Sci-Fi Indonesia discussion
Lounge Area
>
Self rating, what do you think?
date
newest »
newest »
message 1:
by
Ds
(last edited Aug 01, 2015 08:26PM)
(new)
Aug 01, 2015 02:58AM
Gue perhatiin beberapa pengarang me-rate buku mereka sendiri en hampir selalu dengan lima bintang. Sepertinya Goodreads ga ada policy yang melarang ato gimana, tapi gue pribadi rada jengah sih dengan praktek seperti itu. What do you think?
reply
|
flag
Wah, gak tau tuh. Tapi ada beberapa author "nyeleneh" yang malah jelek2in karya mereka sendiri.
Pantasnya sih author tidak me-resensi, me-rate, bahkan komentar atas karya mereka sendiri.
Pantasnya sih author tidak me-resensi, me-rate, bahkan komentar atas karya mereka sendiri.
Buat mayoritas penulis, buku yang mereka terbitkan itu adalah "anak terbaik" mereka pada saat buku tersebut dilepas ke pasaran, jadi IMHO wajar sih kalo ada yg merating 5 bintang.Gw sendiri merating 2 kumcer yang ada cerita gw sbg 4 bintang lebih karena gw pikir "it's good, but it's not perfect". Semacam ... policy pribadi gw untuk self-reminding bahwa gw masih selalu pny ruang untuk peningkatan kualitas.
Hehe.
Wah, kalau aku malah sebaliknya. Aku selalu berpikir kalau karyaku mestinya bisa lebih baik lagi. Dengan melihat benchmark karya2 terbaik di genre masing2 aku selalu merasa masih kalah jauh.
Aku belum pernah nerbitin buku, tapi juga agak "alergi" klo liat self-rating. Klo di bawah 5 bintang masih gpp tapi rasanya lebih baik penulis dan penerbit sama-sama tidak memberi rating untuk bukunya sendiri.
Oni wrote: "Wah, kalau aku malah sebaliknya. Aku selalu berpikir kalau karyaku mestinya bisa lebih baik lagi. Dengan melihat benchmark karya2 terbaik di genre masing2 aku selalu merasa masih kalah jauh."Bukan berarti penulis yg udah nerbitin buku itu merasa puas dengan karyanya lho. Kan gw bilangnya buku yg terbit itu adalah yg terbaik yg bisa mereka lakukan di hingga titik itu pada saat itu. Nantinya berkembang lagi? Bisa~ Bisa juga nggak tapinya, tergantung sifatnya si penulis.
*pernah melihat penulis yg ketika direview jelek dia membalasnya semacam "saya ini udah nulis sekian-belas buku!"
**pernah melihat penulis yang bikin akun kloning utk mereview bintang 5 bukunya sendiri
(melihatnya di Goodreads, btw, bukan di real life)
Hehe.
Ini ada contoh lucu dari Patrick Rothfuss. Untuk buku The Name of the Wind, dia ngasih bintang 5 untuk bukunya sendiri, dan komennya adalah:
I kinda liked this book. But my opinion on the matter probably shouldn't be trusted....
I kinda liked this book. But my opinion on the matter probably shouldn't be trusted....
Well, menurutku sih, ga masalah penulis ngerate buku sendiri. Itu hak penulis dan penerbit juga buat ngerate buku mereka. Kecuali kalo penulis sampe bikin banyak akun kloningan buat ngerate bintang 5, itu yang menurutku ga pantes.
ngutip ungkapan seorang blogger: author yang ngerate bukunya sendiri 5 bintang berarti bukunya bukan buku 5 bintang.
Kalau cuma satu vote mungkin gak ngaruh juga kali. Kalau bikin akun kloningan yang raknya hanya satu buku terus ngevote ya emang keterlaluan sih (dan agak kurang kerjaan juga).
Kalau aku sih cuma melihatnya sebagai gejala narsis aja. Kayak ngelike posting kita sendiri di Facebook.
Yang agak parah sebenarnya menurutku malah resensi berbayar, baik di media cetak maupun media online. Penerbit mengeluarkan dana untuk peresensi untuk meresensi (yang baik baik tentang) buku mereka.
Kalau aku sih cuma melihatnya sebagai gejala narsis aja. Kayak ngelike posting kita sendiri di Facebook.
Yang agak parah sebenarnya menurutku malah resensi berbayar, baik di media cetak maupun media online. Penerbit mengeluarkan dana untuk peresensi untuk meresensi (yang baik baik tentang) buku mereka.
@Oni: It happened, yea. Dia bikin sekitar belasan kloningan kalo gak salah. Kemudian ada librarian yg simply sebel dan udah tahu itu kloningan dan dia pun beraksi.Soal resensi berbayar ... well, aku cuma bisa bilang bahwa kebijakan penerbit terkait cara marketingnya memang kadang mengejutkan. Kau mgkn bahkan tak terbayang bahwa mereka melakukan itu, kasarnya.
Hehe.
Baru satu dua kali sih ketemu buku yang di-self rate sama penulisnya, jadi nggak ambil pusing karena polanya belum kelihatan (kirain cuma memberi sedikit penjelasan bahwa bukunya itu bercerita tentang apa).Yang lebih menyebalkan justru hate-trend review sama review yang terlalu panjang. Hate-trend review bikin rating buku jelek padahal yang ngasih belum tentu baca bukunya (kasian Kim Kardashian, buku selfie-nya ratingnya jatuh berat gara-gara review yang cuma ikut-ikutan). Review yang yerlalu panjang malah nggak membantu waktu coba cari buku baru buat dibaca.
Magdalena wrote: "@Oni: It happened, yea. Dia bikin sekitar belasan kloningan kalo gak salah. Kemudian ada librarian yg simply sebel dan udah tahu itu kloningan dan dia pun beraksi.
Soal resensi berbayar ... well, ..."
Sayang di Indonesia kultur review belum begitu jalan di media mainstream. Jarang sekali ada resensi buruk untuk sebuah buku maupun restoran misalnya. Kalau semua resensi bagus, bagaimana kita bisa membedakan mana yang bagus dan mana yang tidak bagus? Di luar sana, restoran dan penulis cukup "takut" dan harap2 cemas menunggu review dari kolumnis tertentu yang cukup kejam tapi fair.
Soal resensi berbayar ... well, ..."
Sayang di Indonesia kultur review belum begitu jalan di media mainstream. Jarang sekali ada resensi buruk untuk sebuah buku maupun restoran misalnya. Kalau semua resensi bagus, bagaimana kita bisa membedakan mana yang bagus dan mana yang tidak bagus? Di luar sana, restoran dan penulis cukup "takut" dan harap2 cemas menunggu review dari kolumnis tertentu yang cukup kejam tapi fair.
@StefanusKebalikannya juga ada kok. Kasih lima bintang padahal bukunya belum terbit, biasa terjadi ke pengarang2 yang super populer macam JK Rowling. Fandom effect as usual.
@Oni
Dulu sih ada satu website namanya sinemaindonesia.com yang review2nya atas film indonesia bukan cuman jujur tapi juga kocak. Kalo crap, mereka bilang crap. Sistem ratingnya tuh kalo jelek pake kancut, which is so hilarious to me. Sayangnya mereka ga meng-update lagi sejak 2007.



