Iman Setiadi Arif's Blog

February 22, 2010

Mencegah kembalinya sang Nestapa

Tulisan ini pernah dimuat di Suara Pembaruan

Depresi bukanlah istilah yang asing bagi masyarakat kita, sekalipun rupanya bagi kaum awam, pengertian depresi itu sendiri masih simpang siur. Istilah "depresi"seringkali campur baur dengan istilan "stress" dan keduanya dijadikan istilah generik untuk menyebut semua gangguan mental yang biasanya diakibatkan suatu peristiwa negatif besar dalam kehidupan seseorang. Misalnya, bila kita melihat tetangga kita bunuh diri karena mengalami kebangkrutan, mak...
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on February 22, 2010 06:41

Merindu

Tulisan ini pernah dimuat di Suara Pembaruan

Di penghujung tahun 2009 ini bukan hanya cuaca Jakarta yang tak menentu, kadang begitu panas menyengat, disusul dengan hujan lebat dan banjir; seolah mengisyaratkan petaka dan membenarkan keyakinan sebagian orang akan datangnya kiamat di tahun 2012. Senada dengan bergolaknya alam, cuaca batin kita pun tengah diombang-ambingkan berbagai ketidakpastian, kekhawatiran dan ketakutan. Gonjang ganjing jagad eksternal yang tengah menaungi bangsa Indonesia –...
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on February 22, 2010 06:39

October 15, 2009

Nyalakanlah daku...Hari-hari ini, masyarakat Indonesia ti...

Nyalakanlah daku...

Hari-hari ini, masyarakat Indonesia tidak hanya dihebohkan oleh berita gempa di Padang, pemberantasan terorisme di Ciputat atau pemilihan menteri-menteri di kabinet SBY yang akan segera dilantik. Suatu berita "kecil" tapi menohok, juga sedang hangat dibicarakan orang. Yang saya maksud tidak lain daripada rencana kedatangan Maria Ozawa – alias Miyabi, seorang aktris film porno Jepang ke Indonesia. Kedatangan Miyabi dalam suatu rencana dagang pragmatis, untuk main di film produksi Indonesia ternyata mengundang kontroversi yang sangat besar. Produser film yang mengundang Miyabi tentunya tidak mengundangnya karena talenta acting yang menonjol, namun dikarenakan daya jualnya yang tidak diragukan. Saya khawatir bahwa apapun hasil akhir dari kontroversi ini, pihak-pihak yang saling bertentangan dalam kontroversi ini tanpa sadar telah menguntungkan dan mempromosikan film Miyabi tersebut.


 

Salah satu aspek kehidupan yang selalu menimbulkan kontroversi dari jaman ke jaman, adalah kehidupan seksual. Tidak hanya bagi kita, orang Timur – meskipun sekarang dikotomi Barat/Timur tak sekaku dulu lagi – namun juga bagi orang Barat yang – katanya – jauh lebih liberal dan "tercerahkan". Bahkan di jaman ultra modern seperti hari ini, sebagian besar orang masih merasakan pertentangan dalam diri ketika bersikap tentang area kehidupan yang satu ini.

Di satu sisi, kalau kita mau mengakui, seks selalu merupakan salah satu obsesi kita. Kapan terakhir kali anda menata penampilan anda – atau bahkan berjuang menguruskan, mengencangkan atau memperbesar otot-otot badan – agar menarik dipandang oleh lawan jenis? Itu adalah isu seksual. Pernahkah anda – mungkin secara diam-diam – membandingkan diri anda dengan orang-orang yang dalam anggapan anda memiliki "performance" seksual mengesankan? Bukankan sampai beberapa waktu yang lalu almh. Mak Erot adalah salah seorang "therapist" yang paling phenomenal, yang bagi sebagian pria dianggap "penyelamat"? Berapa banyak perempuan yang iri dan merindukan untuk punya bibir seperti Angelina Jollie atau bokong seperti Jennifer Lopez? Disadari atau tidak, obsesi kita tentang seks sangat mendarah daging. Dan seperti kita lihat pada contoh-contoh di atas, seks terkait erat dengan rasa keberhargaan diri kita. Bila kita sedang down dan merasa terpuruk, serta meragukan diri sendiri, proyeksinya seringkali berupa semakin meningkatnya obsesi seksual ini.

Di sisi lain seks adalah salah satu topik yang paling dirasakan mengancam. Kita tidak nyaman bicara tentang seks. Ketidaknyamanan yang dengan mudah disamarkan berupa lelucon-lelucon seks yang "garing", atau bualan tentang seks yang mengesankan kepercayaan diri dan menyembunyikan adanya kegelisahan. Kita merasa berdosa karena terus menerus berpikir tentang seks, sehingga mendorong kita untuk bereaksi defensif dan bersikap ultra konservatif.

Mengapa kita begitu konflik dan gagap ketika kita berpikir, merasa dan berperilaku seksual? Hal ini merupakan bukti bahwa seks adalah perkara penting dalam hidup kita, meskipun begitu sering disalahpahami. Seks bukan hanya membantu kita untuk beroleh keturunan, tetapi menyangkut fondasi dasar rasa keberhargaan dan keberadaan diri kita. Kita coba telaah mengenai hal ini lebih lanjut.


 

Pertama-tama, seks bukan sekedar perilaku untuk memperoleh kesenangan, tetapi lebih daripada itu, seks adalah mengenai passion atau gairah hidup itu sendiri. Pandangan yang pernah dikemukakan oleh Sigmund Freud lebih dari 100 tahun yang lalu ini, ternyata didukung oleh temuan-temuan terbaru Neuroscience modern. Seksualitas berkaitan sangat erat dengan emosi manusia; dan emosi ternyata memiliki fungsi dasar bagi keberadaan manusia. Seorang neuroscientist terkemuka yang bernama Antonio Damasio, dari the Brain and Creativity Institute, University of Southern California mengemukakan bahwa emosi adalah elemen kunci yang memungkinkan manusia memiliki kesadaran, sense of self dan kehendak bebas – tidak seperti mesin atau supercomputer secanggih apapun yang tidak akan pernah memiliki kehendaknya sendiri dan pilihan-pilihannya sendiri. Tahukah anda bahwa para ilmuwan telah lama bermimpi untuk dapat menciptakan mesin, komputer dan robot yang memiliki artificial intelligence, dan lebih dari itu, sadar serta memiliki kehendak sendiri. Hambatan mereka untuk dapat melakukan itu bukan dalam hal penciptaan kecerdasan buatan – karena kita tahu bahwa mereka telah berhasil menciptakan supercomputer yang dapat mengalahkan grandmaster catur terbaik dunia. Hambatan mereka tidak lain terletak pada ketidakmampuan untuk menciptakan mesin yang dapat merasa, alias yang memiliki emosi.

Menurut neuroscientist Jaak Panksepp dari university of Washington, ada empat sistem emosi dasar yang berpusat di area Periaqueductal gray (PAG), di pusat otak kita. Keempatnya adalah the seeking system, the rage system, the fear system, dan the panic system. Keempat sistem ini relevan dengan pembicaraan kita tentang seksualitas, khususnya the seeking system (di area ventral tegmental). Sistem ini merupakan mekanisme biologis yang mengatur munculnya selera kita untuk mencari pemenuhan berbagai kebutuhan kita, seperti makanan, perlindungan, dan seks. Secara sederhana, katakanlah ini merupakan motor penggerak atau api gairah kehidupan individu untuk melanjutkan kehidupannya. Seseorang yang mengalami kerusakan di area otak ini, tidak akan memiliki semangat untuk melakukan dan mencari apapun, sekalipun hidupnya terancam, karena kelaparan atau kehausan. Sebaliknya, seseorang yang mengalami hiperaktivitas di area ini, akan menunjukkan perilaku yang lustful, tamak akan makanan, kenikmatan dan seks. Kontrol akan aktivitas area ini terletak di area prefrontal cortex (namun diskusi tentang ini harus ditunda di lain kesempatan karena keterbatasan ruang).

Temuan neuroscience modern ini memberi pencerahan akan peranan seksualitas, emosi dan gairah kehidupan. Seksualitas (passion) dan emosi dapat diibaratkan api yang menyalakan, memberi energi sekaligus ekspresi hidup itu sendiri. Tiada kehidupan tanpa api yang menyalakannya, meskipun tentu saja api yang dibiarkan menyala tanpa kontrol akan menghanguskan hidup itu sendiri. Antonio Damasio menyadari benar hal itu, sehingga fokus penelitiannya sekarang di the Brain and Creativity Institute adalah untuk menyingkapkan peranan emosi dan passion tersebut bagi dimungkinkannya kemunculan kreativitas dan penciptaan karya seni. Damasio bekerja dengan sebagian artist terbaik dunia, meneliti proses kreatif mereka dan mekanisme neurologis yang mendasarinya. Passion, seksualitas, emosi dan tentu saja kontrol atasnya, merupakan elemen-elemen dasar terciptanya karya-karya terbaik manusia dan pengaktualisasian potensi-potensi besar manusia. Tidak heran bila seksualitas memiliki kaitan erat dengan rasa keberhargaan dan kepercayaan diri manusia.

Bagi kita, dapatlah ditarik pelajaran untuk menjaga dan menggunakan api gairah kehidupan itu dengan bijaksana. Bukan dengan menekannya sedemikian rupa sehingga hilang pula semangat dan daya cipta yang dikandungnya, bukan pula dengan mengumbarnya dan merendahkan martabatnya sehingga memerosotkan kemanusiaan kita setara dengan hewan. Melainkan dengan menjadikannya sumber daya cipta yang subur, menyalakannya sebagai pembakar semangat dan memuliakannya dengan karya dan pencapaian kesadaran yang lebih tinggi tentang hakikat kemanusiaan kita. Tulisan ini diakhiri dengan kutipan dari The Doors: Come on baby light my fire..


 

Iman Setiadi Arif
Dekan Fakultas Psikologi
Universitas Kristen Krida Wacana (UKRIDA)

Jakarta

 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on October 15, 2009 04:55

August 6, 2009

Jacko: The Wounded Pan

Tulisan ini pernah dimuat di Intisari



Sehari sebelum pilpres di Indonesia, atau sekitar tengah malam menjelang detik-detik pencontrengan di seluruh Nusantara, seorang maha bintang – bahkan seorang raja – memperoleh penghormatan terakhir dari seluruh kerabat dan sahabatnya. Setelah menjalani kehidupan yang sedemikian extraordinary – dengan berbagai kemenangan dan kekalahan, kegemilangan dan kekelaman – ia beroleh istirahat abadi di pelukan Bunda Bumi; mengembalikan cahaya yang selama ini...

 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on August 06, 2009 22:55

Sudah matangkah saya?

Tulisan ini pernah dimuat di Suara Pembaruan


You are only young once, but you can be immature forever (Germaine Greer)

Dalam sebuah diskusi dengan para remaja di sebuah gereja, terlontar satu pertanyaan yang menggelitik: “Pak, bagaimana kalau saya mengalami konflik dengan orangtua saya, namun orangtua saya yang ngambek berkepanjangan?” Pertanyaan yang lebih menyerupai curhat dari remaja ini menyentuh hati saya karena peristiwa ini memang seringkali terjadi.

Dalam praktek saya sebagai psikolog, satu isu seringkali mengemuka: ketidakmatangan – atau bahkan kekanak-kanakan, ditinjau dari karakter dan emosi. Tidak pandang berapa pun usia klien, isu ini seringkali muncul; bahkan seringkali menjadi isu sentral atau akar permasalahan yang membuat klien terbentur dengan berbagai masalah lain dalam kehidupan kerja dan keluarganya. Kutipan dari Germaine Greer di atas mengatakan dengan lugas: bertambahnya umur tidak identik dengan bertambahnya kematangan. Kalau usia dan berbagai gejala fisik yang menyertainya akan bertambah terus tanpa dapat dihindari, sebaliknya kematangan karakter dan emosi hanya akan berkembang bilamana diusahakan dan diperjuangkan.

Ketidakmatangan terjadi karena secara emosional seseorang terpaku alias berhenti berkembang (arrested development) pada tahapan perkembangan tertentu. Penyebabnya dapat dikarenakan beberapa hal, antara lain trauma, yaitu ketika seseorang mengalami peristiwa yang begitu menggugah secara emosional, baik itu negatif (emosi yang menakutkan, mengerikan, menyedihkan) ataupun positif (emosi yang menyenangkan, membangkitkan kenikmatan); di mana seseorang tak mampu menyeimbangkan kembali gugahan atau guncangan emosi yang diakibatkan oleh peristiwa traumatik tersebut. Contoh: seseorang yang mendapatkan perlakuan abusive (kekerasan) saat berusia tiga tahun, mungkin secara emosional akan terpaku pada pola emosional anak usia tiga tahun; sehingga sekalipun secara fisik dan intelektualitas ia berkembang terus, secara emosional ia macet di usia tiga tahun. Namun tidak hanya peristiwa negatif, peristiwa yang menyenangkan sekalipun, bilamana berlebihan akan membuat seseorang terpaku secara emosional di masa-masa ia mengalami kesenangan tersebut. Misalnya: seseorang yang mengalami cinta pertama yang begitu menggetarkan mungkin akan terpaku dan jadi sulit menjalin cinta yang baru ketika cinta pertama itu berakhir.

Penyebab lain ketidakmatangan adalah kurangnya pendidikan dan teladan yang dapat dijadikan model. Hal ini seringkali kita jumpai di keluarga-keluarga, di mana orangtua yang tidak matang seringkali tanpa sengaja membuat anaknya berkembang menjadi tidak matang pula. Hal ini bukan karena faktor genetik, melainkan karena faktor pembelajaran dan peneladanan (modeling) negatif yang diperoleh anak ketika mengamati perilaku orangtua dari hari ke hari.
Ketidakmatangan sekalipun menimbulkan banyak kesusahan bagi pribadi yang bersangkutan, namun seringkali juga jadi selimut nyaman yang membuatnya enggan untuk terjaga dan menghadapi realitas apa adanya. Bukankah orang seringkali “menikmati” permasalahan yang mereka gumuli, mengasihani diri sendiri dan enggan beranjak daripadanya? Terutama bila masalah yang mereka hadapi tersebut membangkitkan banyak simpati dan belas kasihan dari banyak orang.

Maka kematangan harus diperjuangkan dan mesti ada dukungan dan lingkungan aman yang memungkinkan pertumbuhan emosional dapat terjadi. D. W. Winnicott mengatakan bahwa tugas seorang konselor atau psikoterapis esensinya adalah menjadi “ibu yang baik” bagi para kliennya. Ibu yang baik adalah metaphor tentang konselor yang mau mendengarkan dan mengerti permasalahan kliennya, membangkitkan kapasitas klien untuk trust – baik trust terhadap orang lain dan dunia, tetapi terlebih-lebih trust pada diri sendiri. “Ibu yang baik” menjadi model bagi pembelajaran ulang klien agar tidak hanya reaktif secara emosional setiap kali mengalami gugahan emosi, melainkan secara proaktif melakukan tindakan-tindakan konstruktif untuk memecahkan masalahnya. Last but not least, “ibu yang baik” juga akan terus membangunkan si anak, bilamana si anak ingin terus tidur dan tidak mau menghadapi kenyataan hidup yang memanggilnya.

Bilamana perjuangan untuk menjadi matang itu telah mulai membuahkan hasil, maka beberapa tanda akan dapat dijumpai; pertama – keterbukaan dan kesediaan menerima realitas, apapun jua. Kepribadian yang matang menyambut dan merangkul setiap realitas yang menyongsongnya, entah itu manis ataupun pahit; karena ia tahu hanya bila ia berpijak pada realitas maka eksistensinya menjadi nyata. Tanda kedua pribadi yang matang adalah terus berkembangnya pengenalan diri dari waktu ke waktu sehingga menghasilkan identitas yang mantap. Seseorang dengan identitas yang kuat tidak mudah diombang-ambingkan macam-macam godaan dan dorongan; sebaliknya ia mengakar dengan setia pada pengetahuan akan siapa dirinya. Tanda ketiga pribadi yang matang adalah munculnya kemampuan mengendalikan diri dan mengatasi masalah dan kecemasan tanpa harus bersikap defensif. Banyak orang terbentur pada masalah karena kurangnya kemampuan mengendalikan diri, yang membuatnya melakukan berbagai hal yang kelak akan disesalinya. Pribadi yang matang tidak akan menunjukkan impulsivitas semacam itu, melainkan tahu kapan harus menahan diri dan kapan dapat melepaskan hasrat secara baik dan memuaskan. Ia pun dapat mentolelir frustrasi ataupun kecemasan, sebagai bagian yang tak terhindarkan dalam hidup ini. Dengan sikap positif tersebut, ia selalu dapat bangkit kembali setiap mengalami kekecewaan dan kecemasan. Tanda keempat pribadi yang matang adalah hidupnya ditandai dengan adanya tujuan (purpose) yang membuatnya menjalani hidupnya dengan bermakna, serta membantunya terus mengalami pertumbuhan baik dari segi karakter maupun spiritual.

Meskipun apa yang saya paparkan di atas mungkin terkesan ideal dan sulit digapai, namun dalam hemat saja, juga bukan sesuatu yang mustahil. Karena yang penting bukanlah mencapai suatu titik perkembangan tertentu yang kita anggap sudah matang dan kemudian berpuas diri; melainkan untuk terus mengalami perkembangan dan pertumbuhan sepanjang hidup kita. Yang penting adalah dari waktu ke waktu kita menjadi semakin matang dan bijaksana. Perjalanan, proses dan pertumbuhan itu sendiri yang paling utama, bukan sekedar hasilnya. Maka, saya ucapkan selamat menempuh perjalanan itu bagi kita semua. Semoga saya dan anda meskipun mungkin perlahan-lahan, menjadi semakin matang dan beroleh secercah kebijaksanaan…

Iman Setiadi Arif
Dekan Fakultas Psikologi
Universitas Kristen Krida Wacana (UKRIDA)
Jakarta
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on August 06, 2009 22:52

June 29, 2009

Yang terancam punah: Kebaikan Hati

Tulisan ini pernah dimuat di Suara Pembaruan



Salah seorang sahabat saya telah memberikan sebuah buku sederhana berjudul "The Power of Kindness" karya Piero Ferrucci. Bagi saya buku tersebut bagaikan secangkir teh hangat di tengah cuaca yang dingin. Ditulis dengan sederhana, tanpa upaya kosmetik untuk mempercantik diri, tetapi tak urung keindahannya memancar jua. Mungkin keindahan tersebut berasal dari ketulusan dan kejujuran dalam mengangkat suatu topik yang begitu sederhana, begitu...

 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on June 29, 2009 08:49

April 16, 2009

Spiritual Brain

Tulisan ini pernah dimuat di Suara Pembaruan

Terselubungi oleh gegap gempita Pemilu Legislatif yang baru saja berlalu 9 April yang lalu, hari Minggu yang lalu tanggal 12 April 2009 bagi umat Kristiani adalah hari yang terpenting dan paling bermakna sepanjang tahun, yaitu hari raya Paskah. Kebangkitan Yesus Kristus (Isa Almasih) yang dihayati kembali (relived dalam kekinian - bukan sekedar "diperingati/ remembered" sebagai suatu peristiwa di masa lalu) setiap hari raya Paskah merupakan dasar...

 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on April 16, 2009 07:19

February 13, 2009

Apa sih hebatnya cinta?

Tulisan ini pernah dimuat di Suara Pembaruan


Hari ini adalah hari Minggu Cinta, apakah anda menyadarinya? Yup, karena kemarin adalah 14 Februari, yang dirayakan oleh kaum muda sedunia (khususnya yang sudah terimbas budaya Barat) sebagai hari Cinta. Kalau anda adalah seorang remaja, apalagi ABG, mestinya saat ini anda masih sedang tersenyum-senyum sendiri (gila dong??) membayangkan romantic dinner tadi malam dengan si dia, lengkap dengan candle light dan alunan musik yang syahdu. Atau kalau...

 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on February 13, 2009 07:31

December 11, 2008

Berbelaskasihlah dan jadikan otakmu lebih baik

Tulisan pernah dimuat di Suara Pembaruan


Judul di atas dapat dimaknai secara harafiah, demikan yang dibuktikan melalui studi Richard Davidson, Ph.D dari Universitas Wisconsin-Madison. Ia dan rekan-rekannya dari Waisman Center for Brain Imaging telah belasan tahun melakukan penelitian tentang kaitan antara emosi, latihan mental dan plastisitas otak. Penelitian tersebut memperlihatkan bagaimana latihan mental tertentu – khususnya meditasi – dapat mengubah otak manusia, menjadikannya lebih...

 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on December 11, 2008 22:35

November 23, 2008

THE OTHER SIDE OF THE STORY: ORANGTUA YANG TERLUKA

Diterbitkan di Suara Pembaruan 16 Nov 2008
Bilamana kita mendengar istilah "luka batin" maka konotasi kita langsung terarah pada seseorang yang mengalami trauma psikologis akibat perlakuan orangtua kepadanya di masa kecil. Dalam uraian semacam itu biasanya akan dibahas bagaimana seseorang yang di masa kecilnya kurang mendapatkan kasih sayang, mendapatkan perlakuan kasar atau penolakan dari orangtua akan mengalami trauma (luka batin) yang kemudian membangkitkan konflik berkepanjangan dalam diri...
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on November 23, 2008 21:22

Iman Setiadi Arif's Blog

Iman Setiadi Arif
Iman Setiadi Arif isn't a Goodreads Author (yet), but they do have a blog, so here are some recent posts imported from their feed.
Follow Iman Setiadi Arif's blog with rss.