Goodreads Indonesia discussion
Klub Buku GRI
>
Baca Bareng Buku Puisi: "Celana Pacarkecilku di Bawah Kibaran Sarung" by Joko Pinurbo

wahai yang masih berselimut diatas ranjang
wahai yang masih meluk bantal diatas ranjang
bangooooooon..! bangoooooon...!
udah pagi neh

puisi #21 (hal.44)
Pulang Malam
Kami tiba larut malam.
Ranjang telah terbakar
dan api yang menjalar ke seluruh kamar
belum habis berkobar.
Di atas puing-puing mimpi
dan reruntuhan waktu
tubuh kami hangus dan membangkai
dan api siap melumatnya
menjadi asap dan abu.
Kami sepasang mayat
ingin kekal berpelukan dan tidur damai
dalam dekapan ranjang.
(1996)

Kami sepasang mayat
ingin kekal berpelukan
merinding"
hehehe puisi2nya emang bikin merinding dan "merinding"

*sirik ama yg tidur jam segini*"
gantian dunk, masa gw kudu melek terus
:-p

Keranda
Ranjang kembali meminta tubuh
yang pernah dilahirkan dan diasuhnya
dengan sepenuh cinta.
"Semoga anakku yang pemberani,
yang jauh merantau ke negeri-negeri igauan
menemukan jalan untuk pulang;
pun jika aku sudah lapuk dan karatan."
Tapi tubuh sudah begitu jauh mengembara.
Kalaupun sesekali ia datang, ia datang
hanya untuk membuang luka.
Dan ketika akhirnya pulang
ia sudah mayat tinggal rangka.
Bagi si buta yang renta dan terbata-bata
ia mengetuk-ngetuk pintu: "Ibu!"
Ranjang demikian tegar lagi penyabar
memeluknya erat: "Aku rela jadi keranda untukmu."
(1996)

situ nanti mulai lagi di puisi Celana 1
Puisi #23 (hal 46)
Korban
Darah berceceran di atas ranjang.
Jejak-jejak kaki pemburu membawa kami
tersesat di tengah hutan.
Siapakah korban yang telah terbantai
di malam yang begini tenang dan damai?
Terdengar jerit lengking perempuan yang terluka
dan gagak-gagak datang menjemput ajalnya.
Tapi perempuan anggun itu tiba-tiba muncul
dari balik kegelapan
dan dengan angkuh dilemparkannya
bangkai pemburu yang malang.
“Beginilah jika ada yang lancang mengusik
jagad mimpiku yang tenteram.
Hanya aku penguasa di wilayah ranjang.”
(1996)

Elegi
Bantal, guling, selimut berpamitan kepada ranjang.
“Ibu yang penyayang, sudah sekian lama
kami membantu Ibu mengasuh anak-anak terlantar
dan sebatang kara, memberi mereka tempat terindah
buat bercinta, dan merawat mereka ketika sudah pikun
dan tak berdaya. Kini saatnya kami harus pergi
meninggalkan kisah yang penuh misteri.”
“Memang sekali waktu kita perlu istirah.
Aku sendiri pun sangat lelah.
Aku akan pergi juga, ziarah ke asal-muasal kisah cinta
yang melahirkan dongengan panjang penuh rahasia.”
Demikianlah di subuh yang hening itu kami pergi
ke pelabuhan, melepas ranjang kami yang tua berangkat
berlayar ke laut yang luas dan terang.
Waktu dan usia seperti perjalanan sebuah doa
ketika ranjang kami yang reyot dan renta
bergoyang-goyang bagai tongkang, bagai keranda.
Terhuyung-huyung dan terbata-bata
mencari tanah pusaka yang jauh di seberang sana.
(1996)

CELANA, 1
Ia ingin membeli celana baru
buat pergi ke pesta
supaya tampak lebih tampan dan meyakinkan.
Ia telah mencoba seratus model celana
di berbagai toko busana
namun tak menemukan satu pun
yang cocok untuknya.
Bahkan di depan pramuniaga
yang merubung dan membujuk-bujuknya
ia malah mencopot celananya sendiri
dan mencampakkannya.
“Kalian tidak tahu ya
aku sedang mencari celana
yang paling pas dan pantas
buat nampang di kuburan.”
Lalu ia ngacir
tanpa celana
dan berkelana
mencari kubur ibunya
hanya untuk menanyakan,
“Ibu, kausimpan di mana celana lucu
yang kupakai waktu bayi dulu?”
(1996)

dipersembahkan buat aki2 bertopeng yang sudah tidak muda lagi. ;)) kumaha kabar si raja kecil..? damang.? ahhaha
CELANA, 2
Ketika sekolah kami sering disuruh menggambar celana
yang bagus dan sopan, tapi tak pernah diajar melukis
seluk-beluk yang di dalam celana, sehingga kami pun tumbuh
menjadi anak-anak manis yang penakut dan pengecut,
bahkan terhadap nasibnya sendiri.
Karena itu kami suka usil dan sembunyi-sembunyi
membuat coretan dan gambar porno di tembok kamar mandi,
sehingga kami pun terbiasa menjadi orang-orang
yang suka cabul terhadap diri sendiri.
Setelah loyo dan jompo, kami mulai bisa berfantasi
tentang hal-ihwal yang di dalam celana:
ada raja kecil yang galak dan suka memberontak;
ada filsuf tua yang terkantuk-kantuk merenungi
rahasia alam semesta;
ada gunung berapi yang menyimpan sejuta magma;
ada juga gua garba yang diziarahi para pendosa
dan pendoa.
Konon, setelah berlayar mengelilingi bumi, Columbus pun
akhirnya menemukan sebuah benua baru di dalam celana
dan Stephen Hawking khusyuk bertapa di sana.
(1996)

CELANA, 3
Ia telah mendapatkan celana idaman
yang lama didambakan, meskipun untuk itu
ia harus berkeliling kota
dan masuk ke setiap toko busana.
Ia memantas-mantas celananya di cermin
sambil dengan bangga ditepuk-tepuknya
pantat tepos yang sok perkasa.
“Ini asli buatan Amerika!” katanya
kepada si tolol yang berlagak di dalam kaca.
Ia pergi juga malam itu, menemui kekasih
yang menunggunya di pojok kuburan.
Ia pamerkan celananya: “Ini asli buatan Amerika!”
Tapi perempuan itu lebih tertarik
pada yang bernaung di dalam celana.
Ia sewot juga: “Buka dan buang celanamu!”
Pelan-pelan dibukanya celananya yang baru,
yang gagah dan canggih modelnya,
dan mendapatkan burung
yang selama ini dikurungnya
sudah kabur entah ke mana.
(1996)
Catatan
Dalam Sarung versi 2001 bait terakhir sajak tersebut berbunyi:
Pelan-pelan dibukanya celananya yang baru,
yang gagah dan canggih modelnya,
dan mendapatkan raja kecil
yang selama ini disembahnya
tunduk tak berdaya.

"Ada burung di balik celana""
kirain ada udang dibalik bakwan
;))

Boneka, 1
Setelah terusir dan terlunta-lunta di negerinya sendiri,
pelarian itu akhirnya diterima
oleh sebuah keluarga boneka.
"Kami keluarga besar yang berasal dari berbagai suku bangsa.
Kami telah menciptakan adat istiadat menurut cara kami
masing-masing, hidup damai dan merdeka
tanpa menghiraukan lagi asal-usul kami.
Anda sendiri, Tuan, datang dari negeri mana?"
"Saya datang dari negeri yang pemimpin dan rakyatnya
telah menyerupai boneka. Saya tidak betah lagi tinggal
di sana karena saya ingin tetap menjadi manusia."
Keluarga boneka itu tampak bahagia. Mereka berbicara
dan saling mencintai dengan bahasa mereka masing-masing
tanpa ada yang merasa dihina dan disakiti.
Lama-lama si pembuat boneka itu merasa asing
dan tak tahan menjadi bahan cemoohan makhluk-makhluk
ciptaannya sendiri. Ia terpaksa pulang ke negeri asalnya
dan mencoba bertahan hidup di dunia nyata.
(1996)

Boneka, 2
Rumah itu sudah lama ditinggalkan pemiliknya.
Ia minggat begitu saja tanpa meninggalkan pesan apa pun
kepada boneka-boneka kesayangannya.
"Mungkin ia sudah bosan dengan kita," gajah berkata.
"Mungkin sudah hijrah ke lain kota," anjing berkata.
"Mungkin pulang ke kampung asalnya,? celeng berkata.
"Jangan-jangan sudah mampus," singa berkata.
"Ah, ia sedang nonton dangdut di kuburan," monyet berkata.
?Siapa tahu ia tersesat di tanah leluhur kita," yang lain berkata.
Mereka kemudian sepakat mengurus rumah itu
dan menjadikannya suaka margasatwa.
Pemilik rumah itu akhirnya pulang juga.
Ia masuk begitu saja, namun boneka macan yang perkasa
dan menyeramkan itu menyergahnya.
"Maaf, Anda siapa ya?"
"Lho, ini kan rumahku sendiri."
"Bercanda ya? Rasanya kami tak mengenal Anda.
Mungkin Anda salah alamat. Sebaiknya Anda segera pergi
sebelum kami telanjangi dan kami seret ke alam mimpi."
(1996)

"Ah, ia sedang nonton dangdut di kuburan," monyet berkata.
Pak Joko ini suka banget naruh hal-hal ttg kuburan dan sekitarnya yaaa..
*chills*

Boneka, 3
Boneka monyet itu mengajakku bermain ke rumahnya.
Di sana telah menunggu siamang, orangutan, simpanse,
gorila, lutung dan bermacam-macam kera lainnya.
“Kenalkan, ini saudara-saudaramu juga,” monyet berkata.
“Kita mau bikin pesta kangen-kangenan sambil arisan.”
Aku ingin segera minggat dari rumah jahanam itu,
tapi monyet brengsek itu cepat-cepat menggamit lenganku.
“Jangan terburu-buru. Kita foto bersama dululah.”
Kami pun berpotret bersama.
Monyet menyuruhku berdiri paling tengah.
“Kau yang paling ganteng di antara kami,” siamang berkata.
“Siapa yang paling lucu di antara kita?” monyet bercanda.
“Yang di tengah,” lutung berkata.
“Ia tampak kusut dan murung karena bersikeras hidup
di alam nyata,” gorila berkata. Mereka semua tertawa.
(1996)


Boneka dalam Celana
Kau pusing
seharian keluar-masuk toko mainan
hanya untuk mendapatkan boneka lucu
yang akan kaugantung di atas ranjang.
Padahal di dalam celana
ada boneka paling jenaka
: boneka kecil yang sering tiba-tiba
menjelma raksasa.
Kau bilang
boneka mungilmu suka keluyuran
ke kebun binatang, ke suaka margasatwa,
ke hutan yang banyak hewan liarnya,
katanya untuk bermain dengan teman-temannya.
Kau sudah memanjakannya
dengan berbagai model celana
yang mahal harganya
tapi ia selalu lolos dan tak pernah
krasan tinggal di dalamnya.
“Sumpek dan penuh aturan,” katanya.
Konon raksasa kecil itu
telah menjadi seorang tiran.
Telah diproklamasikannya sebuah republik
dan kau sendiri rela dinobatkan
sebagai pengawalnya.
“Siapkan pasukan!” kata sang tiran.
“Akan kuserbu musuh-musuh
yang merongrong kekuasaan.”
“Siap Paduka,” timpal pengawal.
“Akan hamba tumpas para perusuh
yang mengancam kedaulatan.”
Di republik celana
tiran yang sangat kejam dan pendendam itu
sekarang telah menjadi raja telanjang
yang tua-renta dan sakit-sakitan.
Sehari-hari ia cuma duduk terkantuk-kantuk
di kursi goyang
sambil mulutnya komat-kamit
dan kepalanya menggeleng ke kanan ke kiri
tapi batuknya masih dianggap sakti.
Pengawal: “Kalau Paduka sudah lelah
dan hendak istirah, silakan.
Hamba bersedia menggantikan Paduka
duduk di tampuk kekuasaan.”
Di sebuah toko mainan
kaudapatkan juga boneka lucu
yang kauinginkan; kaugantungkan di atas ranjang
sehingga kau tidak lagi kesepian.
Dan boneka jenaka di dalam celanamu cemburu
karena merasa telah mendapatkan saingan.
Ia tampak kuyu dan pilu
kalau saat bangun pagi kau meledeknya:
"Sampeyan masih waras kan?"
(1997)

Terkenang Celana Pak Guru
Masih pagi sekali, Bapak Guru sudah siap di kelas.
Kepalanya yang miskin dan merana terkantuk-kantuk,
kemudian terkulai di atas meja.
Kami, anak-anak yang bengal dan nakal, beriringan masuk
sambil mengucapkan: “Selamat pagi, Bapak Guru.”
Bapak Guru tambah nyenyak. Dengkur dan air liurnya
seakan mau mengatakan: “Bapak sangat lelah.”
Hari itu mestinya pelajaran Sejarah. Bapak Guru telah berjanji
menceritakan kisah para pahlawan yang potretnya terpampang
di seluruh ruang. Tapi kami tak tega membangunkannya.
Kami baca di papan tulis: “Baca halaman 10 dan seterusnya.
Hafalkan semua nama dan peristiwa.”
Sudah siang, Bapak Guru belum juga siuman.
Hanya rits celananya yang setengah terbuka
seakan mau mengatakan: “Bapak habis lembur semalam.”
Ada yang cekikikan. Ada yang terharu dan mengusap matanya
yang berkaca-kaca. Ada pula yang lancang membelai-belai
gundulnya sambil berkata: “Kasihan kepala
yang suka ikut penataran ini.”
Sekian tahun kemudian kami datang mengunjungi
seorang sahabat yang sedang tidur di dalam makam
di bekas lahan sekolah kami. Kami lihat seorang lelaki tua
terbungkuk-bungkuk membukakan pintu kuburan.
“Silakan,” katanya.
“Dia Pak Guru kita itu!” temanku berseru.
“Kau ingat rits celananya yang setengah terbuka?”
“Tenang. Jangan mengusik ketenteramannya,”
aku memperingatkan.
“Dia pasti damai dan bahagia di tempat yang begini bersih
dan tenang,” kata temanku sambil menunjuk nisan sahabatnya.
“Kelak aku juga ingin dikubur di sini,” sambungnya.
“Ah, jangan berpikir yang bukan-bukan,” timpalku.
Sementara si penjaga kuburan yang celananya congklang
dan rambutnya sudah memutih semua diam-diam
mengawasi kami dari balik pohon kamboja.
(1997)

PLETAK!!! PLAKK!!!! WADEZIGH!!!!!

Januari
untuk N.A.F
Januari yang lusuh datang padaku
dengan wajah putih kelabu.
"Beri aku tempat perlindungan.
Musim begitu rusuh.
Bahaya mengancam dari segala jurusan."
Hujan yang basah kuyup tubuhnya
kuungsikan ke dalam botol bersama kilat,
guruh dan ledakan-ledakan petirnya.
Angin yang menggigil kedinginan
kusembunyikan ke dalam gelas
bersama desah, desau dan desirnya.
Semoga sekalian kata dan makna
yang kuziarahi bertahun-tahun lamanya
ikhlas menerima cobaan yang tiada putusnya
sebab memang begitu jauh
jarak perjalanan di antara mereka.
Semoga sekalian luka dan sembilu
yang tak henti-henti meruyaknya
tidak saling sayat dan sakit hati
justru karena demikian dalam percintaan
di antara keduanya.
Januari yang lusuh datang padaku
seperti doa yang rela bersekutu
dengan sekalian kata dan ucapan
yang sering gagap dan gagu.
(1997)

Ziarah
Masih ada sebuah rumah di sana
yang tak pernah mengharap seseorang
datang mengunjunginya.
Masih ada dinding-dinding kusam,
ruang bersih terang, jendela-jendela putih
tempat senja berpendaran
dengan rambutnya yang keemasan.
Masih ada si kecil lagi asyik menggambar
pada tembok penuh coretan.
“Semalam hujan singgah sebentar,
dan setelah meninggalkan riciknya di kulkas itu
ia pun berangkat ke sebuah kota yang jauh.”
Ingin kupeluk dan kucium parasnya yang lucu,
tapi tak ingin dunia kecilnya kusintuh.
“Lihat, aku sedang melukis laut, gerimis
dan perahu oleng yang dikayuh nelayan kecil
menuju pantai yang teduh.”
Masih. Masih ada seseorang sedang duduk
membungkuk di bawah redup cahaya,
khusyuk membaca berkas-berkas tua.
“Semalam si mayat datang dengan baju baru.
Ia titipkan salam manisnya untukmu.”
Ingin kutrima batuknya dalam paru-paruku
tapi tak ingin kusintuh kantuknya, rindunya
sebab hatinya lebih tegar dari waktu.
“Maaf, aku sedang membaca surat-surat
yang telah lama kutulis, tapi tak pernah
kukirim karena tak kutahu alamatmu.”
(1997)

Poster Setengah Telanjang
untuk AM
Si kecil yang suka makan es krim itu sudah besar
dan perawan, sudah tidak pemalu dan ingusan.
Ia gemar melucu dan pintar juga menggodamu.
“Kau penyair ya? Kutahu itu dari kepalamu
yang botak dan licin seperti semangka.”
Kau tergoda dan ingin lebih lama terpana
ketika matanya mengerjap dan bulan muncrat
di atas rambutnya yang hitam pekat.
Malam heboh sekali.
Orang-orang mulai resah menunggu kereta.
“Perempuan, kau mau ikut?”
“Emoh ah,” katanya.
Kereta sudah siap.
Para pelayat berjejal di dalam gerbong
sambil melambai-lambaikan bendera.
“Perempuan, ikutlah bersama kami.
Kita akan pergi menyambut revolusi.”
“Ah, revolusi. Revolusi telah kulipat
dan kuselipkan ke dalam beha.”
“Lancang benar ia. Berani menantang kita
dengan senyumnya yang sangat subversif.
Ia sungguh berbahaya.”
Lonceng terakhir telah selesai menyanyikan
“Sepasang Mata Bola”. Tinggallah malam
yang redam, langit yang diam.
Tinggallah airmata yang menetes pelan
ke dalam segelas bir yang menempel pada dada
yang setengah terbuka, setengah merdeka.
(1997)

Perempuan Pulang Pagi
untuk kartu pos S
Rumah yang ditinggalkan semalaman masih menyala
terang benderang, sebab ia ingin setiap orang
yang lewat di depannya bilang: “Lihat, perempuan kita
masih mencangkung di depan jendela, menghadap langit,
menghadap waktu, menghadap usia.
Ia pulang dinihari sehabis hujan dan angin pergi.
Ia tendang pintu yang pura-pura membisu.
Dan kepada cermin yang bergoyang di pojok ruangan
ia bicara: “Tadi selusin lelaki mau menciumku,
tapi kuterkam saja dengan geramku,
semuanya lari tunggang langgang.”
Ia pulang dinihari ketika bulan belum mau pergi.
Ia menyanyi, ia menari, dan sambil berlenggok
masuk ke kamar, gemetar melihat seseoerang
sedang mendengkur dengan gempar.
“Bukankah kau yang semalam kucumbu di kuburan?
Sialan. Ternyata kau mendahuluiku terkapar
di ranjang yang tak lama lagi akan terbakar.”
Lantas ia berhias dan bergegas ke sebuah cemas.
“Kau istirahat dulu ya, mayat. Santai-santai saja di sini.
Aku ada dinas sebentar ke rumah sakit jiwa. Kalau nanti
terbangun dan takut sendirian, teleponlah aku secepatnya.”
(1997)

yang telah lama kutulis, tapi tak pernah
kukirim karena tak kutahu alamatmu.”
jiyaaahhhhh!!! :))


;))"
saya gak usah dikirim puisi kang :)
kirim makanan aja ya.. :D

“Semalam si mayat datang dengan baju baru.
Ia titipkan salam manisnya untukmu.”
iiy...dapet salam dari mayat..
“Bukankah kau yang semalam kucumbu di kuburan?
tuh khaaaaaaan....kuburan lagi..
hadeeeeh...

Malam Itu Kita Kondangan
Malam itu kita pergi kondangan.
Naik andong kehujanan,
kudanya lari kencang:
kling klong kling klong.
Malam sudah sangat larut.
Sudah sangat panas pestanya.
Di dalam rumah banyak tamu asing
lagi asyik main kuda lumping.
Pengantin mengenakan topeng monyet,
duduk mengangkang di pelaminan.
“Selamat kawin, saudara kembar,”
kita ucapkan salam.
“Selamat datang, calon jerangkong,”
sambutnya riang.
Kau terkekeh dan lalu terkenang
melihat potretmu di dinding ruang
lagi meringis dalam gendongan.
“Dia si anak hilang,” pengantin
menjelaskan.
Malam itu kita kondangan.
Naik andong kehujanan,
kudanya lari kencang:
kling klong kling klong.
Kita melaju, melenggang
dalam sengkarut ingatan.
(1997)
Ranjang Putih
Ranjang telah dibersihkan.
Kain serba putih telah dirapihkan.
Laut telah dihamparkan
Kayuhlah perahu ke teluk persinggahan.
Sampai diseberang
tubuhmu tinggal tulang belulang
dan perahu tertatih-tatih sendirian
pulang ke haribaan ranjang.
Ranjang telah dibersihkan.
Laut telah disenyapkan.
Ombak telah diredakan.
Tapi kau tak kunjung pulang.
Mungkin tubuhmu enggan dikubur
di kesunyian ranjang.
(1996)