Pernahkah kau bertemu seorang perempuan yang tak pernah lelah menyalakan harap di hatinya? Dalam Tomodachi, kau akan bertemu perempuan itu. Perempuan biasa, tetapi punya harap luar biasa. Baginya, berlari dan menemukan garis akhir adalah sebuah keharusan. Tidak akan ada kata menyerah.
Pernahkah kau memiliki seseorang yang selalu bisa menghapus cerita sedihmu? Dalam Tomodachi, kau akan menemukan tangan-tangan yang terikat pada satu kata: sahabat. Mereka yang keberadaannya membuat kau tak lagi merisaukan hari esok yang mungkin masih gelap.
Juga dalam Tomodachi, kau akan bertemu seorang laki-laki yang berlari dengan sepasang sayap. Yang selalu mengejar garis akhir, tetapi tak pernah ragu untuk diam sejenak menunggu.
Tomodachi dipersembahkan untukmu yang sedang melewati masa-masa pahit-manis dalam cinta dan persahabatan. Juga untuk setiap orang yang pernah melewati dan merindukannya.
A woman with passion in both reading and writing and has written a few books in both English and Indonesian. Used to work as a freelance reporter for an in-house magazine and a fashion journalist/contributor in http://www.fasity.com, an Indonesian fashion community.
Some fictions have been published online and in a number of magazines. Her published novels are: Kenangan Abu-Abu (February 2008), Ai (February 2009), Refrain (September 2009), Glam Girls Unbelievable (December 2009), Remember When (March 2011), Unforgettable (January 2012), Truth or Dare (Gagas Duet May 2012), Melbourne: Rewind (2013), SCHOOL Tomodachi (2014), Happily Ever After (2014), Girl Meets Boy (2015). Winna's non-fiction book is Draf 1: Taktik Menulis Fiksi Pertamamu (September 2012). She has also participated in an anthology book about traveling - The Journeys (March 2011).
Currently writing numerous short stories collection and novels.
She enjoys curling up with a good book, with the radio turned on and a cup of tea :)
Winna can be reached via email at winna.efendi@gmail.com or her official blog http://winna-efendi.blogspot.com and Twitter/FB: @WinnaEfendi or fanbase @Winnadict
Serasa lagi baca manga tapi dalam bentuk novel. Mengingatkan gue dengan series Friends--yang by the way buat gue nangis sesungukkan kayak gay gila--, serial yang gue lupa judulnya, serial cantik yang selalu buat gue senyum-senyum dan manga-manga semacam... yang cute-cute gitu deh.
Dan ini adalah novel bernuansa cute yang gue suka. Membuat gue ingin memburu kembali manga-manga yang udah lama gue tinggalkan. Gue jadi pengen baca manga yang judulnya 20 Tahun atau Album Kenangan, manga yang gue favoritkan sepanjang masa!!!
Di novel ini, gue suka Tomomi yang, ugh! Love her so much! I mean, gue jarang suka karakter di suatu novel. Tapi Tomomi ini loveable buat gue.
Ada juga Tomoki yang jahil dan iseng tapi menyimpan kesedihannya sendiri di balik tawa. Like me! I love him too, dan gue suka semangatnya!
Ada Tabitha juga, ada Chiyo juga, ada Ryuu juga. Gue suka mereka semua! Mereka memang pantas jadi Tomodachi. Forever!!!
Dari semua novel Mbak Winna, gue paling mengidolakan AI, dan di novel ini Sei dan Natsu muncul sebagai cameo!!! Love them!!! Tapi, sayangnya, setelah gue membaca novel ini, AI tersingkir. Gue lebih suka sama novel ini. Dari semua novelnya Mbak Winna, ini sekarang yang jadi favorit gue. Bahkan sampe gue sampulin habis sahur tadi biar nggak lecek. Kalo gue nyampulin buku, itu tandanya gue sayang. Kalo ada kebakaran buku itu yang gue selamtin daripada kembaran gue sendiri XD
Ceritanya simpel. Tentang sekumpulan anak remaja yang... yah kayak kita kalo di SMA lah. Di novel ini Jepangnya nggak kerasa tempelan sama sekali. Gue malah bingung, novel ini lebih cocok jadi serial STPC daripada S.C.H.O.O.L. Mengalahkan Tokyo-nya mbak Sefryana. Tapi, lebih cocok ini jadi proyek S.C.H.O.O.L ketimbang buku yang pertama.
Gue suka inti ceritanya, kalo kita punya cita-cita, kita nggak boleh nyerah dan harus mendapatkan apa yang kita inginkan. Gue pengen jadi dokter, tapi tersendat karena kemalasan gue sendiri. Padahal orang tua sanggup, nggak kayak beberapa temen gue yang terbatas biaya-nya. Harusnya gue bersyukur dan melanjutkan pendidikan gue. Bukannya malah malas-malasan sambil kerja di kantor Om sendiri dan selalu beli novel yang banyak pas gajian.
Jadi, tahun depan gue bertekad buat masuk kuliah kedokteran di Universitas Yarsi. Gue harus mengejar mimpi gue, kayak kata Tomoki, jangan menyerah! Kejar apa yang kita impikan! Begitu pula apa yang novel ini ingin sampaikan!!!
Makasih Tomomi. Makasih Tomoki. Makasi Chiyo, Tabi dan Ryuu.
|"Watashitachiha tomodachidakara. Tomodachi wa otagai ni tasukeau--Karena kita teman, dan teman membantu satu sama lain."|
Tomomi dan Tomoki bertemu pertama kali di tahun pertama mereka bersekolah di Katakura Gakuen. Saat itu, Tomoki yang tak sengaja menabrak Tomomi telah menimbulkan kesan tersendiri untuk Tomomi. Ditambah lagi, ternyata mereka satu kelas, dan penentuan tempat duduk menjadikan mereka partner satu bangku di kelas.
Alasan awal Tomomi bersekolah di Katakura Gakuen adalah seorang laki-laki bernama Hasegawa, cinta pertamanya. Ia bertekad akan menyatakan perasaan kepada seniornya itu dengan menjadi manajer klub sepakbolanya. Namun, sayang, posisi itu telah ada yang menempati sehingga Tomomi mencari alternatif lain agar dirinya dapat terus menjangkau Hasegawa-senpai. Maka, Tomomi pun memilih untuk masuk klub atletik, yang bersebelahan dengan klub sepakbola saat latihan. Tapi Tomomi tidak tahu, hal itu malah membuatnya jatuh cinta pada olahraga itu.
|"Saat berlari, ada suatu perasaan tak terlukiskan, sering kali membuatku merasa damai sekaligus terpacu pada saat yang sama."|
Klub itu pula lah yang membuatnya menjadi dekat pada Tomoki--si cowok narsisis yang memiliki bakat hebat dalam berlari. Pemuda ceria yang dijuluki 'Ace' karena saat berlari, ia seolah memiliki sayap di punggungnya.
|"Karena saat Tomoki berlari, dia begitu cepat, seolah-olah memiliki sayap."|
Bersama tiga orang lainnya--Chiyo, Ryuu, dan Tabitha, akhirnya mereka berlima bersahabat. Melakukan hal apapun bersama, sedih maupun suka. Bahkan saat Tomomi patah hati karena Hasegawa-senpai ternyata telah memiliki kekasih. Bersama Tabi--yang juga menyukai Hasegawa, ia merasa betapa sakit terasa saat cinta pertamamu kandas.
|"Cinta itu rumit, ya. Orang yang kau sukai tidak selalu membalas perasaanmu. Kadang kau jatuh cinta pada orang yang salah. Dan kadang, kau bahkan tak sadar ada orang yang selama ini dengan tulus menyukaimu."|
Suatu hari, sesuatu terjadi pada Tomoki hingga membuat pemuda itu harus berhenti berlari. Karena kejadian itu, Tomoki menghindari keempat sahabatnya dengan tanpa alasan yang jelas. Saat teman-temannya yang lain menyerah dan memutuskan untuk menunggu saja hingga Tomoki kembali pada mereka, Tomomi tak melakukan hal yang sama. Ia mendatangi Tomoki setiap hari tanpa lelah, meski yang ia dapati hanya suara Tomoki yang mengusirnya selama berhari-hari.
Hingga akhirnya, usaha Tomomi membuahkan hasil. Tomoki menemuinya dan menceritakan semua yang sebenarnya tengah terjadi.
|"Luka memiliki cara untuk mengingatkan kita pada hal-hal tertentu, baik itu hal yang baik, maupun yang buruk. Itulah keindahan luka; luka dalam hati, juga luka fisik."|
Semenjak itu, Tomomi merasa hubungan mereka berdua menjadi selangkah lebih dekat.
Puncaknya, saat kompetisi akiden, di mana Tomomi menyadari ada yang salah dengan perasaannya. Di mana kini ia tak bisa bersikap seperti biasa seperti sebelumnya pada Tomoki. Dan di mana ia merasa memiliki pandangan lain terhadap pemuda itu.
|"Itsumo soredeatte iru. Memang selalu hanya dia yang terlihat. Bahwa hanya dia yang tampak, di antara lautan ratusan, bahkan ribuan orang. Bahwa pandangan mata kami selalu menemukan satu sama lain, seolah-olah hanya kami berdua yang ada di tempat ini."|
-----Tomodachi-----
Finally, di sela kesibukan baruku magang di sebuah tempat kerja selama libur panjang kuliah, akhirnya hari ini aku masih bisa menyempatkan diri membaca novel. Dan untungnya, novel yang kupilih juga mendukung karena bisa kuselesaikan kurang dari sehari.
Tomodachi bercerita tentang persahabatan, mimpi, dan cinta--which is, mungkin merupakan salah satu tema yang sudah sangat sering ditulis Kak Winna. Tapi meskipun begitu, di sini aku menjadi salah satu orang yang tak akan pernah bosan meskipun akan ada beribu-ribu lagi novel yang Kak Winna tulis dengan seputar tema friendzone semacam ini.
Dengan senang hati aku akan membacanya karena tema mainstream ini masih menjadi favoritku.
Ditambah, konten cerita ini sedikit berbeda karena ada tambahan tema olahraga yang terkandung di dalamnya; lari marathon.
Seperti biasa, novel-novel Kak Winna selalu memiliki kenikmatan tersendiri untukku. Dari segi diksi dan cara bertutur kalimatnya, ini selalu menjadi yang terbaik. Aku juga selalu suka dengan cerita berlatarbelakang Jepang. Saat membacanya, aku jadi memiliki interpretasi sendiri dan aura tersendiri. Entah, dan semua itu terasa familiar. Mungkin karena aku juga sering membaca dan menulis cerita lepas di sebuah situs yang menggunakan tokoh anime sebagai karakternya.
Intinya, seperti novel-novel Kak Winna yang lain, aku begitu menikmati Tomodachi. Ceritanya mengalir manis dan menghangatkan, juga penuh dengan motivasi. Setengah hingga duapertiga halaman, tanpa disangka-sangka ada part yang membuatku menangis hingga mataku sembab :')
Lepas dari segala typo (yang sayangnya masih ada, walau sangat sedikit), lagi-lagi Tomodachi tak membuatku kapok dengan novel-novel yang Kak Winna tulis.
Tomodachi: Novel yang Memaksakan Diri untuk Tampil Kejepang-jepangan
Judul Buku : Tomodachi Genre : Teenlit Penulis : Winna Efendi Penerbit : Gagasmedia Tahun : 2014
Riview : Tomodachi merupakan salah satu novel yang tergabung dalam suatu proyek—yang diprakarsai oleh Gagasmedia, bernama S.C.H.O.O.L, yang merupakan akronim dari Seven Complicated Hours of Our Lives (yang, kalau saya tebak, kemungkinan besar proyek ini bercerita tentang saat-saat paling rumit yang dialami oleh seseorang saat di bangku sekolah, kalau tertarik, barangkali bisa coba googling sendiri); dan Tomodachi-lah buku pertama dari poyek S.C.H.O.O.L yang saya baca. Baiklah, sekarang, mari kita membicarakan Tomodachi.
Tomodachi adalah sebuah novel yang mencoba mengangkat Jepang sebagai ‘cita rasa’ dan setting utama di dalamnya—lengkap dengan para pemeran dan budaya ‘Jepang’, seperti yang telah diintrepretasikan oleh cover yang dimilikinya: rerantingan sakura, omamori—jimat, kata ‘Tomodachi’—tentu saja, dan aksara Jepang. Tomodachi adalah sebuah novel yang bercerita tentang persahabatan, mimpi, dan percintaan lima remaja yang baru saja memasuki sebuah sekolah (menengah) bernama Katakura Gakuen. Dan di dalam Tomodachi, kita akan menemukan sejumlah anomali—yang.. tidak menyenangkan, mengingat penulisnya adalah seorang penulis berpengalaman dalam fiksi bergenre teenlit, yang telah menghasilkan banyak karya.
Sebelum membahas sejumlah anomali di dalamnya, seperti biasa, kita akan membicarakan hal-hal paling sederhana, hal-hal paling ‘kelihatan’ di dalam novel Tomodachi. Pertama, cover. Untuk penerbit sekelas Gagasmedia, saya merasa kalau Tomodachi memiliki cover yang sangat biasa, dan sampul belakang yang tak kalah biasa. Kalau membandingkan Tomodachi dengan cover-cover pendahulunya di Gagasmedia, saya tak habis pikir, kenapa penerbit (dan penulisnya) memilih cover se-‘sederhana’ itu—walau, tentu saja, ciri khas Gagasmedia masih kental di dalamnya. Tapi. Sorry to say, saya berkesimpulan, ‘orangtua’ Tomodachi abai dalam pemilihan cover. Kedua, kesalahan ketik. Kabar baiknya, saya hanya menemukan—setidaknya untuk saat ini, tentu saja—dua-tiga salah ketik, yang, untungnya, tidak memberi gangguan yang berarti. Salah ketik pertama ada di halaman 27, di paragraf terakhir. Begini ditulis di sana: ‘Di sekeliling kami, pada murid laki-laki yang lulus melepaskan jahitan kancing kedua mereka, lalu memberikan..’ See? Kata ‘pada’ setelah koma (,) seharusnya adalah ‘para’. Dua salah ketik lainnya saya lupa ada di halaman berapa, karena saya kadung jenuh dan bosan saat membaca sisa 2/3 dari Tomodachi. Ketiga, saya mengapresiasi akan adanya semacam halaman sisipan yang mencoba mengajak pembaca dengan tujuan: 1) (kalau saya tidak salah tebak) bernostalgia dengan masa-masa sekolahnya bagi para pembaca yang sudah tidak lagi bersekolah—sebab, nostalgia akan masa-masa sekolah (seperti kegiatan ekstrakulikuler, hal-hal lucu dan sedih dsb) selalu mampu membuat siapa pun menjadi sentimentil (dan saya pikir, itulah tujuan utama yang diinginkan oleh Winna Efendi di dalam Tomodachii); dan 2) menarik antusiasme pembaca remaja yang masih bersekolah—khususnya SMA. Dan—ya, games school di bagian terakhir juga jadi hiburan tersendiri setelah rasa lelah sehabis menamatkan novel Tomodachi. Jangan lupakan fakta kalau kunci jawaban dari games school di seri Tomodachi akan ada di seri S.C.H.O.O.L—dan saya harus akui, Gagasmedia selalu punya ide segar untuk pemasaran karya-karya mereka. Jadi, setelah membahas hal-hal tampak luarnya, mari kita bahas Tomodachi lebih mendalam.
Seperti yang telah disebutkan di awal, Tomodachi adalah sebuah novel yang memiliki ‘cita rasa’ dan setting utama bernama: Jepang; dan.. sejumlah anomali, jangan lupa. Anomali pertama: penggunaan bahasa Jepang dalam narasi-deskripsi dan dialog. Awalnya, saya pikir, Yamaguchi Tomomi, tokoh utama (FYI, Tomodachi menggunakan sudut pandang orang pertama (yang berarti: menggunakan kata ‘aku’) sebagai ‘kamera’) dalam novel ini adalah orang Indonesia, sehingga, di beberapa bagian, mengharuskan Winna Efendi menyelipkan istilah dalam bahasa Jepang, namun anehnya, menjelaskan sendiri istilah tersebut di dalam narasinya sebagai tokoh utama. (Hal ini tentu akan berbeda kalau saja: 1) penulis menggunakan sudut pandang orang ketiga; atau 2) penjelasan diletakkan pada bagian catatan kaki). Maksud saya seperti ini, logis, gak, sih, kalau seseorang sedang memikirkan sebuah istilah/sesuatu, lalu dia menjelaskan istilah/sesuatu tersebut di dalam pikirannya? Mari kita ambil contohnya.
Satu. ‘Setiap pelosok negeri merayakan Festival Tanabata dengan megah. Hiasan kertas berupa fukinagashi yang menyerupai helaian benang tenun, juga bola-bola kertas warna-warni menggantung dari tiang-tiang bambu yang didirikan di sepanjang jalan besar.’ (Halaman 130) Apa yang saya maksud dengan menggangu adalah penggunaan kata ‘fukinagashi’ yang kemudian dijelaskan bahwa fukinagashi adalah helaian benang tenun.
Dua. ‘Somen adalah sejenis mie dingin yang menyerupai jalinan benang—mempresentasikan tenunan benang Dewi Orihime. (Halaman 136) Kali ini yang saya maksud adalah somen beserta penjelasannya yang membuat Tomodachi novel merangkap ensiklopedia. Dan masih ada beberapa contoh lainnya, yang dinarasikan serupa ensiklopedia. Saya mengerti apa yang dilakukan oleh Winna Efendi adalah sebuah upaya untuk menjadikan Tomodachi, selain sebagai novel yang menawarkan ‘kisah’ di dalamnya, pun menjadi semacam ‘penambah wawasan’ akan Jepang dan hal-hal menarik di dalamnya (ingat, cita rasa novel ini, kan). Saya tidak akan begitu mempermasalahkan, kalau penulis novel ini adalah penulis pemula—yang ikut-ikutan menulis novel dengan tema lokalitas dari negara lain, hanya karena novel bercita rasa dan setting negara luar negeri sedang diminati oleh pasar. Tapi. Karena penulisnya adalah seorang Winna Efendi, yang sebelum Tomodachi pun sudah pernah menulis novel dengan cita rasa Jepang dalam novel ‘Ai’-nya, saya masih tidak habis pikir, kenapa Winna Efendi menyisipkan penjelasan layaknya seperti sedang copy-paste dari Google. Selesai menamatkan buku ini, saya berpikir, bahwa seharusnya Winna Efendi mampu menyisipkan penjelasan dengan lebih mulus. Jauh.
Anomali berikutnya, adalah penggunaan bahasa Jepang di dalam dialog, yang lantas diselingi pula dengan penggunaan bahasa Indonesia. Saya duga, untuk pembaca awam, hal ini sama sekali tidak menganggu, malah bisa menambah perbendaharaan kata dalam bahasa Jepang. Tapi. Saya cukup yakin, untuk pembaca awas, hal ini cukup menganggu. Mengganggu yang saya maksud adalah, mari kita bayangkan sebuah film dengan Jepang sebagai latar belakangnya. Dari hal ini, sudah tentu kita bisa menebak, kalau bahasa yang digunakan di dalamnya adalah bahasa Jepang. Namun, di tengah-tengah cerita, tiba-tiba saja, para tokoh yang seharusnya berbahasa Jepang itu malah berbahasa Indonesia dengan lancar, malah, setelah berbahasa Indonesia, mereka akan menjelaskan apa yang mereka katakan dalam bahasa Indonesia ke bahasa Jepang. Tidak cukup aneh? Baiklah, mari kita ambil contoh, agar lebih mudah memahaminya.
Satu. ‘”Jangan takut, kau akan baik-baik saja. Kami ada di sini. Sore wa daijobudeshou.” Chiyo terus-menerus mengucapkannya dengan lembut, hingga tangi Tabitha mereda.’ (Halaman 87). See? Padahal, tanpa ada penggunaan frasa Sore wa daijobudeshou, kalimatnya sudah dapat dinikmati. Namun, begitu frasa Sore wa daijobudeshou diucapkan, saya langsung bertanya-tanya, kenapa Chiyo harus menggunakan bahasa Jepang? Lantas, sebelum-sebelumnya dia bicara menggunakan bahasa apa?
Dua. ‘Aku hanya tersenyum seraya berkata, “Watasjitachiha tomodachidakara. Tomodachi wa otagai ni tasukeau.” Karena kita teman, dan teman membantu satu sama lain.’ (Halaman 88). Nah, lihat yang saya maksud? Apa pentingnya tokoh ‘aku’ harus berkata dalam bahasa Jepang, kalau sejak awal dialog, hampir 95% menggunakan bahasa Indonesia (yang kita anggap adalah bahasa Jepang yang telah diartikan). Bukannya lebih bagus, kalau ketika berkata secara langsung, tokoh ‘aku’ menggunakan bahasa Indonesia, lalu di dalam narasi (yang jelas-jelas di dalam pikirannya) menggunakan bahasa Jepang, agar tidak tercipta anomali. Dan.. lagi-lagi, masih ada banyak contoh lain yang sejenis.
Anomali lain yang turut memperlemah bangunan dari Tomodachi adalah begitu banyaknya hal-hal yang terjadi—yang justru hal penting—dengan begitu tiba-tiba. Fakta kalau ternyata Tomoki memiliki ibu angkat, yang—kalau dibaca baik-baik pada bagian ketika Tomoki mengajak Tomomi makan malam bersama dengan keluarganya—anehnya, Winna Efendi, sama sekali tidak memberi clue atau semacam aba-aba kalau ternyata Tomoki memiliki ibu angkat. Hanya karena Tomomi akan memiliki ayah angkat, tiba-tiba saja, agar Tomoki bisa memiliki perasaan yang sama seperti yang dirasakan oleh Tomomi, penulis memunculkan fakta itu begitu saja. Padahal, kalau, mari berandai-andai, penulis menyisipkan hal-hal kecil yang menunjukkan indikasi bahwa ibu Tomoki yang muncul di bab makan malam bersama itu adalah seorang ibu angkat, twist yang terasa pasti akan lebih ‘wah’, alih-alih hanya menimbulkan ekspresi: ‘oh, gitu. Udah, gitu aja?’ dengan nada datar. Pun, fakta bahwa Ryuu ternyata menyukai Tomomi, yang dengan mudahnya ditunjukkan oleh penulis dalam satu bab pendek, tanpa tedeng aling-aling di bab-bab sebelumnya. Kadang, memikirkan hal-hal tiba-tiba yang dimunculkan oleh Winna Efendi, saya membayangkan dia seperti sedang kehabisan ide, lalu, agar kisah Tomodachi memiliki twist-twist yang ‘busetttt-melting-habis-gan’, dia menciptakan hal-hal itu sambil tertawa, lalu minum secangkir teh manis. Entahlah, tapi, di 1/3 pembacaan Tomodachi saya ragu, kalau-kalau penulis novel ini adalah Winna Efendi. Saya membayangkan lagi, ada seseorang yang menulis novel Tomodachi, lalu dengan tujuan agar novel tersebut laris, Gagasmedia meminta menggunakan nama ‘Winna Efendi’.
Sebagai penggemar novel ‘Refrain’, sekaligus novel pertama dari Winna Efendi yang saya baca, saya tidak bisa mengatakan puas setelah menamatkan Tomodachi. Apalagi, saya cukup gemas dengan upaya penulis, menggunakan hal-hal, perayaan-perayaan yang sudah umum, yang bisa ditemukan di Google, tentang Jepang, untuk meyakinkan pembacanya bahwa novel yang sedang dia tulis benar-benar bercitarasa dan setting utama Jepang, sementara nuansa di dalam novel itu sendiri sangat jauh dari Jepang—sebagaimana ketika saya membaca novel yang memang ditulis oleh penulis berkebangsaan Jepang itu sendiri.
Sebagai penutup, saya hanya bisa mengucapakan: Sayonara~, Selamat Tinggal~
Winna Efendi gak pernah gagal menghasilkan karya yang bagus dan banyak dinikmati pembacanya. Ceritanya selalu sederhana, selalu seputar persahabatan dan cinta. Namun, tetap saja karyanya mengagumkan!
Bagian yang menarik dari buku ini adalah di bagian awal dan bagian akhir, sementara pertengahan agak membosankan, terlalu banyak deskripsi. Bagian pertengahan dari buku ini seperti bukan karya Winna Efendi yang aku kenal :') hampir saja aku mau DNF, untung saja gak jadi. Endingnya bagus, aku suka.
Buku ini membuat aku kangen dengan masa-masa sekolah, serius aku kangen pakai seragam sekolah dan perasaan yang dirasakan saat pengumuman pembagian kelas. Sama persis yang dirasakan lima sahabat dalam buku ini, duo Tomo (Tomomi dan Tomoki), Chiyo, Tabi, dan Ryuu. Aku menyukai persahabatan mereka.
Simple, but successfully reminded me of high school. Ceritanya benar-benar sederhana, 'hanya' menggambarkan kehidupan anak SMA sehari-hari--seru dan berwarna. Nggak kebanyakan konflik yang bikin ribet. Persahabatannya menyenangkan dan cerita cintanya menggemaskan >.< narasinya... khas Winna Efendi. Rapi, ringan, dan mengalir. Selalu suka :) Suka banget sama karakter tokoh-tokohnya, terutama Tomomi dan Tomoki. So cute :---) mungkin next time Kak Winna bisa nulis cerita yang mengeksplor karakter lain? say... Chiyo dan Ryuu, atau ceritanya Tabi. Hehehe. Overall, always had a nice time reading your work, Kak Winna, keep writing! Can't wait for more :D
Ah, so here I am again, astonished with Winna Efendi's book.
Begitu buku ini tamat, muncul penyesalan. Kenapa nggak ngelarin dari awal? Hehehe. Jujur, saya sempat bosan di tengah-tengah buku sampai-sampai memutuskan buat break. Mungkin karena banyak ekspektasi saya yang meleset, dan mungkin karena saya terlalu membanding-bandingkan Tomodachi dengan Melbourne yang jujur, keren dan dalem abis.
Ekspektasi saya: lupa baca di mana, tapi katanya buku ini tentang friendzone. Maafkan bila salah, hahaha. Saya nyari-nyari letak friendzone-nya dan nggak menemukannya. Mungkin karena definisi friendzone saya itu... yang seperti Tom-Summer di (500) Days of Summer? Malah lebih terasa nuansa friendzone di Refrain. Buku ini lebih ke... apa ya, persahabatan manis dan menggapai impian?
Yang kedua, buku ini mangaaa banget. Se-manga itu. Di awal, adegannya agak cliche dan sering saya temui di manga shoujo (moga-moga tulisannya benar). Terlambat ke sekolah, accidentally satu tempat duduk, sepak bola dan senior kece serta siswi-siswi cantik yang memperebutkannya. Jadi manager klub, cewek yang kelihatannya bitchy karena doi jutek dari sononya. Aish. Saya kira ceritanya bakal semendobrak Melbourne (cewek yang kerja di radio pukul dua pagi dan cowok yang terobsesi pada cahaya? Hm).
Ekspektasi yang kedua: Tomoki cacat selamanya. Whoah, jahat bener ya, tapi serius, waktu baca penuturan ibu Tomoki yang bilang kemungkinan besar dia nggak akan bisa lari, saya kira itu sudah menjadi akhir. Tapi ternyata Tomoki masih bisa lari. Alhamdulillah, sih, tapi kok kesannya "nanggung" banget, ya? Bukannya saya berharap Tomoki bakal cacat selamanya, soalnya jelas, buku ini bakal nggak seseru dan se-fun nama seri beserta akronimnya: Seven Complicated Hours of Our Lives. Bakal terlalu dark dan kehilangan sisi manganya. Jadi yah, bisa dibilang saya bersyukur Kak Winna "menyembuhkan" Tomoki.
Satu hal yang saya kagumi dari semua novel Kak Winna yang latarnya di luar negeri adalah... kedalaman risetnya. Banyak banget budaya dan istilah Jepang yang baru saya tahu, yang membuktikan determinasi Kak Winna yang nggak setengah-setengah dalam menulis karyanya. Contohnya kancing baju itu, hehehe. Asli, itu detail yang kecil, cuma membuat cerita jadi lebih berarti.
Saya juga mulai suka Tomodachi sejak bagian planetarium, Tomomi yang jadi astronot dan Tomoki aliennya. Itu rada surprising. Kreatif banget, deh. Dan gaya kepenulisannya Kak Winna juga nggak berubah dari dulu sampe sekarang, writing voice-nya terasaaa banget.
Over all, saya suka buku ini, dan lebih suka lagi karena alur ceritanya yang bumbu romansanya nggak over match dengan judulnya: Tomodachi alias pren alias teman. I'm looking forward to your next book, Kak Winna. Katanya September, ya, hehehe? *ketahuan stalker*
Let's see how many stars fall: Cover: ★ ★ ★ ★ Plot: ★ ★ ★ Writing: ★ ★ ★ ★ ★ Characters: ★ ★ ★ ★
Ada satu kalimat yang sering saya dengar di anime, drama, atau film jepang: Watashitachi tomodachi dakara - Because we are friends. Novel ini mewakili kalimat tersebut, sama halnya dengan judulnya. Sebuah persahabatan masa SMA yang terbentuk ketulusan.
Ceritanya sederhana, tetapi mendalam. Bagi penggemar manga, terutama shoujo (manga cewek), pasti pernah menemukan pola cerita semacam ini. Perasaan tersembunyi yang disimpan bertahun-tahun, persahabatan yang dimulai dari ketidaksukaan, perjuangan menggapai mimpi, perubahan rasa terhadap sahabat. Setidaknya, hal-hal itu pernah ditemukan di beberapa shoujo walaupun tidak lengkap berada dalam satu shoujo. Shounen (manga cowok) favorit saya juga mempunyai hal-hal itu, minus perasaan tersembunyi selama bertahun-tahun.
Sepanjang membaca bukunya winna efendi ini, saya berkali-kali merinding, entah karena apa. Mungkin karena winna dapat membuat saya merasakan dan membayangkan beberapa adegan di dalam buku ini. Seolah saya berada di dekat tokoh-tokoh yang ia ceritakan.
"Dan aku menyadari, aku telah jatuh cinta kepada Tomoki."
Kira-kira begitu kalimat yang Tomomi sebutkan saat Tomoki mengalungkan tasuki di lehernya. Dan kalimat ini membuat saya tersenyum, ya saya turut merasakan debar yang Tomomi alami.
Winna efendi, sejauh ini, tidak pernah mengecewakan. Saya selalu dibuat nyaman setiap kali melahap kisah-kisah sederhana yang amat manis darinya.
Terima kasih untuk persahabatan, keluarga yang hangat, cinta, dan pahitnya kehilangan. Tomodachi, membuat saya merasa semakin jatuh cinta pada Jepang.
Saya seperti membaca manga dan menonton animasi secara bersamaan. Keseluruhan novel ini tak diragukan lagi untuk dibaca. Cerita menarik khas penulis pun selalu terlihat di setiap bab. Entah mengapa saya tak akan pernah tak suka apa pun yang ditulis Winna Efendi. Semuanya terlihat sangat luar biasa mengangumkan. Tak heran sudah dua novelnya diangkat ke layar bioskop. Saya juga ingin Tomodachi ini diangkat ke layar bioskop dengan catatan, animasi. Saya sejak menamatkan novel ini yang dibayangan saya cerita ini cocok menjadi sebuah animasi. Entah karena memang latarnya jepang atau bagaimana, tetapi sangat sesuai.
SATU lagi karya Winna yang berhasil membuat kisah sederhana menjadi manis. Gaya bahasanya pun simpel, tetapi entah mengapa terasa hangat dibaca. Setting Jepang di novel ini juga mencuat. Plotnya tersusun rapi sampai halaman terakhir, tapi sayangnya saya belum bisa menautkan 5 bintang karena saya kepingin membaca buku Winna dengan ide yang benar-benar berbeda. Berbeda dari novel-novel sebelumnya.
Saya akan tetap menunggu karya Winna selanjutnya. :)
Tomomi and Tomoki, they're so cute couple. When i'm thinking about them, the manga or anime couples come to my mind. Yes i borrowed the book from friend but no doubt i'll buy it someday. Looking forward for your masterpiece kak Winna :)
Ah, keren bangetlah ~ Dua Tomo ini benar-benar mengajarkan tentang mimpi dan perjuangan dan tentu saja persahabatan. Kak Winna selalu mengangkat tema tentang persahabatan dan aku tak pernah bosan >.< Mulai hari ini aku nggak mau menyerah lagi dengan mimpi-mimpiku! Semangat! ^^
Tomoki dan tomomiii❤️❤️ Ka winna bagus banget dalam hal bikin detail dan mendeskripsikan situasi yang dialami tokoh tokohnyaa!! Ih gila speechless banget, yang belum beli harus beli novel ini cepetan! Nanti keburu keabisan nyesel parah loh
Nggak pernah bosan baca cerita tentang sekolah, apalagi dengan gaya bahasa Kak Winna yang memang selalu rapi dan vibe yang heartwarming seperti Tomodachi. :)
Well,finally Fira selesai baca Tomodachi. Buku yang dibeli tanggal 17 Agustus 2014 ini akhirnya selesai dalem sehari,waktu aku lagi selo libur sekolah.(padahal besoknya ulangan sejarah) Oke aku bakal kasih review,semoga nggak panjang dan nggak bertele-tele. Sebelomnya,maaf banget kalo reviewnya nggak sesuai dengan pendapat kalian pembaca lain. Aku cuma berpendapat,jadi tolong hargai. (Aku bingung mulai dari mana ._.)
Pertama tertarik sama buku ini karna cover bukunya unik(biasalah gagasmedia,covernya gemesh-gemesh banget),kedua aku baca penulisnya ternyata Winna Efendi,(siapa,sih yang nggak kenal Winna Efendi?Orang yang maniak novel pasti taulah,2 buku udah diadaptasi jadi film,omg.),dan yang terakhir,yang pasti semua orang lakuin setelah liat cover dan penulisnya,pastilah baca sinopsisnya. Dan astaga,aku seolah olah kaya kesihir gitu lho sama sinopsisnya(alay,maafkan,ya).Sinopsisnya bener-bener mendukung buku Tomodachi ini buat dibeli.Aku ngrasa dari sinopsinya ini ada sesuatu,kaya perasaan yang bakal,(apa ya?)campur aduk,ada seneng,sedih,kecewa,dllnya.Tapi ada sesuatu yang lebih dari itu,tapi aku nggak tau apa.
Kedua,ini keberapa kalinya aku nyesel 'kenapa nggak langsung dibaca setelah dibeli'.Kalian pernah ngrasa dimana kalian bener-bener lagi ada di titik jenuh baca buku,dan sayangnya,mood down bacaku jatuh waktu aku mau nglanjutin baca ke novel Tomodachi ini,dan alasan lainnya,buku ini berlatarkan JEPANG,bukannya aku nggak suka Jepang,justru aku suka banget,tapi aku ngerasa semacam (apa,ya?)trauma gitulah,karna pernah baca novel berlatarkan Jepang tapi ternyata ceritanya nggak memuaskan dan bikin bingung,dan sekarang aku nyesel baru bisa selesai baca sekarang,karna Tomodchi ini (gimana,ya?) menurutku emang cocok banget buat anak-anak seusia sekolah SMA,konfliknya sederhana,tapi cukup bisa buat menguras hati(??)dan menambah wawasan banget,bener-bener untung bangetlah beli buku ini.
Ketiga,di bab awal,jujur aja aku rada males,soalnya pembukaan dari cerita ini agak mainstream.'Pertemuan pertama waktu hari pertama masuk sekolah,antara cowok dan cewek,akhirnya mereka sekelas,punya temen.Si cewek dan sahabatnya suka sama kakak kelas tapi perasaanya nggak terbalaskan'.Mungkin menurut pembaca yang lain itu sweet banget,tapi kesan yang aku dapet setelah aku baca,aku malah kaya baca novel teenlit,terlalu klise. Tapi aku tau,tipe penulis kaya Winna Efendi itu kaya gimana,(bukanya aku sok tau) pasti dia punya kejutan-kejutan tersendiri dibukunya.Makanya aku lanjut baca..
Keempat,mulai pertengahan cerita aku mulai nikmatin ceritanya,ceritanya ngalir bebas,dan enak banget buat dibaca.Nggak terlalu banyak dialog,tapi untungnya nggak membosankan(asik banget malah).Dan dari sini aku mulai sadar,buku ini sedikit demi sedikit ngajarin tentang budaya-budaya yang ada di Jepang,dan secera nggak langsung itu nambah pengetahuan budaya-budaya,tradisi-tradisi,kebiasaan-kebiasaan,dllnya yang ada di Jepang,dan salah satunya tentang perlombaan ekiden yang ternyata kalo diliat-liat seru banget,aku juga jadi sedikit tau bahasa-bahasa Jepang,dan menurutku itu bermanfaat banget.Aku jadi lebih punya perasaan terbuka sama dunia luar.
Kelima,kaya yang udah aku bilang diatas,konfliknya cukup sederhana,dan nggak jauh-jauh sama konflik yang dialamnin anak-anak SMA.Bedanya dari novel-novel lainnya,disini aku nemu hal yang emang seharusnya nggak usah dibesar besarin kaya di novel lain,misalnya ada adegan kalah lomba,mungkin dinovel lain,penggambarannya bakal ditulis kalau si tokoh itu kecewa berat,sampai rasanya frusasi,tapi di novel ini tuh malah kebalikannya,ada kesan sederhana,nggak melebih lebihkan,&penuh semangat,contoh lainya,ada permasalahan dalam persahabatan mereka(para tokoh di Tomodachi)yang biasanya di buat rumit dan panjang lebar di novel lain (bukannya novel yang konfliknya rumit adalah novel jelek,novel punya tipe-tipenya sendiri),tapi dinovel ini penyelesaiannya malah bener-bener nggak pake banyak cingcong dan ya udah,selesai,tanpa buat si pembaca kecewa,dan ngrasa kaya 'lhah ini penyelesaiinya kek gini doang,yang bener aja?',enggak!Dan jangan kira karna buku ini aku bilang sederhana,pembaca jadi males bacanya,justru buku ini asik banget,dan perasaanya kalian bakal campur aduk baca buku ini.Kalian bakalan ngerasa rileks dan ringan banget baca buku ini. Disini arti sederhana nggak sama kaya kesa 'klise',jadi jangan salah paham.
Keenam,aku sangat sangat suka adanya pembagian cerita menurut musim,Spring,Summer,Autumn,Winter.Bukan berarti setiap ganti bagian cerita,(misalnya dari Spring ke Summer)ceritanya bakalan beda.Ceritanya tetep sama kok,tetep nglanjutin cerita sebelumnya,tapi musim-musim itu lebih untuk menggambarkan suasana perasaan yang bakal diceritain(iya nggak sih?maaf kalo aku salah,kesan yang aku tangkep kaya gitu soalnya).Dan itu keren banget,aku sebagai pembaca jadi lebih semangat bacanya.
Ketuju,penulis berhasil banget bikin pembaca ngefly tinggi diakhir cerita.Menurutku endingnya biasa aja (nggak juga sih),sebenernya ending ditempat sebagus apapun,seromantis apapun,kalau si penulisnya nggak bisa menggambarkan perasaan sang tokoh dengan benar,feelnya tetep aja nggak bakal dapet.Kaya ending Tomodachi ini,endingnya bisa dibilang romantis dan nggak bikin pembaca kecewa walaupun itu nggak ditempat-tempat romantis ataupun dalam suasana yang mellow.Justru ending dari cerita ini bukan ending yang seperti bahagia tapi sendu/bahagia tapi mellow,tapi endingnya bener-bener dalam suasana dimana tokohnya nggak harus ngerasa mellow-mellowan dulu tapi langsung to the point. Dan inilah yang aku salut dari ending cerita ini,ada sesuatu di ending cerita ini yang beda sama novel-novel lainya.Cara kak Winna nulis ending ini bener-bener kreativ,dan nggak mainstream.Aku suka (banget,banget).
Kedelapan,kalian nggak bakal nyesel beli novel ini,karna novel ini isinya emang bener-bener terjamin bagus.Gagas media selalu aja punya ide-ide unik dalam novelnya.Kali ini di Tomodachi ada lembar buku yang dikhususkan buat diisi sama si pembacanya,misalnya ada School&My Extraculicular,In My Life Today,The Truth about Me,dllnya.Keren bangetkan?Jadi setidaknya pembaca dikasih kesempatan buat sharing tentang pengalaman-pengalamannya di sekolah. Di lembar terakhir buku Tomodachi juga ada beberapa games,contohnya Sudoku,dllnya.Walaupun bagi sebagian pembaca (mungkin)itu nggak penting,tapi justru aku sangat-sangat mengahrgai itu,karna dengan aku,sebagai pembaca jadi merasa kalo buku ini nggak sekedar dibeli buat dibaca.Intinya buku ini jadi kelihatan lebih 'berkualitas'.
Tomodachi ini sendiri adalah bagian kedua dari 'proyek' gagas media yang judulnya SCHOOL(Seven Complicated Hour of Our Life).Yang pertama namanya School:Chemistry (http://www.gagasmedia.net/atikel-buku...) Buku ini bukan lanjutan dari School:Chemistry,tapi buku ini merupakan salah satu novel yang terbit dalam suatu tema besar yaitu SCHOOL(Seven Complicated Hours of Our Life).
NAH! Mungkin segitu aja reviewku,maaf kalo terlalu panjang,dan ada bagian dimana aku malah curcol.Maaf banget,bukanya aku main-main sama reviewku ini,justru aku serius dan nggak bohong. Maaf kalo aku bending-bandingin antara novel ini dan novel lain,bukan maksudku untuk kaya gitu,sekali lagi,tolong hargai,itu caraku buat kasih review ini. Pokoknya ku ucapin makasih sebanyak-banyaknya ke kalian para pembaca yang udah mau menghargai dan capek-capek baca reviewku ini. Arigatou-ne.^^ XOXO.
This entire review has been hidden because of spoilers.
"Beranilah..., jangan sampai suatu hari nanti, kau berbalik dan berharap, segala sesuatunya berakhir dengan cara yang berbeda." (Hal.340) . . . ❤ Tomodachi dan kisah yang dihadirkan mba Winna Efendi sukses membuat saya bernostalgia juga merindukan masa-masa sekolah. Tiap bagian dalam cerita menggambarkan dengan apik tentang romansa dan masa remaja yang penuh harapan serta mimpi yang hendak diperjuangkan.
❤ Membaca novel Tomodachi ini memberikan pengalaman membaca yang menyenangkan bagi saya, karena kisah tentang sepasang remaja dengan nama yang terdengar mirip ini membuat saya merasa seperti sedang membaca manga yang sudah diterjemahkan, yang menyajikan kisah keseharian yang mungkin sederhana namun tetap memiliki arti dengan permasalahan yang hadir.
❤ Sudah bisa saya pastikan jika Ryuu adalah karakter favorit saya dalam novel ini, walaupun semangat Tomoki dalam Ekiden adalah bagian yang membuat saya amat terkesan.
❤ Interaksi Tomoki dan Tomomi tidak henti membuat suasana hati saya cukup sering berganti. Porsi bagian yang manis dan bagian lainnya yang terasa penuh akan harapan dalam novel ini terasa pas.
❤ Ekiden dan beberapa unsur budaya dalam novel ini turut andil dalam memperkaya juga menguatkan nuansa Jepang sebagai lokasi untuk cerita didalam novel ini.
❤ Kejutan dari novel ini justru dihadirkan oleh salah satu tokoh yang digambarkan cukup misterius. Tokoh ini berhasil membuat saya menyukai karakternya yang seperti sulit ditebak isi pikirannya 😍
❤ Desain kover yang sederhana namun berhasil memvisualisasikan desain bernuansa Jepang.
❤ Ingin bernostalgia dengan masa-masa di bangku sekolah? Atau kalian menyukai novel dengan latar Jepang? Iya iya, maka lalian bisa coba membaca novel ini.
Tomodachi adalah novel ketiga karya Winna Efendi yang aku baca setelah Happily Ever After dan Someday.
Dan pastinya, aku selalu suka dengan gaya bahasa kak Winna, ide ceritanya dan karakter-karakter tokoh yang telah diciptakan.
Oke, here we go...
Tomodachi menceritakan tentang lima anak remaja yang menjalani tahun pertamanya di sekolah menengah atas yaitu Katakura Gakuen.
Menggunakan sudut pandang orang pertama yaitu Tomomi. Seorang gadis yang awalnya masuke ke Katakura Gakuen karena ia ingin bertemu kembali dengan 'senpai'nya dulu di klub sepak bola.
Hari pertama sekolahnya, ia bertemu dengan Tomoki, anak laki-laki yang selalu membuat Tomomi kesal. Cerita berlanjut hingga Tomomi masuk ke klub atletik.
Inilah yang membuatku selalu jatuh cinta pada karya2 kak Winna, tema tentang persahabatan, teman, keluarga bahkan rasa suka pada seseorang dengan porsi yang pas. Sederhana tapi manis. Seperti Tomomi dan Tomoki ini.😊
I'm really love this story. 😘 Sukses buat kak Winna.
LOVE THIS BOOK SO MUCH!! Ini buku udah lama tau ko tapi baru gue baca iya :))
Di buku ini, Winna Efendi tuh ingin mengajak kita flashback ke masa sekolah dulu, ngerasain gimana persahabatan, konflik, tugas, sampe romance pun ga sepelik masa dewasa, dan hal itu dapet banget sih. Jujur gue bacanya beneran flashback ke jaman gue sekolah dulu, mengenang masa persahabatan yang lugu tapi asik, ikut ekskul sana sini, ngarepin kaka kelas, semua itu menggambarkan perasaan tiap orang dan dapet banget sih.
Cara Winna Efendi nulis ini tuh santai banget bener bener real yang terjadi (gue ngerasanya gitusih saking pure-nya). ga bertele-tele. cara ngubah sahabat jadi sayang tuh emang pure banget seneng aja bacanya.
Ceritanya bagus dan manis, khas Mbak Winna. Ceritanya sederhana, konfliknya nggak njelimet, dan mengalir pas dibaca. Dan, Mbak Winna selalu berhasil meramu sesimpel apa pun cerita hingga menjadi manis dan istimewa.
Nuansa Jepang-nya berasa banget.
Hanya, terlalu banyak deskripsi atau narasi yang kepanjangan dan kadang tidak penting. Jujur, untuk cerita seperti ini, 300+ halaman terasa kebanyakan. Mungkin bisa dipersingkat. Karena yah, banyak bagian yang saya lewati begitu saja.
Tomoki.... I love him. Dia karakter favoritku di novel Mbak Winna setelah Eli dan Theo. Manis, baik, perhatian, walau di luar kelihatan cuek.
karena memang suka nonton anime, saya bisa dengan mudah membayangkan seluruh rangkaian kisah tomodachi. bagaimana keseharian tomomi dan keempat sahabatnya, seperti apa aktivitas mereka di sekolah, atau betapa beragam dan serunya festival-festival di jepang.
sedikit-banyak saya juga bisa menebak ke mana kisah mereka bermuara.
hal tersebut membuat buku ini dapat selesai dalam waktu singkat. bagi saya yang sedang lelah menghadapi setumpuk tugas, tomodachi merupakan bacaan ringan dan bersahabat, serta bisa menjadi teman istirahat yang menyenangkan. :)
A sweet book about friendship & high school love. Actually motivate me to enjoy running. if I have to describe this book in a short sentence, I'd say this is that typical 12 episode shoujo anime but with a mix of Indonesian culture that feels easily relatable. Simple, sweet, and predictable in a good way. I especially love Tomoki's character & how similar he is to someone I used to have a crush on.
Though I do think there's some sentences that are too weeb-ish. Like Winna was trying too hard to capture that Japanese feel and ended up sounding like it was written by an overly romantic tourist.
Seperti judulnya, Tomodachi ini berlatar di Jepang dan bertemakan persahabatan. Menceritakan tentang persahabatan masa SMA antara Tomomi, Tomoki, Chiyo, Ryuu, dan Tabitha. Ceritanya sendiri berfokus pada kehidupan masa SMA, seperti persahabatan antar teman sekelas, cinta bertepuk sebelah tangan pada kakak kelas di sekolah, mengikuti ekstrakulikuler olahraga dan mengikuti kejuaraan, belajar untuk ujian, menemukan mimpi, dan juga diceritakan latar belakang keluarga dari tokoh-tokohnya. Ceritanya enak untuk diikuti sampai selesai, dan mengingatkan pada film-film Jepang bertema shoujo :)
Selalu suka tulisan Winna Efendi, manis dan ringan, seperti membaca manga. Apalagi disisipi animasi-animasi yang aku suka dari Ghibli Studio. Menariknya, Winna memasukkan tokoh-tokoh dari novel Ai, yaitu Toru, Natsu dan Sei! Novel Winna pertama yang aku baca dan langsung aku nobatkan sebagai favoritku. Novel ini sangat khas remaja, aku suka :)
Sebuah novel yang termasuk novel sekali duduk. Alurnya sangat ringan tetapi berkesan. Membacanya seperti nostalgia di zaman sekolah. Dimana merasakan kisah cinta pertama, persahabatan yang hangat, hingga berjuang mencapai cita-cita. Novel yang sudah aku baca sebanyak 3x dan tidak pernah bosan dengan kisah Tomoki dan Tomomi.
Ceritanya klise, tapi sangat menyentuh 'kokoro' ku sebagai sesama siswa dengan para tokoh. Romansa anak sekolah yang 'relate' sekali menurutku, kisah pertemanan mereka juga seru. Akhir ceritanya menurutku memuaskan pooolll.