Kusumastuti's Blog, page 4

June 30, 2009

I published my first e.book!

After some years searching, founding, communicating with publisher in Germany, finally I decided to publish my book by myself. Go green, I made it as e.book.

http://www.lulu.com/content/e-book/er...

Description:
Schöne Schals, fröhliche Mützen, edle Stola oder festliche Taschen, wer möchte dies nicht haben? Am Besten, macht man alles selber, wenn man kann. Leider, nicht alle können stricken oder haben es vergessen. Stricken mit Knitting Loom ist so einfach. Kein bedenken, wenn man eine Pause mache und später wieder genau an der Stelle, wo man aufgehört hat, weiter zu stricken. Dies würde sich mit normalen Stricknadeln nicht lohnen. Der Buchinhalt ist unter anderem: Was ist Knitting Loom, Einfache (Single) Masche, Doppelt Masche, Zunahme, Abnahme, Kordel, Endfertigung, Schritt für Schritt Anleitungen für 10 Anfänger Projekte (z.B. Mütze, Zipfelmütze, Schal, Schulterwärmer/Ärmelschal, Tasche).


And yes, it is in german language.
 •  4 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on June 30, 2009 09:11 Tags: einfach, erfolg, knitting, loom, stricken, strickring, strickringe

Mencari Sabar (My Life As A Writer’s Series)

Sabar, Patience, Geduld. Tiga kata yang artinya sama, namun tidak selalu ada di kantong saya. Dan setahap demi setahap saya baru menyadari kalau “sabar” adalah kata kunci untuk menjadi penulis yang panjang usia.

Jujur saja. Saya tidak dikenal karena tingkat kesabaran saya. Secara sadar, saya dulu memilih kerja di dalam pabrik baja karena jenis pekerjaannya menuntut tingkat adrenalin tinggi. Cocok untuk saya yang “pentalitan” (meminjam istilah kakak saya). Yang pasti – terutama karena – kepadatan debu besi di udara dan suhu yang ribuan celcius sudah cukup untuk membuat saya selalu bergerak. Belum lagi tuntutan pabrik baja yang harus berproduksi non stop, dengan kondisi mesin rusak atau tidak rusak. Setiap delay dan masalah, diancam dengan penalty berdasarkan production lost per hari! Bagian bayar-bayaran dengan supplier atau client pun sama. 30 hari setelah barang diterima, harus bayar or (what else) penalty. Bisa diduga, keputusan tidak bisa ditunda, masalah tidak bisa di-skip dan motto “nanti dulu deh” tidak bakal survive di sini.

Kini, saya tidak lagi “gentayangan” di dalam pabrik baja. Kini saya, memilih untuk menjadi penulis. Dari debu besi dan keringat, kini udara kamar (dan tetap dengan keringat karena kamar tak ber AC). Kalau dulu fitness karena harus wira-wiri, kini posisi duduk yang jadi trend. Kalau dulu mengisi asuransi kesehatan harus mencontreng kotak: “tingkat kecelakan kerja super tinggi”, sekarang paling maksimum jari keram kebanyakan mencet keyboard. Kalau dulu saya stress karena semuanya berpacu dengan waktu, sekarang saya stress karena habis kesabaran.

Betapa tidak. Pertama-tama, sebagai penulis, saya harus (benar sekali) menulis sesuatu. Tergantung dari banyaknya kata yang ingin saya tulis, saya butuh waktu untuk menuangkan tiap kata ke dalam Ms Word. Betapapun cepatnya jari saya mengetuk keyboard, progress saya selalu lebih lambat dari target. Semakin banyak waktu yang terkonsumsi, semakin tipis ambang sabar saya. Apalagi kalau setelah dibaca ulang, hasilnya tidak “sesuai” dengan yang saya inginkan. Di saat kritis ini, cita-cita awal yang ingin menulis novel 500 halaman, bisa jadi menciut menjadi artikel 3 halaman.

Kedua, setelah tulisan jadi, saya mengirimkannya ke majalah atau ke penerbit. Lagi-lagi, cadangan sabar harus banyak-banyak ditabung untuk phase ini. Tiga bulan mendapat kabar dari majalah kalau artikel anda diterima adalah suatu “kenormalan”. Tiga bulan mendapat kabar dari penerbit kalau naskah anda akan dijadikan buku, itu adalah suatu “keajaiban”.

Tentu, tiap kasus pastinya berbeda. Namun dari pengalaman saya yang sudah mengirim naskah ke berbagai majalah dan penerbit dari 5 negara (UK, USA, Jerman, Austria dan Indonesia), sedikit sekali penerbit yang baik yang mengabari penulis akan kelangsungan hidup naskahnya. Yang baik (dan saya harap semua penerbit seperti ini), akan mengirim email, ”Ya, naskah anda sudah diterima. Harap menanti 30 hari untuk kabar selanjutnya. Jika lewat dari 30 hari kami tidak memberi jawaban, naskah anda dianggap tidak diterima untuk penerbitan kami.”

Yang lebih baik lagi, memberi email “Maaf, naskah anda tidak sesuai dengan majalah kami.” Yang super baik (ini hanya saya temui satu kali dari satu penerbit Jerman) mengirim email dengan penjelasan panjang lebar. Kalau naskah saya sebenarnya luar biasa baik, temanya menarik, namun dari segi komersial mungkin tidak begitu banyak menjual, dibandingkan dengan buku yang mereka akan terbitkan sekarang. (Mereka bahkan mengembalikan manuskript saya free of charge!)

Yang biasa terjadi, saya mengirim naskah, beli kumpulan doa, lalu menanti, menanti, menanti, menanti. Tidak hanya banyak penerbit yang tidak memberitahu jika naskah ditolak, banyak juga yang tidak memberitahu kalau naskah anda diterima! Logikanya mereka, kalau anda mengirim naskah ke mereka, dengan sendirinya anda membaca majalah mereka. Jadi buat apa diberitahu, kalau sang penulis dapat membacanya langsung.

Untuk buku, dapat kabar diterima atau tidaknya lebih lama lagi. Novel Alanakyla saya tanpa kabar setahun lebih mandeg di satu penerbit, sampai akhirnya saya tarik dan tawarkan ke penerbit lain. Cerita lain lagi, setengah tahun baru menunjukkan tanda-tanda kehidupan. Itupun belum tentu OK.

Setelah diiyakan pun, sebagai penulis, sebaiknya jangan langsung bikin pesta. Dari kata iya, naskah anda dianggap pantas jadi buku sampai anda dapat menemukan buku anda di toko buku, bisa berjalan tahunan lagi. Kontrak, proses editing, pencarian ilustrator (kalau ada yang perlu digambar), proses ilustrasi, pembuatan cover buku, setting, ngantre di mesin cetak, urusan logistik penerbit dan toko buku, proses distribusi, plus kemoloran karena sebab-sebab yang tidak mungkin semuanya ditulis di sini, membuat penulis yang tidak sabaran seperti saya bisa terkena stroke.

Reserve sabar terakhir dipakai untuk menanti fee, honorar, royalti, dana sampai ke account kita. Harus diakui penerbit luar negeri lebih bertanggung jawab untuk urusan yang satu ini. Biasanya langsung sampai dengan datangnya bukti terbit ke alamat kita. Bahkan ketika cek dari penerbit Amerika tidak dapat diuangkan di Austria, mereka dengan ramah menarik kembali ceknya dan mentransfer langsung antar benua. Di Indonesia, ehem ehem, pastinya ada yang beres tapi kebanyakan masih menganut prinsip : jangan TIDAK bertanya. Maksudnya? Iya, sebagai penulis kita dianjurkan bertanya, kapan kita akan mendapatkan “hak” kita. Ada penerbit yang setelah dua-tiga kali bertanya langsung OK. Ada yang setelah belasan kali baru OK. Ada yang setelah bertubi-tubi ditanya dalam kurun waktu yang lama , akhirnya OK. Dan ada penerbit, yang tampaknya berharap, penulisnya give up sendiri nanya-nanya soal urusan satu ini. Paling ngenes kalau kena yang bermotto: “Udah untung naskahnya diterbitin, udah donk.”

Bukan tanpa alasan juga, tips yang paling sering dikumandangkan di dunia penulisan adalah keep writing. Teruslah menulis. Jadi anda tidak terpaku hanya di ruang tunggu satu proyek. Tambahan dari saya, mix writing. Tulislah artikel untuk majalah dan buku untuk penerbit. Karena biasanya waktu tunggu di majalah lebih cepat daripada di penerbit. Jadi waktu “bergembira” naskah anda terbit lebih banyak.

Seperti kasus saya sekarang. Ada dua buku yang “teori”-nya bakal terbit bulan juni ini. Tapi, yang satu masih disetting dan mengantre di percetakan. Yang satu lagi, lebih butuh banyak banyak banyak kesabaran untuk dapat dibaca grafik progressnya. Karena itu, siapa saja yang dapat membantu saya, harap beritahu, di mana saya dapat menemukan sabar. Sabar, dicari!
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on June 30, 2009 09:07 Tags: honor, penerbit, sabar