Kusumastuti's Blog - Posts Tagged "libur"
Mengubah Libur Menjadi Novel
https://www.facebook.com/notes/kusuma...
Menyambung Note tgl. 18 Juni lalu, "Menulis Artikel Travel" (https://www.facebook.com/notes/kusuma...), berikut penjelasan bagaimana tempat liburan bisa menjadi lokasi cerita novel. Semoga membantu!
Liburanmu begitu berkesan, sampai kamu berniat mengabadikannya, namun tidak tahu bagaimana? Mengapa tidak menjadikan hasil jalan-jalanmu menjadi novel? Ya, lokasi liburan bisa jadi TKP (Tempat Kejadian Perkara) novelmu dan apa yang terjadi selama liburan dapat menjadi bumbu novelmu. Hah?
Tenang, saya jelaskan pelan-pelan. Saya ambil contoh dari novel Blue Vino (terbitan Gramedia, masih bisa di dapat di banyak toko buku online, bahkan amazon.com). http://utiauthor.weebly.com/blue-vino...
Ketika saya mengunjungi daerah-daerah penghasil wine di Austria, saya benar-benar terpukau. Luar biasa indah pemandangannya, luar biasa sederhana orang-orangnya, luar biasa damai lingkungannya, luar biasa bersahaja, tapi kualitas winenya terkenal di dunia internasional.
Saya pun melakukan riset, terutama untuk detail-detail yang benar ada. Walau di dalam novel, ceritanya sendiri fiksi, tapi nama tempat, lokasi benar-benar ada. Kalau pun diubah namanya (seperti nama gedung atau perkebunan yang milik pribadi – sehingga tidak dapat dipakai namanya tanpa meminta ijin), rincian detail gedung atau perkebunan itu sesuai dengan aslinya.Sehingga pembaca dapat melihat di internet (misalnya website resmi kota Langenlois http://www.langenlois.at), bangunan, perkebunan, semua lokasi yang menginsipirasi cerita ini.
Setelah tahu tempat, selanjutnya berlanjut dengan, „ada apa di sana?“. Karena saya mengunjungi daerah penghasil wine, tentunya yang ada di sana adalah… wine. Nah, ini kesempatan saya membuka wawasan. Dulu tahunya hanya wine merah, wine putih; asam , tidak asam; sudah. Ternyata, jenis wine bisa ratusan (kalau tidak ribuan). Jadilah saya mengenal berbagai rupa dan nama dan rasa wine di sana yang nantinya menjadi tambahan detil bagi tokoh-tokoh cerita saya.
Sekarang, mulailah digabung dengan tema di kepala saya. Mengambil dari kisah sehari-hari yang saya dengar atau tahu dari orang-orang di sekitar saya. Cerita apa yang menarik dilakukan di perkebunan wine? Keluarlah ide-ide: Romantis. Kisah Cinta. Pemilik perkebunan. Kisah cinta pemilik perkebunan.
Lalu “what if”, bagaimana jika terjadi demikian… lalu? Bagaimana jika si pemilik perkebunan bertemu wanita yang tidak pernah berkebun sebelumnya? Wanita karir di kantor. Apa yang akan ia lakukan. Apa yang akan mereka lakukan?
Mulailah merancang tokoh-tokoh utama novel: OK, dimulai dari Roz. Roz tipe perempuan yang mandiri; work hard, play hard. Bukan tipe pasrah, dan tidak takut menghadapi masalah. Dia juga tidak bisa melihat ada masalah di depan mata tanpa berbuat apa-apa. Saya melihat dia sebagai wanita yang terlalu pede pada awalnya. Dia pikir dia tahu apa yang dia inginkan. Dia pikir dia tahu semua jawaban atas semua masalah yang ada. Sampai kepedeannya membutakan dia dari kenyataan, membuat dia terbentur masalah di mana-mana (di kantor dan di kehidupan pribadi), yang membuat dia sadar kalau dia harus mengubah diri. Dari biasanya pria hanya for fun, sampai ingin serius. Dari biasanya hanya bekerja workaholic sampai bisa betah liburan. Dari biasanya jadi orang nomor satu, sekarang hanya menjadi orang di balik layar. Kesulitannya adalah meringkas perubahan karakter dari over pede menjadi sadar kalau dia harus mengubah diri, dalam 300 halaman novel. Saya mencoba mengatasinya dengan membagi “tiga” perubahan Roz; di awal over pede, di tengah lebih banyak mempertanyakan diri sendiri, di akhir menjadi Roz yang lain. Saya berharap pembaca dapat melihat perubahan itu. Roz yang ada di awal novel tidak lagi Roz yang ada di akhir novel.
Khusus untuk “intrik” di kantor Roz, saya menggali dari pengalaman saya sendiri ketika saya bekerja sebagai Project Manager di perusahaan pembuat pabrik baja di Austria. Dengan cap dunia baja adalah dunia pria, friksi dengan kolega kantor kadang-kadang tidak dapat dielakkan.
Lalu ada Bjorn, dia adalah tipe orang yang selalu mau jadi center point. All about me, me, me. Karakter yang paling mudah dibuat dari ketiga karakter utama, karena tipikal sekali. Egois, mengambil apa saja yang bisa diambil. Belagu, sok cakep, sok beken, you named it! Tipe orang seperti ini banyak ada di sekitar kita. Orang-orang yang kalau ketahuan salah pun tidak terlalu merasa bersalah, maksimum yang dia lakukan adalah “membatasi kerusakan” yang terjadi akibat ulahnya (cocok jadi politikus di Indonesia nih, hihihihi!).
Last but not least, si pemilik perkebunan di dunia nyata yang saya temui ketika ke sana, Dagny. Tokoh Dagny terus terang adalah mix tokoh nyata dan fantasi. Masalah dia dengan Roz dan Bjorn adalah 100% fiksi. Tapi apa yang dia lakukan di perkebunan anggurnya (dengan 100% organik, etc) terinspirasikan dari petani anggur dan kebun anggur yang benar ada. Kesulitan dalam membuat karakter ini adalah membayangkan, tipe pria seperti apa yang dapat mencuri hati Roz. Kalau pria biasa-biasa saja, sudah pasti tidak akan ditengok sama Roz. Jadi harus yang sukses juga, yang punya ide menarik, punya wawasan lebih, punya hal yang tidak pernah ditemukan Roz di pria lain sebelumnya. Mengatasinya dengan menceritakan apa yang dia lakukan di perkebunan anggurnya itu. Beda dari yang lain dan bukan tanpa alasan (asal beda doang tapi malah aneh). Dan, dia harus menjadi hero dalam masalah yang ditangani Roz.
Mulailah merangkai cerita dengan data TKP dan bumbu yang saya punya. Jadi bentuk topografi wilayah, bentuk rumah, makanan, bentuk ruang bawah tanahnya itu, bentuk jalan-jalan di sana sudah tahu. Juga semua bentuk kegiatan di wilayah itu. Walau hal ini juga bisa jadi bumerang, karena yang saya anggap wajar ada di sana, belum tentu pembaca di Indonesia bisa mengerti kenapa itu wajar. Misalnya toko yang tutup kalau jam makan siang, jadwal bus, dsb.
Plus, gunakan detil kehidupan di tempat itu untuk karakter si tokoh dalam cerita. Misalnya kehidupan percintaan di Austria dan yang berbeda dengan Indonesia, terutama keterbukaan orang-orangnya. Terbuka maksud saya, bukan buka-bukaan porno begitu, tapi terbuka menceritakan dan menunjukkan siapa dia sebenarnya. Lebih real. Di sini orang terbiasa apa adanya, tidak dibungkus make up, baju bermerek, atau pamer harta. Jadi dari awal biasanya memang yang dipentingkan koneksi intelektual dan mentalnya. Yang disukai adalah partner yang bisa diajak ngobrol, kerja sama, melakukan hal-hal bareng, seperti itu. Karena semua harus dikerjakan sendiri di sini, tidak ada pembantu, tidak ada abang-abang penjual makanan lewat, tidak ada warung, tidak ada baby sitter. Jadi buat apa juga punya pasangan cantik, tukang dandan (atau kebalikannya cowok keren berotot) tapi nggak bisa buang sampah, misalnya. Atau sexy tukang dandan tapi nggak mau bersih-bersih karena takut kuku patah… males bener, hihhi.
Setelah semua digabung, ditulis, ya teruslah menulis sampai menjadi novel utuh. Rapikan, cek sampai terasa benar semua, lalu kirim ke penerbit.
Jadi, kesimpulan dari penjelasan di atas:
Deskripsikan semua tempat yang kamu temui di liburanmu secara detail. Perhatikan foto-foto yang kamu buat, detail apa yang menarik. Cari di internet, apakah ada detail yang kamu lewatkan ketika kamu di sana.
Deskripsikan semua kegiatan yang kamu lakukan di sana secara detail. Kembangkan wawasanmu akan semua detail yang mendukung kegiatan itu. Dimana, mengapa kamu melakukan itu, rasanya ketika melakukan itu, siapa saja orang-orang yang membantumu selama melakukan kegiatan itu, dan seterusnya. Tulis terus semua data, sedetil mungkin.
Deskripsikan semua hal menarik dari liburan secara detail. Lagi-lagi, gunakan internet untuk mencari detail yang mungkin terlewat ketika kamu di sana.
Gabung dengan tema ceritamu. Pikirkan jika karakternya tinggal di sana, lahir di sana, berasal dari sana, kerja di sana.
Gunakan kehidupan di area itu sebagai bagian karakter tokoh-tokohmu
Tulis semua sampai menjadi cerita utuh.
Kirim ke penerbit.
Kabar-kabari kalau novelmu sudah terbit ya!
Nah sekarang? Tunggu apa lagi? Abadikan liburanmu itu menjadi sebuah novel!
Menyambung Note tgl. 18 Juni lalu, "Menulis Artikel Travel" (https://www.facebook.com/notes/kusuma...), berikut penjelasan bagaimana tempat liburan bisa menjadi lokasi cerita novel. Semoga membantu!
Liburanmu begitu berkesan, sampai kamu berniat mengabadikannya, namun tidak tahu bagaimana? Mengapa tidak menjadikan hasil jalan-jalanmu menjadi novel? Ya, lokasi liburan bisa jadi TKP (Tempat Kejadian Perkara) novelmu dan apa yang terjadi selama liburan dapat menjadi bumbu novelmu. Hah?
Tenang, saya jelaskan pelan-pelan. Saya ambil contoh dari novel Blue Vino (terbitan Gramedia, masih bisa di dapat di banyak toko buku online, bahkan amazon.com). http://utiauthor.weebly.com/blue-vino...
Ketika saya mengunjungi daerah-daerah penghasil wine di Austria, saya benar-benar terpukau. Luar biasa indah pemandangannya, luar biasa sederhana orang-orangnya, luar biasa damai lingkungannya, luar biasa bersahaja, tapi kualitas winenya terkenal di dunia internasional.
Saya pun melakukan riset, terutama untuk detail-detail yang benar ada. Walau di dalam novel, ceritanya sendiri fiksi, tapi nama tempat, lokasi benar-benar ada. Kalau pun diubah namanya (seperti nama gedung atau perkebunan yang milik pribadi – sehingga tidak dapat dipakai namanya tanpa meminta ijin), rincian detail gedung atau perkebunan itu sesuai dengan aslinya.Sehingga pembaca dapat melihat di internet (misalnya website resmi kota Langenlois http://www.langenlois.at), bangunan, perkebunan, semua lokasi yang menginsipirasi cerita ini.
Setelah tahu tempat, selanjutnya berlanjut dengan, „ada apa di sana?“. Karena saya mengunjungi daerah penghasil wine, tentunya yang ada di sana adalah… wine. Nah, ini kesempatan saya membuka wawasan. Dulu tahunya hanya wine merah, wine putih; asam , tidak asam; sudah. Ternyata, jenis wine bisa ratusan (kalau tidak ribuan). Jadilah saya mengenal berbagai rupa dan nama dan rasa wine di sana yang nantinya menjadi tambahan detil bagi tokoh-tokoh cerita saya.
Sekarang, mulailah digabung dengan tema di kepala saya. Mengambil dari kisah sehari-hari yang saya dengar atau tahu dari orang-orang di sekitar saya. Cerita apa yang menarik dilakukan di perkebunan wine? Keluarlah ide-ide: Romantis. Kisah Cinta. Pemilik perkebunan. Kisah cinta pemilik perkebunan.
Lalu “what if”, bagaimana jika terjadi demikian… lalu? Bagaimana jika si pemilik perkebunan bertemu wanita yang tidak pernah berkebun sebelumnya? Wanita karir di kantor. Apa yang akan ia lakukan. Apa yang akan mereka lakukan?
Mulailah merancang tokoh-tokoh utama novel: OK, dimulai dari Roz. Roz tipe perempuan yang mandiri; work hard, play hard. Bukan tipe pasrah, dan tidak takut menghadapi masalah. Dia juga tidak bisa melihat ada masalah di depan mata tanpa berbuat apa-apa. Saya melihat dia sebagai wanita yang terlalu pede pada awalnya. Dia pikir dia tahu apa yang dia inginkan. Dia pikir dia tahu semua jawaban atas semua masalah yang ada. Sampai kepedeannya membutakan dia dari kenyataan, membuat dia terbentur masalah di mana-mana (di kantor dan di kehidupan pribadi), yang membuat dia sadar kalau dia harus mengubah diri. Dari biasanya pria hanya for fun, sampai ingin serius. Dari biasanya hanya bekerja workaholic sampai bisa betah liburan. Dari biasanya jadi orang nomor satu, sekarang hanya menjadi orang di balik layar. Kesulitannya adalah meringkas perubahan karakter dari over pede menjadi sadar kalau dia harus mengubah diri, dalam 300 halaman novel. Saya mencoba mengatasinya dengan membagi “tiga” perubahan Roz; di awal over pede, di tengah lebih banyak mempertanyakan diri sendiri, di akhir menjadi Roz yang lain. Saya berharap pembaca dapat melihat perubahan itu. Roz yang ada di awal novel tidak lagi Roz yang ada di akhir novel.
Khusus untuk “intrik” di kantor Roz, saya menggali dari pengalaman saya sendiri ketika saya bekerja sebagai Project Manager di perusahaan pembuat pabrik baja di Austria. Dengan cap dunia baja adalah dunia pria, friksi dengan kolega kantor kadang-kadang tidak dapat dielakkan.
Lalu ada Bjorn, dia adalah tipe orang yang selalu mau jadi center point. All about me, me, me. Karakter yang paling mudah dibuat dari ketiga karakter utama, karena tipikal sekali. Egois, mengambil apa saja yang bisa diambil. Belagu, sok cakep, sok beken, you named it! Tipe orang seperti ini banyak ada di sekitar kita. Orang-orang yang kalau ketahuan salah pun tidak terlalu merasa bersalah, maksimum yang dia lakukan adalah “membatasi kerusakan” yang terjadi akibat ulahnya (cocok jadi politikus di Indonesia nih, hihihihi!).
Last but not least, si pemilik perkebunan di dunia nyata yang saya temui ketika ke sana, Dagny. Tokoh Dagny terus terang adalah mix tokoh nyata dan fantasi. Masalah dia dengan Roz dan Bjorn adalah 100% fiksi. Tapi apa yang dia lakukan di perkebunan anggurnya (dengan 100% organik, etc) terinspirasikan dari petani anggur dan kebun anggur yang benar ada. Kesulitan dalam membuat karakter ini adalah membayangkan, tipe pria seperti apa yang dapat mencuri hati Roz. Kalau pria biasa-biasa saja, sudah pasti tidak akan ditengok sama Roz. Jadi harus yang sukses juga, yang punya ide menarik, punya wawasan lebih, punya hal yang tidak pernah ditemukan Roz di pria lain sebelumnya. Mengatasinya dengan menceritakan apa yang dia lakukan di perkebunan anggurnya itu. Beda dari yang lain dan bukan tanpa alasan (asal beda doang tapi malah aneh). Dan, dia harus menjadi hero dalam masalah yang ditangani Roz.
Mulailah merangkai cerita dengan data TKP dan bumbu yang saya punya. Jadi bentuk topografi wilayah, bentuk rumah, makanan, bentuk ruang bawah tanahnya itu, bentuk jalan-jalan di sana sudah tahu. Juga semua bentuk kegiatan di wilayah itu. Walau hal ini juga bisa jadi bumerang, karena yang saya anggap wajar ada di sana, belum tentu pembaca di Indonesia bisa mengerti kenapa itu wajar. Misalnya toko yang tutup kalau jam makan siang, jadwal bus, dsb.
Plus, gunakan detil kehidupan di tempat itu untuk karakter si tokoh dalam cerita. Misalnya kehidupan percintaan di Austria dan yang berbeda dengan Indonesia, terutama keterbukaan orang-orangnya. Terbuka maksud saya, bukan buka-bukaan porno begitu, tapi terbuka menceritakan dan menunjukkan siapa dia sebenarnya. Lebih real. Di sini orang terbiasa apa adanya, tidak dibungkus make up, baju bermerek, atau pamer harta. Jadi dari awal biasanya memang yang dipentingkan koneksi intelektual dan mentalnya. Yang disukai adalah partner yang bisa diajak ngobrol, kerja sama, melakukan hal-hal bareng, seperti itu. Karena semua harus dikerjakan sendiri di sini, tidak ada pembantu, tidak ada abang-abang penjual makanan lewat, tidak ada warung, tidak ada baby sitter. Jadi buat apa juga punya pasangan cantik, tukang dandan (atau kebalikannya cowok keren berotot) tapi nggak bisa buang sampah, misalnya. Atau sexy tukang dandan tapi nggak mau bersih-bersih karena takut kuku patah… males bener, hihhi.
Setelah semua digabung, ditulis, ya teruslah menulis sampai menjadi novel utuh. Rapikan, cek sampai terasa benar semua, lalu kirim ke penerbit.
Jadi, kesimpulan dari penjelasan di atas:
Deskripsikan semua tempat yang kamu temui di liburanmu secara detail. Perhatikan foto-foto yang kamu buat, detail apa yang menarik. Cari di internet, apakah ada detail yang kamu lewatkan ketika kamu di sana.
Deskripsikan semua kegiatan yang kamu lakukan di sana secara detail. Kembangkan wawasanmu akan semua detail yang mendukung kegiatan itu. Dimana, mengapa kamu melakukan itu, rasanya ketika melakukan itu, siapa saja orang-orang yang membantumu selama melakukan kegiatan itu, dan seterusnya. Tulis terus semua data, sedetil mungkin.
Deskripsikan semua hal menarik dari liburan secara detail. Lagi-lagi, gunakan internet untuk mencari detail yang mungkin terlewat ketika kamu di sana.
Gabung dengan tema ceritamu. Pikirkan jika karakternya tinggal di sana, lahir di sana, berasal dari sana, kerja di sana.
Gunakan kehidupan di area itu sebagai bagian karakter tokoh-tokohmu
Tulis semua sampai menjadi cerita utuh.
Kirim ke penerbit.
Kabar-kabari kalau novelmu sudah terbit ya!
Nah sekarang? Tunggu apa lagi? Abadikan liburanmu itu menjadi sebuah novel!