From the Bookshelf of Classics Without All the Class…

The Godfather (The Godfather, #1)

Mario Puzo,

Robert Thompson (Introduction),

Peter Bart (Afterword)

Find A Copy At

Group Discussions About This Book

No group discussions for this book yet.

What Members Thought

Nov 27, 2017 Anindyta rated it it was amazing · review of another edition

Don Vito Corleone adalah orang yang didatangi siapa saja untuk dimintai bantuan, dan mereka tidak pernah kecewa. Ia tidak pernah memberikan janji kosong, atau berdalih tangannya terikat kekuatan yang lebih besar daripada kekuatannya sendiri di dunia. Orang tidak perlu menjadi temannya, bahkan tidak penting orang itu memiliki cara untuk membalas budinya atau tidak. Hanya satu hal yang diperlukan. Yaitu orang itu, orang itu sendiri, menyatakan persahabatannya.

“Setiap orang punya satu takdir “, beg

Don Vito Corleone adalah orang yang didatangi siapa saja untuk dimintai bantuan, dan mereka tidak pernah kecewa. Ia tidak pernah memberikan janji kosong, atau berdalih tangannya terikat kekuatan yang lebih besar daripada kekuatannya sendiri di dunia. Orang tidak perlu menjadi temannya, bahkan tidak penting orang itu memiliki cara untuk membalas budinya atau tidak. Hanya satu hal yang diperlukan. Yaitu orang itu, orang itu sendiri, menyatakan persahabatannya.

“Setiap orang punya satu takdir “, begitu kata Don Corleone. Kudetnya saya dalam dunia perfilman juga merupakan suatu takdir. Saya bersyukur belum pernah menonton film The Godfather, sehingga buku dari Mario Puzo ini adalah paparan pertama saya terhadap The Godfather. Jarang sekali saya membaca buku setebal 678 halaman dengan lahap tetapi buku ini menjadi satu dari sedikit pengecualian. Sebagai buku pertama mengenai mafia yang saya baca, saya ingin memberikan tepuk tangan semeriah mungkin dan rasa terima kasih kepada Mario Puzo karena telah mematahkan persepsi saya bahwa buku seperti ini hanya dimengerti oleh kaum lelaki. Saya menikmati, ah bukan menikmati, tapi sangat menikmati halaman per halaman buku ini.

“Katakan pada ayahku aku ingin menjadi anaknya.” Mike Corleone, The Godfather

Mengingat buku ini diterbitkan pada tahun 1969, buku ini benar – benar timeless, klasik, elegan dan macho. Dialog – dialog yang dituliskan sangat menarik. Belum lagi gaya bercerita penulisnya yang enak untuk dibaca dan detail sekali. Namun, yang paling saya suka dari buku ini adalah tokoh – tokoh yang digambarkan oleh Puzo. Dari membaca buku yang tebal, pembaca digiring untuk mengenali satu – satu keluarga Corleone mulai dari Vito sampai keempat anaknya, pasangan – pasangan anaknya, Tom Hagen si consigliori, Clemenza, Tessio, dan masih banyak lagi tokoh di sini yang semuanya memiliki sisi manis dan juga pahit. Percayalah, tidak ada tokoh yang tidak menyenangkan untuk diselami. Mario Puzo menyulap sedemikian rupa dengan gaya berceritanya sehingga saya ikut sedih dan ingin berteriak ketika ada tokoh yang mati atau terkena kemalangan (Oh ya, kematian bukan hanya ada di Game of Thrones, guys). Yah, walaupun saya memilih Michael Corleone sebagai salah satu favorit saya, tentu saja sulit menentukan favorit karena semua tokoh membuat saya semangat untuk membaca. Bahkan tokoh wanita simpanan Sonny yang mendapatkan satu bab penuh hanya untuk menceritakan masalah seksualnya saja lumayan menarik untuk dibaca. Walaupun saya merasa bab seperti itu tidak ada gunanya, namun saking mengalirnya gaya bercerita penulis, saya membacanya dengan suka cita.

Tentu, keluarga Corleone bukan keluarga yang bisa diidola-idolakan, namun banyak sekali cerita menakjubkan yang berintikan keluarga ini. Dengan caranya yang vulgar, tragis, dan penuh dengan kematian di sana sini, The Godfather menceritakan keluarga yang tidak suci dan bebas dosa. Buku ini tidak melulu politik mafia yang bermandikan darah, namun cerita tentang persahabatan, kehormatan, kasih sayang, keluarga, dan kepercayaan.

Percayalah, buku ini keren sekali !

...more

1 like · Like · see review