Koen Setyawan's Blog, page 2
January 5, 2011
Key Nature Trek
Alhamdulillah Key Nature Trek sudah bisa mulai jalan tahun ini. Nama Key muncul dari ide salah satu pendirinya, Elbi Ariendra. Key singkatannya jadi mirip "kunci". Padahal itu singkatan nama-nama pendirinya: K (Koen Setyawan), E (Elbi Ariendra) dan Y (Yonkie Firmansyah). Berawal dari kesukaan jalan-jalan di alam, kami memantapkan ide mendirikan tur ke Taman Nasional Bromo Tengger Semeru. Potensi wisatanya banyak yang belum tergali. Selama ini wisatawan hanya fokus ke puncak semeru. Padahal masih banyak obyek-obyek menarik lainnya yang bisa dieksplorasi, termasuk wisata budaya karena kami juga mengajak penduduk lokal untuk terlibat. Peserta tur nginap dulu di rumah penduduk dan merasakan suasana kehidupan masyarakat tengger. Potensi lainnya adalah makanan lokal atau makanan yang berbahan baku lokal. Kami akan menyajikan makanan unik selama perjalanan. Jadi bukan hanya perjalanannya dan suasana alam yang bisa dinikmati, tetapi juga makanannya. Selamat mencoba!
Lomba Menulis Artikel dan Blog tentang Perubahan Iklim
BMKG, BPPT dan ICCTF bermitra dengan Forum Badak Indonesia (FBI) dan Bloger Bogor (Blogor) menyelenggarakan Lomba Menulis Artikel dan Blog tentang Perubahan Iklim. Ada dua topik yang bisa dipilih peserta: perubahan iklim dalam keseharian dan perubahan iklim yang berkaitan dengan konservasi alam. Lomba ini diperuntukkan bagi siswa-siswi dan guru SLTA dan yang sederajad. Lomba ditutup pada tanggal 23 Januari 2011. Selamat berlomba!
October 11, 2010
Kali Mati
Tiba di Kali Mati
Pepohonan tumbuh semakin jarang dan tanpa beban carrier, kami leluasa berjalan menyusuri jalan setapak berliku. Di atas pohon terpaku papan pengumuman, Kali Mati. Selepas pandangan dari pohon itu, savanna membuka di kejauhan. Pohon-pohon metigi yang lebih kecil tumbuh menyebar. Sebuah pondok kecil dikepung tenda-tenda beraneka warna, tenda para pendaki yang siap menjenguk puncak semeru. Beberapa orang bergerombol atau memasak makanan dengan kompor kecilnya. Sementara di kejauhan, semeru muncul kembali dari kanopi pohon.
Kali Mati
Dingin menyerang. Tapi kami harus mencari air ke Sumber Mani. Berbekal botol kosong, kami menyusuri rekahan tanah ke ujung savanna. Jaraknya hanya satu kilometer dari Kalimati. Rekahan itu kian lebar dan menurun. Pepohonan tumbuh lebat di sini, tanah naik turun tak beraturan tenggelam dalam balutan batang-batang cemara. Jalan setapak itu semakin menurun hingga tibalah di celah menganga. Ketika sampai di permukaan tanah, celah itu meluncur menuju celah yang lebih lebar. Kami berada di dasar sungai…Kali Mati. Sungai kering ini adalah jalur banjir jika semeru memuntahkan endapan yang menutupi kawahnya. 
Lembah yang mirip Sumber Mani
Gelap mulai merambat saat kami menyusuri permukaan kali kering yang kian melebar itu. Lebarnya cukup untuk dilalui sebuah bus besar. Di kiri kanan tebing-tebing curam bekas terkikis banjir besar. Batu-batu besar bergeletakan di permukaan tanah. Di kelokan di depan, sumber air mulai terlihat. Sumber itu kecil. Jumlahnya tiga buah yang memancarkan air sebesar pensil. Tapi kesegaran yang diberikan..luar biasa. Tanpa sumber air ini kami akan kehausan dan tak mungkin mendaki puncak tanpa persediaan air.
Magrib mulai menyapa dan kegelapan perlahan menelan lembah itu saat kami kembali dengan botol-botol dipenuhi air. Di balik pepohonan, suara muncak terdengar seperti gonggongan anjing liar. Seperti mengingatkan kami untuk mampir ke lembah itu lagi kelak.
Foto-foto: Yonkie Firmansyah dan Koen Setyawan
October 6, 2010
Metigi
Menuruni tanjakan cinta menuju Cemoro KandangPagi membelah gelap di Ranu Kumbolo. Kami mendaki tanjakan cinta, siap memulai perjalanan ke puncak semeru. Perjalanan masih jauh dan tanjakan ini menguji niat kami. Konon dinamakan tanjakan cinta karena orang tak boleh berlama-lama berhenti di tengah perjalanan, seperti kalau sedang menjalin cinta harus terus menatap lurus ke masa depan. Jika berhenti, pustuslah hubungan itu. Dalam kasus yang sebenarnya, berhenti di tengah tanjakan ini malah bisa menguras tenaga, dan malahan lebih sulit lagi melanjutkannya. Ya, tanjakan itu tak terlalu panjang tapi cukup terjal. Jalanan setapaknya meliuk-liuk diantara rerumputan liar. Di atasnya pepohonan tumbuh miring menyeimbangkan diri dengan kekuatan gravitasi, menahan dahan-dahannya tetap menengadah kanopinya ke langit dan menghirup sinar matahari banyak-banyak.
Tiba di puncak tanjakan, pemandangan pun berganti. Di depan mata di kaki langit, terhampar savanna luas dibatasi hutan pinus di kejauhan. Cemoro Kandang. Dan nun jauh di sana, Puncak Semeru malu-malu menampakkan dirinya dari balik kabut pagi. Kami harus turun melalui jalan setapak yang melingkar mengelilingi separuh bukit dan kemudian tiba-tiba menemukan diri kami tenggelam di dasar lembah. Alang-alang setinggi dua meter lebih memagari jalan. Hutan alang-alang kemudian itu semakin memendek dan akhirnya kaki pun memasuki di gerbang hutan cemara.
Cemoro Kandang
Hutan Cemoro Kandang menyembunyikan suara-suara burung dintara ketiak pepohonannya. Pepohonan tumbuh tak terlalu rapat. Batang-batang cemara tumbuh menjulang bagai tiang-tiang raksasa. Sebagian melengkung dan menghitam tersambar petir. Batangnya menghitam menjadi arang, tapi pohonnya tetap berdiri angkuh. Tanah di hutan ini bergelombang naik turun. Semakin lama semakin menanjak. Dataran berpasir memotong jalan setapak. Jalan bekas banjir, tapi segera hilang ditelan hutan. Naik terus ke punggung bukit, kami menemukan diri kami di batas hutan. Di kejauhan, savanna membentang kembali muncul dengan alang-alang setinggi lutut. Pepohonan besar berdaun lebat hijau tua tumbuh bergerombol. Batangnyanya yang renta termakan usia tumbuh meliuk-liuk. Permukaan kayunya tertutup lumut tebal. Daun-daun merah menyala muncul dari pucuk-pucuk daun. Buah-buah kecil mirip beri menggantung di ujung daun. Pohon Metigi. Tak heran daerah ini dinamakan Metigi juga.
Metigi dengan latar belakang Puncak Semeru
Pohon metigi
Kami melewati jalanan setapak menerobos pohon-pohon metigi yang tumbuh rimbun seperti gerbang alam. Ketika keluar dari kegelapan baying-bayang daunnya, pohon-pohon edelweiss mulai terlihat, muncul dari balik semak-semak. Taman Edelweis. Bunganya yang kecil bergerombol muncul di puncak pohon kerdil ini. Pohon-pohon itu tumbuh menyebar diantara savana. Di kejauhan, hutan metigi kembali muncul dengan rimbunnya. Tapi kali ini ditemani dengan pemandangan menakjubkan, puncak semeru. Puncak segitiga berwarna kelabu nampak kontras dengan hutan di kakinya. Gurat-gurat di permukaannya nampak jelas dengan satu guratan panjang yang berujung di puncaknya. Di sanalah kami akan mendaki. Bukan untuk menaklukannya, tapi mengaguminya.
October 1, 2010
Gie dan Semeru
Batu-batuan karang muncul di atas kepala, seperti mengintp dari ketinggian. Juga seperti mengundang dan meneguhkan tekad bagi siapa saja yang ada di bawahnya. Ayo sedikit lagi puncak menyapamu! Langkah kaki masih terasa berat menginjak pasir yang lunak. Sekali injak, permukaan pasir melorot ke bawah seperti tangan-tangan kekasih yang tak rela ditinggalkan. Tapi perlahan demi perlahan, tubuh tertarik ke atas, menggapai deretan karang yang seperti memagari jalan setapak berpasir hingga sampai di puncak.Di dataran itu, puncak tertinggi jawa, tiba-tiba kesenyapan menyeruak. Celoteh para pendaki tiba-tiba senyap. Langit kosong, dihisap kabut di kejauhan. Dataran itu seperti lukisan kanvas tanpa coretan. Hanya pasir dan batu-batuan kecil bekas lava yang terlontar dari kawah Jonggring Saloka di kejauhan, berteman bisu. Ketenangan dengan cepat merenggut, menyisakan keheningan dan takjub mencekam. Tanah itu, kerikil dan batu itu, lebih mirip permukaan Mars yang kosong. Mungkin seperti inilah perasaan manusia saat pertama kali menginjakkan kaki di bulan.
Ada bendera di sana, menandakan puncak semeru. Bendera itu tergolek menunduk takluk pada keheningan alam. Dan tak jauh dari sana, sebuah lempeng logam terpaku nyaman. Bautnya mulai berkarat dimakan cuaca dingin menggigit, tapi huruf-hurufnya masih tampil tegas. Ini papan kenangan untuk Soe Hok Gie dan Idhan Lubis yang dibuat oleh Indonesia Green Ranger. Ya, pejuang keadilan itu memang pernah terbaring di gunung ini. Muak dengan pemerintah yang kacau balau, kemunafikan rekan-rekan dan pengkhianatan kekuatan yang pernah dibelanya mendarah daging, Soe Hok Gie menemukan ketenangan di sini.
"Ke sanalah Soe Hok Gie dan Idhan Lubis pergi
Kembali ke Pangkuan bintang-bintang…"
September 30, 2010
Hayeg-hayeg
Jalur ini cukup menghemat waktu, tapi konsekuensinya memang lebih sulit dari jalur pendakian konvensional. Tanjakannya terasa. Di beberapa bagian kemiringannya nyaris 50-60 derajad. Napas jadi ngos-ngosan kalau tak terbiasa. Tapi pemandangannya….luar biasa. Dari puncak Hayeg-hayeg yang sempit kita bisa menengok ke belakang pemandangan Ranu Pane di kejauhan. Di depan terdapat celah sempit yang dibatasi gundukan kecil. Dari celah itu muncul bayangan Semeru di kejauhan, separuh tertelan kabut. Turun dengan jalur menghujam, tibalah di Sendang Pitu yang luas. Sebelum mencapai dataran luas yang mirip mangkuk raksasa, di kejauhan terlihar Ranu Kembang dengan alur rata yang mengarah ke Watu Rejeng (semacam karang terjal). Sendang pitu dipenuhi tanaman khas dataran tinggi, palem raksasa dan berbagai tumbuhan kerdil. Nun jauh di depan, punggung perbukitan bersemu keabuan di balik tabir kabut yang sesekali turun menelan pepohonan, merubahnya menjadi bayangan kelabu. Pohon-pohon mentigi berpucuk daun merah menyala muncul seperti cakar-cakar raksasa yang dibalut lumur janggut.
Turun lagi melewati jalan babi yang dibatasi ilalang tinggi, mata kita seketika disergap savanna berbukit di kejauhan. Gumuk Mayit. Nama yang menyeramkan. Tapi bagi kami lebih mirip bukit-bukit teletubbies. Bukit-bukit berwarna hijau kuning pucat itu sangat kontras dengan latar belakang hutan yang hijau. Lekuk-lekuknya mengingatkan pada gundukan-gundukan rumah para Hobbit dari lakon Lord of The Ring. Bukit-bukit itu memanjang turun hingga ke celah diantara dua bukit besar. Di balik gundukan berkabut tipis itulah Ranu Gumbolo menunggu diam, yakin para pengunjungnya tak akan menyerah untuk menyapanya, menghirup dingin uap airnya dan menjamah airnya yang sedingin es. Kapan saja.
September 29, 2010
Berbondong Mendaki Semeru
Puluhan tenda berdiri di sekeliling Ranu GumboloTurun dari pundak Hayeg-hayeg (bukit yang menjadi jalan tembus dari Ranu Pane ke Ranu Gumbolo), segera mata kami disergap pemandangan puluhan tenda mengepung pinggiran ranu. Tenda beraneka warna bertebaran di sisi ranu sementara tak henti-hentinya di tanjakan cinta (salah satu sisi Ranu Gumbolo yang menjadi jalur pendakian ke puncak) rombongan pendaki dating dan pergi. Pondok pendakian yang biasanya sepi, dipenuhi oleh para pendaki yang akan berangkat atau baru turun dari pendakian. Sebagian duduk-duduk di teras. Lainnya memasak dengan kompor kecilnya. Ada juga yang mendirikan tenda di kamar pondok. Lah kalau yang ini memang rada aneh. Camping kok di dalam kamar?
Puluhan tenda juga bertebaran di Kali Mati saat kami tiba di sana. Ini pos terakhir sebelum mendaki puncak Semeru. Tapi sebagian ada yang berkemah di Kelik (salah satu lokasi di dekat puncak yang mendapatkan namanya dari nama seorang pendaki yang meninggal di sana) yang lokasinya lebih dekat ke puncak. Pendakian ke puncak lebih mirip perayaan bersama. Ratusan orang bergantian menyusuri tanah berpasir, mendaki puncak. Malam yang gelap diterangi puluhan head lamp dan senter. Lampu berkelap-kelip di kejauhan seperti kunang-kunang di gulita malam.Rombongan pendaki
Saat matahari terbit menerangi punggung Semeru, seketika celoteh suara para pendaki yang turun dan naik puncak segera terdengar jelas. Para pendaki dari berbagai tempat disatukan dengan satu tujuan, mengagumi kebesaran Ilahi. Beberapa meter sebelum mencapai puncak, kami habiskan memotret nuansa alam jauh di kaki Semeru. Puluhan pendaki masih merayap di kejauhan. Sinar matahari menyingkap gelap, membuka tabir keindahan alam di balik kabut. Punggung-punggung bukit perlahan muncul dari kegelapan, kontras dengan bayangan di baliknya. Nun jauh di sana, gunung-gunung mengintip dari balik awan, memamerkan wajahnya yang biru keabuan. Seperti berlomba memanggil-manggil para pendaki untuk mengunjungi mereka entah kapan.
Bentang alam dari punggung SemeruFoto: Yonkie Firmansyah dan Koen Setyawan
August 25, 2010
Jolotundo, Nasibmu Kini
Pemandian Jolotundo dilatarbelakangi pepohonan rimbunJalan menanjak itu masih tetap sama dengan sepuluh tahun yang lalu. Bedanya, kanan dan kiri jalan kini tak lagi dinaungi oleh tiang-tiang raksasa pepohonan. Pepohonan peneduh itu telah lenyap digarong massa.. Sejauh mata memandang hanya pucuk-pucuk jagung diselingi daun ubi kayu dan keladi liar. Pepohonan yang tersisa tumbuh berserak di antara hamparan lahan terbuka itu. Sementara pondok-pondok bambu menyembul di sana sini. Di kelokan...
August 23, 2010
Hellboy, Detektif Bertanduk Pembasmi Penjahat Supranatural
Dia besar, merah dan bertanduk. Memang bukan gambaran jagoan komik lumrah. Biasanya jagoan komik digambarkan nyaris sempurna dengan kekuatan super power. Hellboy memiliki kekuatan superpower, tapi Mike Mignola, penciptanya, menggambarkannya berwajah kasar, berkuku dua seperti kaki kambing dan berekor panjang layaknya buaya. Maklumlah sang jagoan seperti namanya memang bukan manusia atau aliens dari planet lain semacam Superman. Hellboy adalah anak setan yang dipelihara manusia. Dalam novel...
July 29, 2010
Andy Serkis, Si Seribu Wajah
Andy Serkis dengan pakaian penuh sensor (mocap) beraksi dalam Kingkong. Gerakannya kelak direkam dan bentuknya direkayasa menjadi gorila raksasa (http://i.telegraph.co.uk/telegraph/multimedia)Kalau ada penghargaan khusus untuk aktor terbaik yang paling sering tampil tanpa wajah aslinya, mungkin Andy Serkislah yang pantas menerimanya. Tanpa menampakkan wajah aslinya pun, Sekis, pria Inggris keturunan Armenia ini tampil all out. Perannya yang berganti-ganti pantas membautnya dijuluki si...


