Nonier's Blog, page 2
February 28, 2017
Gandrung #17
Pagi itu Singo Abang keluar dari kamar setelah empat hari istirahat total. Agak terkejut dia saat melihat latihan beladiri kali ini karena ada Enggar yang turut serta. Jandul yang ada tak jauh dari lapangan memberinya salam hormat ketika melihatnya. “Menurutmu dia akan bisa mempelajari ilmu beladiri dengan cepat?” tanya Singo Abang pada Jandul. Laki-laki berkepala pelontos itu mengangguk, segurat senyum menghiasi bibirnya. “Kuharap juga begitu karena keadaan ke depan akan lebih serius. Jandul, sementara kita di sini. Tunggu berita dari Haryo, baru kita lakukan langkah selanjutnya. Aku sudah menyiapkan beberapa strategi yang akan kubahas bersamamu nanti. Sekarang aku mau jalan-jalan sebentar,” kata Singo Abang sambil menepuk pundak Jandul lalu melangkah pergi. Jandul menganggukkan kepala dan mengantar kepergian Singo Abang dengan pandangan matanya.Enggar melihat kepergian Singo Abang dengan ekor matanya. Sekitar setengah jam kemudian latihan selesai. Enggar membersihkan badan dulu baru pergi mencari Singo Abang. Ada orang yang melihatnya pergi ke danau, jadi ke situ Enggar pergi. Danau itu ramai oleh burung belibis. Mereka berenang di tepi danau, berombongan. Beberapa terbang rendah dan dengan manis mendarat di permukaan air. Di sisi lain dari danau, Enggar melihat seseorang sedang berdiri dengan posisi kuda-kuda dan kedua tangannya terentang. Perlahan tangan itu bergerak ke depan dan ke samping. Sesekali berhenti, kemudian mulai lagi. Rupanya Singo Abang sedang melatih gerakan tangannya yang terluka, sudah bisa dipergunakan seperti biasa atau tidak. “Jangan dipaksa dulu lah, Bang, masih sakit gitu. Nanti kalau sudah pulih baru dipakai berolah kanuragan lagi,” ujar Enggar penuh perhatian. Singo Abang hanya berdeham saja sebagai jawaban. “Katanya mau ngomong sama aku. Ngomong apa?” Enggar mencopot ikat kepalanya agar rambutnya yang masih basah lebih cepat kering, mumpung di danau hanya ada mereka berdua. Digerainya rambut hitam sebahu itu. Segarnya kena angin di pinggir danau. Tidak terdengar keributan belibis, tidak terlihat pepohonan dan danau, tidak terasa embusan angin. Yang diterima panca indera Singo Abang hanya keberadaan Enggar. Muka Singo Abang menghangat lagi. Sial. Laki-laki itu pura-pura memeriksa lukanya untuk mengembalikan fokusnya. Setelah bisa mengerem debaran jantungnya, Singo Abang melihat ke arah Enggar. Tapi hanya sebentar saja karena suara di dalam dadanya berulah lagi. Singo Abang memalingkan muka. Enggar bepindah dari tempatnya, lalu berdiri di depan Singo Abang, membuat laki-laki itu kaget. “Mau ngomong apa?” tanya Enggar lagi. Wajahnya memerangkap Singo Abang lekat-lekat.“Maaf aku lengah menjagamu sampai kamu bisa dibawa pergi ke Mertabumi. Kamu sampai dilukai oleh mereka, aku benar-benar menyesal. Ini salahku,” kata Singo Abang serius. Selain serius meminta maaf, dia juga serius berkonsentrasi agar pikirannya tidak terpecah oleh gejolak hatinya.“Oh.” Enggar menjawab pendek. Ada sedikit rasa kecewa, dipikirnya bukan itu yang mau dibicarakan Singo Abang. “Bukan salahmu kok, Bang.”“Aku juga ingin mengucapkan terima kasih, kamu telah susah payah membawaku kemari dan merawatku selama di perjalanan,” ujar Singo Abang. “Kok pembicaraannya jadi resmi begini. Santai saja, Bang.” Enggar cengengesan. Berharap Singo Abang tersenyum. Tapi laki-laki itu hanya diam menatapnya. “Yang kulakukan itu nggak sebanding dengan kebaikan Bang Singo padaku. Abang sudah berkali-kali menyelamatku. Satu-satunya orang yang bisa kupercaya walaupun suka marah. Selalu bisa diandalkan, meskipun seringnya menyebalkan.” Enggar mencoba mengurangi rasa grogi yang menyerangnya akibat tatapan mata Singo Abang.“Kamu ini mau memuji apa menghina?” Suara Singo Abang meninggi. Enggar nyengir. “Bercanda, bang,” kata Enggar sambil nonjok lengan kanan Singo Abang. Cowok itu langsung menyeringai kesakitan. “Maaf, maaf, kena lukanya ya?” Enggar memencet luka itu, antara sengaja dan tidak. “Hei, kamu ini!” Singo Abang mulai emosi karena Enggar menggoda dia. “Ya, ya, maaf.” Mulut bilang maaf, tapi tangan maju untuk menyentuh luka Singo Abang. Belum jari-jari Enggar sampai, tangan kiri Singo Abang memelintirnya duluan. Enggar segera memutar badannya untuk melepaskan diri dari tangan Singo Abang. Salah satu gerakan bela diri yang dipelajarinya di sini berhasil dipraktekkan. “Kamu sudah berlatih.” Singo Abang manggut-manggut.“Iyalah.” Enggar membanggakan diri. “Aku selalu kebagian babak belur di Majapahit ini, kalau aku nggak serius belajar beladiri, bisa korban penganiayaan terus. Makanya kuputuskan sejak kembali ke sini aku akan giat berlatih. Nanti sore aku mau berlatih pedang sama Pak Jandul.”“Aku bisa melatihmu.” Singo Abang menawarkan diri. “Nggak deh, makasih. Aku susah belajar kalau gurunya galak, cerewet,...”“Tidak mudah juga punya murid lamban, refleksnya payah, suka menangis, sering pingsan, berisik,” balas Singo Abang.“Hoi hoi.” Enggar berkacak pinggang tidak terima. “Aku yang begitu ramah, cantik, cerdas dan tanggap begini diremehkan. Abang nggak tahu saja bagaimana aku bisa menyelesaikan masalah tanpa masalah. Kalau Bang Singo melihat kepiawaianku bersilat lidah dengan Cakrawaja, Tumenggung Sukmo dan orang bergelang naga itu, pasti terkagum-kagum padaku.”“Aku ingin membahas itu denganmu. Kamu belum menceritakan apa yang terjadi di sana. Apa ada informasi yang kamu dapatkan saat pertemuanmu dengan mereka? Suatu rencana mungkin.” “Itu dia. Mereka terus memaksaku untuk mengatakan pada siapa kuberitahu rencana mereka. Padahal sebelumnya aku sama sekali tidak tahu rencana apa itu. Tapi karena kepiawaianku bersandiwara, aku agak bisa menduga-duga kalau mereka akan melakukan sesuatu terhadap Majapahit. Ketika kubilang Gajah Mada sudah kuberitahu tentang rencana itu dan kuingatkan kalau semua pemberontakan hingga Hayam Wuruk berkuasa bisa diberantas tuntas, mereka agak gentar.”“Kamu menyebutkan nama Hayam Wuruk? Kamu sudah lupa pesan Mpu Soma?”“Kepepet, Bang. Yang penting mereka nggak tahu aku dari masa depan, walaupun Cakrawaja sempat menuduhku bukan Anggoro. Untung hanya dia yang curiga, lainnya mengira aku kesurupan. Oh ya, aku jadi ingat. Aku belum sempat mengucapkan terima kasih sama Abang. Panah beracun waktu itu sebenarnya ditujukan padaku kan? Kalau Bang Singo nggak melindungiku, aku pasti sudah mati.”“Kamu adalah tanggung jawabku, wajar aku melakukan itu. Tidak usah diungkit lagi. Sampai kamu bertemu dengan Pangeran Palawa, baru aku bisa tenang.” Saat Singo Abang berkata itu, raut wajahnya berubah. Terlintas kejadian waktu itu. Anak panah yang dilepaskan Cakrawaja meluncur kencang ke arah Enggar. Tinggal sedetik saja sebelum Singo Abang melesat dan memeluk Enggar untuk menghindarkan gadis itu dari bahaya. Satu detik setelah itu sengatan panas menghentak di bawah pundaknya, rasa terbakar menyebar ke punggung. Singo Abang merasakan tubuh Enggar menjadi berat dan mereka berdua terjatuh ke tanah. Saat itulah Singo Abang panik, mengira panahnya tembus hingga ke Enggar. Untung darah di tubuh Enggar berasal adalah darahnya. Singo Abang pasti akan mengutuk dirinya seumur hidup kalau sampai Enggar terluka. Enggar adalah tanggung jawab yang diberikan padanya oleh Pangeran Palawa untuk dijaga. Dia tidak boleh mengecewakan Pangeran Palawa. Bohong. Bukan itu alasannya.“Menurut Bang Singo mereka akan memberontak?” Pertanyaan Enggar membuyarkan lamunan Singo Abang.“Ya, aku juga curiga begitu. Tapi masih belum ada bukti-bukti kuat. Sementara yang bisa diusut hanyalah tentang pembunuhan Sukmana. Kamu, maksudnya Anggoro, yang seharusnya menjadi saksi kunci tentang pembunuhan maupun keterkaitannya dengan rencana itu tidak bisa dimintai keterangan.”Enggar menghela napas berat, membenarkan kata-kata Singo Abang barusan. Kuncinya memang Anggoro, sayangnya dia bukan Anggoro dan dia tak tahu apa-apa. “Kurasa Cakrawaja tahu banyak, Bang. Kalau dia bisa ditangkap dan mau mengakui rencana mereka, mungkin akan lebih mudah masalahnya selesai sebelum membesar.”“Cakrawaja adalah anak salah satu menteri yang punya kedudukan kuat. Meskipun dia sedang tidak rukun dengan orangtuanya, tapi mereka juga tidak akan tinggal diam kalau Cakrawaja ditangkap,” kata Singo Abang.“Jadi dia bisa lolos meskipun sudah menjahati orang-orang?” tanya Enggar. Singo Abang mengangguk. “Nggak di jaman ini nggak di masa depan, sama aja ternyata,” gumam Enggar. “Sepertinya meskipun jaman berganti berkali-kali, peradaban berubah-ubah, inti-inti kejahatan tetap saja sama.”“Keadaan di masa depan sama saja dengan masa sekarang? Berarti kamu tidak perlu susah-susah cari cara untuk pulang. Kamu bisa tinggal di sini seterusnya. Toh sama saja,” gumam Singo Abang, cukup jelas terdengar di telinga Enggar.“Tinggal di sini seterusnya? Ogah! Aku tetap mau pulang.” Enggar melemparkan batu ke danau. Batu itu membubarkan kelompok belibis yang asyik berenang, membuat mereka terbang bersamaan. “Kamu tidak ingin bersamaku?” Pertanyaan itu tidak bisa ditahan oleh Singo Abang. Enggar terpaku, menatap Singo Abang yang memandanginya. “Aku hanya bercanda, tidak perlu dijawab. Oh ya, Mpu Soma sudah menemui kakak seperguruannya untuk mendiskusikan tentangmu. Tapi aku tidak tahu sejauh mana pembicaraan mereka. Kamu bisa menanyakannya nanti.”“Baiklah.” Enggar berjalan menuju tepi danau. “Bang, aku mau nyebur ke danau, sudah lama nggak berenang” kata Enggar. Dia melepas sandalnya dan terjun ke danau. “Hati-hati airnya dingin,” ujar Singo Abang.“Kenapa nggak dari tadi bilangnya! seru Enggar, gemetaran menahan dingin.Singo Abang menahan senyum. “Gerakanmu lebih cepat daripada kata-kataku.” Laki-laki itu mengulurkan tangan kirinya, hendak membantu Enggar naik. Gadis itu cemberut kesal, tapi bergerak menuju Singo Abang. Namun belum sampai tepian, ada sesuatu yang menahan kaki Enggar.Tiba-tiba Enggar tersentak dan tertarik masuk ke dalam air. Tangannya menggapai-gapai, meminta pertolongan Singo Abang. “Bang!” teriaknya ketika sempat muncul kembali ke permukaan, sebelum tenggelam lagi. Posisi Enggar sudah agak jauh dari tempatnya semula. Laki-laki itu langsung terjun mengejar Enggar. Rasa menyengat dan nyeri tidak dipedulikan Singo Abang. Dia menyelam mencari keberadaan Enggar. Tatapannya liar menuju ke segala arah. Singo Abang naik ke atas untuk mengambil napas lalu masuk ke dalam air lagi. Dia sangat kuatir dengan keselamatan Enggar karena sudah berada di dalam air lebih dari kemampuan rata-rata orang bisa menahan napas. Sesosok tubuh terkulai di badan air di depan sana. Singo Abang mempercepat gerakannya. Direngkuhnya tubuh Enggar dan ditarik ke atas. Sesuatu menyangkut di kakinya. Singo Abang harus melepaskannya dulu. Enggar terangkat begitu kakinya bebas. Singo Abang meraih tubuhnya dan membawanya ke atas. Belibis-belibis terbang dan sebagian berenang menjauh ketika kepala Singo Abang muncul di permukaan diikuti kepala Enggar. Tangan kanan Singo Abang memeluk Enggar sementara tangan kirinya mengayuh. Singo Abang mengerang kesakitan saat menarik tubuh Enggar keluar dari danau. Tapi dia tidak bisa beristirahat sekarang. Enggar harus disadarkan. “Bisa tidak sekali-kali tidak membuatku kuatir,” gerutu Singo Abang sambil memeriksa denyut nadi Enggar. Dia lalu menekan-nekan perut Enggar untuk mengeluarkan air. “Ayo, bangun, Enggar!” Singo Abang memukul tanah karena kepalanya mulai berdenyut-denyut hebat dan pandangan matanya kabur. “Sialan. Awas kalau kamu tidak bangun juga.” Singo Abang sedikit mendongakkan kepala Enggar. Sebelum pingsan dia harus sudah bisa menyadarkan Enggar. Dalam keadaan pandangan mata hampir gelap, Singo Abang memberikan napas buatan.Suara Enggar yang sedang terbatuk batuk-batuk dengan air yang keluar dari mulutnya adalah suara terindah yang pernah didengar Singo Abang sebelum dia hilang kesadaran.
***
***
Published on February 28, 2017 20:41
February 8, 2017
Gandrung #16
Enggar stres. Biasanya dia hanya menjadi pengikut saja dalam perjalanan, sekarang dia yang memimpin perjalanan. Meskipun masih Singo Abang yang mengendalikan kuda, tapi Enggar yang membuat keputusan kapan mereka istirahat atau melanjutkan perjalanan. Dia juga harus merawat Singo Abang, menyiapkan makan, mengurus kuda dan lain sebagainya. Bukannya dia keberatan, justru dia merasa kuatir kalau apa yang dilakukannya kurang maksimal.Singo Abang merasa kasihan pada Enggar. Dia tahu Enggar lelah, walau gadis itu berusaha untuk selalu tegar dan ceria. Setiap hari dia hanya tidur tidak lebih dari empat atau lima jam. Dengan sabar dia mengurusi Singo Abang. Mengompresnya saat demam, mengganti perban, membersihkan luka yang semakin tidak enak dilihat, bahkan menyuapinya makan. “Awas saja kalau Bang Singo berani mati. Pokoknya Abang harus kuat. Kalau Abang meninggalkanku sendirian di Majapahit, aku akan benci Abang seumur hidup,” ancam Enggar setiap kali Singo Abang melemah. Lalu gadis itu memeluknya erat. “Jangan tinggalkan aku ya, Bang.” Pada hari ketiga mereka sampai di Ketanggung. Enggar harus berlari ke pendopo dan memanggil bantuan karena Singo Abang sudah keburu pingsan di atas kuda sebelum tiba di pintu gerbang.Untunglah Mpu Soma ada di tempat. Dia meminta Pak Susatra untuk membawa Singo Abang ke pondok pribadinya, sedangkan Enggar hanya bisa menunggu dengan gelisah di kamarnya. Kantuk sudah sedari tadi menyerangnya, tapi Enggar nggak bisa tidur sebelum tahu bagaimana keadaan Singo Abang. Anak-anak yang bersekolah di sana mendatangi Enggar, menanyakan keadaannya dan berusaha menghiburnya.Selama dua hari Enggar tidak diperbolehkan menengok Singo Abang, membuatnya makin penasaran dengan keadaan laki-laki yang telah menyelamatkannya itu. Mpu Soma bilang Singo Abang tidak boleh diganggu. Tapi bukan Enggar kalau tidak mencari cara. Entah mengintip atau minta bocoran dari Pak Sukarsa mengenai perkembangan kesehatan Singo Abang.Malam ini, saat Enggar sibuk melipat pakaian, ada orang mengetuk pintu pondoknya. Semoga ada yang mengabarkan kalau dia boleh menengok Singo Abang.“Puteri!” Tiga wajah terpampang di depan Enggar. Jandul, Bogar dan Sanip rupanya sudah sampai ke Ketanggung.“Pak Bogar, Pak Jandul, Kang Sanip!” Enggar menyalami mereka satu per satu. “Kapan datangnya? Sudah tahu bagaimana keadaan Bang Singo? Aku belum dikasih ijin untuk menengok. Oh ya, Bagaimana kabar kalian?” “Kami buru-buru kemari begitu mendengar kabar Putri menghilang. Sampai di sini malah diberitahu Ketua terluka. Tapi untunglah Puteri selamat. Ketua orangnya kuat dan jagoan, pasti akan sembuh, Puteri jangan kuatir,” kata Bogar.“Permisi.” Pak Susatra datang menghampiri mereka. “Maaf, Nakmas Barata ingin bertemu dengan Den Enggar dan kalian. Silahkan, semuanya sudah ditunggu di pondok Mbah So.”“Asyik!” Enggar bersorak. “Ayo, Pak, buruan yuk!” Enggar lalu sibuk mendorong mereka keluar dari pondoknya. Mereka sampai di pondok Mpu Soma, tempat Singo Abang dirawat. Enggar mau langsung menyerbu, tapi ditahan oleh Pak Susatra karena diminta bergiliran masuknya. Urutannya adalah Jandul, Bogar, Sanip, baru kemudian Enggar. Satu persatu mereka masuk dan keluar. Untung cuma sebentar-sebentar. Pada saat tiba gilirannya, Enggar justru malah jadi ragu untuk masuk. Jantungnya deg deg an luar biasa dan entah kenapa hatinya terasa tidak karuan. Dia sampai harus mengingatkan diri sendiri untuk bisa menahan gejolak aneh yang merasukinya. Setelah beberapa kali mengambil napas panjang, Enggar masuk. Tapi ketika dia sudah tiba di tempat Singo Abang berbaring, dilihatnya laki-laki itu sudah memejamkan mata. Apakah dia tidur? Enggar pelan-pelan mendekatinya.Napas Singo Abang naik turun teratur, nampaknya memang tidur. Rupanya Enggar terlalu lama membuatnya menunggu. Tapi tidak apa. Kesempatan itu digunakannya untuk memandang wajah Singo Abang sampai puas. Tak sadar tangan gadis itu terulur, hendak menyentuh luka di dada kanan Singo Abang. “Barata. Minum obatnya dulu.” Datanglah Mpu Soma dengan membawa cawan berisi cairan berwarna kehijauan untuk diminum Singo Abang. Laki-laki itu membuka mata, agak kaget melihat keberadaan Enggar. Mereka saling menatap, tapi hanya sekilas karena Enggar terpaksa menyingkir, memberi tempat pada Mpu Soma untuk memberi obat. Enggar duduk di kursi tak jauh dari balai-balai tempat Singo Abang berbaring miring.Setelah obat habis diminum, Mpu Soma memeriksa luka Singo Abang, sambil mengajaknya bicara cukup lama. Mpu Soma keluar dari ruangan kira-kira lima belas menit kemudian, setelah membaca bahasa tubuh Singo Abang yang sudah tidak sabar untuk berbicara dengan Enggar. “Aku tidak melihatmu beberapa hari ini. Bagaimana keadaanmu?” tanya Singo Abang sambil mengalihkan pandangan ke Enggar. “Hei. Enggar!” panggil Singo Abang. Enggar tidak menyahut, rupanya ketiduran di kursi. Kepalanya tersandar di dinding dan kedua tangannya terkulai di pangkuannya. Singo Abang bangun dari tempatnya berbaring. Pelan-pelan dia berjalan menuju lemari dan mengambil kain. Diselimutkannya kain itu ke Enggar. Termangu Singo Abang di sampingnya. Menatap wajah Enggar dengan penuh rasa rindu. Rasa hangat tiba-tiba menyebar di wajahnya. Singo Abang mundur, menyadari keinginannya untuk mencium gadis itu tidak boleh dilakukannya. Singo Abang hendak kembali ke balai-balai ketika tiba-tiba mendengar suara berdebum. Bukan benda, tapi Enggar! Saking lelapnya, tubuhnya oleng ke samping, dan gaya gravitasi langsung menariknya ke bumi.Enggar geragapan dan kontan berdiri. Ada dimana dia sekarang? Enggar menoleh ke kanan dan ke kiri. Kaget dia setelah sadar bahwa dia meringkuk di tanah.“Awas kalau ketawa!” ancamnya ketika mendapati Singo Abang mematung di dekat balai-balai, menatapnya lurus. Enggar bergegas keluar dari kamar itu sebelum mukanya terbakar karena malu. Sampai di luar Enggar langsung berjongkok, mengacak-acak rambutnya. Duuuh, kenapa dia sampai ketiduran? Sampai tumbang ke tanah segala, hancur sudah keanggunannya.Eh, tadi dia melihat kain tergeletak di tanah. Apa Singo Abang menyelimutinya? Enggar bangun dan kembali ke kamar Singo Abang. Laki-laki itu terbaring dengan mata terpejam, seperti posisi ketika Enggar masuk pertama kali. Di kursi tempat dia ketiduran, Enggar tidak melihat adanya selimut.
***
***
Published on February 08, 2017 21:28
January 25, 2017
Gandrung #15
“Enggar! Enggar!”Enggar merasakan tepukan di pipinya. Dia membukanya matanya. Ada Singo Abang yang menopangnya dengan posisi setengah memeluk. Lalu Enggar menggerakkan kepalanya untuk melihat tubuhnya. Ada noda darah di dada dan tangannya. Enggar gemetaran, napasnya tersengal. Hawa dingin menjalari tubuhnya.“Kita harus pergi dari sini secepatnya. Ayo, bangunlah,” kata Singo Abang sambil membantunya bangun.Sebuah anak panah melesat ke arah Singo Abang dan Enggar. Sebelum mengenai mereka, ada satu anak panah lain yang menerjang dan membelokkan arahnya. Haryo menarik napas lega, tembakannya tepat sasaran. “Cepat pergi, biar aku yang menghadapi Cakrawaja!” seru Haryo pada Singo Abang. Dia memerintahkan beberapa orangnya untuk melindungi kedua orang itu.Singo Abang bersiul, memanggil kudanya. Dengan sedikit terhuyung-huyung Singo Abang mengangkat Enggar ke atas punggung kuda. Lalu dia menyusul naik, duduk di belakang Enggar. Kudanya dipacu cepat-cepat.Enggar sudah benar-benar sadar saat tangannya menyentuh bajunya di bagian kiri yang basah oleh darah. Tidak ada lubang di bagian itu. Enggar memeriksa bagian tubuhnya yang lain. Tidak ada luka baru. Kemudian dia melihat ada darah di bawah pundak kanan Singo Abang. Mata Enggar terbelalak seketika, mengetahui ada anak panah tertancap di belakang pundak cowok itu. “Bang, kamu kena panah!” serunya histeris. “Iya, aku tahu. Untung kita sudah jauh dari mereka, kurasa kita aman. Kita akan cari tempat untuk istirahat dan mengobati luka-luka.” Keringat mengalir di wajah Singo Abang. Dia menahan sakit. Singo Abang menghentikan lari kudanya ketika mereka tiba di tepi sungai. Ada tempat yang tersembunyi untuk mereka bisa istirahat sejenak. Laki-laki itu masih sempat membantu Enggar turun. Kemudian dia mengambil tas yang berisi kantong obat dan pakaian ganti. Singo Abang duduk di dekat sebuah batu tinggi. Lutut Enggar lemas, perutnya mulas, kepalanya pening. Dia hanya bisa mengikuti Singo Abang tanpa bisa berkata apa-apa. Pikirannya dipenuhi kecemasan terhadap keadaan Singo Abang.Laki-laki itu berusaha melepas pakaian atasnya. Singo Abang meringis saat menyobek sisi kanan pakaiannya. Ada sebuah anak panah mengenai pundak kanan Singo Abang, menembus bagian depan badannya. Enggar bisa melihat ujung anak panah sedikit mencuat dari kulit Singo Abang.“Aku butuh bantuanmu,” kata Singo Abang. Mukanya mulai pucat. Enggar mengangguk gugup. “Kamu harus melakukannya sekali saja. Dengar baik-baik. Patahkan bagian pangkalnya, bagian yang ada sayap-sayap itu. Lalu dorong anak panahnya sampai ujungnya benar-benar keluar dari tubuhku., kemudian tarik ujungnya dari depan sini. Mengerti?” Singo Abang mengatakan itu sambil menunjukkan bagian yang dimaksud dan caranya. Enggar melelehkan air mata. Seharusnya dia yang kena anak panah itu kalau Singo Abang tidak membentenginya. Perasaan Enggar bercampur aduk menyadari kenekatan Singo Abang. “Menangisnya jangan sekarang. Nanti saja. Saat ini kamu lakukan saja yang kukatakan tadi. Cepatlah sebelum aku kehabisan darah. Ingat, sekali saja.” Singo Abang mengambil napas. “Patahkan pangkal anak panahnya. Kamu pasti bisa melakukannya. Ayo. Aku tidak akan apa-apa,” desisnya.Sambil terisak dan mengatupkan bibir serta giginya rapat-rapat, Enggar mematahkan pangkal anak panah. Tangannya gemetaran luar biasa.Singo Abang meringis dan menundukkan kepala. “Bagus. Bagus. Sekarang dorong batang anak panahnya ke depan,” kata Singo Abang dengan suara bergetar. Enggar menggelengkan kepala. Dia tidak sanggup. “Enggar, hanya kamu yang bisa menolongku saat ini. Kumohon.” Tatapan mata Singo Abang semakin membuat perut Enggar sakit. “Pada hitungan ketiga?” tanya Enggar hampir tak terdengar suaranya.“Apa aku harus siap-siap berteriak, siapa tahu dalam hitungan kesatu kamu sudah mendorong anak panahnya. Balas dendam atas kakimu,” kata Singo Abang, sedikit tersenyum.Mendengar kata-kata Singo Abang itu Enggar tertawa, meskipun air matanya makin deras mengalir. Tangan Singo Abang terulur untuk menghapus air mata Enggar. “Aku tidak mau pingsan sebelum anak panah ini keluar dari tubuhku. Jangan menangis lagi. Tolonglah.”Enggar mengambil napas dalam-dalam lalu menghitung satu, dua, tiga, dan mendorong anak panah itu. Dia bisa mendengar suara Singo Abang menahan sakit. Tangan laki-laki itu mencengkeram batu sampai batu itu pecah.“Bang, sakit ya, Bang?” tanya Enggar. Tangannya mengelus-elus lengan Singo Abang, berharap sedikit mengurangi rasa sakit yang dirasakan laki-laki itu. “Sekarang bantu aku menariknya dari depan,” kata Singo Abang sambil meletakkan tangannya ke sebagian batang anak panah yang sudah tertembus.Enggar merangkak ke arah depan. Kakinya benar-benar lemas sampai tidak bisa berdiri. Singo Abang yang menggeser tubuhnya menghadap Enggar. Mereka saling menatap untuk beberapa lama. Ada perasaan yang tak terlukiskan di antara mereka. “Pada hitungan ketiga, cabut sekuat tenagamu.” Tangan Singo Abang terlurur, buru-buru meletakkan tangan Enggar di batang anak panah itu sebelum dorongan hatinya untuk membelai wajah gadis itu menguasainya. “Satu...dua...tiga!”Dengan satu gerakan cepat dan kuat, keduanya menarik anak panah itu. Singo Abang langsung oleng, sedangkan Enggar yang memegang anak panah penuh darah itu muntah-muntah.Dengan kekuatan yang masih ada Singo Abang membasahi kain merahnya dan membersihkan lukanya. Dia juga meminum pil dan membubuhkan obat di kedua lubang lukanya. Enggar segera membantu setelah puas muntah. “Bang, kenapa darahnya menghitam begini?” tanya Enggar saat melihat darah yang masih keluar dari luka Singo Abang.Singo Abang memberi tanda agar Enggar diam karena dia mendengar kedatangan seseorang. Tangan kiri Singo Abang menggapai pedangnya, tapi keburu diambil alih Enggar. Meski kakinya masih gemetaran, dia bangkit untuk menghadapi siapapun yang datang mendekati mereka. “Jangan bergerak!” teriak Enggar sambil mengacungkan pedang seperti mengacungkan pistol saat seekor kuda dengan pengendaranya muncul dari balik pepohonan.“Ini aku. Haryo. Bagaimana keadaanmu? Kamu baik-baik saja? Kamu tidak terluka?” Yang datang ternyata Haryo. Dia turun dari kudanya dan mendekati Enggar. Enggar mundur menjauhinya. “Bagaimana keadaan Barata?” Haryo mengalihkan pandangan. Singo Abang melambaikan tangan kirinya. Haryo buru-buru memeriksa Singo Abang. “Panahnya dibubuhi racun. Obat biasa tidak akan bisa menyembuhkan. Dia harus segera dibawa ke tabib,” ujar Haryo sembari membalut luka Singo Abang dengan kain bersih yang dibawanya. Dia juga membantu Singo Abang memakai pakaian ganti. Pedang di tangan Enggar terjatuh. “Panah beracun? Terus bagaimana dong Bang Singo? Sudah pucat begini. Bang, kita ke tabib mana? Masih kuat jalan nggak?”“Bagaimana dengan Cakrawaja dan orang-orang Tumenggung Sukmo?” tanya Singo Abang. Dalam keadaan terluka begitu masih memikirkan Cakrawaja.“Cakrawaja sudah bisa kulumpuhkan. Jayengwangsa dan Jayengwira juga. Tapi Tumenggung Sukmo dan petinggi Sadeng itu belum kami temukan,” kata Haryo. “Enggar, aku ingin bicara padamu mengenai mereka nanti,” lanjutnya.“Aku nggak ada urusan dengan mereka. Yang paling penting sekarang adalah Bang Singo bisa diobati dan sembuh sebelum racun itu menyebar. Ayo, kita pergi sekarang, kenapa masih ngobrol saja. Dimana ada tabib di dekat sini?” Enggar membangunkan Singo Abang. “Apa tidak ada kereta kuda biar Bang Singo bisa membaringkan badan. Kalau berkuda kan tambah sakit badannya.”“Enggar, aku benar-benar harus bicara padamu tentang rencana...” ucap Haryo.“Mas Haryo, aku masih sebel sama Mas Haryo. Egois banget. Enak saja menculikku dan memanfaatkanku untuk pekerjaan Mas Haryo tanpa koordinasi dan konsolidasi. Mas nggak tahu apa bahaya apa yang harus kuhadapi? Memangnya nyawaku nggak ada artinya? Begini ya, aku nggak peduli dengan rencana mereka, dengan kasus Anggoro, dengan apapun yang berhubungan dengan itu. Aku capek terlibat dengan urusan orang lain. Aku mau mengurus urusanku sendiri. Dan sekarang urusanku adalah keselamatan Bang Singo.” Enggar serius sekali mengatakan itu pada Haryo, membuat Haryo tidak bisa berkata apa-apa. “Sampai hatiku jadi baik kembali, jangan sekali-kali menggangguku, oke?” tegasnya sambil memapah Singo Abang ke kudanya. Haryo buru-buru membantu. “Sebaiknya kalian ke Ketanggung. Mpu Soma pasti bisa menyembuhkan Barata. Tapi kalian harus cepat-cepat karena racun itu mulai bekerja. Aku akan menyuruh orang istana untuk mengawal kalian.”“Nggak deh, terima kasih. Aku nggak percaya sama orang-orang di luar anak buah Bang Singo. Kami akan pergi sendiri.” Enggar yang sekarang duduk di depan, menggerakkan tali kekang kuda. Kudanya diam saja.“Begini gerakannya kalau menjalankan kuda.” Haryo menunjukkan caranya. Enggar mendengus.“Aku masih kuat sampai Ketanggung.” Tangan Singo Abang mengambil alih kendali dari belakang. “Enggar, berikan keris yang kamu bawa pada Haryo.” Enggar mengambil keris yang terbungkus kain itu dan mengulurkannya pada Haryo. “Ini keris yang digunakan untuk membunuh Sukmana. Gunakan baik-baik untuk menyelesaikan kasusnya. Haryo, kuserahkan urusan di sini padamu. Kita akan bicara nanti.” Haryo menganggukkan kepala. Yang dimaksud “bicara” oleh Barata tentu bukan sekedar bicara. Selama ini Haryo mengejar-ngejar Barata untuk urusan yang belum terselesaikan, sekarang nampaknya Barata sudah menunjukkan tanda kalau dia akan membereskan apapun masalah di antara mereka.Haryo masih tetap di tempatnya walau kedua orang itu telah menghilang di belokan. Diembuskannya napas panjang-panjang, tangannya mengelus dadanya yang terasa sesak. Singo Abang yang terkena panah, kenapa dia yang merasa terluka. Bagaimana bisa kata-kata Enggar membuatnya merasa seperti itu? “Aku belum pernah peduli pada gadis-gadis. Begitu sekarang aku mempedulikan seseorang, aku melakukannya dengan cara yang salah,” gumamnya. “Menurutmu bagaimana agar aku bisa memperbaiki kesalahanku ini?” Haryo bertanya pada kudanya.Kuda itu tidak menjawab.
***
***
Published on January 25, 2017 01:20
January 2, 2017
Gandrung #14
Enggar menguap lebar dan langsung menutup mulutnya. Haryo sudah duduk di kursi di samping balai-balai, menahan senyum sambil menatapnya.“Selamat pagi,” sapa Haryo. Suara kokok ayam nyaring di belakang rumah.Enggar duduk, menyisir rambut dengan tangan dan mengelap wajahnya dengan selimut. Dia melirik ke arah meja. Meja itu hancur berantakan. Apa yang terjadi? Lalu ada dua orang masuk ke ruangan itu untuk membereskan meja, menggantinya dengan yang baru.“Orangnya sudah sadar, Pangeran, kalau anda ingin bertemu dengannya,” kata salah seorang dari mereka. Enggar menatap Haryo yang hanya mengangguk.Haryo berdiri. “Kamu mau ke belakang, cuci muka atau apa?” tanya dia pada Enggar. Gadis itu buru-buru turun dari balai-balai dan mengikuti Haryo. Sebenarnya dia masih ingin mogok bicara, tapi rasa penasaran membuat mulutnya gatal. Meja hancur dan kata-kata anak buah Haryo barusan rasanya begitu mencurigakan. Apalagi dia juga melihat sedikit bekas perkelahian di ruangannya.“Apa yang terjadi semalam?” tanya Enggar. Haryo tersenyum. Akhirnya mendengar suara gadis itu lagi.“Ada orang masuk ke kamarmu. Kamu tidak mendengar apa-apa karena tertidur pulas,” katanya kalem.“Aku pasti terbangun kalau mendengar suara,” kata Enggar. “Kecuali kalau aku dibius. Ah!!” Enggar berhenti jalan. Tangannya mengacung-acung ke arah ruangannya. Terbayang dia tertidur plus tidak sadarkan diri dan ada orang yang ingin mengeliminasinya. “Dia sudah diringkus. Sebentar lagi aku kan bisa mengorek keterangan darinya, mau apa dia menyusup ke kamarmu, meskipun aku sudah bisa menebak. Kamu tidak perlu kuatir, aku sudah memperketat penjagaan. Kupastikan tidak ada lagi yang mengganggumu, jadi aku yang menjagamu sampai kamu bangun tadi.”Enggar megap-megap. Antara dongkol karena dengan entengnya Haryo bilang dia nggak perlu kuatir padahal sudah jelas nyawanya terancam, dan terharu karena Haryo menjaganya semalaman. Oh, so sweet. Tapi dia nggak boleh luluh. Haryo masih belum terbukti nggak berkhianat. Enggar dibawa ke belakang rumah. Di sana ada satu tempat yang didalamnya ada pancuran dan bak air untuk keperluan MCK. Nampaknya masih baru beberapa hari dibangun. Seseorang yang bersembunyi tak jauh dari tempat MCK menatap heran. Puteri Anggoro seharusnya saat ini ada di kediaman Mpu Soma atau di istana bersama Singo Abang, bukan di Mertabumi bersama orang lain.Enggar sudah kembali ke kamar. Haryo tidak menemaninya lagi. Mumpung tidak ada orang, Enggar memeriksa seisi ruangan. Mencari celah dan cara untuk bisa keluar, tapi tidak ketemu. Tadi dia sudah mencoba meletakkan kursi di atas meja dan memanjatnya. Tangannya saja yang baru bisa menyentuh galar di bagian atap. Berarti kurang tinggi untuk bisa keluar lewat sana.Gadis itu mendengar kedatangan seseorang. Enggar segera duduk di atas balai-balai dan berlagak nelangsa. Seorang laki-laki berbadan tegap membawa sepiring nasi, lauk pauk dan satu kendi air baru. “Selamat pagi, Puteri. Ini sarapan untuk Tuan Puteri, silahkan menikmati.”“Mau mencicipi?” tanya Enggar pada lelaki itu. Dia masih agak-agak trauma dengan makanan yang diberi obat tidur. “Aku sudah terlalu banyak tidur beberapa hari ini,” bisik Enggar.Lelaki itu menatap Enggar lurus. Enggar yang semula cuek, jadi agak waspada. “Kenapa melihatku seperti itu?” tanya Enggar.Laki-laki itu berjalan ke arah pintu, memeriksa keadaan di luar, kemudian mengunci pintu. Sekarang Enggar benar-benar waspada. Keris kecil yang disembunyikannya disiapkan bila sewaktu-waktu diperlukan.“Kau sudah mengatakan apa saja pada Haryo?” tanya lelaki itu. Tangannya mengeluarkan sesuatu seperti paku sepanjang jari telunjuk dari balik bajunya. Enggar menggenggam keris kecil erat-erat. “Kamu ternyata anak buahnya Cakrawaja? Kok...” Kata-kata Enggar terputus karena paku besar di tangan si Taring Emas sudah ada di lehernya. “Apa yang kamu maksud adalah rencana itu?” pancing Enggar. Walau jantungnya sudah terasa meletus berkali-kali, dia memberanikan diri untuk mencari informasi. Setidaknya dia dapat petunjuk sebenarnya dia terlibat perkara apa.“Ya, rencana itu,” ujar si Taring Emas gusar.“Oh.” Hanya itu yang Enggar bilang. Dia bingung mau bicara apa lagi. “Aku tidak bisa membahayakan masa depan Sadeng, jadi aku akan membunuhmu sekarang.” Si Taring Emas sudah bersiap.“Tunggu!” tahan Enggar, sambil berpikir dimana dia pernah mendengar kata Sadeng. “Kamu bisa membunuhku sekarang, tapi perlu kamu tahu ada mata-mata istana di antara kalian. Satu lagi, rencana kalian sudah sampai di telinga Tuan Gajah Mada. Tahu apa itu artinya? Tiada ampun buat kalian. Hm?” Enggar mengatakannya dengan penuh percaya diri. Si Taring Emas ragu-ragu, terbukti paku di leher Enggar ditarik. Tapi hanya sebentar, karena sekarang tangan kirinya mencekik Enggar.Pintu digedor. Sesaat Si Taring Emas lengah dan kesempatan itu digunakan Enggar untuk menendangnya, menyambar selimut lalu menutupkannya ke kepala lelaki itu. Enggar melesat ke pintu dan membukanya. Berharap itu Haryo.Ternyata Cakrawaja. “Mau kemana kau, Puteri?” Cakrawaja menyeretnya ke balai-balai dan mulai mengikatnya. “Siung Loro, apa yang kau lakukan dengan selimut itu?” bentak Cakrawaja pada Si Taring Emas yang ternyata namanya Siung Loro. Siung Loro masih sibuk berusaha keluar dari selimut. “Haryo sudah berhasil kukecoh. Dia sibuk dengan penyusup yang tidak berguna itu. Kita bawa Anggoro segera.”Enggar menendang dan memukul Cakrawaja, membuat cowok itu naik darah. Enggar ditamparnya sangat keras sampai jatuh ke tanah. Hampir saja Enggar pingsan karena pandangan matanya tiba-tiba jadi gelap. Cakrawaja mengikat Enggar dan menggelandangnya keluar dengan kasar. Gadis itu lalu dimasukkan ke kereta kuda dan dibawa pergi secepatnya.Enggar merasakan bibirnya perih dan sediki asin. Dia berdarah. Haryo tidak ada untuk menolongnya, Singo Abang juga tidak tau ada dimana, sementara para kriminal menguasainya sekarang. Dia hanya bisa minta bantuan pada Tuhan dan mengandalkan diri sendiri. Untunglah keris kecil itu sempat dibawanya. Dia tidak akan tumbang tanpa perlawanan, itu tekadnya. ***
Enggar diikat di sebuah kursi. Dia tidak tahu berada di mana saat ini karena sepanjang perjalanan tadi matanya ditutup, tapi rasanya jauh dari tempatnya semula ditahan. Tudung yang menutupi kepala dan wajahnya mulai dibuka. Seorang laki-laki berkumis berdiri di depannya. Seorang lagi, berbadan tinggi kurus, ada di samping Enggar, memandangnya dari ujung kaki ke ujung kepala, nampak masih belum percaya. Sementara itu Cakrawaja bersandar di dekat pintu.Lelaki di depannya berdehem sebelum mendekati Enggar. Mau diapain lagi nih? Menurut insting Enggar lelaki inilah yang bos mafianya. Terlihat dari bahasa tubuh orang-orang ketika berhadapan dengannya. “Nyawamu banyak juga, Gadis kecil. Padahal kata Sukmo kau sudah seperti sayuran.” Lelaki berkumis yang memakai gelang berbentuk naga itu melirik ke orang yang ada di samping Enggar. “Aku dengar dari Siung Loro, kata Anggoro rencana itu sudah sampai ke telinga Gajah Mada, Adipati Sadeng.” ujar Cakrawaja. Lelaki bergelang naga itu mendekatkan wajah ke Enggar. “Kau yakin?” tanya Adipati Sadeng pada Cakrawaja, lalu mengalihkan pandangan ke Enggar lagi. “Kau memberitahu Gajah Mada? Jawab!”“Tidak hanya Gajah Mada. Aku memberi tahu banyak orang, jadi rencana rahasiamu sudah tidak rahasia lagi. Maklum, aku susah tutup mulut,” jawab Enggar. “Anak buahmu juga.” Enggar sembari melirik Tumenggung Sukmo.“Maksudmu?” Tumenggung Sukmo gusar. “Aku tidak akan berkhianat.”“Menurut Tuan apa tindakan Tumenggung Sukmo mencari Puteri Anggoro palsu, kemudian menghabisinya tidak masuk dalam kategori ‘rencana dalam rencana’? Tumenggung Sukmo tidak mau Tuan tahu kalau aku masih hidup. Dia cuci tangan ketika orang-orang istana akan meringkus Tuan,” kata Enggar pada Si Gelang Naga. Nekat. “Heh, Gadis gila!” Tumenggung Sukmo mencengkeram lengan Enggar.“Orang yang panik biasanya orang yang bersalah.” Enggar menambahkan.“Mulut dan otakmu tajam juga untuk ukuran seorang gadis kecil yang hanya menyukai karya sastra. Kau pikir semudah itu kau mengadu domba kami?” Si Gelang Naga tersenyum. Dia sudah membaca strategi Enggar. “Kau tahu kan nyawamu ada hanya tinggal satu kedipan mata untuk pergi?”“Semua pemberontakan di Majapahit bisa dipadamkan oleh Gajah Mada. Hingga Hayam Wuruk nanti memimpin dan Majapahit menjadi jaya, menguasai tujuh daratan dan tujuh lautan, tidak ada yang bisa dilakukan oleh orang-orang seperti kalian.” Enggar menggeleng-gelengkan kepala dan membentuk bibirnya sedemikian rupa, mengasihani sekaligus menghina. “Hayam Wuruk? Siapa dia?” tanya Cakrawaja penasaran.“Kurasa kalian tidak akan pernah tahu, keburu ditumpas Gajah Mada.” Mantap Enggar mengatakannya. Mantap juga dia tidak tau apa yang dibicarakannya, karena dia belum tahu pasti apa sebenarnya “rencana” itu. “Apa dia kesurupan?” bisik Tumenggung Sukmo pada Cakrawaja. “Dia tidak tahu apa yang dibicarakannya, hanya menggertak.” Cakrawaja mencibir. “Dia belum sampai istana, dia di Ketanggung saat kubawa kesini.”“Ketanggung?” Si Gelang Naga berkacak pinggang. “Tempat Mpu Soma?”“Mpu Soma tinggal di Ketanggung?” tanya Cakrawaja balik. “Wah, Mpu Soma ya.” Tumenggung Sukmo nampak was-was. “Kau bertemu Mpu Soma?” tanya Si Gelang Naga pada Enggar. Bahaya kalau Mpu Soma tahu. Meskipun dia tidak lagi di istana, tapi pengaruhnya di sana masih sangat besar. Orang-orang masih datang padanya untuk konsultasi.“Kenapa memangnya kalau aku bertemu?” tantang Enggar. “Kurang ajar!” Cakrawaja menyerbu dan mencekiknya. Enggar tidak menunjukkan wajah ketakutan walaupun susah bernapas. Matanya menatap Cakrawaja dengan menyala-nyala. Cakrawaja yang melihat kedua mata itu tercekat. Itu bukan mata Anggoro. “Dia bukan Anggoro.” “Apa?” Tumenggung Sukmo“Dia bukan Anggoro,” tandas Cakrawaja.“Jadi betul dia kesurupan?” tanya Tumenggung Sukmo.“Dia bukan Anggoro, dia orang lain. Wajahnya saja sama, tapi tidak sifatnya,” jelas Cakrawaja, setengah takjub dengan kesamaan fisik yang dimiliki gadis di depannya dengan Puteri Anggoro.“Tidak mungkin.” Tumenggung Sukmo memperhatikan Enggar baik-baik. “Mungkin ada orang berilmu tinggi yang bisa mengaburkan pandangan kita sehingga kita melihat gadis ini adalah Anggoro, padahal bukan. Aku tahu Anggoro dan dia tidak berkata atau berbuat seperti yang dilakukannya. Mungkin Mpu Soma yang merapalkan mantra atau suatu ajian padanya untuk mengacaukan kita,” ucap Cakrawaja yang kembali mengamatinya. Enggar mendengus prihatin. “Siapa nama ibumu?” tanya Cakrawaja tiba-tiba pada Enggar. Nama ibunya Sulastri, tapi nama ibu Anggoro? Singo Abang maupun Haryo tidak pernah cerita juga tentang Anggoro. “Siapa?” ulang Cakrawaja.Enggar menelan ludah. “Anggorowati,” ujarnya pelan. Cakrawala tertawa. “Dia palsu. Nama ibunya adalah Anggraeni.”“Hei, tahu apa kamu tentang ibuku? Nama kecilnya Anggorowati. Anggraeni itu namanya setelah menikahi ayahku,” sahut Enggar sebelum Cakrawaja makin bertingkah. “Lalu siapa nama dayang yang pergi bersamamu ke Mertabumi? Yang ini tidak mungkin dia punya nama lain kan? Dia belum menikah,” kejar Cakrawaja.“Apa, memangnya kamu mau tahu semua nama keluargaku, dayang-dayangku, teman-temanku? Apa kamu tidak punya pertanyaan yang lebih penting? Kalian sudah susah payah menculikku, menyiksaku, bahkan mau membunuhku, hanya untuk bertanya soal itu? Kenapa kita kembali ke topik semula. Tentang ‘rencana’ kalian, biar kita tidak buang-buang waktu?”Adipati Sadeng menahan Cakrawaja yang mau menghajar Enggar lagi. Dia berpikir Enggar ada benarnya. “Jadi Gajah Mada sudah tahu tentang rencana ini?” tanyanya. Enggar menegakkan kepala dengan rada angkuh sebagai jawaban. Niatnya menakuti orang itu. “Kalau begitu kau memang tidak boleh dibiarkan hidup. Lakukan apa yang harus kau lakukan.” Dengan dinginnya Adipati Sadeng bicara seperti itu pada Cakrawaja. Setelah itu dia keluar. Enggar meriang tak karuan dan Cakrawaja menyeringai penuh kemenangan.“Bagus, kita hanya berdua sekarang.” Cakrawaja mengeluarkan keris dari rangkanya. Untuk beberapa lama dia mengamati keris tanpa lekuk itu, seperti memastikan ketajamannya. ”Aku belum mencuci keris ini sejak terlepas dari tangan Anggoro. Kemungkinan masih ada sisa-sisa darah Sukmana.”Itu kerisnya! Dasar penggelap alat bukti! Enggar menahan diri. Keris kecil di tangannya sudah membuka ikatan tangannya. Untung kakinya tidak diikat, jadi bisa lebih cepat lolos.Cakrawaja mendekat ke Enggar. Saat dia mengayunkan keris, tangan Enggar tiba-tiba menangkis dan kemudian kakinya menendang kuat-kuat dan tepat ke tempat yang paling menyakitkan bagi Cakrawaja. Cakrawaja roboh. Enggar menyambar keris yang terjatuh di tanah, setelah terlebih dahulu melepas ikat kepala Cakrawaja. Keris itu dibungkus agar sidik jari Cakrawaja tidak hilang dan sidik jari Enggar nggak menempel di sana. Tidak tahu apa itu penting di jaman Majapahit, tapi di masa depan sangat penting sebagai alat bukti. Seperti seorang anggota pasukan elit, Enggar menyelinap keluar. Penjagaan di tempat ini minimum. Tumenggung Sukmo dan Adipati tampaknya juga sedang ada di ruangan yang lain. Enggar mengendap ke pohon di samping rumah dan berhasil melepaskan seekor kuda yang ditambatkan di sana. Dia mencoba naik ke atas punggung kuda. Melorot lagi melorot lagi. Setelah lima kali percobaan baru dia bisa. Digerak-gerakkannya tali kekang, kudanya belum bergerak sama sekali. “Hoi, lari dong. Ck ck ck..herr! Apaan sih perintahnya? Husyah!” Saking gemesnya Enggar menarik tali kekang kanannya keras, sehingga kuda itu menggerakkan tubuhnya ke kanan. Sekali lagi Enggar menarik ke kanan. Kuda yang semula menghadap ke depan sudah menghadap ke belakang. “Puteri kabur!” Ada suara teriakan dari dalam rumah itu. Lalu muncullah seseorang yang memapah Cakrawaja. Wajahnya merah padam seperti gunung meletus. Pasti tingkat kemarahannya sudah menembus level berbahaya. “Kuda, lari dong!” Tidak sengaja kedua kaki Enggar menepuk perut kuda itu dan si kuda langsung lari. Hampir saja Enggar terpental ke belakang. Sambil melecut tali kekang, Enggar mengingat-ingat bagaimana Singo Abang biasanya mengendalikan kuda. “Itu dia. Kejaar!” Di belakang Enggar ternyata sudah ada tiga orang yang mengejar. Tumenggung Sukmo keluar dari rumah dan menyumpah-nyumpah. Puteri itu punya ilmu kebal atau lapisan anti lengket apa kok selalu bisa lolos. “Hwaaaa, gimana nanti berhentinya?” Enggar memacu kuda, tanpa tahu kemana arahnya. Orang-orang di belakangnya semakin dekat. Beberapa anak panah melayang melewati Enggar. Cakrawaja mengejar, ada di paling depan dengan busur dan anak panah. Sekarang Enggar benar-benar panik. Jurus tangan kosongnya yang tidak seberapa tidak ada gunanya saat seperti ini. Dia menundukkan badan, menempel pada punggung kuda dan terus berdoa. Tiba-tiba kuda meringkik dan Enggar nungsep di tanah. Kudanya terkena panah. Enggar bangun secepatnya dan berlari. Sedikit terpincang-pincang. Seekor kuda coklat mengejar Enggar yang mulai kelelahan. Ketika Enggar hendak berbelok untuk mengecoh, tangan orang itu berhasil menyambar dan menaikannya ke atas kuda, menempatkan Enggar di depannya.“Lepasin!” teriak Enggar.“Sudah kuduga kamu bisa ngabur.” Orang itu menggebrak kudanya.“Bang Singo!” seru Enggar sambil menoleh ke belakang. Rasa senang menjalari seluruh tubuhnya. Dia masih gemetaran tapi rasanya bisa bernapas lega. “Jangan senang dulu, mereka masih mengejar kita,” kata Singo Abang.“Cepetan, Bang, dikebut!” Enggar melongokkan kepala melewati lengan Singo Abang dan melihat kuda-kuda mengejar di belakang.“Awas, kepalamu nanti bisa kena panah lagi.” Tangan kiri Singo Abang menarik kepala Enggar. “Apa yang terjadi, apa kamu sengaja ikut Haryo kesini?”“Aku? Sengaja ke sini? Memangnya aku kurang kerjaan apa ke tempat dimana semua orang memburuku? Aku diculik dari pondok!” seru Enggar.“Oh, begitu, siapa tahu saja kamu sukarela ikut dengan Haryo.”“Aku lebih suka ikut dengan Abang, tau!” Ada rasa sejuk di hati Singo Abang saat Enggar mengatakan itu. Beberapa hari ini tanpa Enggar, dia jantungan terus. Berkali-kali dadanya nyeri tanpa sebab. Kuatir tidak habis-habis, sampai tidak doyan makan. Dengan lihai Singo Abang mengecoh orang-orang yang mengejarnya, sehingga mereka kehilangan jejak. Singo Abang dan Enggar bersembunyi untuk memastikan mereka menuju arah yang berbeda, baru kemudian keluar dan pergi ke arah berlawanan.***Enggar membasuh wajahnya. Mulutnya perih lagi. Pipinya juga masih merah. Belum lagi kaki dan tangannya yang lecet-lecet. Saat Enggar mencuci kakinya, tak sengaja dia menoleh ke Singo Abang. Cowok itu sedang mengeluarkan sesuatu dari kantung yang ada di sisi kudanya. Tanpa berkata apa-apa dia mendekati Enggar. Menariknya lembut ke arahnya dan mulai mengobati luka-luka Enggar. Sesekali dia menghela nafas, merasa kasihan puteri jadi-jadian yang babak belur itu. “Aduh aduh aduh, sakit!” Enggar memukul lengan Singo Abang saat memegang pergelangan kakinya. Nampaknya kesleo saat jatuh dari kuda tadi.“Tahan sebentar,” kata Singo Abang.“Eh...eh... Mau diapain?” Enggar meringis.“Aku akan mengembalikan posisinya. Kalau tidak, akan bengkak dan kamu makin kesakitan,” ujar Singo Abang.“Tunggu, tunggu, tunggu. Biar aku siap-siap mental dulu. Huuf...huuf...” Enggar melakukan pernapasan ala orang mau melahirkan. “Hitung sampai tiga baru dibalikin, ya?”Singo Abang meletakkan tangannya di kaki kiri Enggar. “Satu...” Klekk! “Aaaaaaaaa! Kenapa baru hitungan satu udah diplintir?!” protes Enggar. Singo Abang digebukin dari segala penjuru. “Menunggu tiga terlalu lama,” kata Singo Abang setelah Enggar capek memukulinya. Dengan penuh kedongkolan Enggar menjauh dari Singo Abang. Eh, tapi dia udah bisa jalan lebih nyaman lho, nggak sepincang tadi.“Kita harus segera pergi dari sini.” Singo Abang membereskan obat-obatan itu dan mengembalikannya ke dalam kantong. “Aku sudah meminta Mijil menyiapkan tempat untuk kita sementara. Ayo, kita pergi sekarang. Kamu mau tetap di sini? Sendirian? Baik.” Singo Abang naik ke kuda karena Enggar tidak juga beranjak.Mulut Enggar monyong. Dia berjalan menuju arah kuda, tapi terlebih dahulu mengambil sesuatu yang tergeletak di bawah pohon. Kerisnya Cakrawaja. Singo Abang mengulurkan tangan, Enggar terpaksa menerimanya karena dia tidak akan bisa naik ke atas kuda tanpa bantuan. Dia membonceng di belakang. “Hitungan ketiga baru kupacu kudanya ya?” canda Singo Abang.“Awas saja kalau berani. Aku bawa keris, jangan macam-macam. Ini.” Enggar menyerahkan keris itu. “Ini yang digunakan untuk membunuh Sukmana. Cakrawaja tadi mau menggunakannya padaku. Ini bisa jadi barang bukti untuk di pengadilan kan?”“Iya. Simpanlah di kantong di dekat kaki kananmu.” Singo Abang menarik tali kekang kuda. “Kita harus cepat. Pegangan.”Mereka menuju ke perbatasan Mertabumi untuk bertemu dengan Mijil. Semalam Mijil sudah bertemu dengan Singo Abang dan memberitahu semua hal yang terjadi. Tempat Enggar terakhir disekap tadi Singo Abang tahu dari salah satu anak buah Cakrawaja yang berhasil dilumpuhkan, Siung Loro. Hampir satu jam baru mereka tiba di sebuah rumah di kaki bukit. “Kenapa kita berhenti di sini? Rumahnya di sebelah sana,” kata Enggar sambil menunjuk ke arah rumah yang masih sekitar lima puluh meter di depan. “Apapun yang terjadi, jangan jauh-jauh dariku.” Suara Singo Abang berubah nadanya. Kewaspadaannya membuat Enggar kuatir. Dari tempat mereka berada, terlihat orang-orang bersenjata keluar bersama seseorang. Mijil. Di belakang mereka ada seseorang yang tak lain dan tak bukan adalah Cakrawaja. Disusul oleh Jayengwangsa dan Jayengwira. Singo Abang dan Enggar berjalan mendekati mereka setelah turun dari kuda.“Barata. Kita bertemu lagi.” Cakrawaja maju ke depan, salah satu kakinya menginjak punggung Mijil. “Kuakui kalian punya nyali besar datang ke sini. Tempat ini dipenuhi orang-orangku. Kalian sudah terkepung, jadi sebaiknya menyerah saja. Berikan dia padaku dan aku akan mengampuni nyawamu.”“Bagaimana kalau sebaliknya. Kamu pergi dari sini baik-baik dan aku akan mengampuni nyawamu,” sahut Singo Abang kalem.Cakrawaja tertawa mengejek. “Serang mereka!” serunya. Anak buahnya yang bersiaga serentak menyerbu.Teriakan orang dipadu dengan denting senjata memenuhi telinga Enggar. Singo Abang bergerak kesana kemari menangkis serangan dan melindungi Enggar. Hampir tidak masuk di akal Enggar kalau mereka akan bisa bertahan, apalagi keluar dari pertempuran.Tiba-tiba terdengar seruan ketika Singo Abang, Enggar dan Mijil terdesak. Suara itu datang berasal dari serombongan orang berkuda dengan seorang laki-laki tampan berkuda putih memimpin di depan. Haryo.“Kenapa lama sekali baru datang?” seru Singo Abang pada Haryo. “Kalau tidak sedang repot begini, aku akan menghajarmu karena mencuri Enggar dariku?” “Bisa itu kita bicarakan nanti, tidak lihat aku sedang sibuk?” Haryo tidak menggunakan panah kali ini, dia memilih menggunakan pedang.Pertarungan mulai tidak seimbang setelah Haryo dan pasukannya datang. Cakrawaja dan dua orang kepercayaannya mengeluarkan busur, menghujani arena dengan anak panah. Haryo tidak mau tinggal diam, dia juga mengeluarkan busur dan mulai membidik.Enggar berkali-kali memejamkan mata melihat adegan aksi berdarah. Perutnya mulai mual. Ini terlalu mengerikan untuknya.“Awas!” Singo Abang menarik Enggar yang hampir ditusuk tombak. “Sudah kubilang berkali-kali, jangan merem. Serangan datang dari mana-mana. Tetap siaga!”Cakrawaja membubuhkan sesuatu pada ujung anak panahnya. Cairan berwarna hijau dari botol kecil yang dibawanya. Dibidikkannya anak itu dengan seluruh kemampuan, menyasarkannya pada Enggar. Singo Abang membelakangi Enggar untuk menyingkirkan dua orang berpedang panjang. Adu pedang mereka menciptakan bunyi yang membuat telinga Enggar semakin sakit dan hatinya miris.Sebuah anak panah melesat. Ada suara di kepala Enggar yang menyuruhnya membalikan badan. Ketika Enggar berbalik, dia melihat anak panah itu ke arahnya. Jleb!!! ***
Enggar diikat di sebuah kursi. Dia tidak tahu berada di mana saat ini karena sepanjang perjalanan tadi matanya ditutup, tapi rasanya jauh dari tempatnya semula ditahan. Tudung yang menutupi kepala dan wajahnya mulai dibuka. Seorang laki-laki berkumis berdiri di depannya. Seorang lagi, berbadan tinggi kurus, ada di samping Enggar, memandangnya dari ujung kaki ke ujung kepala, nampak masih belum percaya. Sementara itu Cakrawaja bersandar di dekat pintu.Lelaki di depannya berdehem sebelum mendekati Enggar. Mau diapain lagi nih? Menurut insting Enggar lelaki inilah yang bos mafianya. Terlihat dari bahasa tubuh orang-orang ketika berhadapan dengannya. “Nyawamu banyak juga, Gadis kecil. Padahal kata Sukmo kau sudah seperti sayuran.” Lelaki berkumis yang memakai gelang berbentuk naga itu melirik ke orang yang ada di samping Enggar. “Aku dengar dari Siung Loro, kata Anggoro rencana itu sudah sampai ke telinga Gajah Mada, Adipati Sadeng.” ujar Cakrawaja. Lelaki bergelang naga itu mendekatkan wajah ke Enggar. “Kau yakin?” tanya Adipati Sadeng pada Cakrawaja, lalu mengalihkan pandangan ke Enggar lagi. “Kau memberitahu Gajah Mada? Jawab!”“Tidak hanya Gajah Mada. Aku memberi tahu banyak orang, jadi rencana rahasiamu sudah tidak rahasia lagi. Maklum, aku susah tutup mulut,” jawab Enggar. “Anak buahmu juga.” Enggar sembari melirik Tumenggung Sukmo.“Maksudmu?” Tumenggung Sukmo gusar. “Aku tidak akan berkhianat.”“Menurut Tuan apa tindakan Tumenggung Sukmo mencari Puteri Anggoro palsu, kemudian menghabisinya tidak masuk dalam kategori ‘rencana dalam rencana’? Tumenggung Sukmo tidak mau Tuan tahu kalau aku masih hidup. Dia cuci tangan ketika orang-orang istana akan meringkus Tuan,” kata Enggar pada Si Gelang Naga. Nekat. “Heh, Gadis gila!” Tumenggung Sukmo mencengkeram lengan Enggar.“Orang yang panik biasanya orang yang bersalah.” Enggar menambahkan.“Mulut dan otakmu tajam juga untuk ukuran seorang gadis kecil yang hanya menyukai karya sastra. Kau pikir semudah itu kau mengadu domba kami?” Si Gelang Naga tersenyum. Dia sudah membaca strategi Enggar. “Kau tahu kan nyawamu ada hanya tinggal satu kedipan mata untuk pergi?”“Semua pemberontakan di Majapahit bisa dipadamkan oleh Gajah Mada. Hingga Hayam Wuruk nanti memimpin dan Majapahit menjadi jaya, menguasai tujuh daratan dan tujuh lautan, tidak ada yang bisa dilakukan oleh orang-orang seperti kalian.” Enggar menggeleng-gelengkan kepala dan membentuk bibirnya sedemikian rupa, mengasihani sekaligus menghina. “Hayam Wuruk? Siapa dia?” tanya Cakrawaja penasaran.“Kurasa kalian tidak akan pernah tahu, keburu ditumpas Gajah Mada.” Mantap Enggar mengatakannya. Mantap juga dia tidak tau apa yang dibicarakannya, karena dia belum tahu pasti apa sebenarnya “rencana” itu. “Apa dia kesurupan?” bisik Tumenggung Sukmo pada Cakrawaja. “Dia tidak tahu apa yang dibicarakannya, hanya menggertak.” Cakrawaja mencibir. “Dia belum sampai istana, dia di Ketanggung saat kubawa kesini.”“Ketanggung?” Si Gelang Naga berkacak pinggang. “Tempat Mpu Soma?”“Mpu Soma tinggal di Ketanggung?” tanya Cakrawaja balik. “Wah, Mpu Soma ya.” Tumenggung Sukmo nampak was-was. “Kau bertemu Mpu Soma?” tanya Si Gelang Naga pada Enggar. Bahaya kalau Mpu Soma tahu. Meskipun dia tidak lagi di istana, tapi pengaruhnya di sana masih sangat besar. Orang-orang masih datang padanya untuk konsultasi.“Kenapa memangnya kalau aku bertemu?” tantang Enggar. “Kurang ajar!” Cakrawaja menyerbu dan mencekiknya. Enggar tidak menunjukkan wajah ketakutan walaupun susah bernapas. Matanya menatap Cakrawaja dengan menyala-nyala. Cakrawaja yang melihat kedua mata itu tercekat. Itu bukan mata Anggoro. “Dia bukan Anggoro.” “Apa?” Tumenggung Sukmo“Dia bukan Anggoro,” tandas Cakrawaja.“Jadi betul dia kesurupan?” tanya Tumenggung Sukmo.“Dia bukan Anggoro, dia orang lain. Wajahnya saja sama, tapi tidak sifatnya,” jelas Cakrawaja, setengah takjub dengan kesamaan fisik yang dimiliki gadis di depannya dengan Puteri Anggoro.“Tidak mungkin.” Tumenggung Sukmo memperhatikan Enggar baik-baik. “Mungkin ada orang berilmu tinggi yang bisa mengaburkan pandangan kita sehingga kita melihat gadis ini adalah Anggoro, padahal bukan. Aku tahu Anggoro dan dia tidak berkata atau berbuat seperti yang dilakukannya. Mungkin Mpu Soma yang merapalkan mantra atau suatu ajian padanya untuk mengacaukan kita,” ucap Cakrawaja yang kembali mengamatinya. Enggar mendengus prihatin. “Siapa nama ibumu?” tanya Cakrawaja tiba-tiba pada Enggar. Nama ibunya Sulastri, tapi nama ibu Anggoro? Singo Abang maupun Haryo tidak pernah cerita juga tentang Anggoro. “Siapa?” ulang Cakrawaja.Enggar menelan ludah. “Anggorowati,” ujarnya pelan. Cakrawala tertawa. “Dia palsu. Nama ibunya adalah Anggraeni.”“Hei, tahu apa kamu tentang ibuku? Nama kecilnya Anggorowati. Anggraeni itu namanya setelah menikahi ayahku,” sahut Enggar sebelum Cakrawaja makin bertingkah. “Lalu siapa nama dayang yang pergi bersamamu ke Mertabumi? Yang ini tidak mungkin dia punya nama lain kan? Dia belum menikah,” kejar Cakrawaja.“Apa, memangnya kamu mau tahu semua nama keluargaku, dayang-dayangku, teman-temanku? Apa kamu tidak punya pertanyaan yang lebih penting? Kalian sudah susah payah menculikku, menyiksaku, bahkan mau membunuhku, hanya untuk bertanya soal itu? Kenapa kita kembali ke topik semula. Tentang ‘rencana’ kalian, biar kita tidak buang-buang waktu?”Adipati Sadeng menahan Cakrawaja yang mau menghajar Enggar lagi. Dia berpikir Enggar ada benarnya. “Jadi Gajah Mada sudah tahu tentang rencana ini?” tanyanya. Enggar menegakkan kepala dengan rada angkuh sebagai jawaban. Niatnya menakuti orang itu. “Kalau begitu kau memang tidak boleh dibiarkan hidup. Lakukan apa yang harus kau lakukan.” Dengan dinginnya Adipati Sadeng bicara seperti itu pada Cakrawaja. Setelah itu dia keluar. Enggar meriang tak karuan dan Cakrawaja menyeringai penuh kemenangan.“Bagus, kita hanya berdua sekarang.” Cakrawaja mengeluarkan keris dari rangkanya. Untuk beberapa lama dia mengamati keris tanpa lekuk itu, seperti memastikan ketajamannya. ”Aku belum mencuci keris ini sejak terlepas dari tangan Anggoro. Kemungkinan masih ada sisa-sisa darah Sukmana.”Itu kerisnya! Dasar penggelap alat bukti! Enggar menahan diri. Keris kecil di tangannya sudah membuka ikatan tangannya. Untung kakinya tidak diikat, jadi bisa lebih cepat lolos.Cakrawaja mendekat ke Enggar. Saat dia mengayunkan keris, tangan Enggar tiba-tiba menangkis dan kemudian kakinya menendang kuat-kuat dan tepat ke tempat yang paling menyakitkan bagi Cakrawaja. Cakrawaja roboh. Enggar menyambar keris yang terjatuh di tanah, setelah terlebih dahulu melepas ikat kepala Cakrawaja. Keris itu dibungkus agar sidik jari Cakrawaja tidak hilang dan sidik jari Enggar nggak menempel di sana. Tidak tahu apa itu penting di jaman Majapahit, tapi di masa depan sangat penting sebagai alat bukti. Seperti seorang anggota pasukan elit, Enggar menyelinap keluar. Penjagaan di tempat ini minimum. Tumenggung Sukmo dan Adipati tampaknya juga sedang ada di ruangan yang lain. Enggar mengendap ke pohon di samping rumah dan berhasil melepaskan seekor kuda yang ditambatkan di sana. Dia mencoba naik ke atas punggung kuda. Melorot lagi melorot lagi. Setelah lima kali percobaan baru dia bisa. Digerak-gerakkannya tali kekang, kudanya belum bergerak sama sekali. “Hoi, lari dong. Ck ck ck..herr! Apaan sih perintahnya? Husyah!” Saking gemesnya Enggar menarik tali kekang kanannya keras, sehingga kuda itu menggerakkan tubuhnya ke kanan. Sekali lagi Enggar menarik ke kanan. Kuda yang semula menghadap ke depan sudah menghadap ke belakang. “Puteri kabur!” Ada suara teriakan dari dalam rumah itu. Lalu muncullah seseorang yang memapah Cakrawaja. Wajahnya merah padam seperti gunung meletus. Pasti tingkat kemarahannya sudah menembus level berbahaya. “Kuda, lari dong!” Tidak sengaja kedua kaki Enggar menepuk perut kuda itu dan si kuda langsung lari. Hampir saja Enggar terpental ke belakang. Sambil melecut tali kekang, Enggar mengingat-ingat bagaimana Singo Abang biasanya mengendalikan kuda. “Itu dia. Kejaar!” Di belakang Enggar ternyata sudah ada tiga orang yang mengejar. Tumenggung Sukmo keluar dari rumah dan menyumpah-nyumpah. Puteri itu punya ilmu kebal atau lapisan anti lengket apa kok selalu bisa lolos. “Hwaaaa, gimana nanti berhentinya?” Enggar memacu kuda, tanpa tahu kemana arahnya. Orang-orang di belakangnya semakin dekat. Beberapa anak panah melayang melewati Enggar. Cakrawaja mengejar, ada di paling depan dengan busur dan anak panah. Sekarang Enggar benar-benar panik. Jurus tangan kosongnya yang tidak seberapa tidak ada gunanya saat seperti ini. Dia menundukkan badan, menempel pada punggung kuda dan terus berdoa. Tiba-tiba kuda meringkik dan Enggar nungsep di tanah. Kudanya terkena panah. Enggar bangun secepatnya dan berlari. Sedikit terpincang-pincang. Seekor kuda coklat mengejar Enggar yang mulai kelelahan. Ketika Enggar hendak berbelok untuk mengecoh, tangan orang itu berhasil menyambar dan menaikannya ke atas kuda, menempatkan Enggar di depannya.“Lepasin!” teriak Enggar.“Sudah kuduga kamu bisa ngabur.” Orang itu menggebrak kudanya.“Bang Singo!” seru Enggar sambil menoleh ke belakang. Rasa senang menjalari seluruh tubuhnya. Dia masih gemetaran tapi rasanya bisa bernapas lega. “Jangan senang dulu, mereka masih mengejar kita,” kata Singo Abang.“Cepetan, Bang, dikebut!” Enggar melongokkan kepala melewati lengan Singo Abang dan melihat kuda-kuda mengejar di belakang.“Awas, kepalamu nanti bisa kena panah lagi.” Tangan kiri Singo Abang menarik kepala Enggar. “Apa yang terjadi, apa kamu sengaja ikut Haryo kesini?”“Aku? Sengaja ke sini? Memangnya aku kurang kerjaan apa ke tempat dimana semua orang memburuku? Aku diculik dari pondok!” seru Enggar.“Oh, begitu, siapa tahu saja kamu sukarela ikut dengan Haryo.”“Aku lebih suka ikut dengan Abang, tau!” Ada rasa sejuk di hati Singo Abang saat Enggar mengatakan itu. Beberapa hari ini tanpa Enggar, dia jantungan terus. Berkali-kali dadanya nyeri tanpa sebab. Kuatir tidak habis-habis, sampai tidak doyan makan. Dengan lihai Singo Abang mengecoh orang-orang yang mengejarnya, sehingga mereka kehilangan jejak. Singo Abang dan Enggar bersembunyi untuk memastikan mereka menuju arah yang berbeda, baru kemudian keluar dan pergi ke arah berlawanan.***Enggar membasuh wajahnya. Mulutnya perih lagi. Pipinya juga masih merah. Belum lagi kaki dan tangannya yang lecet-lecet. Saat Enggar mencuci kakinya, tak sengaja dia menoleh ke Singo Abang. Cowok itu sedang mengeluarkan sesuatu dari kantung yang ada di sisi kudanya. Tanpa berkata apa-apa dia mendekati Enggar. Menariknya lembut ke arahnya dan mulai mengobati luka-luka Enggar. Sesekali dia menghela nafas, merasa kasihan puteri jadi-jadian yang babak belur itu. “Aduh aduh aduh, sakit!” Enggar memukul lengan Singo Abang saat memegang pergelangan kakinya. Nampaknya kesleo saat jatuh dari kuda tadi.“Tahan sebentar,” kata Singo Abang.“Eh...eh... Mau diapain?” Enggar meringis.“Aku akan mengembalikan posisinya. Kalau tidak, akan bengkak dan kamu makin kesakitan,” ujar Singo Abang.“Tunggu, tunggu, tunggu. Biar aku siap-siap mental dulu. Huuf...huuf...” Enggar melakukan pernapasan ala orang mau melahirkan. “Hitung sampai tiga baru dibalikin, ya?”Singo Abang meletakkan tangannya di kaki kiri Enggar. “Satu...” Klekk! “Aaaaaaaaa! Kenapa baru hitungan satu udah diplintir?!” protes Enggar. Singo Abang digebukin dari segala penjuru. “Menunggu tiga terlalu lama,” kata Singo Abang setelah Enggar capek memukulinya. Dengan penuh kedongkolan Enggar menjauh dari Singo Abang. Eh, tapi dia udah bisa jalan lebih nyaman lho, nggak sepincang tadi.“Kita harus segera pergi dari sini.” Singo Abang membereskan obat-obatan itu dan mengembalikannya ke dalam kantong. “Aku sudah meminta Mijil menyiapkan tempat untuk kita sementara. Ayo, kita pergi sekarang. Kamu mau tetap di sini? Sendirian? Baik.” Singo Abang naik ke kuda karena Enggar tidak juga beranjak.Mulut Enggar monyong. Dia berjalan menuju arah kuda, tapi terlebih dahulu mengambil sesuatu yang tergeletak di bawah pohon. Kerisnya Cakrawaja. Singo Abang mengulurkan tangan, Enggar terpaksa menerimanya karena dia tidak akan bisa naik ke atas kuda tanpa bantuan. Dia membonceng di belakang. “Hitungan ketiga baru kupacu kudanya ya?” canda Singo Abang.“Awas saja kalau berani. Aku bawa keris, jangan macam-macam. Ini.” Enggar menyerahkan keris itu. “Ini yang digunakan untuk membunuh Sukmana. Cakrawaja tadi mau menggunakannya padaku. Ini bisa jadi barang bukti untuk di pengadilan kan?”“Iya. Simpanlah di kantong di dekat kaki kananmu.” Singo Abang menarik tali kekang kuda. “Kita harus cepat. Pegangan.”Mereka menuju ke perbatasan Mertabumi untuk bertemu dengan Mijil. Semalam Mijil sudah bertemu dengan Singo Abang dan memberitahu semua hal yang terjadi. Tempat Enggar terakhir disekap tadi Singo Abang tahu dari salah satu anak buah Cakrawaja yang berhasil dilumpuhkan, Siung Loro. Hampir satu jam baru mereka tiba di sebuah rumah di kaki bukit. “Kenapa kita berhenti di sini? Rumahnya di sebelah sana,” kata Enggar sambil menunjuk ke arah rumah yang masih sekitar lima puluh meter di depan. “Apapun yang terjadi, jangan jauh-jauh dariku.” Suara Singo Abang berubah nadanya. Kewaspadaannya membuat Enggar kuatir. Dari tempat mereka berada, terlihat orang-orang bersenjata keluar bersama seseorang. Mijil. Di belakang mereka ada seseorang yang tak lain dan tak bukan adalah Cakrawaja. Disusul oleh Jayengwangsa dan Jayengwira. Singo Abang dan Enggar berjalan mendekati mereka setelah turun dari kuda.“Barata. Kita bertemu lagi.” Cakrawaja maju ke depan, salah satu kakinya menginjak punggung Mijil. “Kuakui kalian punya nyali besar datang ke sini. Tempat ini dipenuhi orang-orangku. Kalian sudah terkepung, jadi sebaiknya menyerah saja. Berikan dia padaku dan aku akan mengampuni nyawamu.”“Bagaimana kalau sebaliknya. Kamu pergi dari sini baik-baik dan aku akan mengampuni nyawamu,” sahut Singo Abang kalem.Cakrawaja tertawa mengejek. “Serang mereka!” serunya. Anak buahnya yang bersiaga serentak menyerbu.Teriakan orang dipadu dengan denting senjata memenuhi telinga Enggar. Singo Abang bergerak kesana kemari menangkis serangan dan melindungi Enggar. Hampir tidak masuk di akal Enggar kalau mereka akan bisa bertahan, apalagi keluar dari pertempuran.Tiba-tiba terdengar seruan ketika Singo Abang, Enggar dan Mijil terdesak. Suara itu datang berasal dari serombongan orang berkuda dengan seorang laki-laki tampan berkuda putih memimpin di depan. Haryo.“Kenapa lama sekali baru datang?” seru Singo Abang pada Haryo. “Kalau tidak sedang repot begini, aku akan menghajarmu karena mencuri Enggar dariku?” “Bisa itu kita bicarakan nanti, tidak lihat aku sedang sibuk?” Haryo tidak menggunakan panah kali ini, dia memilih menggunakan pedang.Pertarungan mulai tidak seimbang setelah Haryo dan pasukannya datang. Cakrawaja dan dua orang kepercayaannya mengeluarkan busur, menghujani arena dengan anak panah. Haryo tidak mau tinggal diam, dia juga mengeluarkan busur dan mulai membidik.Enggar berkali-kali memejamkan mata melihat adegan aksi berdarah. Perutnya mulai mual. Ini terlalu mengerikan untuknya.“Awas!” Singo Abang menarik Enggar yang hampir ditusuk tombak. “Sudah kubilang berkali-kali, jangan merem. Serangan datang dari mana-mana. Tetap siaga!”Cakrawaja membubuhkan sesuatu pada ujung anak panahnya. Cairan berwarna hijau dari botol kecil yang dibawanya. Dibidikkannya anak itu dengan seluruh kemampuan, menyasarkannya pada Enggar. Singo Abang membelakangi Enggar untuk menyingkirkan dua orang berpedang panjang. Adu pedang mereka menciptakan bunyi yang membuat telinga Enggar semakin sakit dan hatinya miris.Sebuah anak panah melesat. Ada suara di kepala Enggar yang menyuruhnya membalikan badan. Ketika Enggar berbalik, dia melihat anak panah itu ke arahnya. Jleb!!! ***
Published on January 02, 2017 19:09
December 26, 2016
Gandrung #13
Hari sudah malam saat mereka tiba di Mertabumi. Perjalanan dua hari dengan hanya sedikit istirahat membuat semua orang lelah. Enggar yang tidak bicara sama sekali setelah tertangkap lagi, tampak kusut. Dia marah dan benci dengan Haryo. Orang itu tenyata bersekongkol dengan Cakrawaja untuk membawanya kembali ke Mertabumi. Enggar dibawa ke sebuah rumah yang agak terpisah dengan rumah-rumah yang lain. Dia dikurung di kamar dengan penjagaan ketat.“Kamu akan baik-baik di sini. Jangan melarikan diri karena sangat berbahaya. Aku akan segera kembali,” bisik Haryo padanya sebelum pergi bersama Cakrawaja. Enggar melengos, sama sekali tidak mau menatap mata Haryo. “Tidak seorangpun boleh mengganggunya, mengerti?” kata dia pada para penjaga di situ.Enggar mengelilingi ruangan yang hanya berisikan satu balai-balai, satu meja dan satu kursi itu. Dia benar-benar seperti dalam penjara. Tidak ada jendela di sini. Hanya ada satu pintu untuk keluar. Tidak ada sendok untuk menggali. Hanya ada kendi berisi air dan piring berisi makanan di atas meja.Gadis itu duduk di kursi, mengamati makanan di meja. Dia sudah lapar, tapi ragu mau mengganyang makanan itu. Siapa tahu beracun. Meski ditahannya, tangannya terulur menyentuh makanan itu. Dibukanya bungkus dari daun pisang itu, kemudian disentuhnya isi di dalamnya dengan jari telunjuk. Perlahan dijilatnya jari telunjuknya. Tidak berasa aneh. Diendusnya beberapa kali, kemudian dijilat lagi. Enggar menunggu reaksi. Setelah agak yakin makanan itu tidak diberi racun, dia memakannya.Makanan di piring ludes dalam waktu cepat dan setelahnya Enggar hanya bisa bersandar di kursi kekenyangan. Lalu terasa reaksi yang aneh. Tubuh Enggar terguling dari atas kursi dan tertelungkup di tanah. Nyenyak.Di luar rumah tahanan itu, Cakrawaja dan Haryo sedang berjalan menuju ke rumah Tumenggung Sukmo yang ada di pusat Mertabumi, sekitar dua kilometer dari tempat mereka sekarang.“Kau yakin dia tidak akan kabur?” tanya Cakrawaja.“Dia sudah makan obat tidurnya. Satu piring dihabiskannya, dia akan bangun besok malam. Itu akan menghemat energi kita untuk tidak menguatirkannya,” ujar Haryo, menghela napas panjang. “Kita tidak mengkuatirkannya atau kau tidak mengkuatirkannya?” tanya Cakrawaja dengan seringai aneh. Haryo meliriknya. “Apa maksudmu?”“Kupikir kau tidak pernah peduli dengan gadis manapun. Kau sudah berubah sekarang karena dia? Hahaha. Kau memilih gadis yang salah, Haryo. Puteri Anggoro adalah kekasih Pangeran Palawa dan dia akan kembali dari negeri seberang beberapa minggu lagi.” Cakrawaja tampak senang.“Cakrawaja, ingat tujuan kita semula. Kamu akan dapat nama baik dan orang tuamu akan mengembalikanmu ke daftar penerima warisan kalau kita bisa mengungkap misteri pembunuhan Sukmana. Jadi, jangan merusaknya dengan mengusik urusan pribadiku atau kubawa Eng...Anggoro pergi dan kamu tidak mendapat apa-apa.”Cakrawaja tersenyum sinis. Biarkan saja Haryo berpikir dia melakukannya untuk mendapatkan nama baik. Haryo tidak tahu kalau Cakrawaja punya rencana lain. Sekali tepuk dua nyamuk mati. ***
Mereka bertiga duduk semeja. Dalam suasana formal, biasanya Tumenggung Sukmo akan berada di meja lain karena kedudukan kedua orang di hadapannya lebih tinggi darinya. Tapi untuk malam ini itu bukan masalah.“Apa yang hamba bisa bantu, Tuanku? Malam-malam begini Tuanku berdua datang ke rumah hamba pasti ada hal yang penting,” kata Tumenggung Sukmo kepada Cakrawaja dan Haryo.“Maaf mengganggu tidurmu, Tumenggung Sukmo. Kami kebetulan saja lewat dan mampir. Sebenarnya besok pagi kami ingin kesini, tapi nampaknya semakin cepat semakin baik. Istana ingin mengetahui bagaimana kelanjutan dari kasus Puteri Anggoro,” kata Haryo.Tumenggung Sukmo mendongakkan wajah. “Maksud, Tuanku? Kasus itu sudah selesai, tidak ada kelanjutan. Puteri Anggoro sempat melarikan diri saat hendak dihukum mati, tapi dia sudah diketemukan.”“Dalam keadaan terbakar?” sahut Cakrawaja. “Bukannya itu sedikit aneh?”“Kami tidak tahu apa yang terjadi padanya, kami hanya menemukannya dalam keadaan seperti itu. Mungkin dia dan orang yang menolongnya berurusan dengan pihak lain,” kata Tumenggung Sukmo dengan senyum meyakinkan.“Bagaimana kau yakin itu Anggoro, Tumenggung?” Haryo meneguk minuman yang disuguhkan. “Bagaimana kamu bisa mengenalinya dengan kondisi yang seperti itu?” “Cincin yang dikenakan. Ya. Dia mengenakan cincin yang tidak mungkin orang lain punya. Cincin dari Pangeran Palawa. Puteri Anggoro pernah menceritakan soal cincin itu,” jawab Tumenggung Sukmo sambil berdehem.“Kamu menyimpannya?” lanjut Haryo.Tumenggung Sukmo sedikit merubah posisi duduknya. “Tidak, kami menguburnya bersama dengan Puteri Anggoro.”“Jayengwangsa sudah kembali ke Mertabumi?” tanya Haryo. Tumenggung Sukmo menggeleng. “Puteri Anggoro sudah ditemukan, untuk apa kamu tetap meminta Jayengwangsa meneruskan pencarian?” kejar Haryo.Tumenggung Sukmo menyeruput minumannya sebelum menjawab. “Hamba menyuruhnya untuk menyelesaikan tugas lain. Si penculik masih jadi buronan. Dia harus ditangkap untuk bisa mengorek informasi siapa yang menyuruhnya. Hamba mencurigai penculikan Puteri Anggoro bermuatan politis.”Pinter juga nih Tumenggung ngeles. Cakrawaja hendak bicara, tapi Haryo mencegahnya. “Tumenggung Sukmo, kami ingin mengajakmu ke suatu tempat, menemui seseorang.”“Sekarang, Tuanku?” Tumenggung Sukmo menatap Haryo dan Cakrawaja bergantian. Ajakan Haryo nampaknya mempunyai maksud lain dari hanya sekedar mengajak pergi. “Boleh saya mengajak Jayengwira?” Pertanyaannya dijawab anggukan oleh Haryo. Tumenggung Sukmo pamit ke belakang dan kembali bersama Jayengwira. Mereka berempat pergi dengan kuda masing-masing, menuju tempat Enggar ditahan.Mijil sedang keluar dari rumahnya ketika melihat mereka lewat. Pangeran Haryo ada di Mertabumi lagi, mencurigakan. Apalagi bersama-sama dengan Tumenggung Sukmo dan Pangeran Cakrawaja. Mijil diam-diam mengikuti kemana rombongan itu pergi. Tidak berapa lama kemudian mereka tiba di rumah paling ujung di Mertabumi. Tumenggung Sukmo dan Jayengwira saling melihat, menebak-nebak maksud dari dua pangeran itu membawa mereka ke sana. Haryo dan Cakrawaja turun dari kuda, diikuti Tumenggung Sukmo dan Jayengwira.“Kau tahu rumah siapa ini?” tanya Cakrawaja.“Ini rumah Ki Waji. Sudah sebulan kosong. Hamba tidak tahu Tuanku berdua menginap di sini. Kalau Tuanku berkenan menginap di tempat hamba.”“Itu tidak penting,” kata Haryo. “Silahkan masuk.” Haryo mengajak mereka masuk ke dalam rumah. Mereka langsung menuju ke sebuah kamar dengan pintu terkunci. Haryo membuka pintu itu. Tumenggung Sukmo dan Jayengwira tersentak ketika melihat sosok gadis yang terbaring di atas balai-balai, tertidur lelap. Meskipun dandanannya berbeda, tetapi wajahnya amat mereka kenal. “Itu...Itu...” Tumenggung Sukmo kesulitan untuk meneruskan kata-katanya.“Puteri Anggoro.” Cakrawaja yang menjawab. “Dia masih hidup.” Muka keduanya pucat. Haryo bisa melihat tangan mereka gemetaran. “Bagaimana mungkin Puteri Anggoro masih hidup?” tanya Tumenggung Sukmo.“Tumenggung Sukmo, ada yang mau kamu ceritakan pada kami sebelum kami memberimu banyak pertanyaan?” tanya Haryo yang mempersilahkan mereka keluar dari kamar itu.“Jadi siapa yang meninggal dalam keadaan terbakar itu, Jayengwira? Kau yang menemukannya kan? Kalau ini Puteri Anggoro, jadi siapa yang kau temukan?” tanya Tumenggung Sukmo pada Jayengwira.“Kakang, aku juga tidak tahu apa yang terjadi. Tidak mungkin ada dua orang yang sama. Yang terbakar itu benar-benar Puteri Anggoro. Cincin yang dikenakannya adalah milik Puteri Anggoro.” Jayengwira nampak kebingunan. “Tuanku, dimana Tuanku menemukan Puteri Anggoro ini?”“Tidak penting bagaimana kami menemukannya. Ada yang tidak beres dengan kasus ini sejak awal. Aku membawa perintah dari istana untuk menyelidiki ulang kasus pembunuhan Sukmana. Puteri Anggoro kemungkinan hanya dijebak. Aku akan membawanya ke istana untuk mendapatkan pengadilan.” Haryo menatap Tumenggung Sukmo tajam.“Tapi kejadiannya sudah jelas. Puteri Anggoro membunuh anak hamba.”“Itu akan kita lihat lagi, Tumenggung Sukmo. Aku diberi wewenang untuk melakukan pemeriksaan menyeluruh. Aku akan minta bantuanmu menghadirkan saksi-saksi untuk menemuiku. Setelah kamu kembali ke rumah, buatlah daftar nama-nama siapa saja yang ada pada hari pembunuhan itu, serahkan padaku dan aku akan memanggil mereka satu per satu. Mengerti?” perintah Haryo.“B..baik, Tuanku.” Tumenggung Sukmo dan Jayengwira berpamitan pada Haryo dan Cakrawaja. Mereka pergi dengan keresahan di wajah mereka.“Kau diberi wewenang istana untuk menyelidiki ulang kasus ini?” tanya Cakrawaja. “Kenapa tidak memberitahuku sebelumnya?”“Sekarang kamu sudah tahu.” Haryo masuk kembali ke dalam rumah dan mengecek keadaan Enggar. Sebentar lagi mungkin dia akan sadar.Cakrawaja mengepalkan tangan, kesal pada Haryo Tindakan Haryo memaksanya untuk menemui seseorang agar rencananya tidak terganggu.***
Mata Enggar tidak berkedip menatap Haryo. Bukan dengan pandangan penuh kekaguman seperti biasanya, tapi pandangan sebal luar biasa. Orang yang selama ini dipikirnya baik, ternyata punya udang di balik tepung. “Apa kamu tidak akan bicara padaku sama sekali? Aku tidak mendengar suaramu dua hari ini. Padahal biasanya kamu...” Haryo tidak meneruskan kalimatnya karena Enggar melengos. “Maafkan aku, Enggar, tapi aku harus melakukan ini untuk menyelesaikan tugasku. Dan itu akan membantumu juga untuk terbebas dari masalah yang sebenarnya memang tidak ada hubungannya denganmu sebagai Enggar, tapi terkait erat denganmu sebagai Anggoro. Kehadiranmu di sini akan membongkar apapun yang direncanakan oleh orang-orang tertentu pada kerajaan Majapahit. Rencana yang tidak baik.”Haryo mendekat ke balai-balai tempat Enggar duduk, tapi Enggar menggebrak balai-balai itu. Haryo nggak jadi mendekat.“Seharusnya aku memberitahumu sebelum membawamu kemari. Tapi aku sudah pernah mencoba mengajakmu kesini kan? Waktu kita makan ikan bakar di sungai?” Haryo tersenyum, tiba-tiba saja teringat saat Enggar kejebur. “Seperti yang pernah kamu bilang, membawamu ke istana untuk bertemu Pangeran Palawa dan Hakim Jogoroso akan percuma saja, karena kamu bukan Puteri Anggoro. Dan tujuan Barata membawamu menemui Mpu Soma untuk mendapatkan cara kembali ke masa depan juga tidak membuahkan hasil. Daripada tidak ada hal yang bisa dilakukan, kamu lebih baik kubawa kemari dan menuntaskan masalah utama yang terkait denganmu sebagai Anggoro. Aku akan menanyai orang-orang yang ada di tempat kejadian dan menyelidiki beberapa hal. Kehadiranmu di sini sudah menciptakan riak di danau yang tenang. Tidak lama lagi suasana akan bergolak. Semakin cepat kasus ini selesai, semakin baik, karena kamu akan bisa konsentrasi untuk mencari jalan pulang, tanpa harus dikejar-kejar mereka lagi. Orang-orang yang ingin mencelakaimu kemungkinan besar akan mendatangimu. Jangan takut, aku menempatkan beberapa orang kepercayaanku untuk menjagamu di sini, kamu tidak perlu kuatir.” Kata-kata Haryo sungguh terdengar manis di telinga Enggar, tapi menyadari dia digunakan sebagai umpan, Enggar emosinya tidak bisa ditahan lagi. Dia turun dari balai-balai dan mendatangi Haryo, lalu meninju dada laki-laki itu. Haryo spontan menghindar, sehingga tangan Enggar mendarat di dinding. Enggar jongkok sambil meniupi tangannya agar rasa panasnya berkurang.“Maaf, aku tidak sengaja.” Haryo meraih tangan Enggar dan mengelusnya lembut. “Sakit?” tanya Haryo. Enggar mau menyemprot Haryo dengan banyak kata, tapi mata Haryo menguncinya. Dia sepertinya sungguh-sungguh kuatir padanya. Sesaat Enggar meleleh. Enggar membuka pintu kamarnya dan mendorong Haryo keluar sebelum dia luluh. Dibantingnya pintu itu keras-keras saat Haryo sudah berada di luar. Enggar tidak mau berurusan dengannya.Gadis itu menuju pojok ruangan, menempelkan tubuhnya ke dinding. berpikir keras kenapa harus terkirim ke Majapahit, “menjadi” Puteri Anggoro yang terlibat pembunuhan, terkait dengan sebuah “rencana” yang dia sama sekali tidak tahu. Enggar membalikkan badan lalu tubuhnya melorot hingga jongkok. Mau menangis, tapi air matanya tidak keluar. Sudah mencoba mengerjapkan mata berkali-kali dan terisak-isak palsu, masih saja tidak berhasil. Rencana pada Majapahit. Rencana yang tidak baik. Rencana apa? Singo Abang pernah menyebut hal itu juga, jadi kemungkinan besar memang ada sebuah rencana. Enggar mengerutkan dahi, mengingat-ingat apa yang sudah diketahuinya tentang sejarah Majapahit yang terhubung dengan nama-nama seperti Anggoro, Sukmo, Cakrawaja, Jayengwira dan sebagainya. Tidak, dia tidak tahu.Pemberontakan Ranggalawe, Sora, Nambi, Ra Kuti, Enggar menduga-duga kemungkinan yang disebut rencana itu adalah rencana pemberontakan. Tapi pemberontakan yang dipikirkannya sudah terjadi.Suara guntur menggelegar, mengagetkan Enggar. Dia buru-buru bangun dan naik ke atas balai-balai. Udara dingin menyelusup masuk. Enggar duduk memeluk kakinya. Pintu ruangan itu terbuka. Haryo datang membawa selimut. Dia tahu Enggar masih marah, jadi Haryo hanya meletakkan selimut itu di balai-balai, lalu pergi lagi. Enggar mengambil kain tebal itu dan membungkus dirinya. Sesuatu terjatuh di samping Enggar. Sebuah keris kecil, kemungkinan diselipkan di lipatan kain. Enggar mengambilnya. Apa Haryo sengaja memberikan padanya untuk melindungi diri? Enggar memandang pintu dan keris kecil itu bergantian. Dia akan menyimpannya. Kantuk tidak memberi kesempatan pada Enggar untuk meneruskan usahanya mencari jawaban. Dia terlelap, tepat saat seseorang meniupkan asap dari bambu kecil yang diselipkan ke lubang dinding.
***
Mereka bertiga duduk semeja. Dalam suasana formal, biasanya Tumenggung Sukmo akan berada di meja lain karena kedudukan kedua orang di hadapannya lebih tinggi darinya. Tapi untuk malam ini itu bukan masalah.“Apa yang hamba bisa bantu, Tuanku? Malam-malam begini Tuanku berdua datang ke rumah hamba pasti ada hal yang penting,” kata Tumenggung Sukmo kepada Cakrawaja dan Haryo.“Maaf mengganggu tidurmu, Tumenggung Sukmo. Kami kebetulan saja lewat dan mampir. Sebenarnya besok pagi kami ingin kesini, tapi nampaknya semakin cepat semakin baik. Istana ingin mengetahui bagaimana kelanjutan dari kasus Puteri Anggoro,” kata Haryo.Tumenggung Sukmo mendongakkan wajah. “Maksud, Tuanku? Kasus itu sudah selesai, tidak ada kelanjutan. Puteri Anggoro sempat melarikan diri saat hendak dihukum mati, tapi dia sudah diketemukan.”“Dalam keadaan terbakar?” sahut Cakrawaja. “Bukannya itu sedikit aneh?”“Kami tidak tahu apa yang terjadi padanya, kami hanya menemukannya dalam keadaan seperti itu. Mungkin dia dan orang yang menolongnya berurusan dengan pihak lain,” kata Tumenggung Sukmo dengan senyum meyakinkan.“Bagaimana kau yakin itu Anggoro, Tumenggung?” Haryo meneguk minuman yang disuguhkan. “Bagaimana kamu bisa mengenalinya dengan kondisi yang seperti itu?” “Cincin yang dikenakan. Ya. Dia mengenakan cincin yang tidak mungkin orang lain punya. Cincin dari Pangeran Palawa. Puteri Anggoro pernah menceritakan soal cincin itu,” jawab Tumenggung Sukmo sambil berdehem.“Kamu menyimpannya?” lanjut Haryo.Tumenggung Sukmo sedikit merubah posisi duduknya. “Tidak, kami menguburnya bersama dengan Puteri Anggoro.”“Jayengwangsa sudah kembali ke Mertabumi?” tanya Haryo. Tumenggung Sukmo menggeleng. “Puteri Anggoro sudah ditemukan, untuk apa kamu tetap meminta Jayengwangsa meneruskan pencarian?” kejar Haryo.Tumenggung Sukmo menyeruput minumannya sebelum menjawab. “Hamba menyuruhnya untuk menyelesaikan tugas lain. Si penculik masih jadi buronan. Dia harus ditangkap untuk bisa mengorek informasi siapa yang menyuruhnya. Hamba mencurigai penculikan Puteri Anggoro bermuatan politis.”Pinter juga nih Tumenggung ngeles. Cakrawaja hendak bicara, tapi Haryo mencegahnya. “Tumenggung Sukmo, kami ingin mengajakmu ke suatu tempat, menemui seseorang.”“Sekarang, Tuanku?” Tumenggung Sukmo menatap Haryo dan Cakrawaja bergantian. Ajakan Haryo nampaknya mempunyai maksud lain dari hanya sekedar mengajak pergi. “Boleh saya mengajak Jayengwira?” Pertanyaannya dijawab anggukan oleh Haryo. Tumenggung Sukmo pamit ke belakang dan kembali bersama Jayengwira. Mereka berempat pergi dengan kuda masing-masing, menuju tempat Enggar ditahan.Mijil sedang keluar dari rumahnya ketika melihat mereka lewat. Pangeran Haryo ada di Mertabumi lagi, mencurigakan. Apalagi bersama-sama dengan Tumenggung Sukmo dan Pangeran Cakrawaja. Mijil diam-diam mengikuti kemana rombongan itu pergi. Tidak berapa lama kemudian mereka tiba di rumah paling ujung di Mertabumi. Tumenggung Sukmo dan Jayengwira saling melihat, menebak-nebak maksud dari dua pangeran itu membawa mereka ke sana. Haryo dan Cakrawaja turun dari kuda, diikuti Tumenggung Sukmo dan Jayengwira.“Kau tahu rumah siapa ini?” tanya Cakrawaja.“Ini rumah Ki Waji. Sudah sebulan kosong. Hamba tidak tahu Tuanku berdua menginap di sini. Kalau Tuanku berkenan menginap di tempat hamba.”“Itu tidak penting,” kata Haryo. “Silahkan masuk.” Haryo mengajak mereka masuk ke dalam rumah. Mereka langsung menuju ke sebuah kamar dengan pintu terkunci. Haryo membuka pintu itu. Tumenggung Sukmo dan Jayengwira tersentak ketika melihat sosok gadis yang terbaring di atas balai-balai, tertidur lelap. Meskipun dandanannya berbeda, tetapi wajahnya amat mereka kenal. “Itu...Itu...” Tumenggung Sukmo kesulitan untuk meneruskan kata-katanya.“Puteri Anggoro.” Cakrawaja yang menjawab. “Dia masih hidup.” Muka keduanya pucat. Haryo bisa melihat tangan mereka gemetaran. “Bagaimana mungkin Puteri Anggoro masih hidup?” tanya Tumenggung Sukmo.“Tumenggung Sukmo, ada yang mau kamu ceritakan pada kami sebelum kami memberimu banyak pertanyaan?” tanya Haryo yang mempersilahkan mereka keluar dari kamar itu.“Jadi siapa yang meninggal dalam keadaan terbakar itu, Jayengwira? Kau yang menemukannya kan? Kalau ini Puteri Anggoro, jadi siapa yang kau temukan?” tanya Tumenggung Sukmo pada Jayengwira.“Kakang, aku juga tidak tahu apa yang terjadi. Tidak mungkin ada dua orang yang sama. Yang terbakar itu benar-benar Puteri Anggoro. Cincin yang dikenakannya adalah milik Puteri Anggoro.” Jayengwira nampak kebingunan. “Tuanku, dimana Tuanku menemukan Puteri Anggoro ini?”“Tidak penting bagaimana kami menemukannya. Ada yang tidak beres dengan kasus ini sejak awal. Aku membawa perintah dari istana untuk menyelidiki ulang kasus pembunuhan Sukmana. Puteri Anggoro kemungkinan hanya dijebak. Aku akan membawanya ke istana untuk mendapatkan pengadilan.” Haryo menatap Tumenggung Sukmo tajam.“Tapi kejadiannya sudah jelas. Puteri Anggoro membunuh anak hamba.”“Itu akan kita lihat lagi, Tumenggung Sukmo. Aku diberi wewenang untuk melakukan pemeriksaan menyeluruh. Aku akan minta bantuanmu menghadirkan saksi-saksi untuk menemuiku. Setelah kamu kembali ke rumah, buatlah daftar nama-nama siapa saja yang ada pada hari pembunuhan itu, serahkan padaku dan aku akan memanggil mereka satu per satu. Mengerti?” perintah Haryo.“B..baik, Tuanku.” Tumenggung Sukmo dan Jayengwira berpamitan pada Haryo dan Cakrawaja. Mereka pergi dengan keresahan di wajah mereka.“Kau diberi wewenang istana untuk menyelidiki ulang kasus ini?” tanya Cakrawaja. “Kenapa tidak memberitahuku sebelumnya?”“Sekarang kamu sudah tahu.” Haryo masuk kembali ke dalam rumah dan mengecek keadaan Enggar. Sebentar lagi mungkin dia akan sadar.Cakrawaja mengepalkan tangan, kesal pada Haryo Tindakan Haryo memaksanya untuk menemui seseorang agar rencananya tidak terganggu.***
Mata Enggar tidak berkedip menatap Haryo. Bukan dengan pandangan penuh kekaguman seperti biasanya, tapi pandangan sebal luar biasa. Orang yang selama ini dipikirnya baik, ternyata punya udang di balik tepung. “Apa kamu tidak akan bicara padaku sama sekali? Aku tidak mendengar suaramu dua hari ini. Padahal biasanya kamu...” Haryo tidak meneruskan kalimatnya karena Enggar melengos. “Maafkan aku, Enggar, tapi aku harus melakukan ini untuk menyelesaikan tugasku. Dan itu akan membantumu juga untuk terbebas dari masalah yang sebenarnya memang tidak ada hubungannya denganmu sebagai Enggar, tapi terkait erat denganmu sebagai Anggoro. Kehadiranmu di sini akan membongkar apapun yang direncanakan oleh orang-orang tertentu pada kerajaan Majapahit. Rencana yang tidak baik.”Haryo mendekat ke balai-balai tempat Enggar duduk, tapi Enggar menggebrak balai-balai itu. Haryo nggak jadi mendekat.“Seharusnya aku memberitahumu sebelum membawamu kemari. Tapi aku sudah pernah mencoba mengajakmu kesini kan? Waktu kita makan ikan bakar di sungai?” Haryo tersenyum, tiba-tiba saja teringat saat Enggar kejebur. “Seperti yang pernah kamu bilang, membawamu ke istana untuk bertemu Pangeran Palawa dan Hakim Jogoroso akan percuma saja, karena kamu bukan Puteri Anggoro. Dan tujuan Barata membawamu menemui Mpu Soma untuk mendapatkan cara kembali ke masa depan juga tidak membuahkan hasil. Daripada tidak ada hal yang bisa dilakukan, kamu lebih baik kubawa kemari dan menuntaskan masalah utama yang terkait denganmu sebagai Anggoro. Aku akan menanyai orang-orang yang ada di tempat kejadian dan menyelidiki beberapa hal. Kehadiranmu di sini sudah menciptakan riak di danau yang tenang. Tidak lama lagi suasana akan bergolak. Semakin cepat kasus ini selesai, semakin baik, karena kamu akan bisa konsentrasi untuk mencari jalan pulang, tanpa harus dikejar-kejar mereka lagi. Orang-orang yang ingin mencelakaimu kemungkinan besar akan mendatangimu. Jangan takut, aku menempatkan beberapa orang kepercayaanku untuk menjagamu di sini, kamu tidak perlu kuatir.” Kata-kata Haryo sungguh terdengar manis di telinga Enggar, tapi menyadari dia digunakan sebagai umpan, Enggar emosinya tidak bisa ditahan lagi. Dia turun dari balai-balai dan mendatangi Haryo, lalu meninju dada laki-laki itu. Haryo spontan menghindar, sehingga tangan Enggar mendarat di dinding. Enggar jongkok sambil meniupi tangannya agar rasa panasnya berkurang.“Maaf, aku tidak sengaja.” Haryo meraih tangan Enggar dan mengelusnya lembut. “Sakit?” tanya Haryo. Enggar mau menyemprot Haryo dengan banyak kata, tapi mata Haryo menguncinya. Dia sepertinya sungguh-sungguh kuatir padanya. Sesaat Enggar meleleh. Enggar membuka pintu kamarnya dan mendorong Haryo keluar sebelum dia luluh. Dibantingnya pintu itu keras-keras saat Haryo sudah berada di luar. Enggar tidak mau berurusan dengannya.Gadis itu menuju pojok ruangan, menempelkan tubuhnya ke dinding. berpikir keras kenapa harus terkirim ke Majapahit, “menjadi” Puteri Anggoro yang terlibat pembunuhan, terkait dengan sebuah “rencana” yang dia sama sekali tidak tahu. Enggar membalikkan badan lalu tubuhnya melorot hingga jongkok. Mau menangis, tapi air matanya tidak keluar. Sudah mencoba mengerjapkan mata berkali-kali dan terisak-isak palsu, masih saja tidak berhasil. Rencana pada Majapahit. Rencana yang tidak baik. Rencana apa? Singo Abang pernah menyebut hal itu juga, jadi kemungkinan besar memang ada sebuah rencana. Enggar mengerutkan dahi, mengingat-ingat apa yang sudah diketahuinya tentang sejarah Majapahit yang terhubung dengan nama-nama seperti Anggoro, Sukmo, Cakrawaja, Jayengwira dan sebagainya. Tidak, dia tidak tahu.Pemberontakan Ranggalawe, Sora, Nambi, Ra Kuti, Enggar menduga-duga kemungkinan yang disebut rencana itu adalah rencana pemberontakan. Tapi pemberontakan yang dipikirkannya sudah terjadi.Suara guntur menggelegar, mengagetkan Enggar. Dia buru-buru bangun dan naik ke atas balai-balai. Udara dingin menyelusup masuk. Enggar duduk memeluk kakinya. Pintu ruangan itu terbuka. Haryo datang membawa selimut. Dia tahu Enggar masih marah, jadi Haryo hanya meletakkan selimut itu di balai-balai, lalu pergi lagi. Enggar mengambil kain tebal itu dan membungkus dirinya. Sesuatu terjatuh di samping Enggar. Sebuah keris kecil, kemungkinan diselipkan di lipatan kain. Enggar mengambilnya. Apa Haryo sengaja memberikan padanya untuk melindungi diri? Enggar memandang pintu dan keris kecil itu bergantian. Dia akan menyimpannya. Kantuk tidak memberi kesempatan pada Enggar untuk meneruskan usahanya mencari jawaban. Dia terlelap, tepat saat seseorang meniupkan asap dari bambu kecil yang diselipkan ke lubang dinding.
***
Published on December 26, 2016 18:12
December 20, 2016
Gandrung #12
“Aku ingin bicara berdua saja dengan Enggar,” kata Mpu Soma ketika Singo Abang dan Haryo berdiri dari duduknya. Mpu Soma mengajak Enggar jalan-jalan di malam hari ini.Udara pegunungan yang dingin memaksa Enggar menyelimuti tubuhnya dengan kain. Mereka berjalan pelan-pelan menuju danau yang berada di belakang petak tanaman obat. Enggar baru tahu di sana ada danau karena tertutup oleh jajaran pepohonan.Sinar bulan yang mengantung di langit dipantulkan oleh permukaan danau. Airnya yang tenang seperti sebuah cermin raksasa. Bayangan pepohonan di pinggir danau juga nampak di sana. Enggar merasa sedang berada di dunia lain dengan keheningan yang membius itu.Mpu Soma mempersilahkan Enggar duduk di sebuah batu besar, sementara dia duduk di batu yang berada tak jauh dari Enggar. Orang tua itu memejamkan mata dan menghirup napas dalam-dalam.“Bagaimana menurutmu tempat ini?”“Tenang dan indah. Tapi lumayan bikin seram kalau kesini sendirian. Takut tiba-tiba muncul monster dari dalam sana hehehe,” kata Enggar setengah bercanda setengah serius. Enggar menghela napas panjang sebelum bicara lagi. “Maaf, Mpu. Saya tidak tahu Bang Singo sudah cerita apa saja, tapi saya butuh bantuan Mpu untuk pulang ke jaman saya. Saya nggak mungkin berada di sini.”“Benar. Apalagi dengan pengetahuanmu.”“Maksudnya?” Enggar tidak mengerti.“Pengetahuanmu akan masa depan Majapahit.” Mpu Soma terdiam sejenak, memberi kesempatan pada Enggar untuk memahami arah pembicaraannya. “Kamu tahu itu?”“Nggak juga...” Enggar nyengir malu.“Kerajaan ini masih belum kuat. Banyak orang menginginkan apa yang bukan hak mereka. Apa yang seharusnya dilakukan, tidak dilakukan. Apa yang seharusnya tidak dilakukan malah dikerjakan. Semuanya berebut, baik terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi.” Mpu Soma memandang ke arah langit.Enggar merapatkan kain yang menyelimutinya. Pembicaraan tingkat tinggi begini bukan yang diharapkannya. Pikirannya sederhana saja. Dia mau kembali ke masa depan, apa Mpu Soma bisa membantunya? “Mpu, maaf nih, memotong. Bagaimana saya bisa pulang?”“Sebelum membicarakan tentang hal itu, aku ingin kamu mengerti dulu posisimu saat ini, karena itu yang akan kamu hadapi nanti. Kedatanganmu bisa membawa kepada dua hal. Kesiapan dan bencana,” kata Mpu Soma, makin serius.“Bencana? Jangan membuat saya takut, Mpu. Memangnya apa yang bisa saya lalukan sampai menimbulkan bencana?” tanya Enggar masih belum paham.“Seperti yang kusampaikan tadi. Pengetahuanmu akan masa depan Majapahit sangat berbahaya. Singo Abang memberitahuku tentang Hayam Wuruk dan Gajah Mada. Itu salah satu contoh saja. Aku yakin kamu tahu lebih banyak dari sekedar itu.” Mpu Soma menatap Enggar dalam-dalam.Enggar mengatupkan mulut. Dia memang tahu beberapa hal tentang Majapahit, mulai berdiri hingga keruntuhannya, dari buku dan pelajaran sejarah. Tapi pengetahuan itu juga belum tentu semuanya benar seratus persen. “Bagaimana itu bisa menjadi bencana, Mpu?”“Pengetahuan adalah senjata. Kalau kamu membicarakan pengetahuanmu pada orang yang berambisi untuk berkuasa, mereka akan membuat langkah-langkah untuk memastikan pengetahuanmu sejalan dengan mereka.”“Saya tidak memberitahu siapa-siapa kok, hanya ke Bang Singo. Hanya tentang Hayam Wuruk jadi raja dan Gajah Mada jadi Mahapatih. Itu saja.” “Ada beberapa orang yang bisa membaca tanda masa depan, tapi hanya mampu memberi peringatan apa yang akan terjadi dengan Majapahit nantinya. Tetapi kamu, kamu sudah berada di masa depan, dimana segala sesuatu yang menimpa Majapahit adalah sebuah kepastian. Kamu tahu siapa, kapan, dimana, dan bagaimana itu terjadi.”Makin runyam urusannya. Enggar tidak berpikir sampai kesitu. Lagipula dia tidak tahu detail tentang Majapahit. Guru sejarah mungkin lebih tau. “Yang ingin kukatakan adalah kamu harus berhati-hati selama di sini. Identitasmu harus dijaga kerahasiannya. Apalagi saat ini kamu sedang diburu oleh orang-orang tertentu. Mungkin mereka memburumu untuk alasan pembunuhan di Mertabumi, tapi kalau mereka sampai tahu mengenai jati dirimu, mereka pasti menginginkan hal yang lebih dan itu sangat berbahaya bagi kerajaan ini nantinya. Sampai kamu menemukan cara untuk kembali, kamu harus mengunci rapat pengetahuanmu,” kata Mpu Soma.“Lalu bagaimana caranya saya kembali?”“Maaf, anakku. Saat ini aku benar-benar tidak tahu,” ucap Mpu Soma lirih.“Terus bagaimana saya?” Bibir Enggar mulai bergetar menahan tangis. Dia menaruh harapan besar Mpu Soma bisa membantu. “Tapi aku akan mencari cara untuk membantumu,” janji Mpu Soma. “Sementara tinggallah di sini dulu. Renungkanlah apa yang kusampaikan tadi.” Enggar lemes. Dia pikir malam ini akan dapat berita bahagia, ternyata malah berita yang menambah kadar stres. Caranya begini dia harus berusaha sendiri untuk cari alternatif cara pulang. Salah satunya adalah dengan sugesti bahwa semua ini adalah mimpi dan dia ketika dia terbangun, semuanya kembali normal. Kesimpulannya, dia harus segera tidur.Enggar kembali ke pondok setelah berpamitan. Mpu Soma hanya menjawab dengan anggukan kecil. Setelah Enggar hilang di balik pepohonan, Mpu Soma berjalan menembus kabut, menuju pondok obatnya di belakang.Haryo yang menyambut Enggar pertama kali terlihat sedikit cemas karena ekspresi wajah Enggar tidak menunjukkan kegembiraan. Singo Abang yang menunggu di depan pintu pondoknya mengepalkan tangan. Mpu Soma sepertinya belum bisa berbuat apa-apa. Harus kemana lagi mencari bantuan untuk Enggar. ***
Enggar terbangun dengan napas tersengal. Baru saja dia bermimpi buruk, diburu oleh Cakrawaja. “Aaaaaaa!” Enggar menjerit ketika melihat sesosok bayangan hitam menjulang di hadapannya mengacungkan pedang. Spontan Enggar mengambil benda-benda di sekitarnya dan melemparkan ke arah sosok itu. Bayangan itu mundur, tampak kaget karena tidak menyangka Enggar akan bangun dan langsung berkelebat pergi, seperti angin. Tergopoh-gopoh Enggar keluar dari pondok. Dia kebingungan hendak lari kemana. Kabut hanya memberinya jarak satu meter untuk melihat. Sambil meraba-raba Enggar berlari. Lalu dia menabrak seseorang.“Jangan bunuh aku!” teriaknya sambil menutupi kepalanya.“Enggar!” Orang itu menguncang badan Enggar ketika dia meronta-ronta seperti kesetanan. “Kamu kenapa? Berhenti memukuliku. Ini aku, Singo Abang.” “Bang, ada yang mau membunuhku! Huhuhu, nggak sanggup lagi, aku mau pulang. Aku nggak mau mati di sini. Bunda...” Enggar jongkok dengan lutut gemetaran. Singo Abang dengan lembut menariknya berdiri. Nyala titik-titik api muncul dari balik kabut. Sebentar kemudian orang-orang mendekat, mengerumuni Singo Abang dan Enggar yang tampak ganjil. Dua orang laki-laki berpelukan begitu.“Ada penyusup, dia menyerang adikku. Cepat periksa sekitar sini!” seru Singo Abang pada orang-orang itu sebelum mereka berpikir yang aneh-aneh. Mereka segera berpencar untuk memeriksa, sementara Singo Abang membawa Enggar kembali ke pondok. “Bang, dia bawa pedang. Dia berdiri di sini,” Enggar yang masih gemetaran menunjukkan posisi sosok yang dilihat tadi. Dia terus-menerus berada di belakang Singo Abang sementara laki-laki itu memeriksa isi pondok. “Yakin bukan mimpi?” tanya Singo Abang yang sudah ada di teras pondok.“Mimpiku dikejar Pangeran Cakrawaja, Bang. Yang berpedang itu aku melihatnya setelah bangun.” Enggar menyusul keluar.“Kamu tidak mengenalinya?” tanya Singo Abang.“Nggak, dia cepat-cepat pergi saat aku berteriak.”“Bicara soal teriak, kalau kamu terlalu sering berteriak, orang-orang di sini akan mencurigaimu kalau kamu perempuan,” kata Singo Abang.“Lho, bukannya mereka sudah tahu aku perempuan?” Enggar bertanya.“Mereka hanya mengiramu bocah laki-laki yang gagal tumbuh,” jawab Singo Abang keceplosan. “Ng, maksudnya suara laki-lakimu belum terbentuk.”“Tapi harusnya mereka tahu aku perempuan, cantik rupawan begini.”Hidung Enggar menumbuk punggung Singo Abang yang berhenti mendadak. Laki-laki itu meliriknya sesaat lalu menggeleng-gelengkan kepala tanda kurang setuju. Singo Abang kemudian jongkok, mencari jejak. “Apa yang terjadi?” Haryo muncul dari balik kabut.“Ada penyusup masuk kesini,” kata Singo Abang. “Pintu pondok dibuka dengan paksa. Tempat ini sudah tidak aman.” “Apa? Enggar, kamu baik-baik saja?” tanya Haryo kuatir. Enggar mengangguk. “Untung aku terbangun waktu itu, Mas. Kalau nggak, aku pasti sudah mati,” kata Enggar. “Eh, tapi mungkin kalau itu terjadi aku bisa kembali ke masa depan ya?”“Hus, jangan ngomong sembarangan. Sekarang kamu istirahat saja dulu, aku akan berkeliling untuk mengecek sekali lagi.” Singo Abang menuju jalan setapak. “Haryo, kamu mau terus di sini?”“Jangan kuatir Enggar, kami akan memastikan kamu aman.” Haryo menyusul Singo Abang keluar. “Kamu kembalilah tidur.”“Aku nggak mau sendirian! Aku ikut kalian.” Enggar mengejar mereka. Singo Abang dan Haryo saling berpandangan. Walaupun tanpa berkata-kata nampaknya mereka saling berkomunikasi dan bagi tugas. Setelah keduanya mengangguk, Haryo pergi, sedangkan Singo Abang tinggal.“Aku akan berada di luar sini menjagamu. Kamu masuk saja. Jangan kuatir,” kata Singo Abang yang berdiri di luar pintu.“Nggak ah, aku di sini saja, nggak mau tidur. Takut.” Enggar duduk di depan pintu, tak jauh dari tempat Singo Abang berdiri.Orang-orang bermunculan lagi dari balik kegelapan, melaporkan kalau mereka tidak menemukan siapapun. Kemungkinan besar penyusup itu sudah pergi dari kediaman Mpu Soma. Singo Abang berterima kasih pada mereka dan mempersilahkan mereka kembali ke tempat masing-masing. Meskipun begitu Pak Susatra menugaskan beberapa orang untuk sekali lagi berkeliling dan menempatkan mereka di pos-pos tertentu untuk berjaga. Kejadian seperti ini belum pernah ada sebelumnya. Ketika semua orang sudah pergi, Singo Abang duduk di sebelah Enggar. “Masuklah ke dalam. Udara di luar dingin, nanti kamu sakit.”“Aku nggak ngantuk kok,” kata Enggar sambil menguap.“Menguap terus bilangnya tidak ngantuk. Sudah, masuk saja, aku akan tetap di sini. Dia tidak akan berani kembali. Masuklah.” Enggar sekali lagi menguap. “Abang tetep di sini kan?”“Iya,” jawab Singo Abang. Rasa iba menguasai hatinya melihat wajah pucat gadis itu. Hampir saja tangannya bergerak untuk mengelus pipi Enggar, memberinya kepastian rasa aman, tapi buru-buru ditepisnya niat itu.“Betul ya?” Enggar bangkit dan membuka pintu. “Jangan kemana-mana. Pokoknya kalau aku panggil Abang harus menjawab, jadi aku tahu Abang masih di luar,” lanjut Enggar yang hanya terlihat kepalanya saja.“Iya, iya, berisik sekali. Cepat masuk.” Suara lembut Singo Abang berubah. “Awas kalau Abang pergi dari situ.” Enggar masih juga belum masuk. Sring! Singo Abang mengeluarkan pedang. Sudah geregetan nampaknya. Enggar buru-buru masuk dan menutup pintu rapat-rapat. Gadis itu tersenyum samar. Dia bisa membuat Singo Abang geregetan, dia pasti akan bisa membuat Singo Abang tersenyum, bahkan tertawa suatu saat. Mata Enggar menjelajahi seluruh sudut ruangan. Darimana penyusup itu masuk? Singo Abang menduga dari atap, tapi Enggar tidak melihat keanehan pada atapnya. Atau karena dia orang awam, tidak tahu ilmu susup menyusup?Enggar berjalan ke arah meja, mengambil lampu minyak. Dibawanya lampu minyak itu dan mulai memeriksa lagi ruangannya. Dijelajahi sudut per sudut, jengkal per jengkal. Siapa tau menemukan sesuatu yang bisa memberi informasi siapa penyusup tadi. Tapi kalau orang itu penyusup atau ninja profesional rasanya bakalan susah nyari jejaknya.Singo Abang menggeleng-gelengkan kepala di luar sana. Beberapa kali dia mendengar suara sesuatu terantuk atau benda digeser. Enggar menguap tertahan. Sudah capek begini tidak menemukan apa-apa. Akhirnya dia naik ke balai-balai, merebahkan diri. “Bang, masih di situ kah?”“Tidur sana!” Terdengar suara Singo Abang.Dikatupkannya matanya, berusaha untuk tidur. Posisi tidurnya beberapa kali berubah, tidak juga terasa nyaman. Enggar memandang ke arah luar. “Bang, masih di situ kan?” tanya dia, mengetes apakah Singo Abang masih ada.“Sekali lagi kamu panggil-panggil, kubawakan Jambul untuk menemanimu, biar habis kamu dihajarnya,” ucap Singo Abang geram. Enggar terkekeh pelan. Suara malam mulai meninabobokkan Enggar. Matanya semakin berat dan dunia mimpi mulai menyambutnya. Bayangan hitam berlari, melompati dinding, memanjat menuju atap. Seringainya membuat bulu kuduk berdiri. Di sebuah ruangan seseorang pemuda tergeletak bersimbah darah. Gadis yang berada di sampingnya duduk mematung dengan sebilah keris di tangan. Gadis itu dia. Tubuh Enggar tersentak dan matanya membuka lebar. Malam ini mimpinya tidak ada yang beres. Enggar buru-buru turun dari balai-balai dan menuju pintu, mau melihat apa Singo Abang masih berada di luar. Betul, dia masih ada di depan pondok, duduk dan tampak mengantuk. “Bang, nggak tidur semalaman ya? Sekarang Abang balik aja ke pondok, tidur. Aku sudah nggak takut lagi kok. Lagipula sudah mulai pagi ini.”Singo Abang mengusap wajahnya. “Bagaimana tidurmu?”“Mimpi buruk lagi. Tapi setidaknya hanya mimpi.”“Mimpi apa?”Enggar mau menceritakan, tapi melihat wajah Singo Abang yang seperti orang kurang darah dan kurang vitamin itu dia membatalkannya. “Nanti kuceritakan. Sekarang Abang tidur saja dulu.” Enggar mengayunkan tangannya untuk mengurangi hawa dingin. “Sebentar lagi anak-anak sini pada latihan? Aku mau jadi instruktur senam lagi ah. Nanti kutambah poco-poco biar lebih seru.”Singo Abang memijit dahinya. Makin mengenal Enggar makin dia terheran-heran dengan sifatnya. Gadis itu bisa santai atau melakukan hal konyol sementara dia dalam bahaya. Satu waktu histeris, beberapa saat kemudian sudah tertawa. Apa itu cara dia untuk mempertahankan kewarasan? Menjaga keseimbangan emosi? Atau dia memang benar-benar berkepribadian ganda. “Aku mau ke pancuran.” Enggar ke belakang pondok diikuti Singo Abang. Setelah selesai membersihkan muka sekalian wudhu, Enggar balik ke pondok. Singo Abang hendak berjaga-jaga lagi, tapi Enggar berhasil membujuknya untuk kembali ke pondoknya sendiri untuk tidur.Enggar duduk terpekur di lantai beralaskan kain. Kain yang digunakan untuk mukena darurat sudah dilipat di depannya. Saat ini Enggar masih merasa begitu buntu. Kenapa Tuhan mengirimnya ke sini? Untuk apa? Dia selalu berdoa agar yang dialaminya adalah mimpi, tapi setiap kali terbangun dan membuka mata, dia tidak juga kembali ke masanya. Memikirkan kemungkinan dia akan benar-benar akan tinggal di Majapahit untuk selamanya membuat keringat dinginnya mengalir. Menghela napas berat, itu yang dilakukan Enggar sebelum melipat kain pengganti sajadah. “Apa ini?” Tangan Enggar menyentuh sesuatu yang jatuh dari lipatan kain. Sebuah sapu tangan sutera warna biru. Enggar bangkit dan mengangkat tangan kirinya yang memegang sapu tangan itu sejajar dengan matanya. Diamatinya baik-baik. Siapa yang punya? Kuping Enggar menegang, dia mendengar ada suara halus di belakangnya. Baru Enggar akan berbalik untuk melihat, tiba-tiba mulutnya dibekap dan sebuah tepukan berat mendarat di tengkuknya. Enggar terkulai seketika dan bayangan itu memanggulnya di pundak. Kemudian menghilang. ***
Enggar terbangun dengan napas tersengal. Baru saja dia bermimpi buruk, diburu oleh Cakrawaja. “Aaaaaaa!” Enggar menjerit ketika melihat sesosok bayangan hitam menjulang di hadapannya mengacungkan pedang. Spontan Enggar mengambil benda-benda di sekitarnya dan melemparkan ke arah sosok itu. Bayangan itu mundur, tampak kaget karena tidak menyangka Enggar akan bangun dan langsung berkelebat pergi, seperti angin. Tergopoh-gopoh Enggar keluar dari pondok. Dia kebingungan hendak lari kemana. Kabut hanya memberinya jarak satu meter untuk melihat. Sambil meraba-raba Enggar berlari. Lalu dia menabrak seseorang.“Jangan bunuh aku!” teriaknya sambil menutupi kepalanya.“Enggar!” Orang itu menguncang badan Enggar ketika dia meronta-ronta seperti kesetanan. “Kamu kenapa? Berhenti memukuliku. Ini aku, Singo Abang.” “Bang, ada yang mau membunuhku! Huhuhu, nggak sanggup lagi, aku mau pulang. Aku nggak mau mati di sini. Bunda...” Enggar jongkok dengan lutut gemetaran. Singo Abang dengan lembut menariknya berdiri. Nyala titik-titik api muncul dari balik kabut. Sebentar kemudian orang-orang mendekat, mengerumuni Singo Abang dan Enggar yang tampak ganjil. Dua orang laki-laki berpelukan begitu.“Ada penyusup, dia menyerang adikku. Cepat periksa sekitar sini!” seru Singo Abang pada orang-orang itu sebelum mereka berpikir yang aneh-aneh. Mereka segera berpencar untuk memeriksa, sementara Singo Abang membawa Enggar kembali ke pondok. “Bang, dia bawa pedang. Dia berdiri di sini,” Enggar yang masih gemetaran menunjukkan posisi sosok yang dilihat tadi. Dia terus-menerus berada di belakang Singo Abang sementara laki-laki itu memeriksa isi pondok. “Yakin bukan mimpi?” tanya Singo Abang yang sudah ada di teras pondok.“Mimpiku dikejar Pangeran Cakrawaja, Bang. Yang berpedang itu aku melihatnya setelah bangun.” Enggar menyusul keluar.“Kamu tidak mengenalinya?” tanya Singo Abang.“Nggak, dia cepat-cepat pergi saat aku berteriak.”“Bicara soal teriak, kalau kamu terlalu sering berteriak, orang-orang di sini akan mencurigaimu kalau kamu perempuan,” kata Singo Abang.“Lho, bukannya mereka sudah tahu aku perempuan?” Enggar bertanya.“Mereka hanya mengiramu bocah laki-laki yang gagal tumbuh,” jawab Singo Abang keceplosan. “Ng, maksudnya suara laki-lakimu belum terbentuk.”“Tapi harusnya mereka tahu aku perempuan, cantik rupawan begini.”Hidung Enggar menumbuk punggung Singo Abang yang berhenti mendadak. Laki-laki itu meliriknya sesaat lalu menggeleng-gelengkan kepala tanda kurang setuju. Singo Abang kemudian jongkok, mencari jejak. “Apa yang terjadi?” Haryo muncul dari balik kabut.“Ada penyusup masuk kesini,” kata Singo Abang. “Pintu pondok dibuka dengan paksa. Tempat ini sudah tidak aman.” “Apa? Enggar, kamu baik-baik saja?” tanya Haryo kuatir. Enggar mengangguk. “Untung aku terbangun waktu itu, Mas. Kalau nggak, aku pasti sudah mati,” kata Enggar. “Eh, tapi mungkin kalau itu terjadi aku bisa kembali ke masa depan ya?”“Hus, jangan ngomong sembarangan. Sekarang kamu istirahat saja dulu, aku akan berkeliling untuk mengecek sekali lagi.” Singo Abang menuju jalan setapak. “Haryo, kamu mau terus di sini?”“Jangan kuatir Enggar, kami akan memastikan kamu aman.” Haryo menyusul Singo Abang keluar. “Kamu kembalilah tidur.”“Aku nggak mau sendirian! Aku ikut kalian.” Enggar mengejar mereka. Singo Abang dan Haryo saling berpandangan. Walaupun tanpa berkata-kata nampaknya mereka saling berkomunikasi dan bagi tugas. Setelah keduanya mengangguk, Haryo pergi, sedangkan Singo Abang tinggal.“Aku akan berada di luar sini menjagamu. Kamu masuk saja. Jangan kuatir,” kata Singo Abang yang berdiri di luar pintu.“Nggak ah, aku di sini saja, nggak mau tidur. Takut.” Enggar duduk di depan pintu, tak jauh dari tempat Singo Abang berdiri.Orang-orang bermunculan lagi dari balik kegelapan, melaporkan kalau mereka tidak menemukan siapapun. Kemungkinan besar penyusup itu sudah pergi dari kediaman Mpu Soma. Singo Abang berterima kasih pada mereka dan mempersilahkan mereka kembali ke tempat masing-masing. Meskipun begitu Pak Susatra menugaskan beberapa orang untuk sekali lagi berkeliling dan menempatkan mereka di pos-pos tertentu untuk berjaga. Kejadian seperti ini belum pernah ada sebelumnya. Ketika semua orang sudah pergi, Singo Abang duduk di sebelah Enggar. “Masuklah ke dalam. Udara di luar dingin, nanti kamu sakit.”“Aku nggak ngantuk kok,” kata Enggar sambil menguap.“Menguap terus bilangnya tidak ngantuk. Sudah, masuk saja, aku akan tetap di sini. Dia tidak akan berani kembali. Masuklah.” Enggar sekali lagi menguap. “Abang tetep di sini kan?”“Iya,” jawab Singo Abang. Rasa iba menguasai hatinya melihat wajah pucat gadis itu. Hampir saja tangannya bergerak untuk mengelus pipi Enggar, memberinya kepastian rasa aman, tapi buru-buru ditepisnya niat itu.“Betul ya?” Enggar bangkit dan membuka pintu. “Jangan kemana-mana. Pokoknya kalau aku panggil Abang harus menjawab, jadi aku tahu Abang masih di luar,” lanjut Enggar yang hanya terlihat kepalanya saja.“Iya, iya, berisik sekali. Cepat masuk.” Suara lembut Singo Abang berubah. “Awas kalau Abang pergi dari situ.” Enggar masih juga belum masuk. Sring! Singo Abang mengeluarkan pedang. Sudah geregetan nampaknya. Enggar buru-buru masuk dan menutup pintu rapat-rapat. Gadis itu tersenyum samar. Dia bisa membuat Singo Abang geregetan, dia pasti akan bisa membuat Singo Abang tersenyum, bahkan tertawa suatu saat. Mata Enggar menjelajahi seluruh sudut ruangan. Darimana penyusup itu masuk? Singo Abang menduga dari atap, tapi Enggar tidak melihat keanehan pada atapnya. Atau karena dia orang awam, tidak tahu ilmu susup menyusup?Enggar berjalan ke arah meja, mengambil lampu minyak. Dibawanya lampu minyak itu dan mulai memeriksa lagi ruangannya. Dijelajahi sudut per sudut, jengkal per jengkal. Siapa tau menemukan sesuatu yang bisa memberi informasi siapa penyusup tadi. Tapi kalau orang itu penyusup atau ninja profesional rasanya bakalan susah nyari jejaknya.Singo Abang menggeleng-gelengkan kepala di luar sana. Beberapa kali dia mendengar suara sesuatu terantuk atau benda digeser. Enggar menguap tertahan. Sudah capek begini tidak menemukan apa-apa. Akhirnya dia naik ke balai-balai, merebahkan diri. “Bang, masih di situ kah?”“Tidur sana!” Terdengar suara Singo Abang.Dikatupkannya matanya, berusaha untuk tidur. Posisi tidurnya beberapa kali berubah, tidak juga terasa nyaman. Enggar memandang ke arah luar. “Bang, masih di situ kan?” tanya dia, mengetes apakah Singo Abang masih ada.“Sekali lagi kamu panggil-panggil, kubawakan Jambul untuk menemanimu, biar habis kamu dihajarnya,” ucap Singo Abang geram. Enggar terkekeh pelan. Suara malam mulai meninabobokkan Enggar. Matanya semakin berat dan dunia mimpi mulai menyambutnya. Bayangan hitam berlari, melompati dinding, memanjat menuju atap. Seringainya membuat bulu kuduk berdiri. Di sebuah ruangan seseorang pemuda tergeletak bersimbah darah. Gadis yang berada di sampingnya duduk mematung dengan sebilah keris di tangan. Gadis itu dia. Tubuh Enggar tersentak dan matanya membuka lebar. Malam ini mimpinya tidak ada yang beres. Enggar buru-buru turun dari balai-balai dan menuju pintu, mau melihat apa Singo Abang masih berada di luar. Betul, dia masih ada di depan pondok, duduk dan tampak mengantuk. “Bang, nggak tidur semalaman ya? Sekarang Abang balik aja ke pondok, tidur. Aku sudah nggak takut lagi kok. Lagipula sudah mulai pagi ini.”Singo Abang mengusap wajahnya. “Bagaimana tidurmu?”“Mimpi buruk lagi. Tapi setidaknya hanya mimpi.”“Mimpi apa?”Enggar mau menceritakan, tapi melihat wajah Singo Abang yang seperti orang kurang darah dan kurang vitamin itu dia membatalkannya. “Nanti kuceritakan. Sekarang Abang tidur saja dulu.” Enggar mengayunkan tangannya untuk mengurangi hawa dingin. “Sebentar lagi anak-anak sini pada latihan? Aku mau jadi instruktur senam lagi ah. Nanti kutambah poco-poco biar lebih seru.”Singo Abang memijit dahinya. Makin mengenal Enggar makin dia terheran-heran dengan sifatnya. Gadis itu bisa santai atau melakukan hal konyol sementara dia dalam bahaya. Satu waktu histeris, beberapa saat kemudian sudah tertawa. Apa itu cara dia untuk mempertahankan kewarasan? Menjaga keseimbangan emosi? Atau dia memang benar-benar berkepribadian ganda. “Aku mau ke pancuran.” Enggar ke belakang pondok diikuti Singo Abang. Setelah selesai membersihkan muka sekalian wudhu, Enggar balik ke pondok. Singo Abang hendak berjaga-jaga lagi, tapi Enggar berhasil membujuknya untuk kembali ke pondoknya sendiri untuk tidur.Enggar duduk terpekur di lantai beralaskan kain. Kain yang digunakan untuk mukena darurat sudah dilipat di depannya. Saat ini Enggar masih merasa begitu buntu. Kenapa Tuhan mengirimnya ke sini? Untuk apa? Dia selalu berdoa agar yang dialaminya adalah mimpi, tapi setiap kali terbangun dan membuka mata, dia tidak juga kembali ke masanya. Memikirkan kemungkinan dia akan benar-benar akan tinggal di Majapahit untuk selamanya membuat keringat dinginnya mengalir. Menghela napas berat, itu yang dilakukan Enggar sebelum melipat kain pengganti sajadah. “Apa ini?” Tangan Enggar menyentuh sesuatu yang jatuh dari lipatan kain. Sebuah sapu tangan sutera warna biru. Enggar bangkit dan mengangkat tangan kirinya yang memegang sapu tangan itu sejajar dengan matanya. Diamatinya baik-baik. Siapa yang punya? Kuping Enggar menegang, dia mendengar ada suara halus di belakangnya. Baru Enggar akan berbalik untuk melihat, tiba-tiba mulutnya dibekap dan sebuah tepukan berat mendarat di tengkuknya. Enggar terkulai seketika dan bayangan itu memanggulnya di pundak. Kemudian menghilang. ***
Published on December 20, 2016 19:19
December 15, 2016
Gandrung #11
Singo Abang mondar-mandir di halaman klinik. Sesekali dia melihat ke arah pintu gerbang, menanti kedatangan Haryo dan Enggar. Sudah sore begini belum muncul juga. Jambul Abang mondar-mandir tak jauh dari Singo Abang. Sengaja atau tidak sepertinya monyet menirukannya. Orang-orang di pendopo klinik saling berbisik dan tersenyum melihat kedua makluk itu.“Apa kamu liat-liat?” bentak Singo Abang pada si monyet yang mulai membuatnya senewen. “Tidak tahu apa orang sedang pusing?”“Nakmas Barata.” Pak Susatra memanggil Singo Abang. “Mbah So sudah tiba. Mari saya antar menemuinya.”“Beliau sudah datang?” Singo Abang ragu sesaat, mau menunggu Enggar pulang dulu atau menemui Mpu Soma. Akhirnya dia memutuskan untuk mengikuti Pak Susatra ke belakang. Mereka berjalan melewati semua kompleks bangunan, menuju ke hutan kecil setelah kebun buah. Di hutan kecil itu ada sebuah pondok yang sering dipakai Mpu Soma untuk menyendiri bila sedang tidak ingin diganggu oleh kegiatan di kediamannya. Biasanya juga beliau meracik obat-obat baru di situ. Pak Susatra meninggalkan Singo Abang setelah mempersilahkannya masuk. Hal pertama yang dilihat oleh Singo Abang begitu memasuki pondok adalah sebuah meja besar berukuran hampir dua setengah meter kali satu setengah meter yang ada di tengah ruangan. Di atas meja itu ada berbagai macam botol, cawan, mangkok, kendi, guci dari keramik, perak maupun dari gerabah. Benda-benda gerabah dari tanah liat didapatkan dari sekitar sini saja, dibuat sendiri oleh beberapa penduduk desa, sedangkan benda-benda dari keramik dibeli dari pedagang dari Cina di kota. Singo Abang melihat keranjang-keranjang kecil berisi berbagai macam biji-bijian, daun-daunan, kulit dan akar kering. Ada juga beberapa macam serbuk berwarna yang ditempatkan di wadah seperti toples. Semua tertata rapi.Di dinding sebelah kanan meja terdapat rak-rak berisi lembaran-lembaran daun kajang yang disusun sedemikian rupa. Daun kajang merupakan media untuk menulis, seperti halnya kertas. Hanya saja menulisnya tidak menggunakan tinta tapi dengan pisau tajam sebagai pena. Jadi rak itu berfungsi sebagai rak buku. Selain daun kajang, ada juga lembaran kulit hewan yang digulung, yang juga digunakan untuk media menulis atau menggambar.Ada beberapa alat yang diletakkan di sisi kiri meja. Sebagian besar terbuat dari logam, berupa penjepit, pisau, gunting, kaki untuk meletakkan wadah, penyaring, sesuatu berbentuk seperti penggorengan dan peralatan lain. Beberapa lampu minyak ada di meja itu pula.“Sudah berapa tahun kamu tidak main ke sini, Barata? Kupikir kamu sudah lupa menengok orang tua ini.” Seseorang keluar dari ruangan di belakang ruang kerja itu. Singo Abang langsung mendekati orang tersebut dan memeluknya erat seperti cucu kepada kakeknya yang sudah lama tidak bertemu.Mpu Soma masih seperti dulu meskipun rambutnya sekarang benar-benar putih semua. Rambutnya panjang sebahu diikat dengan rapi dan jenggotnya bahkan lebih panjang. Ikat kepala yang digunakan juga berwarna putih, sebagaimana pakainannya. “Mpu Soma sehat?”“Ya, beginilah. Harus sering jalan-jalan ke gunung biar tetap segar. Bagaimana keadaanmu? Masih belum selesai menghadapi badaimu?” tanya Mpu Soma dengan senyum penuh arti. “Ketika kamu memutuskan untuk keluar dari rumah, aku senang. Meski mungkin sebelumnya tujuanmu untuk melupakan sesuatu, tapi banyak hal terjadi di luar, yang aku yakin sedikit demi sedikit telah mengubahmu. Kalau tidak, kamu tidak akan berada disini.” Mpu Soma mengeluarkan sebuah tas yang terbuat dari kulit kambing. Di dalamnya ada berbagai macam dedaunan, akar, buah, bunga, kulit pohon, getah, bahkan tanah. “Mpu, saya membutuhkan bantuan Mpu.”“Hahaha. Kamu masih seperti dulu, tidak pakai basa-basi. Kalau begitu kita jalan-jalan dulu sebentar di sekitar sini, sambil mencari madu. Ayo.”Mpu Soma mengajak Singo Abang keluar dari pondok dan mereka berjalan di hutan itu. Sambil jalan Singo Abang menceritakan tentang kejadian di Mertabumi, keadaan Puteri Anggoro dan “munculnya” Enggar dari negeri antah berantah. Mpu Soma mendengarkan dengan penuh perhatian.“Jadi, bagaimana menurut Mpu?” tanya Singo Abang.“Menurutku, kamu harus membantuku mengambilkan madu di atas pohon itu. Cukup berbahaya, tapi itu madu terbaik. Hati-hati dengan sengatan lebahnya. Aku tunggu di sini. Naiklah ke atas sana.”Kita tinggalkan dulu Singo Abang dengan tugasnya. Di depan sana, tampak dua orang memasuki gerbang. Haryo dan Enggar. Mereka tadi keluar tanpa membawa kuda, karena kuda Haryo menolak siapapun kecuali si empunya. Dan Enggar belum bisa naik kuda sendiri. Jambul Abang menyambut. Tatapan matanya mengarah ke Enggar, begitu menurut perasaan Enggar. Setiap Enggar melangkah maju, si Jambul juga begitu. Enggar ke kanan, dia menghadang. Enggar ke kiri, dia menghalangi. “Hush...sana! Jauh-jauh sana!” Enggar mengusir-usir Jambul Abang, tapi si monyet cuek saja. “Kenapa sih sama si Jambul nih? Naksir aku ya? Sori, aku sudah ada yang punya tuh!” seru Enggar.“Siapa?” tanya Haryo. “Siapa apanya?” tanya Enggar. Tadi dia hanya asal bicara.“Kekasihmu. Katamu kamu sudah ada yang punya.”Enggar menoleh. “Mas Haryo, usirin Jambul dong. Dia mau menggigitku deh kayaknya.” Enggar tidak mau menjawab.“Ayo, kukawal.” Haryo mengulurkan tangan, menanti sambutan Enggar.“Pangeran Haryo.” Pak Susatra keluar dari klinik dan menghampiri mereka. Jambul Abang menyingkir begitu Pak Susatra datang. “Mbah So sudah turun dari gunung. Saat ini Nakmas Barata sedang menemuinya.”“Sudah datang? Betul? Asyik. Aku bisa pulang dong. Di mana, Pak, mereka?” Enggar kelihatan bersemangat sekali mendengar berita yang disampaikan Pak Susatra. Mpu Soma sudah ada, berarti ada cara dia bisa kembali ke masa depan. “Di belakang ya?” Enggar berlari meninggalkan Haryo begitu Pak Susatra menunjuk arah belakang. Dalam perjalanan menuju hutan, Enggar melihat ada dua orang berjalan melewati bengkel kerja. Yang satu berbaju putih, satunya lagi berbaju hitam. Si baju putih tampak terang benderang karena dari ujung rambut ke ujung kaki putih semua. Bersih bersinar deh. Sedangkan si baju hitam tampak aneh, mukanya bentol besar di beberapa tempat. Tangannya juga. Merah ranum siap dipetik.Mpu Soma memperlambat jalannya ketika Enggar mendekat. Enggar menghentikan langkahnya saat melihat muka Singo Abang yang jadi abstrak. “Eh, kenapa, Bang, bengkak-bengkak begitu, habis disengat tawon?” tanya Enggar, mengitari Singo Abang dengan sedikit takjub. Sebanyak itu bentolnya.“Bertanya apa memastikan?” jawab Singo Abang. Enggar terkekeh, tapi segera terdiam karena wajah Singo Abang jadi galak. “Dia yang aku bilang, Mpu. Namanya Enggar.” Singo Abang memperkenalkan Enggar pada Mpu Soma.Enggar mengulurkan tangan, mengajak salaman. Mpu Soma menyambutnya. Ini nggak lazim, tapi mungkin itu cara orang di masa depan menyampaikan salam. “Selamat datang di Majapahit,” kata Mpu Soma. Wajahnya yang damai membuat Enggar merasa untuk pertama kalinya tidak merasa asing. “Sudah kutunggu kedatanganmu.”“Oh ya? Sanip cerita apa saja sama Mpu?” tanya Enggar.“Aku sudah menunggumu jauh sebelum Sanip kesini,” kata Mpu Soma penuh arti. Enggar nyengir tidak mengerti. “Sedikit berbeda dari dugaanku, tapi ini memang kamu, Enggar. Hm, matahari sudah hampir tenggelam. Kalian kembalilah dulu ke pondok masing-masing. Nanti malam kita bertemu di pondokku.” Mpu Soma menepuk punggung Singo Abang. Itu cowok mendesis. Yang ditepuk itu salah satu luka sengatannya. Mpu Soma menganggukan kepala ketika Haryo datang memberi salam. Mereka hanya saling menyapa kemudian berpisah. Haryo hendak mendatangi Singo Abang, tapi orangnya keburu pergi diikuti Enggar. “Apa yang terjadi padamu, Bar?” tanya Haryo. Dia menyusul Singo Abang dan Enggar. Singo Abang diam saja. “Kenapa, kamu marah padaku? Karena membawa Enggar seharian?” Singo Abang berhenti mendadak, membuat Enggar yang berjalan di belakangnya menubruk punggungnya.“Aduh.” Singo Abang berbalik. “Jangan menambah kejengkelanku ya. Bentol ini sudah cukup menyebalkan, kamu lagi nambah perkara,” ujarnya.“Memangnya apa salahku?” tanya Enggar bingung.“Aku yang membawa Enggar, kamu jangan menyalahkannya. Marah saja padaku,” kata Haryo sebelum Enggar disemprot sama Singo Abang. “Kamu di sini untuk bersembunyi, untuk mengamankan diri, bukannya plesir jalan-jalan kesana kemari. Mata-mata Sukmo sudah menyebar, juga orang-orang Cakrawaja. Kamu mau mereka mengetahui keberadaanmu? Kalau hanya latihan pedang-pedangan, nggak perlu sampai ke desa. Di sini juga bisa. Kalau hanya mau makan ikan bakar, di belakang juga ada. Mengerti?” Singo Abang melipat kedua tangannya di dada. Kata-katanya serius, apalagi dengan kernyit kesakitan seperti itu. Enggar hanya bisa menelan ludah. “Hei, aku sudah bilang jangan menyalahkannya,” bela Haryo. Singo Abang sama sekali tidak mempedulikan Haryo, matanya hanya menatap Enggar saja. “Aku hanya ingin Enggar sedikit lebih nyaman. Ini tempat asing...”“Ini tempat asing, jadi kamu harus lebih berhati-hati. Kamu kesini bukan untuk liburan,” potong Singo Abang. Enggar menggangguk. “Lain kali kalau mau kemana-mana, bilang padaku. Aku yang tentukan kamu boleh pergi atau tidak. Kamu itu tanggung jawabku. Mengerti?”“Bar, aku juga peduli akan keselamatannya.” Haryo maju lagi.“Kembali ke pondokmu,” perintah Singo Abang pada Enggar. “Kau mau ke klinik ya, Bang? Ikut dong,” kata Enggar, berniat menjelaskan yang dilakukannya tadi. Rasanya tidak enak merasakan kemarahan Singo Abang.“Tidak dengar barusan aku bilang apa?” Singo Abang menahan geram.“Tanganku agak melepuh setelah latihan seharian, aku mau diobati juga. Mas Haryo, aku ke klinik dulu sama Bang Singo ya. Dadah.” Enggar berjalan mendahului Singo Abang. Ketika dia menoleh ke belakang dan melihat Singo Abang berjalan lambat, Enggar menggerakkan tangannya, menyuruh laki-laki itu menambah kecepatan.Haryo berkacak pinggang sambil menggelengkan kepala. Sepertinya tidak akan semudah itu membawa Enggar pergi dari Singo Abang. Tapi justru ini akan lebih seru.“Sori, Bang. Maaf deh kalo Bang Singo marah. Sudah dong jangan monyong begitu, tambah abstrak mukanya. Aku kan ngikutin nasehat Abang untuk mulai berlatih pedang dan membela diri. Aku tahu aku nggak boleh sembarangan pergi, tapi kan aku nggak sendiri. Lagian tadi latihannya di tempat yang sepi kok, nggak menarik perhatian. Eh, tunggu dulu. Kok Abang tau sih kami latihan pedang, makan ikan bakar? Bang Singo emang tadi nyusul kesana? Di sebelah mana, kok aku nggak ngeliat?”Dunia milik berdua begitu mana bisa liat yang lain, batin Singo Abang. Kalau Enggar ada di istana dia yakin gadis itu pasti bergabung menjadi anggota kelompok pemuja Haryo. Singo Abang mempercepat jalannya, membuat Enggar harus berlari untuk mengejar. Tapi langkah Enggar terhenti karena ada Jambul Abang di halaman pendopo. “Mbul, kekasihmu datang,” kata Singo Abang pada Jambul Abang. Dia naik di pendopo, sementara Enggar membatu di halaman. Jambul Abang sudah mengunci jalannya. Enggar menyeringai pada Singo Abang, tapi laki-laki itu pura-pura tidak ngeliat. “Jambul, kita gencatan senjata dulu ya. Peace deh, peace.” Enggar angkat kaki perlahan.Jambul Abang tiba-tiba menerjang. Enggar berteriak sambil menutup mukanya. Pasrah lah kalau nasibnya harus dimakan monyet.Lho, kok tidak terasa ada cakaran atau gigitan di tubuhnya. Enggar membuka jari-jari tangannya dan melihat ada seseorang berdiri di depannya. Dilihatnya ke arah bawah, Jambul Abang terkulai di tanah. Masih hidup, tapi tampak lemas. Jangan-jangan Singo Abang menotoknya.“Lagi-lagi menutup mata setiap ada yang menyerang. Kamu tidak belajar dari pengalaman. Kalau kamu tidak membuka mata, mana bisa tahu dari arah mana dan kapan serangan akan datang? Kecuali kalau indra pendengaranmu sudah terlatih. Diserang dengan pedang, merem. Diserbu monyet, merem juga. Mana hasil latihanmu seharian?” Singo Abang menurunkan kedua tangan Enggar dari mukanya. “Cepat ke pendopo, aku akan membebaskannya.”Tanpa dibilangin dua kali Enggar lari ke pendopo. Singo Abang melepaskan totokannya dan monyet itu langsung bergerak-gerak, berlari menjauh.“Kenapa aku saja sih yang diincarnya?” tanya Enggar setelah Singo Abang menyusul ke pendopo.“Dia mungkin merasakan ada yang tidak semestinya pada Den Enggar,” kata Pak Susatra yang sudah ada di sebelah Enggar. “Jambul Abang ini monyet betina, tidak begitu suka dengan keberadaan perempuan muda. Tapi Den Enggar kan laki-laki ya. Saya juga bingung.”“Pak, bisa minta tolong aku diberi obat untuk luka sengatan ini, lama-lama makin perih.” Singo Abang mengalihkan pembicaraan. Dia tidak mau Pak Susatra penasaran dengan Enggar karena semakin sedikit yang tahu Enggar semakin baik.Singo Abang mendapatkan perawatan dari Pak Susatra sementara Enggar menungguinya. Tangannya diobati kemudian. “Masih marah kah, Bang?” tanya Enggar saat mereka meninggalkan klinik. “Iya deh, aku janji kalau kemana-mana bilang dulu sama Abang. Tadi itu spontan saja perginya. Di desa ini keadaannya tenang banget, damai, jadi aku nggak kepikiran ada orang-orang jahat yang mengincarku. Lagian ada Mas Haryo.”“Kamu baru mengenalnya, tapi sudah begitu dekat dengannya.” Terdengar nada protes dari suara Singo Abang.“Lho, dia kan teman Abang. Dia juga pernah menyelamatkanku. Wajar lah.”“Ketika baru mengenalku, kamu mati-matian berusaha melarikan diri dariku. Sikapmu berbeda sekali dengan saat bertemu Haryo pertama kali. Apa karena si Haryo bertampang lelaki baik hati, bersih, rapi dan tampan, sedangkan tampangku yang seperti perampok, beruang. Apa lagi julukan yang kamu berikan untukku? Pembantu? Pengangguran?” Singo Abang mencoba mengingat-ingat daftar yang pernah diucapkan Enggar.“Ampun...ampun..” Enggar mengatupkan kedua telapak tangannya di atas kepala. “Maaf, Bang, maaf. Bercanda itu. Nggak serius. Waktu itu aku mau lari dari Abang karena masih syok. Terlempar ke jaman ini bikin depresi. Apalagi ketemu sama Abang yang tampangnya...” Enggar segera menutup mulut. “Jadi kalau wajahku bersih, bajuku rapi, senyumku ramah seperti Haryo kamu tidak akan lari?” tanya Singo Abang, penasaran.“Nah, ngomongin senyum, kenapa sih Bang Singo nggak pernah senyum?”“Jawab dulu. Apa kalau aku seganteng Haryo kamu tidak akan lari?”
***
***
Published on December 15, 2016 15:36
November 15, 2016
Gandrung #10
Jandul, Bogar dan Sanip ada di pondok Singo Abang. Mereka sedang di-briefingoleh Singo Abang. Barusan tadi ada pesan dari Mijil tentang kondisi terakhir di Mertabumi. Tersiar berita Puteri Anggoro telah ditangkap dan dibunuh, lebih tepatnya dibakar. Anehnya Tumenggung Sukmo tidak menarik Jayengwangsa dari pencarian Puteri Anggoro dan bahkan mengirimkan pasukan bayangan untuk memburu Singo Abang dan Puteri Anggoro.Sementara ini Singo Abang dan Enggar akan aman berada di desa Ketanggung, tapi mereka juga tidak bisa lama-lama di situ. Siapa pembunuh Raden Sukmana dan misteri di baliknya harus segera diungkap. Di istana keadaan juga sedang bergejolak. Ada gelagat beberapa daerah tidak mau menurut kebijakan kerajaan. Mereka keberatan atas kenaikan upeti yang ditetapkan kerajaan. Sanip, Bogar dan Jandul akan dikirim ke kotaraja untuk mengumpulkan informasi. Mereka akan berangkat besok pagi. Setelah briefing selesai, mereka dibubarkan. Singo Abang keluar dari pondok untuk mencari Enggar, mau melanjutkan untuk memberi pelajaran menggunakan pedang dan jurus-jurus dasar. Di sekitar sekolah tidak ada, di klinik tidak ada, di kebun tidak ada. Singo Abang sampai ke bengkel kerja tapi tidak juga ada tanda keberadaan Enggar.“Mencari siapa, Nakmas?” tanya Pak Susatra.“Enggar, Pak.”“Den Enggar pergi dengan Pangeran Haryo ke desa,” jawab Pak Susastra.“Apa? Terima kasih, Pak Susatra.” Singo Abang bergegas pergi ke kandang kuda. “Mau apa Haryo membawa Enggar keluar dari sini?” Setelah mendapatkan kudanya, Singo Abang pergi dari kediaman Mpu Soma dan turun ke desa. Sementara itu di pinggir desa, di sebuah tanah kosong yang dibatasi rumpun bambu, ada dua orang yang sedang berhadapan dengan tongkat kayu sepanjang pedang di tangan masing-masing. Sudah sejak tadi mereka berlatih beberapa gerakan. Berkali kali salah seorang di antaranya kehilangan tongkat kayu karena terlepas kena pukulan tongkat kayu yang lain. “Waspada, Enggar, kuncinya adalah waspada. Jangan menutup matamu kalau ada serangan datang. Dengarkan suara di sekitarmu. Jangan kaku, tubuhmu harus dalam keadaan santai, tapi tetap siaga. Perhatikan kuda-kuda. Tanpa kuda-kuda yang kuat, kamu akan goyah.” Haryo menyerang Enggar sesekali sambil memberi arahan. “Kamu sudah lebih baik. Awas! Bagus. Gerakan yang bagus.” Sesekali juga Haryo memuji, membuat Enggar tetap semangat. Pagi hari mereka sudah belajar beberapa jurus tangan kosong, siangnya Enggar minta dilatih menggunakan pedang dari kayu. “Baik, kita istirahat dulu.” Haryo meletakkan dua pedang kayu di bawah rumpun bambu setelah dua jam mereka berlatih. Lalu dia mengulurkan sebuah kain semacam sapu tangan dari sutera hijau untuk Enggar menyeka keringat.Enggar menghela napas lega. “Nggak ada camilan penambah tenaga?”“Ayo kita cari ikan di sungai.”Di balik rumpun bambu itu ada sungai. Tidak perlu pakai komando, Enggar sudah duluan menuju sungai. Habis latihan kayaknya segar banget merendam kaki di sana. Sementara Enggar ngadem, Haryo mencari dahan yang agak panjang kemudian dibuat runcing ujungnya, seperti tombak, untuk berburu ikan.“Kenapa pangeran sepertimu tidak tinggal di istana, malah keluyuran sampai kesini? Emangnya pangeran tidak punya kerjaan?” tanya Enggar. “Sudah kebanyakan duit ya?” Enggar mengulurkan sapu tangan. Haryo menolak, dia menunjukkan sapu tangan lain miliknya yang berwarna biru. “Iya,” jawab Haryo enteng. Dia lalu tertawa. “Aku keluar dari istana untuk mencari Barata. Tidak ada dia istana, suasana jadi membosankan.”“Memangnya Bang Singo tinggal di istana juga? Jadi pembantu di sana?”“Hahahaha. Barata tidak pernah ketawa bersamamu?” tanya Haryo dijawab gelengan kepala. “Dia memang tidak normal. Padahal kamu ini lucu sekali.”“Terima kasih.” Enggar tersipu. “Eh, tapi kudengar Mas Haryo tidak normal juga. Tidak suka sama perempuan. Bener ya?”Haryo melemparkan tombak buatannya ke dalam air. Satu ikan gemuk tertancap di ujungnya. “Dapat!” Haryo membawa tombak plus ikannya kepada Enggar. “Aku belum ketemu gadis yang membuatku mabuk kepayang, itu saja.”“Mabuk kepayang? Macam lagu dangdut saja.” Enggar menggunakan telunjuknya untuk memeriksa ikan di ujung tombak itu masih hidup apa nggak. “Kita bakar ikannya.” Haryo melompat ke tepi sungai dan mengumpulkan ranting kering. Dikeluarkannya batu api dari sakunya dan dibuatlah api unggun. Enggar mengambil tombak yang digeletakkan begitu saja di atas bebatuan. Sementara Haryo membersihkan ikan, Enggar mencoba berburu. Tancap sana tancap sini, lempar sono lempar situ, tidak dapat ikan seekorpun. Bahkan yang terakhir melempar tombak, Enggar malah terpeleset dan jatuh ke sungai. Haryo pun melesat untuk menolongnya. “Betul kata Barata. Kamu memang banyak tingkah. Kamu tidak apa-apa?” Haryo mengangkat tubuh Enggar dan membantunya kembali ke tepi sungai.“Huk..huk... Minum segentong air rasanya kenyang.” Enggar terbatuk-batuk. Air menetes-netes dari ujung rambutnya. Dalam terpaan sinar matahari dan angin sepoi-sepoi, wajah Enggar terlihat seperti buah apel yang habis disiram. Haryo tidak bisa melepaskan pandangan darinya.“Gosong tuh, gosong.” Enggar menunjuk-nunjuk ikan di panggangan. “Uihii, kayaknya enak nih.” “Kamu mau bagian kepala?” canda Haryo.“Enak aja. Yang banyak dagingnya lah. Atau lebih baik yang ini untukku semua, Mas Haryo cari ikan lagi. Gimana?” Haryo terkekeh. Dia kembali ke sungai untuk berburu ikan lagi. Ikan yang didapatnya sekarang jauh lebih besar. Dengan wajah penuh kemenangan Haryo menyandingkan ikannya dengan ikan milik Enggar.“Tukeran yuk.” Enggar ngarep. Mereka makan ikan sambil bercanda. Akrab banget. Tidak menyadari kalau tak jauh dari situ ada seseorang yang mengamati mereka. Orang itu hendak mendekati mereka, tapi ragu. Akhirnya dia pergi meninggalkan tempat itu.Haryo tersenyum. Dia tahu Barata melihat mereka. Dia sengaja bercanda dengan Enggar untuk melihat reaksinya. Rencana selanjutnya sekarang bisa dijalankan.“Enggar, kamu tidak ingin tahu apa yang terjadi dengan Puteri Anggoro?”“Maksudnya?”“Kamu pasti sudah mendengar ceritanya dari Barata. Semua orang tahu Puteri dibawa kabur dari penjara saat akan dihukum mati. Tapi apa kamu sudah dengar berita terbaru? Puteri ditemukan di sebuah tempat tak jauh dari Mertabumi, dalam keadaan meninggal. Terbakar.”“Heh? Kalau Puteri Anggoro sudah meninggal, terus aku siapa dong?”“Yang meninggal adalah Puteri Anggoro palsu, karena kamulah yang asli. Kamu yang dibawa oleh Barata dari penjara kan?” kata Haryo.“Iya,” kata Enggar sambil mengangguk. ”Kali,” sambungnya ragu.“Ada yang terancam bila Puteri Anggoro tetap hidup, makanya sampai menggunakan orang lain untuk dijadikan korban. Sekarang posisi dalang pembunuhan Raden Sukmana aman untuk sementara, selama dia bisa meyakinkan semua orang Puteri Anggoro sudah meninggal. Tapi bagaimana kalau kamu kemudian muncul?” Haryo tersenyum, memancing komentar Enggar.“Dikirain hantu penasaran membalas dendam?” Kebanyakan nonton film horor kayaknya si Enggar.Haryo tertawa. “Hampir betul. Ya, mungkin ada yang bereaksi seperti itu. Tapi yang lebih seru lagi, orang-orang yang terlibat pembunuhan Raden Sukmana, akan kebakaran jenggot. Kita bisa memanfaatkan itu untuk mengungkap kebenaran.”“Maksudnya apa nih?”“Kita cari dalang pembunuhan Raden Sukmana. Kamu dan aku. Kita ke Mertabumi. Bagaimana?”
***
***
Published on November 15, 2016 20:46
November 13, 2016
Mom Series
Published on November 13, 2016 20:39
Gandrung #9
Enggar dibawa ke sebuah warung paling besar di pasar. Di warung itu hanya ada prajurit kerajaan dan pemimpinnya. Sesuai petunjuk Singo Abang, Enggar menundukkan kepala dalam-dalam begitu dihadapkan pada Cakrawaja. Dia juga berlutut dan menghaturkan sembah. “Kita bertemu lagi, Anak gunung. Kau tidak menatapku seperti waktu itu, kakakmu sudah mengajarimu bagaimana berhadapan dengan seorang bangsawan kerajaan ya? Bagus.” Cakrawaja mendekati Enggar. Terlalu dekat. “Berdirilah. Ayo, berdiri. Aku yang menyuruhmu. Tidak perlu ragu, justru kau harus mematuhinya. Angkat kepalamu,” perintah Cakrawaja. Enggar menurut. Cakrawaja tersenyum. “Kemana tujuanmu? Kenapa bisa sampai kemari? Jawablah.” Mata Cakrawaja tak lepas memandang wajah di hadapannya yang semakin lama semakin terlihat cantik.“Berkunjung ke rumah saudara, Tuanku,” jawab Enggar mengarang. Debaran jantungnya semakin tidak beraturan. Dia menduga Cakrawaja sudah mencurigainya sebagai perempuan.“Kau sudah pernah ke kotaraja? Tentu saja belum, kau kan baru turun gunung. Kotaraja itu tempat yang indah. Pasarnya jauh lebih ramai dan besar dibandingkan tempat ini. Kau bisa membeli apa saja di sana. Semangka, manggis, durian, berbagai macam buah-buahan. Kau bisa membeli pakaian yang lebih bagus, sandal yang lebih bermutu, apapun kebutuhanmu tersedia. Kau berminat pergi ke sana?” pancing Cakrawaja.“Itu terserah kakak hamba, Tuanku.” Enggar berusaha membuat suaranya terdengar lebih dalam.Cakrawaja mengulurkan tangan, memegang pundaknya. “Kau sudah besar, kau tidak perlu dia. Bagaimana kalau kau ikut ke kotaraja, bekerja padaku. Kerajaan sedang membutuhkan tenaga segar sebagai prajurit. Gajinya lumayan.” Bulu kuduk Enggar berdiri. “Ampun, Tuanku, hamba jadi petani saja.” Kepalanya ditundukkan. Badannya gemetaran.“Jangan begitu. Menjadi prajurit itu adalah tugas mulia. Mengabdi pada kerajaan. Kupikir kau cukup memenuhi syarat. Orang gunung adalah pekerja keras. Otot mereka terbentuk sejak kecil.” Cakrawaja mengambil pedang dari salah satu prajuritnya. Pedang itu diberikan pada Enggar. “Coba pegang pedang ini. Pegang!” bentaknya. Enggar terpaksa memegangnya, dengan tangan bergetar. Cakrawaja mengambil satu pedang lagi. Dengan gerakan tiba-tiba dia mengayunkan perang ke Enggar. Kalau Enggar adalah perempuan seperti dugaannya, dia akan menjerit dan berjongkok atau mungkin malah pingsan.Ting!!Suara pedang beradu. Tubuh Enggar seolah membeku. Matanya terpejam pasrah. Tidak ada rasa sakit di tubuhnya, berarti dia tidak apa-apa. Lalu suara pedang beradu itu milik siapa? Perlahan Enggar membuka matanya, meski pandangannya tetap ke arah ujung kakinya. Ada seseorang berdiri di depannya.“Jangan mempermalukan diri dengan menakuti anak kecil, Cakrawaja.”Itu suara Haryo! Sontak Enggar langsung membuka mata lebar-lebar dan menengadahkan kepala. Raut wajahnya terkejut dan tegang, matanya merem lagi karena gentar. Ternyata ada banyak ujung pedang terhunus ke arahnya dan Haryo. Prajurit-prajurit Cakrawaja sudah mengepung, siap menyerang. Satu kode saja dari Cakrawaja pasti sudah terjadi pertarungan. Untung kode yang diberikan adalah kode untuk menurunkan senjata.“Pangeran Haryo, tidak menyangka bertemu kau di sini.” Suara Cakrawaja terdengar menahan geram. Mata Enggar terbuka lagi, memandang Haryo dengan kagum. Tampan, kaya, pangeran pula. Kualitas yang tidak bisa dianggap remeh. “Kebetulan saja aku lewat. Kulihat panji-panjimu, jadi kuputuskan untuk mampir menyapa. Siapa bocah laki-laki ini? Dia mengganggumu?” tanya Haryo sambil melirik Enggar. Senyum maut Haryo hanya sedetik, tapi sudah mampu membuat perut Enggar melilit. “Apa yang kau lakukan di tempat ini?” tanya Cakrawaja gusar.“Aku mencari buronan.” Haryo merangkul Cakrawaja sembari membawanya menjauh dari Enggar. “Ini buronan nomor satu. Kalau berhasil menangkapnya, namaku akan makin terkenal. Kecuali kalau kamu yang menangkapnya dulu.” “Buronan?”“Iya.” Haryo membawa Cakrawaja duduk. “Hei, apa kamu akan membiarkan bocah itu terus di sini? Suruh pergi saja dia. Kalau dia mendengar informasi yang akan kusampaikan padamu, akan banyak saingan nanti. Tidak seru lagi.”Cakrawaja tidak segera bertindak. Tampaknya dia keberatan dengan permintaan Haryo untuk mengusir “bocah” itu. Tapi karena Haryo terus mendesaknya dengan sikap tubuhnya yang mengintimidasi, akhirnya Cakrawaja memberi isyarat agar prajuritnya membawa Enggar keluar.“Aku mencurigai bocah itu seorang perempuan. Aku rasa aku pernah melihat wajahnya,” kata Cakrawaja. Matanya masih mengawasi Enggar.Haryo menoleh ke arah Enggar yang sudah digiring melewati pintu. “Dia perempuan? Jangan mengada-ada. Kalau dia perempuan pasti sudah menjerit-jerit tidak karuan saat kamu mengayunkan pedangmu.” Haryo menuangkan minuman untuk Cakrawaja. “Garis wajahnya terlalu lembut untuk ukuran laki-laki,” gumam Cakrawaja. “Mencurigakan. Tidakkah kau lihat tangannya yang halus? Itu bukan tangan petani.”“Astaga, untuk apa aku memperhatikan tangan bocah laki-laki segala, seperti tidak ada urusan yang penting saja. Cakrawaja, aku mau bicara serius. Lupakan dulu bocah itu. Soal buronan yang kubilang tadi, ilmunya sangat tinggi. Dia bisa membawa kabur narapidana hukuman mati tanpa seorangpun tahu wajahnya. Di dunia hitam pun tidak ada yang mengenalinya sebagai anggota. Kupikir dia orang baru.”Sementara Haryo mengalihkan perhatian Cakrawaja, di luar Enggar didorong dengan kasar sampai terjerembab ke tanah. Gadis itu buru-buru lari sebelum dapat masalah lagi. Tanpa berani menoleh ke arah belakang, Enggar berlari kencang ke arah jembatan. Suaranya terpekik saat sepasang tangan tiba-tiba menyambarnya. “Bang Si..!Singo Abang membekap mulutnya sebelum Enggar teriak. “Kita pergi sekarang. Disini sudah tidak aman.” Singo Abang membawanya lari ke belakang, ke arah kebun. Sanip sudah menunggu di sana dengan kuda Singo Abang.Mereka mengambil jalan lain yang jarang dilewati orang agar tidak terpantau anak buah Cakrawaja.“Apa yang terjadi barusan?” tanya Singo Abang. “Kamu ini memang tidak bisa ditinggal sendirian. Baru menoleh sebentar kamu sudah hilang. Sepertinya memang kamu harus diikat.”“Emangnya sayuran, diikat?”“Untung saja Haryo bisa menyelamatkanmu tepat waktu.”“Mas Haryo memang keren.” Enggar tersenyum penuh arti, membuat Singo Abang mengernyitkan dahi.“Aku yang menyuruhnya menjemputmu. Kalau aku sendiri yang datang, dramanya akan kepanjangan. Aku tidak mau menarik perhatian lebih besar. Kita harus tetap di bawah tanah sampai kasus ini terang benderang” Singo Abang terlihat tidak terima melihat Enggar terpesona oleh Haryo. “Bang, sepertinya Pangeran Cakrawaja curiga kalau aku ini cewek. Apa dia pernah bertemu Puteri Anggoro?”“Ya.” Singo Abang naik ke punggung kuda dan menarik Enggar serta.“Pantas lah. Penyamaranku kurang canggih ya. Harusnya ditambah kumis palsu biar meyakinkan.” Enggar mengelus wajahnya, membayangkan kalau dia harus pakai kumis atau berewok. “Jangan aneh-aneh, tambah mencurigakan,” ujar Singo Abang. “Kok Cakrawaja itu tidak mengenalimu saat bertemu dulu, Bang? Atau karena penampilan Bang Singo berubah total, jadi rimbun seperti beruang, eh, orangutan. Waaaa!” Enggar berteriak kaget karena Singo Abang menggebrak kuda tanpa bilang-bilang. Hampir saja gadis itu terjungkal ke belakang. “Mau membunuhku ya?” Enggar menjambak rambut Singo Abang dengan sewot. “Aduh!” Singo Abang mengelus kepalanya. “Seenaknya saja kamu memanggilku perampok, pengangguran, beruang, orangutan. Tidak sopan!”“Habisnya mirip.”“Mirip gimana? Asal tahu saja, orang-orang menganggapku ganteng,” ucapnya kesal. “Ganteng itu kayak Mas Haryo tuh. Bersih, rapi, cakep,” kata Enggar memancing emosi Singo Abang. Agaknya berhasil karena dia mendengar lelaki itu menggeram. “Kau belum lihat saja aku yang sebenarnya.”“Aku sudah lihat, Bang, kita kan bersama setiap hari. Ekspresi Bang Singo kebanyakan galak dan suram, jadi nggak cakep. Banyakin senyum dong kayak Mas Haryo, biar aura gantengnya keluar dari dalam. Eh, tunggu dulu, kenalan Bang Singo kok pangeran semua ya, apa sebenarnya Bang Singo juga pangeran? Ah, nggak mungkin kayaknya,” ujar Enggar sambil menggelengkan kepala. “Atau asistennya pangeran?”“Berisik!”***
Desa Ketanggung tempat Mpu Soma tinggal, terletak di kaki Gunung Penanggungan. Memiliki klinik, sekolah, dan memiliki bengkel kerja pembuatan barang-barang dari logam, Mpu Soma sudah benar-benar mengabdikan dirinya untuk penduduk setempat. Singo Abang dan Enggar sampai di desa tersebut menjelang matahari tenggelam. Rumah Mpu Soma, atau lebih dikenal sebagai Mbah So, agak terpisah dari rumah penduduk yang lain, berada paling ujung dan paling tinggi lokasinya. Kebun buah-buahan dan tanaman obat seluas hampir lima hektar mengelilingi kompleks rumahnya.Rumah pertama setelah pintu gerbang adalah klinik pengobatan gratis. Di belakangnya, berjarak hampir tiga ratus meter adalah sekolah. Ini pun bagi siapa saja, dari anak-anak sampai orang dewasa. Lebih jauh di belakang ada bangunan untuk bengkel kerja, mengolah logam menjadi berbagai macam peralatan.Tempat tinggal Mbah So sendiri ada di samping sekolah, sedangkan orang-orang yang membantunya mengelola tempat ini ada di sisi lainnya. Ada beberapa pondok kosong yang disiapkan untuk para tamu. Yang datang ke kediamannya bukan hanya berasal dari daerah sekitar, tapi dari tempat jauh. Bahkan orang-orang dari pulau seberang, orang Cina dan Gujarat juga kadang berkunjung. “Gile bener, keren kali tempat ini. Asyik buat wisata. Kita akan tinggal di sini ya sementara? Di mana Mpu Soma-nya? Kok nggak ada yang menyambut kita sama sekali sih?” tanya Enggar.Singo Abang turun dari kuda tanpa menjawab pertanyaan Enggar. Mereka sudah memasuki halaman klinik. Beberapa orang terlihat duduk-duduk di pendopo. Ada juga yang berbaring. Seseorang memanggil nama mereka dan yang dipanggil masuk ke salah satu ruangan. “Permisi, Mbah So ada, Pak?” tanya Singo Abang pada seseorang berpakaian putih yang sedang menyapu halaman.“Mbah So masih di gunung mencari tumbuh-tumbuhan obat, Nakmas. Mungkin besok malam baru kembali. Ada keperluan apa ya? Kalau mau berobat silahkan ke pendopo.”“Bapak mengenal Sanip?” tanya Singo Abang. “Sanip?” Si bapak termangu sesaat. Dilihatnya baik-baik pemuda di hadapannya, lalu diingatnya ciri-ciri pangeran yang akan datang kesini seperti yang disebutkan oleh Sanip. “Oh, maafkan hamba tidak mengenali anda, Tuanku.” Lelaki setengah baya itu langsung jongkok dan menghaturkan sembah. “Hamba, Susatra, akan mengantar Tuanku ke belakang untuk beristirahat. Mbah So sudah berpesan pada kami untuk melayani semua kebutuhan Tuanku.”Singo Abang buru-buru menarik bapak itu agar berdiri sebelum Enggar bertanya macam-macam. Untung saja dia lagi sibuk mengamati seekor monyet yang duduk santai di atas pagar. “Panggil nakmas saja dan tidak perlu menyembah segala. Oh ya, itu adik saya, Enggar.” Singo Abang menoleh ke arah Enggar. Pak Susatra tampak heran melihat Enggar yang lari karena dilempari buah-buahan oleh monyet itu.“Hus, Jambul Abang, tidak boleh!” teriak Pak Susastra kepada monyet itu. “Maaf, biasanya Jambul Abang tidak pernah nakal seperti itu, Nakmas... Siapa saya harus memanggil Nakmas?” Pak Susastra menunggu Singo Abang menyebutkan namanya. Singo Abang hendak menyebut nama samarannya, tapi diurungkan. Dikira meniru nama Jambul Abang. “Barata.” Singo Abang menyebutkan nama aslinya. “Pak Susatra, dimana aku harus menyimpan kudaku?”“Biar Markun yang akan membawa kudanya ke belakang. Markun!” Pak Susatra memanggil seorang pemuda yang sedang menyapu di bagian samping pendopo. Markun datang dan segera melaksanakan tugas. “Pondok Nakmas yang nomor tiga, adik Nakmas di nomor empat.”“Terima kasih, Pak Susastra.” Singo Abang melambaikan tangan ke arah Enggar, memintanya mendekat.“Monyetnya tidak suka padaku,” bisik Enggar pada Singo Abang. “Ternyata nama yang ada ‘Abang’nya memang tidak berjodoh denganku,” kata Enggar, terkekeh. Tawanya terhenti seketika karena Singo Abang menyentil dahinya cukup keras. “Ayo jalan,” perintah Singo Abang yang sudah beberapa langkah di depannya.Enggar berlari kecil menyusul Singo Abang yang mengambil jalan setapak di samping kiri klinik. Sambil berjalan beriringan, Enggar mengamati pemandangan di sekitarnya. “Tempat Mpu Soma bisa buat acara outbond nih, Bang. Asri banget. Tinggal nambah restoran aja biar pengunjung makin betah. Pak Bogar bisa jadi chef-nya,” ujarnya ceria.“Sudah berapa kali kubilang, jangan menggunakan kata-kata yang aneh, aku tidak mengerti. Apa itu outbond, apa itu chef. Kau ini ada di jaman Majapahit, berlakulah seperti orang Majapahit. Banyak telinga di sekitar kita, hati-hati kalau bicara. Jangan membuat orang curiga,” kata Singo Abang mengingatkan.“Iya. Iya, sori. Eh, maaf.”Kemudian mereka berjalan tanpa suara setelah Enggar meminta maaf. “Lalu apa artinya?” Singo Abang rupanya tidak betah dengan suasana hening itu.“Arti apa?”“Outbond dan chef.” Singo Abang berdehem.Enggar terkekeh. “Hehehe, rupanya mau tahu juga. Rahasia.” Enggar tersenyum penuh kemenangan demi melihat muka penasaran Singo Abang. Lelaki itu menyeringai sebal.“Hei, kamu mau apa mengikutiku terus? Pondokmu di sebelah sana.” Singo Abang menunjuk ke pondok yang ada di sebelah pondoknya saat mereka sudah tiba di tujuan. “Jangan membuat keributan ya. Jangan juga menggangguku, aku mau istirahat dengan damai. Sana!”“Iya iya. Eh, Bang, ntar kalo Mpu Soma pulang kasih tahu aku ya.”Singo Abang hanya menjawab dengan acungan tangan mengarah ke pondok, menandakan Enggar disuruh buruan ke sana dan tidak mengganggunya. ***
Kabut masih menggantung di udara ketika Enggar mendengar suara orang-orang berseru setelah pada hitungan tertentu. Dibukanya pintu pondok dan dilongokkannya kepala keluar. Hawa dingin menyergapnya, membuat Enggar mengigil. Digosok-gosokkannya kedua tangannya, kemudian letakkan di wajah kemudian ke telinganya. Sehabis subuhan tadi dia meringkuk lagi di balik selimut dan terbangun dengan suara-suara itu.Ada sekitar dua puluh orang laki-laki, sebagian besar masih remaja berada di lapangan di depan sekolah. Di udara sedingin ini mereka bertelanjang dada dan berbaris sambil melakukan gerakan-gerakan pencak silat. Pak Susatra yang ada di luar barisan sesekali memperbaiki sikap tubuh anak-anak yang kurang tepat. Enggar menggerak tubuh dan pundaknya, meregangkan otot. Sesekali masih mengigil, tapi berusaha dikurangi dengan meniup kedua tangannya. Dia sudah ada di tepi lapangan sekolah, mengamati kegiatan mereka. Ternyata jaman ini tidak jauh beda sama masa depan. Berhari-hari berkuda dan sering jatuh membuat badan Enggar terasa loyo. Dia perlu melancarkan aliran darah dengan berolahraga, sekalian mengurangi hawa dingin. Enggar mulai pemanasan untuk senam. Sesekali dia mengaduh, tapi diteruskan juga gerakannya. Suara teriakan latihan bela diri di tengah lapangan mulai tidak serempak karena sebagian dari mereka memperhatikan apa yang dilakukan Enggar. Beberapa ada yang cekikikan setiap kali Enggar mengaduh kesakitan.Pemanasan selesai, saatnya latihan inti. Mulailah Enggar melakukan senam kesegaran jasmani, sambil mengumamkan musik pula. Latihan di lapangan sudah benar-benar buyar. Mereka berdiri berjajar menonton Enggar yang gerakannya ganjil. Satu orang menirukan gerakan Enggar, disusul yang lain.Singo Abang membuka matanya. Dia baru tidur beberapa jam karena semalam menunggu kedatangan Haryo dan Sanip. Dini hari tadi Jandul dan Bogar juga sampai di situ. Baru enak-enaknya merem, di luar ribut sekali. Dipejamkan matanya lagi. Terdengar suara tawa berderai. Apa yang dilakukan orang-orang itu? Singo Abang mendengus kesal. Dia bangun dari balai-balai dan keluar dari pondok.Terpampanglah pemandangan ajaib itu. Enggar ada di depan, menari diikuti dua puluh orang murid sekolah ini. “Suaranya manaaa?” seru Enggar.“Haaaaa!” teriak mereka kompak saat melakukan gerakan terakhir pendinginan, mengambil napas dalam-dalam dan mengeluarkannya dengan kedua tangan terbentang lebar.Singo Abang menepuk jidatnya. Parah parah. Anak itu merusak tatanan.Latihan pagi dibubarkan. Semua kembali ke tempat masing-masing untuk melaksanakan tugas sehari-hari. Enggar mengelap keringat di dahi dan lehernya dengan punggung tangan. Meskipun masih agak sakit, tapi tubuhnya sudah enakan rasanya sekarang. “Kamu belajar ilmu beladiri seperti tadi dari siapa?” tanya Singo Abang yang berdiri tak jauh darinya, menyandar di batang pohon randu. “Itu bukan ilmu beladiri, itu senam. Olahraga untuk kesehatan badan. Berhari-hari di atas punggung kuda, tubuhku kaku dan sakit. Aku perlu relaksasi, melemaskan otot.”“Apa itu bisa menolongmu saat menghadapi penjahat bersenjata?”“Ya jelas nggak lah, gimana sih,” celetuk Enggar santai.“Jadi mungkin kamu harus belajar bersama mereka berlatih ilmu beladiri, bukannya mengajari mereka senam pagi,” ujar Singo Abang. Enggar menyeringai. Pagi-pagi sudah mengajak bertengkar, mending ditinggal saja.Baru tiga langkah Enggar berjalan, tiba-tiba sebilah pedang melesat dan menancap di tanah, satu jengkal dari kakinya. Enggar berteriak kaget sambil menutup mukanya.“Di sini banyak orang yang sedang memburumu. Mereka tidak mengenal kasihan. Apalagi kepalamu berharga satu kantong uang emas. Aku tidak mungkin bisa berada di sampingmu sepanjang waktu. Jadi mau tidak mau kamu harus belajar membela diri. Kalau kemampuanmu hanya seperti itu, kamu pasti sudah mati dari tadi.” Singo Abang sudah ada di hadapan Enggar. “Jangan nyumpahin gitu dong, Bang.”“Kenapa tidak bilang kalau Cakrawaja memaksamu mengunakan pedang?” Pedang yang tertancap di tanah dicabut oleh Singo Abang. Tatapan matanya tajam menembus ke jantung hati Enggar. Ada kemarahan, tetapi juga ada rasa peduli yang dirasakan Enggar dari tatapan itu. “Penting ya itu diceritakan?” Enggar menggaruk kepala. Berusaha menetralkan percikan aneh yang dirasakannya.“Dia sudah mencurigaimu, bukan sebagai perempuan saja, tapi juga sebagai Anggoro. Kalau dia sudah curiga, semua orang akan curiga, karena dia tidak bisa menutup mulutnnya.” Singo Abang mengitari Enggar“Terus aku harus ganti penyamaran gitu, Bang?” tanya Enggar polos. “Kamu harus belajar menggunakan senjata. Juga membela diri,” tukas Singo Abang.“Tua di sini dong aku. Belajar beladiri kan butuh waktu tahunan, Bang. Padahal aku nggak berencana di sini lama-lama. Aku mau pulang.”“Itu kalau kamu bisa menemukan cara untuk pulang, dan kalau tidak mati duluan.” Kata-kata Singo Abang mematahkan semangat saja. “Makanya belajar dari sekarang.” Diberikannya pedang itu pada Enggar. Haryo melihat mereka dari kejauhan memperhatikan Singo Abang yang mengajari Enggar bagaimana teknik menggunakan pedang. Mengajari pemula langsung memakai pedang sungguhan, itu terlalu berat. Dia dan Singo Abang saja berlatih dengan pedang kayu sampai satu semester. “Bar, sarapan dulu.” Haryo melambaikan tangan, mencoba menghentikan mata kuliah ilmu pedang itu sebelum Enggar kepayahan. Pedang yang ada di tangan Enggar langsung lepas begitu mendengar kata sarapan. Dia sudah kelaparan berat. Dengan suka cita dia pergi meninggalkan Singo Abang untuk bergabung dengan Haryo.“Hei hei hei, mau kemana? Latihannya belum selesai!” seru Singo Abang. Lari Enggar makin kencang.Haryo tersenyum saat Enggar sudah ada di sebelahnya. “Gerakan-gerakan yang kamu ajarkan ke anak-anak di sini tadi bukannya gerakan yang kamu lakukan waktu menghadapi perusuh di desa?”“Hehehe..iya. Itu namanya senam kesegaran jasmani. Aku nggak punya jurus apa-apa, ya udah ngawur saja. Yang penting bisa membuat penjahatnya bingung dulu, jadi aku bisa melarikan diri,” kata Enggar santai.“Boleh juga akalmu. Tapi di situasi yang lain, senam itu mungkin tidak bisa membantu. Aku mengerti kenapa Barata mengajarkanmu bagaimana menggunakan pedang. Semalam aku menceritakan kejadian di warung tempo hari. Dia kelihatan gusar sekali. Kurasa kamu memang perlu dibekali dasar-dasar beladiri. Hanya saja Barata agak terburu-buru.”“Aneh rasanya mendengar nama Barata. Singo Abang aja deh nyebutnya, biar lebih menggemaskan,” kata Enggar geli. “Soalnya di sini ada monyet yang namanya Jambul Abang. Singo Abang, Jambul Abang, lucu kan?” lanjut Enggar.Haryo tersenyum. “Bagaimana kalau aku yang mengajarimu beladiri?” tawarnya. “Kita bisa menggunakan pedang dari kayu dulu.”“Harus hari ini ya? Lihat, tanganku sudah agak melepuh karena latihan pedang tadi. Besok aja gimana?” pinta Enggar.“Kalau begitu kuajarkan jurus tangan kosong saja, tidak perlu menggunakan senjata. Mpu Soma masih nanti malam kembalinya. Kamu kan tidak ada kegiatan apa-apa. Daripada menganggur, lebih baik belajar,” kata Haryo “Tapi Mas Haryo nggak akan segalak Bang Singo kan?”“Memangnya aku ada tampang galak?” tanya Haryo. Enggar langsung menggeleng dengan pasti. “Mas Haryo sih nggak galak, ganteng iya,” gumamnya pelan. ***
Desa Ketanggung tempat Mpu Soma tinggal, terletak di kaki Gunung Penanggungan. Memiliki klinik, sekolah, dan memiliki bengkel kerja pembuatan barang-barang dari logam, Mpu Soma sudah benar-benar mengabdikan dirinya untuk penduduk setempat. Singo Abang dan Enggar sampai di desa tersebut menjelang matahari tenggelam. Rumah Mpu Soma, atau lebih dikenal sebagai Mbah So, agak terpisah dari rumah penduduk yang lain, berada paling ujung dan paling tinggi lokasinya. Kebun buah-buahan dan tanaman obat seluas hampir lima hektar mengelilingi kompleks rumahnya.Rumah pertama setelah pintu gerbang adalah klinik pengobatan gratis. Di belakangnya, berjarak hampir tiga ratus meter adalah sekolah. Ini pun bagi siapa saja, dari anak-anak sampai orang dewasa. Lebih jauh di belakang ada bangunan untuk bengkel kerja, mengolah logam menjadi berbagai macam peralatan.Tempat tinggal Mbah So sendiri ada di samping sekolah, sedangkan orang-orang yang membantunya mengelola tempat ini ada di sisi lainnya. Ada beberapa pondok kosong yang disiapkan untuk para tamu. Yang datang ke kediamannya bukan hanya berasal dari daerah sekitar, tapi dari tempat jauh. Bahkan orang-orang dari pulau seberang, orang Cina dan Gujarat juga kadang berkunjung. “Gile bener, keren kali tempat ini. Asyik buat wisata. Kita akan tinggal di sini ya sementara? Di mana Mpu Soma-nya? Kok nggak ada yang menyambut kita sama sekali sih?” tanya Enggar.Singo Abang turun dari kuda tanpa menjawab pertanyaan Enggar. Mereka sudah memasuki halaman klinik. Beberapa orang terlihat duduk-duduk di pendopo. Ada juga yang berbaring. Seseorang memanggil nama mereka dan yang dipanggil masuk ke salah satu ruangan. “Permisi, Mbah So ada, Pak?” tanya Singo Abang pada seseorang berpakaian putih yang sedang menyapu halaman.“Mbah So masih di gunung mencari tumbuh-tumbuhan obat, Nakmas. Mungkin besok malam baru kembali. Ada keperluan apa ya? Kalau mau berobat silahkan ke pendopo.”“Bapak mengenal Sanip?” tanya Singo Abang. “Sanip?” Si bapak termangu sesaat. Dilihatnya baik-baik pemuda di hadapannya, lalu diingatnya ciri-ciri pangeran yang akan datang kesini seperti yang disebutkan oleh Sanip. “Oh, maafkan hamba tidak mengenali anda, Tuanku.” Lelaki setengah baya itu langsung jongkok dan menghaturkan sembah. “Hamba, Susatra, akan mengantar Tuanku ke belakang untuk beristirahat. Mbah So sudah berpesan pada kami untuk melayani semua kebutuhan Tuanku.”Singo Abang buru-buru menarik bapak itu agar berdiri sebelum Enggar bertanya macam-macam. Untung saja dia lagi sibuk mengamati seekor monyet yang duduk santai di atas pagar. “Panggil nakmas saja dan tidak perlu menyembah segala. Oh ya, itu adik saya, Enggar.” Singo Abang menoleh ke arah Enggar. Pak Susatra tampak heran melihat Enggar yang lari karena dilempari buah-buahan oleh monyet itu.“Hus, Jambul Abang, tidak boleh!” teriak Pak Susastra kepada monyet itu. “Maaf, biasanya Jambul Abang tidak pernah nakal seperti itu, Nakmas... Siapa saya harus memanggil Nakmas?” Pak Susastra menunggu Singo Abang menyebutkan namanya. Singo Abang hendak menyebut nama samarannya, tapi diurungkan. Dikira meniru nama Jambul Abang. “Barata.” Singo Abang menyebutkan nama aslinya. “Pak Susatra, dimana aku harus menyimpan kudaku?”“Biar Markun yang akan membawa kudanya ke belakang. Markun!” Pak Susatra memanggil seorang pemuda yang sedang menyapu di bagian samping pendopo. Markun datang dan segera melaksanakan tugas. “Pondok Nakmas yang nomor tiga, adik Nakmas di nomor empat.”“Terima kasih, Pak Susastra.” Singo Abang melambaikan tangan ke arah Enggar, memintanya mendekat.“Monyetnya tidak suka padaku,” bisik Enggar pada Singo Abang. “Ternyata nama yang ada ‘Abang’nya memang tidak berjodoh denganku,” kata Enggar, terkekeh. Tawanya terhenti seketika karena Singo Abang menyentil dahinya cukup keras. “Ayo jalan,” perintah Singo Abang yang sudah beberapa langkah di depannya.Enggar berlari kecil menyusul Singo Abang yang mengambil jalan setapak di samping kiri klinik. Sambil berjalan beriringan, Enggar mengamati pemandangan di sekitarnya. “Tempat Mpu Soma bisa buat acara outbond nih, Bang. Asri banget. Tinggal nambah restoran aja biar pengunjung makin betah. Pak Bogar bisa jadi chef-nya,” ujarnya ceria.“Sudah berapa kali kubilang, jangan menggunakan kata-kata yang aneh, aku tidak mengerti. Apa itu outbond, apa itu chef. Kau ini ada di jaman Majapahit, berlakulah seperti orang Majapahit. Banyak telinga di sekitar kita, hati-hati kalau bicara. Jangan membuat orang curiga,” kata Singo Abang mengingatkan.“Iya. Iya, sori. Eh, maaf.”Kemudian mereka berjalan tanpa suara setelah Enggar meminta maaf. “Lalu apa artinya?” Singo Abang rupanya tidak betah dengan suasana hening itu.“Arti apa?”“Outbond dan chef.” Singo Abang berdehem.Enggar terkekeh. “Hehehe, rupanya mau tahu juga. Rahasia.” Enggar tersenyum penuh kemenangan demi melihat muka penasaran Singo Abang. Lelaki itu menyeringai sebal.“Hei, kamu mau apa mengikutiku terus? Pondokmu di sebelah sana.” Singo Abang menunjuk ke pondok yang ada di sebelah pondoknya saat mereka sudah tiba di tujuan. “Jangan membuat keributan ya. Jangan juga menggangguku, aku mau istirahat dengan damai. Sana!”“Iya iya. Eh, Bang, ntar kalo Mpu Soma pulang kasih tahu aku ya.”Singo Abang hanya menjawab dengan acungan tangan mengarah ke pondok, menandakan Enggar disuruh buruan ke sana dan tidak mengganggunya. ***
Kabut masih menggantung di udara ketika Enggar mendengar suara orang-orang berseru setelah pada hitungan tertentu. Dibukanya pintu pondok dan dilongokkannya kepala keluar. Hawa dingin menyergapnya, membuat Enggar mengigil. Digosok-gosokkannya kedua tangannya, kemudian letakkan di wajah kemudian ke telinganya. Sehabis subuhan tadi dia meringkuk lagi di balik selimut dan terbangun dengan suara-suara itu.Ada sekitar dua puluh orang laki-laki, sebagian besar masih remaja berada di lapangan di depan sekolah. Di udara sedingin ini mereka bertelanjang dada dan berbaris sambil melakukan gerakan-gerakan pencak silat. Pak Susatra yang ada di luar barisan sesekali memperbaiki sikap tubuh anak-anak yang kurang tepat. Enggar menggerak tubuh dan pundaknya, meregangkan otot. Sesekali masih mengigil, tapi berusaha dikurangi dengan meniup kedua tangannya. Dia sudah ada di tepi lapangan sekolah, mengamati kegiatan mereka. Ternyata jaman ini tidak jauh beda sama masa depan. Berhari-hari berkuda dan sering jatuh membuat badan Enggar terasa loyo. Dia perlu melancarkan aliran darah dengan berolahraga, sekalian mengurangi hawa dingin. Enggar mulai pemanasan untuk senam. Sesekali dia mengaduh, tapi diteruskan juga gerakannya. Suara teriakan latihan bela diri di tengah lapangan mulai tidak serempak karena sebagian dari mereka memperhatikan apa yang dilakukan Enggar. Beberapa ada yang cekikikan setiap kali Enggar mengaduh kesakitan.Pemanasan selesai, saatnya latihan inti. Mulailah Enggar melakukan senam kesegaran jasmani, sambil mengumamkan musik pula. Latihan di lapangan sudah benar-benar buyar. Mereka berdiri berjajar menonton Enggar yang gerakannya ganjil. Satu orang menirukan gerakan Enggar, disusul yang lain.Singo Abang membuka matanya. Dia baru tidur beberapa jam karena semalam menunggu kedatangan Haryo dan Sanip. Dini hari tadi Jandul dan Bogar juga sampai di situ. Baru enak-enaknya merem, di luar ribut sekali. Dipejamkan matanya lagi. Terdengar suara tawa berderai. Apa yang dilakukan orang-orang itu? Singo Abang mendengus kesal. Dia bangun dari balai-balai dan keluar dari pondok.Terpampanglah pemandangan ajaib itu. Enggar ada di depan, menari diikuti dua puluh orang murid sekolah ini. “Suaranya manaaa?” seru Enggar.“Haaaaa!” teriak mereka kompak saat melakukan gerakan terakhir pendinginan, mengambil napas dalam-dalam dan mengeluarkannya dengan kedua tangan terbentang lebar.Singo Abang menepuk jidatnya. Parah parah. Anak itu merusak tatanan.Latihan pagi dibubarkan. Semua kembali ke tempat masing-masing untuk melaksanakan tugas sehari-hari. Enggar mengelap keringat di dahi dan lehernya dengan punggung tangan. Meskipun masih agak sakit, tapi tubuhnya sudah enakan rasanya sekarang. “Kamu belajar ilmu beladiri seperti tadi dari siapa?” tanya Singo Abang yang berdiri tak jauh darinya, menyandar di batang pohon randu. “Itu bukan ilmu beladiri, itu senam. Olahraga untuk kesehatan badan. Berhari-hari di atas punggung kuda, tubuhku kaku dan sakit. Aku perlu relaksasi, melemaskan otot.”“Apa itu bisa menolongmu saat menghadapi penjahat bersenjata?”“Ya jelas nggak lah, gimana sih,” celetuk Enggar santai.“Jadi mungkin kamu harus belajar bersama mereka berlatih ilmu beladiri, bukannya mengajari mereka senam pagi,” ujar Singo Abang. Enggar menyeringai. Pagi-pagi sudah mengajak bertengkar, mending ditinggal saja.Baru tiga langkah Enggar berjalan, tiba-tiba sebilah pedang melesat dan menancap di tanah, satu jengkal dari kakinya. Enggar berteriak kaget sambil menutup mukanya.“Di sini banyak orang yang sedang memburumu. Mereka tidak mengenal kasihan. Apalagi kepalamu berharga satu kantong uang emas. Aku tidak mungkin bisa berada di sampingmu sepanjang waktu. Jadi mau tidak mau kamu harus belajar membela diri. Kalau kemampuanmu hanya seperti itu, kamu pasti sudah mati dari tadi.” Singo Abang sudah ada di hadapan Enggar. “Jangan nyumpahin gitu dong, Bang.”“Kenapa tidak bilang kalau Cakrawaja memaksamu mengunakan pedang?” Pedang yang tertancap di tanah dicabut oleh Singo Abang. Tatapan matanya tajam menembus ke jantung hati Enggar. Ada kemarahan, tetapi juga ada rasa peduli yang dirasakan Enggar dari tatapan itu. “Penting ya itu diceritakan?” Enggar menggaruk kepala. Berusaha menetralkan percikan aneh yang dirasakannya.“Dia sudah mencurigaimu, bukan sebagai perempuan saja, tapi juga sebagai Anggoro. Kalau dia sudah curiga, semua orang akan curiga, karena dia tidak bisa menutup mulutnnya.” Singo Abang mengitari Enggar“Terus aku harus ganti penyamaran gitu, Bang?” tanya Enggar polos. “Kamu harus belajar menggunakan senjata. Juga membela diri,” tukas Singo Abang.“Tua di sini dong aku. Belajar beladiri kan butuh waktu tahunan, Bang. Padahal aku nggak berencana di sini lama-lama. Aku mau pulang.”“Itu kalau kamu bisa menemukan cara untuk pulang, dan kalau tidak mati duluan.” Kata-kata Singo Abang mematahkan semangat saja. “Makanya belajar dari sekarang.” Diberikannya pedang itu pada Enggar. Haryo melihat mereka dari kejauhan memperhatikan Singo Abang yang mengajari Enggar bagaimana teknik menggunakan pedang. Mengajari pemula langsung memakai pedang sungguhan, itu terlalu berat. Dia dan Singo Abang saja berlatih dengan pedang kayu sampai satu semester. “Bar, sarapan dulu.” Haryo melambaikan tangan, mencoba menghentikan mata kuliah ilmu pedang itu sebelum Enggar kepayahan. Pedang yang ada di tangan Enggar langsung lepas begitu mendengar kata sarapan. Dia sudah kelaparan berat. Dengan suka cita dia pergi meninggalkan Singo Abang untuk bergabung dengan Haryo.“Hei hei hei, mau kemana? Latihannya belum selesai!” seru Singo Abang. Lari Enggar makin kencang.Haryo tersenyum saat Enggar sudah ada di sebelahnya. “Gerakan-gerakan yang kamu ajarkan ke anak-anak di sini tadi bukannya gerakan yang kamu lakukan waktu menghadapi perusuh di desa?”“Hehehe..iya. Itu namanya senam kesegaran jasmani. Aku nggak punya jurus apa-apa, ya udah ngawur saja. Yang penting bisa membuat penjahatnya bingung dulu, jadi aku bisa melarikan diri,” kata Enggar santai.“Boleh juga akalmu. Tapi di situasi yang lain, senam itu mungkin tidak bisa membantu. Aku mengerti kenapa Barata mengajarkanmu bagaimana menggunakan pedang. Semalam aku menceritakan kejadian di warung tempo hari. Dia kelihatan gusar sekali. Kurasa kamu memang perlu dibekali dasar-dasar beladiri. Hanya saja Barata agak terburu-buru.”“Aneh rasanya mendengar nama Barata. Singo Abang aja deh nyebutnya, biar lebih menggemaskan,” kata Enggar geli. “Soalnya di sini ada monyet yang namanya Jambul Abang. Singo Abang, Jambul Abang, lucu kan?” lanjut Enggar.Haryo tersenyum. “Bagaimana kalau aku yang mengajarimu beladiri?” tawarnya. “Kita bisa menggunakan pedang dari kayu dulu.”“Harus hari ini ya? Lihat, tanganku sudah agak melepuh karena latihan pedang tadi. Besok aja gimana?” pinta Enggar.“Kalau begitu kuajarkan jurus tangan kosong saja, tidak perlu menggunakan senjata. Mpu Soma masih nanti malam kembalinya. Kamu kan tidak ada kegiatan apa-apa. Daripada menganggur, lebih baik belajar,” kata Haryo “Tapi Mas Haryo nggak akan segalak Bang Singo kan?”“Memangnya aku ada tampang galak?” tanya Haryo. Enggar langsung menggeleng dengan pasti. “Mas Haryo sih nggak galak, ganteng iya,” gumamnya pelan. ***
Published on November 13, 2016 20:22
Nonier's Blog
- Nonier's profile
- 52 followers
Nonier isn't a Goodreads Author
(yet),
but they
do have a blog,
so here are some recent posts imported from
their feed.
