The Scarlet Letter in Classics Without All the Class

Nov 04, 2012 Anindyta rated it liked it

Pernah nonton film drama remaja keluaran hollywood yang berjudul Easy A ? Itu lho… film yang dibintangi oleh mbak cantik Emma Stone. Kalau pernah, pasti pernah mendengar tentang cerita Scarlet Letter karena seringnya tokoh utama Easy A membandingkan kisah hidupnya dengan cerita ini. Jujur, karena film itu, saya mulai tertarik untuk membaca Scarlet Letter. Kalau tidak menonton film itu, mungkin saya tidak akan tertarik, apalagi melihat covernya yang terkesan polos dan agak membosankan. Tapi… itul Pernah nonton film drama remaja keluaran hollywood yang berjudul Easy A ? Itu lho… film yang dibintangi oleh mbak cantik Emma Stone. Kalau pernah, pasti pernah mendengar tentang cerita Scarlet Letter karena seringnya tokoh utama Easy A membandingkan kisah hidupnya dengan cerita ini. Jujur, karena film itu, saya mulai tertarik untuk membaca Scarlet Letter. Kalau tidak menonton film itu, mungkin saya tidak akan tertarik, apalagi melihat covernya yang terkesan polos dan agak membosankan. Tapi… itulah mengapa pepatah “Don’t judge a book from its cover “terkenal, karena saya sudah membuktikan bahwa betapa salahnya saya menilai buku ini dari sampul depannya.

Scarlet Letter adalah cerita klasik, yah…asalnya dari masa jadul, yang menceritakan tentang sebuah huruf A besar. Ya… huruf A besar berwarna merah menyala nge-jreng yang selalu menyertai Hester. Setiap kemanapun Hester pergi, huruf ‘galak’ itu menempel terus di dadanya. Ini merupakan sebuah sanksi sosial yang harus diterima Hester akibat melakukan seks luar nikah sementara ditinggal suaminya berkelana di Eropa. Hester pun dikucilkan, huruf A menyala selalu menarik perhatian dan membuat orang selalu menertawakannya. Bahkan Pearl, anak Hester dari hubungan terlarang tersebut, selalu memandang huruf tersebut dengan tatapan aneh. Pokoknya hukuman sosial berbentuk huruf berwarna scarlet itu selalu menghantui Hester kemanapun.

Well, ini adalah kali pertama saya membaca karya Nathaniel Hawthorne. Kaget pada awal membaca buku ini, Hawthorne membuka buku ini dengan kata pengantar yang sangaaaaaaat panjang. 46 halaman dari 308 halaman buku ini adalah kata pengantar dari penulis… Ajegile… Walaupun pada awal kata pengantar, Hawthorne sempat membuat saya bosan dengan kalimatnya yang panjang, namun pada akhirnya saya mulai menikmati kata pengantar yang panjang ini. Penulis menceritakan tentang darimana ide menulis kisah tentang Hester Prynne, sebuah tragedi menyedihkan dari kota Boston. Ini artinya Hester Prynne memang benar-benar ada. Oh…setelah membacanya, saya langsung semangat membaca halaman demi halaman cerita klasik ini.

Kata-kata Hawthorne yang puitis mewarnai perjalanan saya dengan Hester. Alur maju dengan tempo yang lambat membuat saya bisa mengagumi Hester dan merasakan kesedihannya. Ceritanya secara keseluruhan sedih namun tidak cengeng. Adanya cerita cinta yang terlarang, sanksi sosial yang nyiksa (nyesek kalau kata anak-anak sekarang...) dan kepolosan anak kecil yang tidak tahu apa-apa namun ikut kena imbasnya juga membuat cerita ini tergolong tragedi.

Biasanya saya tidak suka dengan cerita yang sangat menyedihkan dan membuat depresi, namun Scarlet Letter bisa membuat saya terenyuh nyuh dan nyuh. Sepertinya karena karakter kuat dari Hester Prynne yang memang ditonjolkan oleh penulis. Nasibnya dikucilkan sendirian dan harus membesarkan Pearl di tengah-tengah cemoohan kaum puritan membuat Hester tumbuh menjadi sosok yang kuat dan tegar di mata saya sebagai pembaca. Mungkin ini pelajaran besar buat saya... Tokoh yang kuat tidak harus memiliki kekuatan super, tidak juga harus bisa memanah dan berburu, tidak juga berasal dari planet lain dan bisa menunggangi motor gede. Tapi seorang Hester Prynne, wanita dari Boston dengan huruf A besarnya sudah menjadi salah-satu wanita yang menginspirasi saya. Bahkan saya menganggap Hester adalah tokoh yang benar-benar melambangkan kekuatan dan membuat buku ini sangat bersinar terang.

Buku ini mempunyai banyak pesan yang tersembunyi. Saya bisa belajar untuk tegar, untuk saling memaafkan, dan bahkan Hawthorne telah berhasil membuka mata saya tentang hukuman sosial yang sampai sekarang sering terjadi di kehidupan modern jauh setelah masa Hester Prynne. Cerita klasik ini bagus. Sayang sekali kalau kamu belum baca buku ini. Apalagi kalau kamu adalah pecinta klasik dan sedang mencari tokoh yang menginsiprasi dalam hidupmu, langsung aja deh pasang sepatumu, ikat rambutmu, dan larilah ke hutan… Hahahaha. Nggak… maksud saya, apabila kamu pecinta klasik dan sedang ingin membaca kisah inspiratif, bacalah buku ini dan siapkan dirimu dihantui oleh huruf A besar yang penuh misteri !

“Tuhan Tahu perbuatan dosa yang dilakukan dua orangm namun tidak berarti mereka harus kehilangan cinta. Anak ini berasal dari kesalahan ayahnya dan juga kenistaan ibunya, namun ia juga berasal dari Tuhan” - Arthur Dimmesdale

3.5/5
...more

1 like · Like · see review

May 01, 2014 Alexia rated it did not like it

Shelves: classics

It is meant to be a classic. But I was so bored. I think it is mostly due to how classics often have an introduction. Which is fine. The introduction / analysis gave the story completely away. Why not put that stuff at the end of the book? Between some person's analysis and the author's introduction, that was literally 25% of the book!

The priest who is meant to come across as a saint on earth is someone I found cowardly, selfish and despicable. The supposed villain is the most human of the lot ...more

Like · see review