaukan pemikiran orang-orang di sekitarmu. Kamu merencakan sesuatu? Terhadap orang-orang yang menjebakmu?” kata Singo Abang.Yah, mentah lagi. Si berewok ini tetap saja belum percaya kalau dia dari masa depan. “Aku nggak berkepribadian ganda, Bang,” ucap Enggar bete.“Hm..sebelum ke kotaraja mungkin kita terlebih dulu menemui Mpu Soma untuk membaca keadaanmu. Selain mempunyai keahlian dalam membuat senjata, beliau juga menguasai ilmu pengobatan. Siapa tahu beliau bisa memahamimu.” Singo Abang kelihatan bersimpati. “Ini sudah larut, sebaiknya kamu istirahat.”Singo Abang hendak beranjak, tapi Enggar buru-buru menarik tangannya.“Apa bisa Mpu Soma mengembalikanku ke masa depan?” tanya Enggar. “Tidurlah.” Singo Abang melepaskan tangan Enggar. Gadis itu belum juga berbaring, gelisah. Apa nanti kalau dia tidur dan terbangun masih berada di sini?Hujan belum ada tanda-tanda untuk berhenti.*** 
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on October 10, 2016 21:00

October 9, 2016

Gandrung #3

Makanan di hadapannya dihabiskan dengan lahap. Satu, karena dia merasa sangat lapar. Dua, karena dia butuh tenaga untuk kabur dari tempat itu. Enggar sampai hampir tersedak saat menelan suapan terakhir. Diteguknya dengan bersemangat air di dalam mangkuk kecil yang terbuat dari tanah liat itu. Setelah mengatur napas, dia mencoba bangkit dan berjalan. Kepalanya masih pusing, merasa dunia setengah berputar. Tubuhnya masih terasa lemah, tapi tidak separah beberapa waktu tadi. Pelan-pelan Enggar berjalan menuju pintu. Kedua tangannya berpegangan pada dinding pondok. “Bang Singo, aku mau ke sungai,” seru Enggar kepada lima orang yang sedang berkumpul tak jauh dari pondok. Singo Abang yang sedang makan itu segera meletakkan makanan dan berjalan ke arah Enggar. “Perutku sakit,” lanjut Enggar yang mengitarkan pandangan ke seluruh penjuru. Hatinya mulai diserang rasa takut ketika menyadari dia benar-benar berada di hutan yang lebat. Dan tidak ada tanda-tanda kegiatan syuting. “Aku mau ke sungai,” ulang Enggar pelan.Singo Abang menghampiri dan membantu gadis itu berjalan, sembari memberikan kode kepada Sanip untuk menyiapkan pakaian ganti di pondok. Singo Abang dan Enggar berjalan berdampingan. Lelaki itu memapahnya karena beberapa kali Enggar hampir terjatuh. Sesaat Enggar mencoba untuk melepaskan lengannya dari tangan Singo Abang, tapi tidak bisa. Lelaki itu memegang lengannya erat. Sesekali mereka bertatapan mata, namun seringkali Singo Abang menghindarinya.Mereka tiba di sungai setelah berjalan kira-kira lima puluh meter. Matahari belum benar-benar tenggelam, tapi hanya sedikit cahaya yang bisa menerobos hutan ini, apalagi dalam keadaan mendung. Dengan sedikit susah payah, Enggar duduk di sebuah batu di pinggir sungai. “Bisa kau menyingkir dulu?” tanya Enggar saat dia mulai merendam salah satu kakinya ke dalam air. “Aku harus mengawasimu,” kata Singo Abang.“Mana bisa aku melakukan yang harus kulakukan kalau kamu di situ?” Singo Abang tidak juga beranjak. “Aku tetap di sini, tapi aku tidak akan melihatmu. Kau bisa pegang kata-kataku. Cepatlah.”“Kalau aku hanya cuci muka, kau tungguin di sebelahku pun aku nggak keberatan, Bang. Tapi ini memenuhi panggilan alam. Aku butuh privasi.”“Kenapa butuh itu segala?” Singo Abang tidak bisa mengulangi kata asing yang baru saja diucapkan Enggar.“Privasi. Aku butuh untuk  sendirian. Kuatir apa sih, aku nggak mungkin bisa lari. Mana berani aku kelayapan di hutan, sudah gelap begini. Masih ada harimaunya juga kan di sini?”“Ya. Kadang mereka turun ke sungai juga.” Singo Abang tidak bermaksud menakut-nakuti Enggar, tapi wajah gadis itu sudah terlanjur pucat. “Aku akan membalikkan badan.”  “Jangan mengintip.”Enggar turun ke sungai dan membasuh wajahnya. Dia tadi memang kebelet, tapi sekarang nggak. Dia mencari jalur yang tercepat untuk ngabur. Menyeberang saja terus menembus gerumbul di sana.Singo Abang mendesah. Ini sebenarnya bukan urusan dia sama sekali. Terlibat dengan masalah orang lain tidak masuk dalam agendanya. Dia sudah cukup kenyang menghadapi masalahnya sendiri. Tapi sejak peristiwa pembunuhan putra pertama Tumengung Sukmo, mau tak mau dia harus ikut campur. Pangeran Palawa, kekasih Puteri Anggoro, orang yang pernah menyelamatkan nyawanya, meminta bantuan. Dia tidak mungkin menolak.Menyembunyikan Puteri Anggoro membuatnya menjadi orang paling dicari. Tumenggung Sukmo pasti sudah menyebarkan anak buahnya, atau bahkan meminta para pendekar dunia persilatan untuk memburu Singo Abang. Satu orang yang sudah pasti mengejarnya adalah Pangeran Haryo. Rivalnya sejak kecil.Kenapa Puteri Anggoro ada di kamar Raden Sukmana, anak Tumengung Sukmo, ketika dia dibunuh? Itu masih menjadi pertanyaan besar. Yang pasti tuduhan ada padanya, karena di tangan Puteri Anggoro ada sebilah keris penuh darah yang telah digunakan untuk membunuh Raden Sukmana.Singo Abang bersama Jandul berhasil menculik Puteri Anggoro saat dia dibawa ke penjara Sadeng. Belum ada yang tahu pasti identitas mereka, kecuali Pangeran Haryo. Kecerobohan Singo Abang memberinya petunjuk. Ikat kepalanya terjatuh.“Puteri, sudah selesai? Puteri.” Singo Abang tersadar dari lamunannya. Menyesal dia karena tidak berkonsentrasi terhadap keberadaan gadis itu. Apalagi suara riak sungai dan serangga mengaburkan suara yang lain. “Aku akan membalikkan badan, tidak peduli kau sedang apa.” Singo Abang menghitung sampai tiga baru membalikkan badan. Seringai gemas menarik wajahnya ke atas. Sial. Puteri itu hilang!Sementara itu tak jauh dari sungai, Enggar berlari sekencang-kencangnya, tidak peduli ke mana, yang penting dia bisa lepas dari orang-orang itu. Tubuhnya yang terasa sakit di sana sini tidak dipedulikannya. Keinginan yang kuat untuk melarikan diri ternyata memberikan tambahan energi yang cukup untuk membawanya pergi. “Aaaaa...” Kaki Enggar terperosok. Tubuhnya tertarik ke bawah, bergulingan dan terhenti, menabrak batang pohon. Enggar tak bergerak lagi.Suara guntur menggelegar dan hujan turun dengan derasnya.
***
“Hahh!” Enggar terbangun dengan kaget. Dedaunan dan tanah basah menempel di tubuhnya. Rambutnya yang panjang berantakan tidak karuan. Kepalanya berputar, melihat sekeliling. Semuanya gelap. Segumpal rasa kecewa menyesakkan dadanya, mengapa dia masih berada di tempat asing ini. Mungkinkah semua hanya mimpi? Kenapa dia ada di Majapahit? Apa karena hal terakhir yang ada di kepalanya sebelum gempa adalah tentang Majapahit. Lalu memori itu terbawa dalam mimpi. Enggar pernah tiga hari berturut-turut main tetris dan setiap malam mimpinya selalu mengatur balok-balok berbagai bentuk itu untuk mendapatkan poin tertinggi. Kali ini dia mimpi berada di Majapahit karena sebelumnya dia melihat dan melihat benda-benda yang berhubungan dengan Majapahit. Ya, pastinya begitu. Kalau ini mimpi, maka yang harus dilakukannya sekarang adalah bangun dari tidur, lalu semua kembali normal. Begitu kan? Tapi dia sudah bangun, dan masih terjebak di sini. Enggar bangkit, meraba-raba dalam gelap. Setelah beberapa saat, matanya mulai beradaptasi dengan pencahayaan yang minimal itu. Enggar mencari dahan yang terjatuh untuk digunakan sebagai tongkat. Itu akan membantunya untuk membuka jalan atau pegangan saat berpijak. Ada suara menguik serak di sebelah kanannya. Kalau tidak salah menduga itu suara babi hutan. Enggar buru-buru menjauh sumber suara dengan tetap berusaha untuk tidak membuat keributan.Lalu terdengar suara auman. Lutut Enggar gemetaran. Keringat dinginnya meluncur. Napasnya jadi pendek-pendek. Jangan bilang itu harimau....Enggar sibuk membangun keberanian. Lambat laun dia mulai bisa menguasai diri. Hingga kemudian terdengar suara auman ditingkahi suara menguik panik. Apakah sedang terjadi mangsa diterkam pemangsa? Jantung Enggar rasanya sudah melompat keluar dari rongga dadanya dan terjatuh di tanah, takut bukan kepalang kalau hewan-hewan itu berlari ke arahnya. Dengan sisa kekuatan yang ada dia mengangkat kainnya dan memanjat pohon yang dahan pertamanya cukup pendek untuk bisa digapai. Doa tidak putus dari mulutnya. Semoga harimau itu hanya memangsa babi hutan dan bukan dirinya.Detik demi detik yang menegangkan terasa lama. Dari suaranya, harimau itu nampaknya sudah dapat mangsa. Enggar masih gemetaran di dahan pohon, tak lepas dari doa. Hawa dingin semakin terasa, meskipun hujan sudah reda. Sekarang dia agak menyesal telah melarikan diri. Seharusnya dia tinggal dulu bersama mereka di pondok itu. Setidaknya di sana relatif aman dari hewan-hewan, tidak dingin karena ada perapian.Enggar tersedu pilu tanpa suara. Sementara tak jauh dari tempat itu, Singo Abang menggeram. Obor yang ada di tangannya digerakkan ke beberapa arah. Sudah hampir dua jam mencari Puteri Anggoro tidak juga ketemu.  Dimana dia? Singo Abang tidak berani membayangkan apa yang bisa terjadi pada Puteri itu di hutan seperti ini. Dia sama sekali tidak membawa senjata, tubuhnya sedang lemah dan tidak mempunyai kemampuan melindungi diri.Seharusnya dia tidak meminta anak buahnya menyembunyikan Puteri Anggoro di hutan. Tapi siapa juga yang menyangka Puteri itu bakalan melarikan diri.Tak jauh dari tempat itu, Enggar yang hampir tertidur di atas pohon itu terhenyak. Ada sesuatu yang bergerak melewati lehernya. Dingin, empuk dan agak berat. Instingnya bilang itu bukan sesuatu yang menyenangkan. Apalagi setelah dia betul-betul yakin apa yang melewatinya. Seekor ular, sebagian tubuhnya berada di leher Enggar, sementara kepala ular itu tak jauh dari wajahnya.  “Innalillahi,” batinnya. Enggar berusaha untuk tidak bergerak. Bahkan dia berusaha tidak bernapas. Ular itu terus menggeser tubuhnya. Enggar hanya bisa berdoa supaya ular tidak sedang lapar dan tidak tertarik padanya. “Puteri! Puteri Anggoro!” Ada suara memanggil. Suara Singo Abang. Enggar nggak menyangka dia akan begitu bahagia mendengar suaranya. Secara reflek Enggar bergerak.  “Aaaaaaa...!!!” Suara jeritan terdengar diikuti suara sesuatu yang berat terjatuh ke tanah. Ular itu telah membelit tubuh Enggar.Singo Abang berlari ke arah datangnya suara. Obor yang dibawanya diarahnya ke bawah. “Jangan bergerak. Kalau kamu bergerak dia akan semakin kencang membelitmu. Aku akan membebaskanmu.” Singo Abang mengeluarkan pedangnya. Enggar tidak bisa melihat dengan jelas pergulatan antara Singo Abang dan ular yang ternyata berukuran besar itu. Melihat bentuk dan ukurannya, ini adalah jenis boa. Ular ini tidak berbisa, tapi membunuh dengan cara membelit hingga korbannya mati lemas dan remuk tulangnya.  Bau anyir tercium. Enggar merasakan tubuhnya terlepas sepenuhnya dari ular itu. Tapi dia sudah tidak punya kekuatan untuk bergerak. Dari sinar obor yang tergeletak di tanah dan hampir mati, Enggar melihat ular itu sudah tidak berkepala. Cairan berwarna gelap mengalir dari bagian tubuhnya yang terpotong.“Puteri, kamu tidak apa-apa?” Singo Abang menarik tangan Enggar, membantunya berdiri. Lelaki itu menyangka puteri akan berontak lagi dan menjauh, tetapi yang terjadi malah gadis itu memeluknya erat dan menangis sesenggukan. Untuk sesaat Singo Abang seperti kena sihir, hanya mematung. Tubuh Enggar yang gemetaran kemudian menjadi lunglai. Rupanya dia pingsan. Diangkatnya tubuh Enggar dan dibawanya pergi. *** 
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on October 09, 2016 18:30

October 6, 2016

Gandrung #2

Suara seresah terinjak-injak oleh kaki manusia membuat telinga rusa jantan itu berdiri. Sikap waspada ditunjukkannya. Rusa itu mengarahkan telinga ke arah suara itu berasal. Lalu dia lari, melompati gerumbulan semak dan menghilang di balik pepohonan.Tiga orang berjalan terburu-buru. Pakaian mereka berwarna hitam dengan kain batik membalut bagian pinggang. Seorang dari mereka membawa bungkusan yang dipanggul di punggung, bertubuh gempal, dengan wajah bulat dan berambut lurus. Sebuah golok menggantung di pinggang kanannya. Seorang lagi bertubuh tinggi kurus, membawa pedang. Tidak ada sehelai rambut pun di kepalanya. Bisa terlihat jelas bekas luka di berjajar di kepala gundulnya itu. Sang pemimpin, orang yang paling depan, bertubuh tinggi tegap, sedikit lebih tinggi dari si gundul. Rambut gondrong, diikat sembarangan. Wajahnya berewokan, tidak rapi. Ikat kepalanya berwarna merah. “Dimana dia disembunyikan, Mijil?” tanya si pemimpin kepada si gempal.“Di pondok di tengah hutan, dekat aliran sungai, Ketua,” jawab Mijil. Mereka berjalan lagi. Baru beberapa langkah, tiba-tiba Sang Ketua mengangkat tangannya, memberi tanda agar mereka berhenti. Sepertinya ada sesuatu yang tidak beres. Dua orang anak buahnya mencabut senjata. Mereka dalam posisi siap menyerang. Pendengaran ditajamkan, penglihatan dimaksimalkan. Desau angin menggoyang daun-daun dan suara satwa memekik di kejauhan. Menegangkan.“Kalian tidak mendengar sesuatu?” bisik Sang Ketua.“Tidak, Ketua,” bisik Mijil. “Tetap waspada,” ujar Sang Ketua disambut anggukan oleh anak buahnya.Sekitar lima belas menit kemudian mereka bertemu aliran sungai kecil. Mengikuti arah yang berlawanan dengan aliran air, mereka tiba di tempat yang dituju. Di balik semak tinggi ada sebuah pondok yang tersembunyi dari pandangan mata. “Uhu huuu,” seru Mijil, menirukan suara burung. Ditunggu sesaat, tidak ada suara balasan seperti kesepakatan. Ketiga orang itu saling pandang. Singo Abang memberi kode agar Mijil mengulanginya. “Uhu huuu..”Lagi-lagi sepi.Tidak sabar lagi, Sang Ketua menebas semak dengan gusar dan bergegas menuju pondok. Pedang terhunus di tangannya.“Pangeran.” Seorang pria tinggi besar, muncul dari dalam pondok, tergesa menyambut Sang Ketua. Dia bernama Bogar. Keahliannya memasak dan meramu obat-obatan. Bogar berjongkok, menyembah si Ikat Kepala Merah. “Pangeran.” Datang lagi seorang pemuda kurus dari dalam pondok. Dia bernama Sanip, keahlian memanah dan berburu hewan. “Apa gunanya membuat sandi kalau tidak dipakai?” ucap Sang Ketua berang. Kedua orang di depannya menunduk lebih dalam, tanda mereka merasa bersalah. “Berdiri berdiri! Sudah berapa kali aku katakan jangan menyebut pangeran, apalagi menyembahku. Ingat, namaku Singo Abang.” Singo Abang hendak masuk ke dalam pondok, tapi urung. “Kutinggal dua hari apa Puteri Anggoro sempat sadar?” Keduanya saling pandang, mau mengatakan sesuatu tapi tidak berani. Singo Abang memelototkan mata, curiga kalau telah terjadi sesuatu.“Am..Ampun, Ketua, itu... anu...” Sanip gelagapan. “Saat ini masih belum sadar lagi,” lanjutnya pelan.“Belum sadar lagi? Jadi tadi sempat sadar?” tanya Singo Abang agak bersemangat. Buru-buru laki-laki itu masuk ke dalam pondok kecil itu. Saat pintu dibuka, dilihatnya ada sesosok gadis tergolek di atas balai-balai. Kaki, tangan dan mulutnya terikat kain. Rambut gadis itu terurai berantakan. Sisa lelehan air mata terlihat jelas di pipinya. Matanya tertutup rapat. “Bogar! Sanip! Kenapa tangan dan kakinya diikat? Kenapa mulutnya disumpal? Kalian apakan dia? Kan sudah kubilang jangan disakiti!” teriak Singo Abang dari dalam pondok. Sanip dan Bogar tergopoh-gopoh menghadap Singo Abang yang sedang membuka ikatan pada tubuh Puteri Anggoro, disusul dua orang yang lain. “Ampun, Ketua. Saat Puteri Anggoro sadar dan berteriak-teriak tidak keruan, beliau juga mengamuk, Ketua. Kami dipukuli dan ditendangi, terpaksa kami ikat kaki dan tangannya. Saat saya mau menenangkannya, saya malah digigit, jadi saya tutup saja mulutnya dengan kain.” Wajah Sanip sudah pucat pasi. Bogar agak gemetaran di sebelahnya.Tatapan mata Singo Abang setajam pedang yang bisa membelah pohon bambu dalam sekali tebas. Keringat dingin mengucur dari pelipis Sanip dan Bogar. Meskipun sudah beberapa waktu menjadi anak buat Singo Abang, mereka masih suka ngeri kalau melihat pemimpinnya marah. “Puteri Anggoro bisa berteriak dan memukul?” tanya Singo Abang pelan-pelan, memastikan dia tidak salah dengar ucapan Sanip tadi.“I..iya, Ketua,” Bogar menjawab, Sanip menganggukkan kepala. “Puteri Anggoro selama ini seperti mayat hidup karena racun. Kalaupun sadar, dia hanya bisa membuka mata saja, tidak bisa bergerak lebih dari itu. Kalau sekarang dia bisa berteriak dan memukul, maka ada kemungkinan pengaruh racunnya sudah mulai berkurang,” ucap Singo Abang sambil menoleh ke arah Jandul. Jandul menganggukkan kepala tanda dia memiliki pemikiran yang sama. “Hm, bagus. Kalau kesadarannya pulih, aku akan lebih mudah membantunya.”“Kita harus lebih waspada, Ketua. Membawa Puteri Anggoro dalam keadaan sadar akan mengundang banyak perhatian kalau kita tidak berhati-hati,” kata Mijil.“Kamu benar, Mijil. Apalagi Tumenggung Sukmo dari Mertabumi sudah mengirim orang untuk mencari kita. Bahkan Haryo juga ikut,” ujar Singo Abang. “Tapi jarak kita masih aman, Ketua,” kata Mijil lagi.  “Aku tidak yakin kita akan terus aman. Mereka punya orang-orang yang cekatan. Kalau kita tidak cepat, mereka bisa menghadang sebelum kita sampai tujuan.” Singo Abang menggelengkan kepala. “Aku akan mencoba menyadarkan Puteri Anggoro lagi. Kalian berjaga-jaga dan siapkan makanan,” perintahnya.“Baik, Ketua.”Singo Abang berjongkok di samping balai-balai. Tangannya bergerak mengambil sesuatu dari kantong bajunya, sebuah botol keramik kecil yang berisi cairan dengan bau menyengat untuk membuat siuman orang pingsan. Baru saja Singo Abang hendak mendekatkan botol itu ke hidung Puteri Anggoro, tiba-tiba mata sang puteri terbuka dan terbelalak lebar.“Huaaaaa!!” Teriakan puteri itu membuat burung-burung yang sedang bertengger di dahan terbang. “Ini tempat apa?? Kenapa aku bicara dengan bahasa aneh ini?!”“Puteri, tenanglah. Jangan teriak-teriak seperti itu.” Singo Abang berusaha menenangkan. Dia memeriksa dahi gadis itu, memastikan tidak sedang demam dan berhalusinasi karenanya.“Siapa kau? Tolooong!” teriak sang puteri. Raut wajahnya terlihat panik, apalagi saat melihat pedang yang dibawa oleh laki-laki berewokan itu. Dia menepis tangan Singo Abang dan berlari keluar. Tapi baru dua langkah tubuhnya luruh. Beruntung Singo Abang menangkapnya terlebih dahulu sebelum dia jatuh ke lantai pondok. “Jangan bunuh akuuuu...” Gadis itu sesenggukan. “Puteri, badanmu masih lemas karena berhari-hari tidak kemasukan makanan. Harap beristirahat dulu di balai-balai. Hidangan sedang disiapkan, Puteri Anggoro bisa makan sebentar lagi.” Singo Abang yang menggendong puteri itu kembali ke tempat tidurnya nampak sedikit bingung. “Puteri Anggoro, aku akan mengingatkanmu tentang kejadian tiga hari lalu. Saat orang-orang Tumenggung Sukmo membawamu ke Sadeng, aku, Jandul dan Mijil menculikmu untuk menyelamatkanmu dari eksekusi. Tujuanku adalah membawamu ke kotaraja, menemui paduka Jogoroso, hakim istana, untuk mendapatkan keadilan. Kami berpikir Puteri telah dijebak,” kata Singo Abang. “Aku belum tahu kejadian sebenarnya, tetapi banyak kepentingan yang bermain di sini. Kalau Puteri mau menceritakan kepadaku, aku mungkin bisa membantu,” kata Singo Abang. Gadis yang dipanggil Puteri Anggoro itu melongo sesaat sebelum akhirnya menangis lagi. “Huhuhu.. namaku Enggar, bukan Puteri Anggoro. Aku mau pulang. Jam berapa ini, kenapa gelap? Kenapa aku ada di sini?” tanya sang puteri. Matanya melihat kesana kemari. Ketakutan masih menguasainya. “Mas Ito, ini dimana? Mana Mas Ito?” tanyanya pada Singo Abang. “Bunda... Ayah...”“Namamu Enggar?” tanya Singo Abang memastikan tidak salah dengar. Kenapa puteri menyebut namanya Enggar?“Iya. Namaku Enggar Penggalih, mahasiswa semester tiga fakultas ekonomi manajemen UI. Aku tadi sama Mas Ito di Museum Nasional, lalu ada gempa, sepertinya kepalaku kejatuhan benda berat dan mungkin pingsan. Pas bangun, kenapa aku ada di sini? Ini tempat apa?” Enggar celingukan.  Tidak ada satu kalimat pun yang bisa dicerna oleh Singo Abang. Entah Puteri Anggoro kesurupan apa sampai mengatakan hal yang sama sekali tidak dimengerti olehnya. Atau mungkin racun itu sudah merusak isi kepalanya. Gadis cantik anak almarhum Adipati Rekso itu seperti zombi ketika diculiknya. Sorot matanya kosong. Orang-orang bahkan sudah menduganya nggak waras. Kalau melihat perkembangan sekarang, mungkin mereka benar. Puteri Anggoro sudah gila.“Ketua, apa semua baik-baik saja? Kami mendengar teriakan.” Dari pintu muncullah Mijil dan Jandul. Senjata tajam sudah terhunus di tangan masing-masing.Wajah Enggar makin pucat. Kenapa banyak sekali wajah asing yang dilihatnya, seram dan kotor seperti tidak pernah mandi berhari-hari. Terlalu tidak masuk akal, jadi pasti ini rekayasa.“Ini reality show kan? Aku dikerjain ya? Kalian aktor semua, iya kan? Pasti ini juga rambut dan jenggot palsu.” Tanpa berpikir panjang Enggar menjambak rambut dan menarik jenggot Singo Abang sekuat tenaga. Laki-laki itu menyeringai kesakitan dan menggebrak balai-balai. Lambang kejantanannya dilecehkan begitu saja, dia jadi emosi. Wijil dan Mijil memejamkan mata. Kalau saja Puteri Anggoro tahu siapa sebenarnya laki-laki yang ada di hadapannya itu, pasti dia akan memohon ampun. “Kok asli?” gumam Enggar heran. “Puteri Anggoro, sebaiknya sekarang istirahat dulu saja sambil menunggu makanan matang. Setelah makan dan tidur pikiran akan lebih tenang.” Singo Abang mencoba untuk bersabar lagi.“Aku mau pulang saja, Pak. Tolong.” Enggar merajuk. Tangannya mengguncang-guncang lengan Singo Abang.“Namaku Singo Abang, bukan Pak,” kata Singo Abang sembari melepaskan jari-jari tangan Enggar yang mulai mencengkeram lengannya.“Bang Singo, aku mau pulang. Nggak diantar nggak apa-apa deh. Ini dimana sih kok sepertinya ada di hutan. Ini di Taman Safari ya?” tanya Enggar yang mengintip ke luar dari sela-sela dinding pondok. “Punya hape nggak, Bang, pinjam dong buat nelepon rumah.”Singo Abang menggaruk kepala, semakin tidak mengerti apa yang dibicarakan gadis itu. Sekali lagi Singo Abang meminta puteri untuk menenangkan diri sementara dia bersama anak buahnya keluar dari pondok.“Ketua, Puteri Anggoro apa sudah tidak waras?” tanya Mijil hati-hati saat mereka sudah berkumpul di halaman pondok. Harum umbi bakar menyeruak, menggugah selera. Ikan yang dibawa oleh Mijil sudah dibumbui oleh Bogar dan siap dibakar. “Aku kuatir begitu,” gumam Singo Abang. “Sanip, Bogar, kalian pasti melewatkan sesuatu. Ketika aku meminta kalian menyembunyikan Puteri Anggoro, dia tidak seperti ini. Apa terjadi sesuatu dengannya yang kalian belum ceritakan padaku? Apa kalian memberinya makanan atau ramuan yang aneh-aneh sampai dia jadi begitu?”“Ampun, Ketua. Kami benar-benar tidak melakukan apa-apa, kecuali yang sudah Ketua perintahkan. Memberinya ramuan obat sehari tiga kali,” kata Bogar, diiyakan oleh Sanip dengan anggukan kepala berkali-kali.Singo Abang duduk di sebuah batang kayu yang tumbang. Otaknya berpikir keras mencari-cari penjelasan yang masuk akal mengenai keadaan Puteri Anggoro. Dia harus sekali lagi memastikan bahwa Puteri Anggoro dalam kondisi waras agar bisa diajak bekerja sama membongkar persekongkolan itu.“Maaf, Ketua, ini makanannya sudah siap.” Bogar menyerahkan makanan kepada Singo Abang. Makanan itu kemudian dibawa Singo Abang sendiri untuk diberikan pada sang puteri. Dia mencoba berkomunikasi lagi dengan Puteri Anggoro.Mata Enggar membuka ketika mendengar kedatangan seseorang. Si berewok itu lagi. Selama dia ditinggalkan sendiri, Enggar berpikir keras tentang apa yang terjadi. Dia masih hidup, itu hal yang pasti. Pertanyaannya adalah: dia ada di mana, siapa orang-orang itu, dan kenapa mereka memanggilnya Puteri Anggoro? Dia sangat berharap sedang dikerjain oleh orang-orang usil, karena kalau ini kenyataan akan terlalu mengerikan. Dandanannya seperti sedang main ketoprak atau wayang orang, memakai kemben yang ditutup selendang dan kain untuk bawahannya. Rambutnya pun panjang asli, tidak ditambah hair extention. Dia bahkan bisa berbicara dengan bahasa kuno. Kalau tidak sedang dikerjain, dia pasti sedang bermimpi. Tapi melihat bekas cubitannya sendiri di tangan, ini bukanlah mimpi.“Bagaimana keadaanmu, Puteri Anggoro?” Singo Abang muncul, mendekat ke arahnya. Harum makanan membuat perut Enggar melilit.“Kita sebenarnya dimana sih, Bang?” tanya Enggar.“Hutan Wonokawi, lima hari perjalanan menuju kotaraja Majapahit,” jawab Singo Abang yang sontak membuat Enggar nyengir. “Hehehehe...Majapahit? Becanda nih, Abang.” Enggar mendorong Singo Abang yang meletakkan makanan di sampingnya. Singo Abang menahan napas, mencoba bersabar. “Mana mungkin aku ada di Majapahit. Majalengka kali,” tukas Enggar. “Ini memang Majapahit.”“Majapahit asli? Berarti sekarang Raja Hayam Wuruk lagi nongkrong di istana dong. Boleh dong minta waktu ketemuan,” canda Enggar saking stresnya.“Siapa Hayam Wuruk itu?” tanya Singo Abang. “Ya raja Majapahit lah, masa raja hutan,” jawab Enggar dengan tampang culun. Singo Abang mengerutkan alis. Kelihatan bingung. “Masa nggak kenal Hayam Wuruk sih, Bang? Dia orang sini juga, cucunya Sri Kertarajasa Jayawardana,” ujar Enggar dengan gaya ibu-ibu gosip. Ekspresi wajah Singo Abang semakin terlihat puyeng. “Tidak ada pangeran yang bernama Hayam Wuruk,” ujar Singo Abang. “Ah, Abang orang sini bukan sih? Ketahuan kan kalau ini Majapahit palsu. Kalau tidak ada yang bernama Hayam Wuruk, ini emang Majapahit tahun berapa?” tanya Enggar. Saat menyebutkan Majapahit tadi dia menggerakkan jari telunjuk dan tengah kedua tangannya untuk memberi “tanda petik”.“1329,” jawab Singo Abang.  “Kalau tahun 1329 Hayam Wuruk emang belum ada. Lima tahun lagi dia baru lahir,” guman Enggar. Karena belakangan dia dicekoki sejarah Majapahit oleh kakaknya, sedikit banyak dia tahu. “Jadi yang sekarang jadi raja...”“Ratu. Ratu Tribuana Tunggadewi Jayawisnuwardani,” sahut Singo Abang, mulai penasaran dengan arah pembicaraan Enggar.““Tahun segini Gajah Mada belum menjadi mahapatih ya,” celetuk Enggar.“Kamu bilang apa tadi? Mahapatih Majapahit sekarang adalah Aryo Tadah. Apa nanti Gajah Mada yang akan menggantikannya menjadi mahapatih?” tanya Singo Abang dengan mata menatap lurus kepada gadis di hadapannya. “Kamu bisa meramal atau hanya mengacau, Puteri Anggoro?” Singo Abang masih belum melepas tatapan matanya dari Enggar.  “Bang, namaku Enggar, bukan Puteri Anggoro. Enggar Penggalih.” Enggar mencoba tidak berkedip untuk meredakan jantungnya yang berdebar aneh. “Kamu itu Puteri Anggoro, anak almarhum Adipati Rekso. Sekitar satu minggu lalu, kamu dinyatakan membunuh anak Tumenggung Sukmo dari Mertabumi yang bernama Sukmana. Orang-orang menemukanmu berada di sebelah mayatnya, dengan membawa keris penuh darah. Kamu terbukti bersalah dan akan dihukum mati.” Singo Abang mengembalikan pembicaraan ke topik semula. Informasi dari gadis itu mengenai Hayam Wuruk dan Mahapatih Gajah Mada sangat dini untuk dapat dipercaya, jadi akan dianggapnya omong kosong.“Mana mungkin aku membunuh orang. Mengarangnya jangan terlalu indah deh, Bang. Kuberitahu sekali lagi ya, Bang, tolong didengarkan baik-baik. Namaku Enggar Penggalih. Terakhir kali kuingat aku berada di Museum Nasional, sedang lari dari gedung saat gempa. Sesuatu menimpa kepalaku dan aku pingsan. Setelah sadar aku berada di sini dan sekarang aku mau pulang.” Enggar mengatakannya pelan-pelan, berharap Singo Abang percaya.Lagi-lagi mereka bertatapan mata agak lama. Entah kenapa kali ini Singo Abang terlihat sedikit jengah dan dia memalingkan muka.“Racun yang mereka berikan kemungkinan sudah merusak syarafmu. Aku tidak tahu apa Mpu Soma bisa menyembuhkanmu, Puteri.” Singo Abang membelakangi gadis itu. “Kita akan meninggalkan tempat ini besok pagi-pagi sekali. Pangeran Palawa akan menemui Puteri di perbatasan,” putus Singo Abang. Nampaknya dia harus segera mencari jawaban atas keanehan Puteri Anggoro dan itu bisa dilakukan kalau dia cepat-cepat menemui orang yang berkompeten untuk menjawab fenomena tersebut. “Hah? Aku mau dibawa kemana? Siapa lagi itu Pangeran Palawa?” Enggar kelabakan. Gawat kalau dia dibawa pergi ke tempat yang lebih asing.
Enggar menelan ludah. Karena tidak tahu siapa mereka sebenarnya dan apa maunya, maka hanya ada satu hal yang bisa dilakukan sebagai langkah pertama. Melarikan diri!***
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on October 06, 2016 18:01

October 5, 2016

Gandrung #1

“Jadi kita ngapain di Museum Nasional ini, Mas?” tanya Enggar pada kakak laki-lakinya, Ito.  Gadis manis berambut bob itu terlihat malas mengikuti Ito yang sedang sibuk memotret sebuah prasasti. Laki-laki muda berkaca mata berambut cepak di depannya membalikkan badan, bola matanya berputar. Ini pertanyaan yang sama untuk ketiga kalinya dilontarkan Enggar.“Satu, membantuku melengkapi data untuk skripsi dan novel fiksiku tentang Majapahit. Dua, kita ada janji ketemuan dengan seniorku yang menemukan benda bersejarah dari jaman Majapahit beberapa minggu lalu saat penggalian situs di Trowulan,” jawab Ito, masih mencoba bersabar. “Seru sekali ya melakukan penggalian dan menemukan benda tak ternilai. Seniorku menemukan sebuah kotak besi berisi sebuah gelang emas dan perkamen. Gosip yang beredar di grup arkeolog, perkamen itu memberi petunjuk adanya manusia dari masa depan yang datang ke Majapahit. Tapi ada juga yang bilang perkamen itu sebenarnya surat cinta. Nah, mumpung seniorku itu ada di sini, aku mau tahu cerita yang sebenarnya.”“Bisa nggak utangku dibayar dengan melakukan hal lain? Yang tidak berhubungan dengan kerjaan Mas Ito. Terus terang aku agak bosan dengan semua hal berbau Majapahit. Sudah hampir sebulan Mas Ito mempekerjakan aku secara paksa untuk baca literatur, apa masih perlu lagi mengajakku kemari?” tanya Enggar, sama sekali tidak berminat dengan apa yang disampaikan kakaknya. “Aku punya kesibukan lain, Mas,” lanjut Enggar mencari-cari alasan.Ito menyentil hidung adiknya. “Ini libur semesteran. Kamu juga nggak punya pacar, memangnya mau sibuk apa? Daripada kesana kemari dengan teman-temanmu hanya menghasilkan gosip, mending bantuin aku. Nanti kalau skripsiku beres dan novelku diterbitkan, ada bonus untukmu.” Ito tersenyum optimis.“Semangat betul untuk bikin novel lagi. Yakin kali ini bisa diselesaikan tulisannya? Yang kemaren menulis tentang alien itu apa kabarnya? Terus yang tentang mesin waktu?” sindir Enggar. Sudut bibir Ito terangkat sebelah, raut mukanya terlihat jengkel. “Makanya fokus saja dulu menyelesaikan skripsi, Mas. Menulis fiksinya nanti aja kalau sudah beres skripsinya. Deadline dari ayah tinggal satu semester lagi lho,” Enggar memperingatkan.  “Berisik ah!” Ito menarik ujung hidung adik perempuannya lagi. “Kamu juga dikasih deadline ngenalin pacar, mana sampai sekarang belum ada. Cowok sebanyak itu di kampus apa nggak ada yang nyangkut salah satu?”“Nggak,” jawab Enggar enteng. Sebenarnya sudah ada beberapa cowok yang menyatakan suka, tapi belum ada yang mampu menakhlukkan hatinya. “Mau nggak kujodohin sama Mas Bara, seniorku yang nanti mau kita temui? Kayaknya dia masih jomblo juga. Keasyikan berkutat penelitian bidang arkeologi, sampai lupa nyari pacar.” “Dijodohin sama Indiana Jones? Tidak, terima kasih deh. Cukup Mas Ito saja di keluarga kita yang antik,” tukas Enggar seenaknya.“Manusia itu harus menghargai sejarah agar bisa memetik pelajaran tentang peradaban. Jaman boleh berlalu, tapi esensi kehidupan itu tetap sama dari waktu ke waktu. Sifat manusia pada dasarnya sama dari masa ke masa.” Ito sok bijak.Enggar menghela napas panjang. “Hadeh, Mas, sudah cukup aku disuruh bantuin Mas terlibat dengan proyek sejarah ini, nggak perlu Mas tambahin dengan ceramah. Bisa vertigo aku nanti,” seloroh Enggar. “Sekarang bagaimana kalau kita berpencar saja. Kita ketemu nanti jam satu di kantin museum sama senior Mas Ito sekalian. Bagaimana? Sepakat?” tawar Enggar.Ito berpikir sejenak. Ada baiknya juga dia konsentrasi cari bahan untuk menulis daripada mendengar adiknya menggerutu seperti dengungan lebah di dekatnya. “Oke. Tapi kamu jangan lupa dengan tugasmu untuk mendokumentasikan apa saja yang berkaitan dengan Majapahit. Jangan hanya mojok terus browsingatau update sosial media ya. Mumpung di museum ini, manfaatkan sumber pengetahuan ini dengan sebaik-baiknya. Oke?”  “Ya, ya, ya, sudah sana.” Enggar mendorong kakaknya pergi. Setelah memastikan Ito tidak kelihatan, dia melakukan persis apa yang diperingatkan Ito tadi. Mojok, browsing internet dan update sosial media.Serombongan turis asing melewati Enggar. Sang pemandu wisata bersemangat menceritakan sejarah dari benda-benda yang mereka lewati, sementara turis-turis asing itu manggut-manggut, hikmat mendengarkan. Sejenak Enggar tak enak hati. Orang luar negeri saja begitu antusias dengan kebudayaan Indonesia, dia yang asli lokal malah cuek saja.Dengan enggan Enggar berdiri dari duduknya. Demi membayar pinjaman uang kakaknya untuk beli tiket pertunjukan musik K-Pop beberapa waktu lalu, dia harus memenuhi janjinya membantu proyek kakaknya. Dimulainya tugas itu dari Gedung Arca untuk mulai melihat dan mencatat benda-benda yang berkaitan dengan Majapahit. Baru sekitar tiga puluh menit berada di lantai dua, ponsel Enggar berbunyi. Dari Ito. Di-reject-nya panggilan masuk itu, dia sedang sibuk mengambil gambar, tapi lagi-lagi Ito menelepon. “Halo, Mas, apa? Gempa apa, nggak ada. Nggak ada. Aku nggak ngerasain getaran apa-apa.” Enggar berjalan ke arah tangga menuju lantai ketiga. Lagi-lagi ponselnya berbunyi. Saat dijawabnya panggilan itu, terdengar Ito memintanya segera turun. Dengan kesal Enggar menuruni tangga untuk kembali ke Gedung Gajah tempat kakaknya beredar.Baru saja dia dia mau keluar, langkahnya terganggu oleh gerakan yang mengguncang tubuhnya. Rasa pusing menyerang dan dunia seolah bergetar.“Gempa! Gempa!” Lalu terdengar teriakan bersahutan dilanjutkan dengan orang-orang yang berlari keluar dari gedung, berebutan. Hati Enggar mencelos, mulai diserang panik karena melihat benda-benda yang mulai berjatuhan. Dia harus pandai-pandai berlari menyelamatkan diri tanpa terluka.  Buggg!Sesuatu menimpa kepalanya. Lalu semuanya gelap.
***
Samar-samar Enggar melihat batang-batang kayu berjajar. Lalu dia mendengar suara orang berbicara di balik batang-batang kayu itu. Mereka bicara dengan bahasa yang kedengarannya agak asing, tapi anehnya Enggar mengerti. Kalau tidak salah mereka berbahasa jawa, tapi bukan bahasa jawa yang biasa Enggar dengar. Matanya masih agak susah dibuka. Denyutan keras dan berkali-kali di kepalanya membuat Enggar tidak sanggup bergerak dulu. Sekali lagi Enggar mengamati sekitarnya. Dimana dia sekarang? Sepertinya dia ada di sebuah kamar.Kalau menurut ingatan terakhirnya dia berada di Museum Nasional, sedang lari keluar dari gedung untuk menyelamatkan diri dari gempa bumi, lalu sesuatu menimpa kepalanya. Jadi seumpama dia tersadar, seharusnya ada di rumah sakit atau di puskesmas, atau setidaknya mobil ambulance.Tapi ini sepertinya di kamar di sebuah gubuk atau pondok. “Puteri sudah sadar lagi.” Tiba-tiba ada seraut wajah muncul di muka Enggar. Giginya banyak, berantakan dan berebutan ingin keluar. Sumpah Enggar kaget banget. Di film horor yang sering dia liat, ada banyak penampakan yang mengerikan, tapi yang satu ini benar-benar bikin copot jantung.Enggar hendak membaca ayat kursi keras-keras, tapi tidak ada suara yang keluar karena ternyata mulutnya ditutup dengan kain. Makin paniklah dia. Apalagi tangan dan kakinya terikat. Gadis itu meronta-ronta kalap sementara manusia bergigi banyak itu mengulurkan tangan ke arahnya. Enggar menjerit sekuat tenaga dan seketika dunia menjadi gulita.
***
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on October 05, 2016 23:11

Nonier's Blog

Nonier
Nonier isn't a Goodreads Author (yet), but they do have a blog, so here are some recent posts imported from their feed.
Follow Nonier's blog with rss.