Goodreads Indonesia discussion
Klub Buku GRI
>
Baca Bareng Buku Puisi: "Yang Sakral dan Yang Sekuler" by Gadis Arivia
date
newest »


Oleh: Gadis Arivia
Angka penjualan dan pembelian perempuan dan anak dalam kasus perdagangan perempuan (Trafficking in women and children) di Indonesia sudah mencapai angka yang tinggi dan mengkhawatirkan. Oleh sebab itu, sejak tahun 2002 kampanye anti perdagangan perempuan dan anak Indonesia telah dilakukan dengan gigih menggalang semua kelompok kekuatan LSM, tenaga pendidik seperti guru, lembaga donor asing dan pemerintah pusat maupun daerah. Kampanye ini tidak mengenal lelah juga melibatkan training aparat penegak hukum di seluruh wilayah Indonesia. Tujuannya jelas yakni menghapus perdagangan perempuan dan anak di Indonesia.
Dalam beberapa tahun ini penggodokan di tingkat parlemen berjalan alot hingga kini UU Anti Perdagangan Perempuan dan Anak yang ditunggu-tunggu belum kunjung tiba, ini tentu membuat sebagian aktifis frustrasi namun tetap bersabar dan penuh harap. Belum lagi selesai masalah trafiking yang umumnya korban dari golongan perempuan miskin, kini, ada ekspansi penjualan yang sedang dipikirkan bukan oleh kelompok calo namun dari kelompok terhormat seperti Mahkamah Agung RI (lihat pemberitaan The Jakarta Post, 10 dan 14 Oktober 2005) yang mengiginkan ada transaksi uang US$50.000,- atas “pembelian” perempuan Indonesia yang menikah dengan pria berkewarganegaraan asing. Kini, bukan saja perempuan miskin yang didagangkan akan tetapi perempuan kelas menengah bahkan atas patut juga didagangkan, sedihnya dimotori oleh negara sendiri!
Bagaimana mungkin MA dapat menggagas sebuah ketentuan hukum yang gila ini? Di dalam makalah ini pertama-tama saya akan berargumen bahwa undang-undang semacam ini melanggar Hak Asasi Perempuan yang telah diakui di dalam Piagam PBB dan ditegaskan komitmennya di dalam Deklarasi Beijing. Kedua, saya akan membahas kebijakan pro-jender yang seharusnya sudah menjadi nafas negara Indonesia dan pelanggaran terhadap kebijakan yang anti kesetaraan atau diskriminatif merupakan pelanggaran terhadap hak asasi perempuan. Ketiga, saya akan menutup tulisan ini dengan berbagai refleksi.
Hak Asasi Manusia dalam Perspektif Perempuan
Bisa jadi MA mempunyai persepsi yang berbeda tentang hak asasi manusia sehingga pengertian hak asasi manusia bagi MA tidak sama dengan pengertian bahwa hak perempuan merupakan hak asasi manusia (Women’s rights is women’s human rights). Pengertian semacam ini merupakan pengertian yang telah mentransformasikan hak asasi manusia dengan perspektif feminis.
Transformasi pengertian hak asasi manusia dari perspektif feminis sangat penting untuk mengerti tantangan-tantangan hak asasi di abad ke-21 ini. Perspektif ini mengingatkan bahwa dalam konteks global, gerakan perempuan telah menjadi bagian yang signifikan dalam merubah tatanan masyarakat yang berkeadilan jender. Perempuan telah mengambil peranan yang penting dalam meredefinisi konsep sosial dan isu-isu kebijakan global di dalam ranah pembangunan, demokrasi, hak asasi manusia, keamanan dunia, dan lingkungan. Ini bukan berarti hanya menganggap peranan perempuan sebagai yang periferi, “hiasan” atau “kepentingan remeh temeh ibu-ibu” akan tetapi, telah menganggap seluruh masalah keadilan gender merupakan integrasi dan keharusan serta pusat dan kosep-konsep dasar aturan sosial kita yang menggaris bawahi kepentingan kehidupan perempuan yang merupakan setengah dari penduduk dunia ini.
Oleh sebab itu, Piagam PBB jauh-jauh hari telah menyatakan penjaminan hak asasi dasar perempuan dan laki-laki yang sama. Artinya, melakukan promosi dan penghargaan terhadap hak asasi manusia dan kebebasan manusia tanpa ada pengecualian dan diskriminasi. Komitmen atas hak-hak perempuan menjadi basis badan internasional untuk mempromosikan hak-hak perempuan, memastikan perempuan mendapatkan hak-haknya secara penuh. Di dalam bab PBB ini juga dikemukakan bahwa perhatian ditujukan kepada proses institusi dan norma-norma pembangunan. Kebijakan yang diusung harus berdasarkan pendekatan jender dan asesmen terhadap aktifitas hak asasi dalam perspektif jender dilakukan agar perempuan dipastikan mendapatkan hak-haknya dan dijamin kebebasannya. (The United Nations and the Advancement of Women, 1945-1996, Vol.VI United Nations Blue Books )
Analisa feminis selalu mengambil posisi bahwa setiap konsep masyarakat dan bentuk institusi dilihat dari pengalaman kehidupan perempuan sebagai dasar untuk memeriksa hak asasi manusia, beberapa pertanyaan penting digarisbawah; siapa yang telah dipinggirkan dalam mempraktekkan hak kewarganegaraan dan apa dampaknya terhadap perempuan bila bentuk demokrasi dibatasi dalam masalah perempuan? Apa pengaruhnya terhadap perempuan bila pengertian hak asasi manusia dipakai dalam batasan yang sempit? mengapa begitu banyak pelecehan terjadi terhadap integritas fundamental perempuan?
Dalam hal ini perempuan terus bertanya dan menggali tantangan-tantangan yang ada dalam sistim sosial yang dianut, apa yang perlu diperiksa, dan dilihat kelompok mana yang telah dimarjinalkan suaranya dari hak asasi manusia, ruang demokrasi, dan proses pembangunan. Diskriminasi dari kelompok manapun-apakah itu jender, kelas, orientasi seksual, agama, ras, berarti mendefinisikan kelompok tersebut sebagai yang bukan sepenuhnya manusia (less than fully human). (Lihat Charlotte Bunch dalam buku Women’s Rights is Human rights, Peters dan Wolper (ed), Transforming Human Rights from a Feminist Perspective, Routledge, NY, 1995, hal. 12.)
Selama definisi dari suatu kelompok masuk pada pengertian less human karena dibatasi partisipasinya di dalam masyarakat secara penuh, maka hal tersebut merupakan dasar dari kekerasan, dan bila pembatasan tersebut didukung oleh negara maka disebut sebagai pelanggaran negara yang melakukan kekerasan negara terhadap perempuan. Dengan demikian, bagi saya jelaslah sudah dari sudut argumentasi hak asasi manusia, pencantuman harga pada tubuh perempuan lokal seharga US$50.000,- merupakan pelanggaran hak asasi manusia yang disponsori oleh negara.
Diskriminasi Kebijakan Negara dalam Hukum Keluarga
Negara bersikap mendua dalam menyusun kebijakannya terhadap keluarga. Di satu sisi keluarga dimasukkan dalam kategori definisi “mulia” dengan demikian melihatnya sebagai suatu ikatan yang agung, suami yang mencari nafkah, ibu yang mengurus anak dan penjaga moral, dan sebagainya. Sehingga kebijakan negara dalam undang-undangnya didasarkan pada pengertian ini. Negara ikut campur dalam membentuk apa yang disebut “mulia”, yang seringkali didasari konsep paham-paham kebiasaan masyarakat patriarkis. Di lain pihak, negara seringkali melihat keluarga sebagai ranah privat dan berhenti pada pengertian ini. Pemukulan suami terhadap istri, pemerkosaan dan penganiayaan, “pemaksaan” (penjualan) perempuan dalam perkawinan, dilihat sebagai urusan pribadi dan tidak perlu negara ikut campur dalam masalah ini. Itu sebabnya kasus pemukulan terhadap istri, bila seorang istri mengadu ke aparat negara seringkali dinasehati untuk kembali kepada suami dan menyelesaikan persoalan secara baik-baik, padahal bisa saja pukulan berikutnya mengakibatkan nyawa melayang.
Dalam hal keinginan negara untuk memberi harga pada perempuan lokal seharga US$ 50.000,- maka, terlihat jelas argumen negara didasarkan pada argumen pertama di atas namun mempunyai dampak dan masuk pada argumen kedua. Alasan negara untuk meminta uang dikatakan untuk melindungi perempuan Indonesia (tujuan “mulia”), namun, dampak dari kebijakan tersebut adalah kekerasan terhadap perempuan (degradasi integritas perempuan, perempuan dijadikan komoditi dan obyek). Apakah negara dikriminatif terhadap kepentingan perempuan? Negara dikatakan diskriminatif bila memuat unsur-unsur berikut ini dalam menyusun kebijakannya:
Kepentingan negara berkolusi dengan kepentingan paham budaya patriarkis.
Negara menjadi diskriminatif bila mengatur kehidupan keluarga demi kepentingan tujuan-tujuan politik dan sosial tertentu. Negara seringkali mengakomodir kepentingan partai yang dilandasi oleh agama atau tradisi tertentu demi kepentingan tujuan politik tertentu. Dalam hal ini, perempuan dilihat peranannya sebagai yang melayani (bukan ikut sebagai yang memutuskan) kepentingan keluarga, sebagai alat reproduktif (mesin penghasil keturunan), sebagai penunjang ekonomi bukan pelaku ekonomi.
Di dalam UU Perkawinan (UUP) No.1/1974 pasal 57, perkawinan campuran adalah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan Indonesia. Artinya, perkawinan campuran adalah perkawinan antara seorang warganegara Indonesia dengan seorang warganegara asing. Pengertian perkawinan campuran ini lebih sempit dibandingkan pengertian dalam peraturan sebelumnya yang berasal dari zaman colonial, yakni Peraturan tentang Perkawinan Campuran (Regeling op de Gemengde Huwelijken), S. 1898 no.158. Pasal 1 peraturan ini menyatakan bahwa perkawinan campuran adalah perkawinan antara orang-orang yang di Indonesia tunduk pada hukum berlainan (perbedaan kewarganegaraan, tempat, golongan dan agama), namun, entah mengapa UUP mempersempit sebatas perbedaan kewarganegaraan. Ada kemungkinan karena adanya ketentuan dalam agama tertentu yang melarang umatnya melakukan perkawinan campuran antar agama. (Lihat bulletin Suara Apik, edisi 27 tahun 2005 (cetak ulang edisi 4, tahun 1997))
Aroma budaya patriarkis diteruskan dengan UU Kewarganegaraan nomor 62/1958 yang menganut asas kesatuan kewarganegaraan dan yang menentukan kesatuan kewarganegaraan adalah suami atau bapak. Jadi, perempuan di sini tidak mempunyai hak untuk menentukan kewarganegaraan anaknya. Regulasi terhadap pernikahan antar agama dan antar bangsa yang tidak didasari paham demokratis merupakan tindakan diskriminasi negara.
Intervensi negara pada pilihan kehidupan perempuan.
Norma hak asasi manusia mempostulasikan bahwa ”setiap orang mempunyai hak untuk menikah dan membentuk keluarganya sendiri dengan bebas”. Namun, negara seringkali mengintervensi dengan membatasi peran perempuan dengan apa yang boleh dan tidak boleh dalam perkawinan. Misalnya pada UUP pasal 31 ayat 3 dan pasal 34 ayat 1, kedudukan suami dikatakan sentral sebagai kepala keluarga dan pencari nafkah utama, sedangkan istri adalah sebagai ibu rumah tangga.
UUP yang diskriminatif ditambah UU Kewarganegaraan yang lebih diskriminatif pula membuat perempuan dapat kehilangan pengasuhan anak bila terjadi perpisahan. Dan bila suami WNA kehilangan pekerjaannya di Indonesia, maka suami dan anak harus keluar dari Indonesia kecuali memiliki visa turis dan visa kunjungan yang hanya berlaku dua bulan. Perempuan sekali lagi di sini dipojokkan untuk tidak dapat melakukan pilihan bebasnya dalam kehidupan perkawinannya.
continued....

Rencana keharusan warga negara asing ”membeli” perempuan Indonesia bila hendak menikahinya merupakan praktek yang telah lama dianut dalam tradisi terbelakang. Dalam paham tradisional bentuk pembayaran perkawinan atau mahar dilakukan sebagai sumber ekonomi bagi keluarga. Bila pembelian sudah sah maka ”barang” diserahkan dan penggunaan terhadap ”barang” tersebut diserahkan kepada pembeli. Pemahaman bahwa perempuan dilabelkan dengan harga mengandung konsep bahwa perempuan merupakan properti yang dapat diperjual-belikan.
Konsep perempuan dapat diperlakukan sebagai ”barang” ini menjadikan dasar pemahaman mengapa poligami diperbolehkan di Indonesia sebaliknya poliandri dilarang. Di dalam Undang-Undang Perkawinan pasal 3 dan 4 dengan jelas diperbolehkannya suami untuk berpoligami.
Hak kewarganegaraan berdasarkan garis laki-laki.
Permasalahan kewarganegaraan bias jender telah banyak dikemukakan oleh para feminis di seluruh dunia. Feminis mengkritik bahwa kebijakan kewarganegaraan didasarkan oleh nafas agama dan adat istiadat serta hukum yang sangat patriarkis. Di Sri Langka misalnya walaupun seorang perempuan di mata hukum tetap mempunyai hak-haknya dalam kewarganegaraannya bila menikah dengan orang asing, namun berdasarkan hukum agama penikahan dengan orang asing dianggap keluar dari komunitasnya dan mengikuti status suaminya. Demikian pula di sebagian negara-negara Afrika dan Amerika Latin, yang awalnya mempraktekkan tindakan diskriminatif dengan menghilangkan hak-hak partisipasi kewarganegaraan perempuan secara penuh. Para feminis di negara masing-masing di tahun 1980-an memperjuangkan hak perempuan untuk mempertahankan kewarganegaraannya dan keturunannya bila menikah dengan orang asing dengan mengajukan dwi-kewarganegaraan (memiliki dua kewarganegaraan). Pada tahun 1979, PBB telah menyoroti permasalahan ini, dan praktek-praktek kebijakan diskriminatif terhadap perempuan karena menikah dengan orang asing ditegaskan melanggar hak asasi manusia.
Hak asuh anak yang diskriminatif.
Di beberapa negara yang menganut hukum Syari’a Islam, meregulasikan bahwa walaupun anak-anak hidup dengan ibunya tetap ayah mempunyai hak asuh atas anaknya. Di Indonesia, anak yang lahir dari perkawinan antar negara, bila terjadi perceraian hak asuh berada di tangan ayah (sesuai warga negara ayah). Dengan demikian, perempuan dipojokkan sekali lagi dan tidak diakui hak atas anaknya yang lahir dari rahimnya sendiri.
Apa yang perlu dilakukan?
Banyak yang perlu dilakukan terutama menuntut negara untuk komit terhadap Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan melalui UU No.7 Tahun 1984 oleh pemerintah Indonesia. Pada pasal 2 butir f Konvensi menegaskan kewajiban negara untuk mengambil semua langkah dengan tepat, termasuk legislasi, untuk mengubah atau menghapuskan hukum, peraturan, kebiasaan dan praktek yang tergolong diskriminatif dan merugikan perempuan.
Usulan MA untuk mendeposit uang bagi warga negara asing yang berniat menikah dengan perempuan Indonesia pada dasarnya bukan saja melanggar hak asasi perempuan dengan demikian melanggar hak asasi manusia akan tetapi juga bentuk pemerasan. Praktek-praktek negara yang diskriminatif harus digugat dan dipermasalahkan. Cukup sudah perempuan di negara ini selalu dijadikan warga negara kelas dua!
*Gadis Arivia adalah Pendiri Yayasan Jurnal Perempuan.
Makalah dipresentasikan dalam seminar “Hubungan Hukum yang Bermartabat Bagi Pasangan Nikah WNI-WNA: Mengantisipasi RUU Kewarganegaraan", diselenggarakan oleh Alida Centre, Gran Melia, 22 Oktober 2005

Aisha Si Pengantin Anak
Namaku: "A'isha",artinya, "kehidupan".
Beda arti nama dan kenyataan, sebab kehidupan hanya kurasakan hingga
umur sembilan tahun, setelah itu, hanya rasa mati.
Ummi sudah memutuskan, katanya semua kehendak Allah.
Hidup dalam purdah menunggu laki-laki meminang, ah, sesungguhnya
membeli, membawaku ke alam mimpinya bukan mimpiku.
Abi tak protes, aku curiga ia menyetujui menyerahkan aku pada temannya,
yang jauh lebih tua darinya.
Hanya temannya itu yang boleh mengunjungiku, mengajarkan agama dan mengatur diriku seperti aku miliknya.
Namanya: "Muhammad", artinya, "pujian".
Ia orang besar, tokoh dielukan, penuh otoritas, ditunjuk Allah menerangi
zaman Jahilliah, zaman orang bodoh dan menyembah berhala.
Tapi aku orang kecil, artinya, "anak-anak", masih suka main boneka.
Ummi = Ibu
Abi = Ayah
Purdah = cadar menutupi sekujur tubuh
Jahilliyah = zaman tercerahkan.

Menegosiasi Kematian
tak mau ia terima argumen
pintu surga neraka tak jadi soal
pertanyaan malaikat tak tepat
rubahlah dulu nilai ukuran
bukan masalah naik haji lima kali
atau lantunan ayat hafal luar kepala
sedekah melimpah semua untuk mereka
membangun masjid seluruh nusantara
bukan tak bersyukur anugerah esa
anak-anak lahir hadiah keluarga
istri setia susah dan bahagia
hidup rukun damai sejahtera
satu saja permintaan
untuk apa beriman
bila pangkat dan rakaat jadi ukuran
kenyataan diri tak demikian
Jadi, maukah kau bernegosiasi?
kalau begitu cabut nyawaku segera, akan kuhadapi kau sendirian.

Mata Hati Kebenaran
mencintai tumbuh secara alami
membenci perlu diajari
sebab itu, membenci adalah keahlian
memburu setiap penodaan
rangkai kata penuh kepalsuan
bau busuk sulit disembunyikan
derita rakyat tak didengar
membenci tak bertelinga
pun juga tak bermata hati
teriakan demi teriakan dinyaringkan
undang-undang terus saja dikeluarkan
sebab itu, habislah rasa percaya
sewindu berjalan sia-sia
segelintir orang telah berkhianat
pada ikrar pendiri negara
lihat agama telah dimainkan
demi kekuasaan dan keserakahan
binasa sekejap sendi kemanusiaan
kini mereka datang menuntut
kali ini perempuan jadi sasaran
sebab itu, rapatkan barisan
ingat kita telah berjanji
apapun resiko dipertaruhkan
kalau tidak siapa berikut dikorbankan?

Oleh: Gadis Arivia*
Berita yang disiarkan oleh berbagai media masa tentang perkawinan Pujiono Cahyo Wicaksono usia 43 tahun dengan Lutfiana Ulfa usia 12 tahun merupakan berita yang meyedihkan untuk organisasi penegak Hak Asasi Manusia dan Hak-hak Perempuan dan Anak, serta keluarga pada umumnya di Indonesia. Berita ini mengandaikan bahwa penegakkan hukum di Indonesia masih lemah dan tidak mempedulikan UU Perkawinan, UU Perlindungan Anak serta UU Kekerasan dalam Rumah Tangga yang telah disahkan oleh pemerintah Republik Indonesia. Selain itu, pemerintah Indonesia telah pula meratifikasi sejumlah instrumen hukum Internasional seperti CEDAW (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women), Hukum Universal Deklarasi Hak-hak Asasi Manusia serta Konvensi Hak-hak Anak yang kesemuanya menegaskan pelarangan pernikahan anak-anak di bawah umur serta mewajibkan negara untuk melindungi keamanan, kesehatan, kesejahteraan serta hak-hak anak.
Mengapa negara tidak melakukan fungsinya yang terpenting, yakni melindungi warga negaranya dari bahaya? Apalagi semua instrumen hukum baik di tingkat nasional maupun internasional telah tersedia? Negara wajib melindungi warga negaranya terutama melindungi anak-anak dari keadaan bahaya.
Perkawinan anak-anak (child marriage/child bride) telah berulang kali dilakukan penelitian dan publikasi oleh berbagai organisasi internasional seperti ICRW dan UNICEF tentang bahaya perkawinan anak-anak. Beberapa persoalan yang dikemukakan adalah resiko kesehatan dari anak-anak yang dinikahkan di bawah umur. Misalnya UNICEF, melaporkan pada tahun 2001, anak-anak di bawah umur yang hamil cenderung melahirkan bayi prematur, komplikasi melahirkan, bayi kurang gizi serta kematian ibu dan bayi yang lebih tinggi. Ibu usia di bawah umur 15 tahun, lima kali mengandung resiko menderita pendarahan, sepsis,preeklampsia/eklampsia serta kesulitan melahirkan. Kematian ibu di kalangan ibu yang masih usia anak-anak diestimasikan dua kali hingga lima kali lebih banyak dari pada ibu usia dewasa.
Penelitian di Rajasthan, India (2007), menunjukkan ibu di bawah umur lebih cenderung melahirkan bayi yang cacat atau adanya gangguan kesehatan. Ibu yang melahirkan di bawah usia 18 tahun, memiliki resiko 60% lebih besar kematian bayi. Penelitian UNICEF tahun 2007, juga menunjukkan ibu yang melahirkan usia di bawah 18 tahun memiliki keahlian mengasuh bayi/anak (parenting skills) yang rendah sehingga seringkali memutuskan keputusan-keputusan yang salah untuk bayi mereka. Pegetahuan mereka tentang membesarkan anak masih kurang karena pendidikan mereka masih belum mencukupi.
Anak yang dikawinkan di usia muda menurut penelitian Barua (2007), mengandung resiko terkena penyakit kelamin dan HIV/AIDS lebih besar. Anak-anak yang dikawinkan dalam usia muda tidak memiliki kekuatan untuk bernegosiasi di dalam kehidupan perkawinan mereka. Anak-anak tersebut tidak kuasa untuk menolak hubungan seks yang dipaksakan oleh suami mereka dan tidak memiliki cukup pengetahuan tentang kontrasepsi dan bahaya penyakit seksual. Akibatnya, tidak dapat bernegosiasi soal hubungan seks yang aman (safe sex). Anak-anak perempuan yang dikawinkan di usia muda lebih mudah mengidap penyakit HIV/AIDS karena vagina mereka masih belum sempurna dan sel-sel yang melindunginya masih belum kuat, juga cervix anak-anak mudah terlukai. Penelitian Barua menunjukkan bahaya ketularan HIV/AIDS pada pengantin anak-anak sangat mengkhawatirkan.
Studi lain yang dilakukan oleh UNICEF (2005), mengangkat soal kekerasan domestik yang tinggi yang dialami anak-anak yang dinikahkan pada usia muda. Sebanyak 67% anak-anak yang dipaksa menikah mengalami kekerasan dalam rumah tangga dibandingkan 47% perempuan dewasa yang menikah. Hal ini disebabkan karena anak-anak tersebut lebih banyak dinikahkan dengan laki-laki yang jauh lebih tua sehingga keputusan-keputusan rumah tangga dilakukan oleh suami mereka karena anak-anak ini tidak memiliki kekuatan untuk bernegosiasi. Kekerasan seksual dalam kehidupan rumah tangga juga menunjukkan lebih banyak dialami oleh pengantin anak-anak ketimbang pengantin dewasa. Anak-anak di bawah usia 15 tahun mengalami kengerian dan trauma pada saat dipaksa untuk melakukan hubungan intim.
Menurut ICRW, praktek perkawinan anak merupakan praktek yang membahayakan anak-anak. Sayangnya praktek ini hingga abad ke-21 masih sulit dihapus. Data menunjukkan praktek pengantin anak-anak di Amerika Latin sebesar 6.6 juta, Asia Tenggara sebanyak 5.6 juta, Timur Tengah sebesar 3.3 juta dan Sub-Sahara Afrika sebesar 14.1 juta. Beberapa penyebab mengapa praktek ini masih saja ditemui antara lain karena kemiskinan. Di beberapa negara miskin, anak-anak perempuan dijadikan target untuk dijual atau dinikahkan agar orang tua terbebaskan dari beban ekonomi. Alasan lain adalah kepentingan kasta, tribal serta kekuatan ekonomi dan politik agar anak-anak mereka yang dikawinkan dapat memperkuat keturunan dan status sosial mereka. Kehamilan sebelum pernikahan juga merupakan faktor pemicu untuk menikahkan anak-anak mereka agar tidak menanggung malu keluarga. Selain itu, alasan hukum negara yang lemah juga merupakan salah satu alasan penyebab mengapa anak-anak tidak terlindungi dari praktek biadab ini. Negara mengabaikan terjadinya pelanggaran hak-hak anak.
Seorang perempuan bernama Moegaroemah dari organisasi Putri Indonesia pada tahun 1928 di Kongres Perempuan, menyatakan bahwa masalah perkawinan anak-anak merupakan penyebab kemunduran perempuan di tanah air dan perlu perhatian yang besar. Ia mengatakan bahwa hatinya sangat sedih bila melihat murid-murid perempuan yang baru berumur 11 atau 12 tahun dikeluarkan dari sekolah sebab hendak dikawinkan. "Dengan berurai air mata anak itu meninggalkan gedung sekolah...pikirlah saudara-saudara, dapatkah ibu yang masih kekanak-kanakan itu memelihara, mendidik, dan membimbing anaknya dengan sempurna? Bagaimana bangsa kita dapat maju dan sejajar dengan bangsa lain bila putranya tidak mendapat pendidikan dan pembimbingan dengan sempurna?" (pidato Moegaroemah di Kongres Perempuan, 1928).
Bayangkan 80 tahun yang lalu persoalan perkawinan anak-anak telah ditentang oleh organisasi perempuan di tanah air ini bukan saja oleh ibu Moegaroemah tapi juga oleh Dr. Soetomo yang menguraikan bahwa perhimpunan Muhammadiyah, PSI dan SI telah mengutuk perbuatan tersebut. Seandainya ibu Moegaroemah dan Dr. Soetomo masih hidup di tahun 2008 ini betapa sedih hati mereka bahwa di tanah air yang telah berdaulat dan merdeka, negara Republik Indonesia, yang telah memiliki seperangkat undang-undang masih tetap tidak mampu melindungi anak-anak Indonesia.
Alangkah sedih bahwa di negara Republik ini hukum negara hanya dipandang sebelah mata dan lebih menyedihkan lagi seorang wakil anggota DPR, Rosyad Shihab, dengan berani menyatakan di hadapan publik bahwa perkawinan anak tidak merupakan masalah. Bila negara dan DPR tidak mampu melindungi anak-anak Indonesia, masih layakkah rakyat mempercayakan kepemimpinan mereka?
*Gadis Arivia, Pendiri Yayasan Jurnal Perempuan
Artikel di Yayasan Jurnal Perempuan tanggal 10 November 2008

konon kata dialektika Hegel, ada yg namanya tesis, antitesis dan sintesis.
semisal puisi2 Gadis Arivia ini adalah tesis atau katakanlah antitesis dari apa yg selama ini orang banyak yakini..
kira2 seperti apa antitesis dan sintesisnya ya?hemmm..
*jadi merenung2, ngelus2 dagu*

Sang Pemburu Rambut
Ia disebut sebagai pembunuh rambut berdarah dingin
seluruh dunia telah dijelajah menghabisi segala jenis rambut
berawal dari karier di Sigli hingga Washinton DC
dilatih Al-Qeder Anti Perambutan International
Medali bertumpuk hasil penurunan angka rambut
sekarang dunia boleh bangga bebas rambut
rambut hanya diperkenankan hidup di dalam bungkusan
dari gadis ingusan hingga nenek-nenek tanpa urusan.
Sang pemburu rambut tak memiliki hati nurani
pernah sambil berlari memburu dengan pisau belati
menghabisi seketika mahkota kebanggaan
tak dihiraukannya perempuan yang mengiba menyayat hati.
Padahal dulu ia pernah menjalin kasih dengan gadis sunsilk
saat itu masa awal reformasi mereka berciuman mesra
akan tetapi apa daya gadis itu tak mau dipoligami
geram dan murka ia bergabung dengan Partai Kelompok Senjata.
Kini ia anggota militan komplotan PKS
mereka bertekad melakukan penertiban rambut
dimulai dengan penyusunan perda hingga propaganda film
tak akan ada Aliansi Mawar Putih apalagi Ayu Utami.
juga termasuk Islam Liberal
juga termasuk feminisme
juga termasuk Musdah Mulia
sang pemburu rambut menghitung hari
senyum tersungging di bibirnya
sebentar lagi mereka binasa
dan dunia masuk rezim moral! Whooha..Ha..Ha.Ha..

Pagina 69-70
Kutangku Kutanggalkan
Kalau boleh ku berkata agama adalah kutangku
bagaimana tidak, ia telah melindungi bagian yang teramat suci
jasanya pada payudaraku teramat besar
kedua anakku hidup dan berkembang karena keamanan kutangku.
Selama ini hidup kulewati dotemani kutangku
saat pertama menginjak dunia tak tahu mana benar mana salah
kutangku terus menjaga memberi petunjuk
tanpa arahannya tak mungkin aku tumbuh menjadi bijak.
Banyak cobaan kuatasi karena jasanya
pernah ada yang jahil mencoba melepasnya
tapi dihalangi kaitan kawat yang menguat
tak diizinkannya jari-jari itu meremasnya.
Pernah juga ada yang berusaha mengintip
mangkoknya merapat membaluti belahanku
tak hanya uang aman dari pencopet
jiwaku pun tentram dibuatnya.
Kutangku adalah segalanya bagiku
karena itu ku ikuti semua ritual sukarela
membasuhnya lima kali sehari berpuasa untuk kerahmatannya
hari demi hari ku percayakan semua keyakinanku padanya.
Hingga suatu hari kutangku bersabda
sesuatu yang membuat jantungku berdegup
hatiku memberontak tak kuasa menahan nurani bicara
fatwanya menggelegar mengharuskan percaya kitab kutang 34 A.
Front Pembela Kutang dikerahkannya
mengawasi semua kegiatan dan gerakan payudara
bahkan terbit Surat Kutang Bersama
melarang keras segala kepercayaan kitab kutang 36 B.
Suatu hari ku mengerti
payudara telah memberi nafas, telah memberi hidup
tak bisa atas nama apapun dibatasi,
akhirnya, kutanggalkan kutangku.

Pagina 71
Fatwa
Apakah sesungguhnya fatwa itu?
Akhir-akhir ini sungguh semua ruang dikepungnya.
Dari rokok hingga golput sudah terfatwakan.
Sesak nafas, jantung berdebar, menunggu-nunggu fatwa berikutnya.
Tak bisa lagikah hidup tanpa diganggu fatwa?
Kemana harus mengadu?
Segenap ulama, polisi, dan hakim telah bersekongkol.

Tmakasih buat semua yang sudah menuliskan puisi2 dan artikel2 nya..

*speechless*
Kehebatan puisi ini mampu membuat komposisi hati saya mirip gado-gado sekarang. Di topik seperti inilah saya dengan segala kejujuran (atau kepengecutan??) memilih menjadi seorang 'ataventis'. Saya sudah mantap berada di 'kutub' yang lain, tapi juga tetap menghargai all the jilbabes serta para pendukungnya ;))
Books mentioned in this topic
Filsafat Berperspektif Feminis (other topics)Feminisme: Sebuah Kata Hati (other topics)
Yang Sakral dan Yang Sekuler (other topics)
Surat Kepada Anak Perempuanku
Untuk Laras, Lai Santi, Rita dan Siska, perempuan dan anak-anak korban
Trafficking di Kalimantan Barat, Batam dan Malaysia
Bila surat ini jatuh ke tanganmu, aku berharap kau tumbuh dengan gembira layaknya anak-anak seusiamu. Mungkin aku ibu tak pantas. Aku mengerti sikapmu, anakku.
Tapi izinkanlah aku mengutarakan curahan hatiku sebelum kau menghakimi diriku. Anggaplah saja aku orang lain yang perlu juga didengarkan meski tak berkenan di hati. Aku memahami dilemamu, sayangku.
Terakhir kali aku mengecup keningmu di rumah Aunty Bong. Rumah bergembok dan bertembok tinggi, tak ada jalan keluar membawamu lari. Aku telah berusaha, cintaku.
Tak sepenuhnya memang kesalahan orang lain, aku sendiri yang mau pergi dari kampong ke tanah Malaysia. Aku berharap mendapatkan sesuap nasi. Aku terlalu banyak bermimpi, buah hatiku.
Usiaku baru 15 tahun, masih anak-anak, paspor diurus Pak Lurah. Orang tuaku menyerahkanku kepada pria yang penuh janji. Aku terpedaya, manisku.
Tibalah aku di negara asing, negara yang pasti memberikan kesempatan buat orang semacamku. Namun yang kutemui dampratan dari orang yang harus kupanggil “mami”. Aku sungguh sedih, bungaku.
Pekerjaanku siang dan malam, melayani tamu-tamu. Tua, muda, polisi, pengangguran bahkan tokoh adat agama, ramai-ramai menikmati tubuhku. Aku merasa hina, anakku.
Oh ya, kau juga memiliki kakak-kakak yang tak sempat dilahirkan. Kakak-kakakmu meleleh seketika tak senpat menghirup udara. Aku hancur, putriku.
Hanya kau tak meleleh. Pagi-pagi buta diam-diam aku turun dari apartemen tingkat 20. Tukang taksi berhenti aku teriak “Embesi!” tapi ternyata dibawa ke rumah Aunty Bong. Aku tertipu lagi, sayangku.
Aunty Bong meyakini tak ada yang mau menerimaku, penduduk gelap, hamil pula. Penjara dan cambukkan menantiku di luar sana. Aku tak punya pilihan, buah hatiku.
Sekejap saja aku melihatmu, cantik dan sempurna. Harum badanmu masih kurasakan melekat dalam benakku. Apa daya pasangan lain telah menunggumu. Aku berteriak pedih, oh, anakku.
Sewaktu aku melayani Datuk Sri yang tengah mendesah-desah kenikmatan, mataku tertumbuk pada Koran. Ada keluarga pejabat bahagia dank au, anakku! Aku terkejut gembira, manisku.
Umurmu 13 tahun, tahi lalat di bibir menjadi penandamu. Ingin aku memelukmu, mengajakmu makan es krim, membelikanmu pita merah jambu. Aku ingin membawamu pergi, sayangku.
Hanya saja kakiku terantai, tak bisa melangkah sejengkal pun. Ini akibat ulahku mencoba melarikan diri tapi selalu gagal. “mami” memerintahkan aku dirantai. Aku terpenjara selamanya, anakku.
Tapi pikiranku bebas berkelana menemui setiap menit dan detik. Aku mengantarkanmu ke sekolah, bermain lompat tali hingga sore hari dan bercerita tentang apa saja. Aku selalu bersamamu, cintaku.
Bagaimanapun aku bersyukur, hidupmu tak akan seperti hidupku; bermartabat dan terhormat sebagai manusia. Raihlah cita-cita setinggi langit, pergilah berkelana memahami dunia. Aku ikhlas, putriku.