Adimodel's Blog, page 2

April 5, 2013

Bibir

Image


 


BIBIR itu begitu indah. Sangat indah. Mungkin bibir itu adalah sepotong bibir paling indah di dunia.* Sudah berlaksa masa aku terus memandanginya. Namun tetap saja tak sirna, keindahannya.


Bentuk bibir itu begitu sempurna. Jika katanya sebaik-baik bentuk
yang sempurna adalah lingkaran, maka bibir itu adalah lingkaran.
Jika katanya sebaik-baik nilai adalah seratus, maka bibir itu kuberi nilai seratus.


Warnanya begitu merona. Sebuah warna yang tidak bisa didefinisikan dengan bagan warna. Merah, tetapi tidak terlalu merah. Merah yang membius, yang membuatmu selalu ingin menyentuhnya, seperti merah apel yang mampu menggoda seorang puteri untuk menggigitnya. Merah yang selalu basah, seperti basahnya kuntum mawar yang setia menadahi embun suci pagi.



BIBIR itu memanggilku.


“Aku!” katanya.


Dadaku berdegup kencang. Aku, begitu ia memanggilku. Dengan suara sangat lembut, lebih lembut dari awan.


“Aku.”


Suara yang keluar dari rongga di antara bibir itu semakin melemah. Tetapi tidak lemah. Selemah-lemahnya suara yang mampu menjungkirbalikkan kewarasan.


Bibir itu menjadi kelihatan semakin indah. Semakin merona. Semakin basah. Semakin lembab. Semakin harum. Semakin renyah. Semakin manis.


Entah kenapa aku jadi lapar. Lapar sekali.


Tiba-tiba bibir itu melompat. Lompatannya begitu tinggi. Seolah ancang-ancang jauh. Untuk menukik. Menikam. Melesat. Sekejap.


. . . dan aku menjadi tempat berkejar-kejaran


Di bibirku, bibir itu mendarat yang pertama kalinya. Pendaratannya begitu lembut, begitu sempurna. Seperti bidadari yang memiliki sayap yang mengepak perlahan saat kakinya ingin menjejak tanah.


Ia lalu berlari-larian, berkejar-kejaran dengan bibirku. Kadang, ia memimpin dan berada di depan. Lalu ia mengejek, meminta aku mengejarnya. Kadang, aku bisa mengejarnya kembali, dan mengejeknya balik. Bibirku dan bibirnya terus saling berkejaran tanpa henti, tapi anehnya kami tak pernah merasa lelah.


Kadang bibir itu mengeluarkan gigi-giginya yang putih sempurna dan mulai menggigiti bibirku seperti keratan-keratan kecil seekor tupai yang menggerogoti buah kenari. Aku pun membiarkan bibirku menjadi buah kenarinya.


Kadang lidah kami menjulur dan bertautan, bersilangan, seperti dua orang ksatria kecil yang sedang bermain pedang-pedangan. Kau seorang pemain pedang yang lihai, kataku. Bibir itu tidak menjawab. Ia membalasnya dengan menangkis dan menusuk lidahku dengan lidahnya.


. . . dan aku menjadi perosotan


Di sinilah kehangatan yang sesungguhnya, hembus bibir itu. Di urat nadi, tempat aliran hidup mengalir.  Di sinilah penghubung kepala dan jantungmu. Di sinilah jalan nafasmu.


Di leher itu ia mencium dengan lembut. Begitu lembutnya, sampai-sampai aku merasa ia menyentuhku dengan semburat nafasnya. Setelah itu ia menjilat-jilatinya, seperti seekor anjing yang belum minum selama tiga hari.


Seperti perantau yang tersesat, bibir itu menemukan jalan baru. Jalan panjang yang tak berliku. Jalan nafasku, katanya lagi, sambil menelusurinya dengan lidahnya. Di leherku, bibir itu dan lidahnya merosot naik turun… Naik turun.


Aku tersengal-sengal. Tapi aku tidak keberatan.


Di kali waktu, ia memagut, menggigit, mencabik-cabik dengan ujung-ujung giginya yang tajam. Seperti ingin mencari urat nadiku. Seperti ingin mengisap kehidupanku.


Aku makin tersengal-sengal. Tetapi aku tidak keberatan.


. . . dan aku menjadi permen


Bosan bermain perosotan di leherku, bibir itu pun turun. Ia berlari-larian membawa balon merah dengan riang gembira di dadaku, dan sesampainya di lembah-lembah di bawah perutku, ia memperlambat langkahnya.


Seakan-akan lapar, bibir itu mencari-cari sebatang permen yang bisa menghapuskan dahaganya akan rasa manis. Aku mengetahui apa yang ia inginkan. Dan kusodorkan permenku yang paling manis, yang bisa memuaskan kerinduannya.


Di bagian bawah perutku, bibir itu menjadi begitu bersemangat, begitu bersuka cita. Seolah-olah seorang anak kecil yang menemukan penjual permen yang membagi-bagikan permennya secara gratis, dan ia mendapatkan permen yang paling besar dibandingkan anak-anak lain. Ia pun mulai menjilat-jilati permen itu dengan gembira. Mengisapnya. Mengulumnya. Mengunyahnya. Hingga permen itu meleleh, mencair, dan meluruh di dalam bibir itu. Cairan isi permen itu pun pecah, bercipratan.


Aku memejamkan mata.


. . . dan aku menjadi ayunan


Ia kemudian melompat ke tanganku. Tangan ini kuat, keras, kasar, tapi tidak pernah kasar, kata bibir itu. Di sana ia berjalan-jalan kecil dengan begitu nyaman, begitu tenteram.


Aku damai, katanya. Bibir itu pun memagut tanganku begitu erat, seakan tak mau lepas. Merapat. Memeluk. Bergelayutan. Seperti anak kecil yang sedang bermain ayunan.


Aku damai, katanya lagi, seolah-olah menganggapku tak mendengarnya di kali pertama. Tanganmu memberiku rasa aman, lanjutnya.


Tidak seperti tangannya! Nadanya berubah drastis. Aku terhenyak kaget. Dan bibir itu pun mulai bercerita…


Saat pertama kali disentuhnya, aku berteriak. Menangis. Kencang sekali. Tetapi anehnya, tangisanku malah membuat orang-orang di sekitarku tersenyum. Bahagia. Termasuk tangan itu. Tangan itu begitu bangga menyentuhku, menggendongku, menimangku. Mirip kau, sayang. Katanya pada seorang wanita cantik yang tengah berbaring terengah-engah di sampingku. Itu ucapan pertama yang kudengar dari tangan itu.


Dan saat itu pula aku merasakan sebuah janji. Aku merasakan kalau tangan itu berjanji akan menggendongku tinggi-tinggi saat aku bisa mengoceh nanti. Menggandengku erat saat aku berangkat sekolah. Melindungiku jika teman-temanku nakal. Mencebokiku jika aku pipis. Aku merasakan janji itu, begitu pasti, saat itu.


Tetapi lima belas tahun kemudian, tangan itu ingkar. Suara bibir itu melirih. Ia masih melanjutkan bercerita, sambil berayun-ayun, mendekap erat di lenganku. Aku membisu, mendengar dalam diam. Sunyi pun perlahan-lahan terasa begitu kelam.


Suatu hari, tangan itu menjelma hitam. Hitam yang begitu menakutkan. Dulu, yang selalu kuingat, sentuhannya membuatku damai, membuatku pulas di kedalaman dekapannya. Tetapi kali ini, saat tangan itu menyambangiku, dadaku bergemuruh. Samudera meriak ganas di tengkuk leherku.


Ia mulai mengelus-elus bibirku. Meraba-raba. Lalu meremasnya. Pada kesepuluh jejarinya seketika terlahir mata. Mata-mata yang memburu melucuti penuh nafsu. Mereka melingkar-lingkar di sekitar seperti ular, memandangiku dengan ganas, beringas, seakan-akan mangsa luluh yang siap disantap.


Aku takut. Sangat takut. Tetapi aku hanya bisa diam. Tangan itu kemudian memasukkan salah satu jarinya ke dalam mulutku. Aku tak mengerti, mengapa jari yang tadinya kelihatan kecil, menjadi berasa begitu besar di dalam mulutku. Besar, kasar, keras.


Ia pun menusuk-nusukkan jarinya ke dalam mulutku. Berputar-putar. Meliuk-liuk. Menyikati gigi dan gusiku. Memintal-mintal lidahku. Segenap ragaku tersihir, jiwaku kelu.


Setelah tangan itu puas bermandikan basah liurku, ia pun mengelus-elus dan memulasi bibirku sambil berkata: jangan bilang ibumu.


Esoknya tangan itu kembali. Dan esoknya lagi, dan esoknya lagi. Semakin hari tangan itu semakin lapar, semakin rakus. Ia tidak lagi hanya memasukkan satu jari saja. Kadang dua, tiga, lima, bahkan pernah sepuluh, sebelas jarinya ia masukkan sekaligus. Suatu waktu ia meminjam jari teman-temannya dan berpesta pora di dalam bibirku.


Bibir yang indah itu berhenti bercerita. Lalu menghapus air matanya.


Sudahlah, katanya. Aku ingin bermain.


. . . dan aku menjadi taman bermain


Aku betah di sini, kata bibir itu.
Aku betah menjadi tempat betahmu, kataku.


Di taman itu, ada banyak sekali permainan.
Tempat berseluncur.
Tempat berkejar-kejaran.
Tempat melompat-lompat.
Tempat berayun-ayun.
Tempat berteduh.
Tempat berbasah-basah.


Dan ia seperti anak kecil. Anak kecil yang lupa pulang.


… saat bibirmu bermain-main di bibirku.
Jakarta, 2012


1 like ·   •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on April 05, 2013 08:30