Jump to ratings and reviews
Rate this book

Tempat Terbaik di Dunia: Pengalaman Seorang Antropolog Tinggal di Kawasan Kumuh Jakarta

Rate this book
"Mau ikut?” teriak seorang pemuda ke arah saya, di atas kebisingan deru mesin bus kota yang saya tumpangi. “Ke tempat terbaik di Indonesia. O tidak, ke tempat terbaik di dunia! Apa saja yang ingin kamu lakukan, bisa di sana, dan apa saja yang ingin kamu punya, ada di sana.”

Roanne van Voorst, seorang antropolog yang meneliti tentang respons manusia terhadap banjir, memutuskan mengikuti anak muda itu dan tiba di salah satu kampung kumuh termiskin di Jakarta. Dia menetap di sana lebih dari setahun, di sebuah rumah dari papan dan asbes. Semakin lama dia semakin mengenal tetangganya dan keadaan hidup mereka: kemelaratan luar biasa, ancaman penggusuran karena pemukiman itu ilegal, dan terutama pergulatan mereka dengan banjir dari sungai yang sangat tercemar. Dalam menghadapi masalah-masalah tersebut, penghuni pemukiman kumuh ini menemukan cara-cara yang efisien, kerap inovatif dan kreatif, yang mereka ajarkan kepada “anak angkat” mereka yang baru. Dengan informatif, intim, dan penuh humor, Roanne van Voorst memberikan wawasan unik tentang kehidupan penghuni kampung kumuh yang keras, tetapi pantang menyerah.

Buku ini mematahkan pra­sangka negatif dari para pejabat dan kelas menengah atas Indonesia yang cenderung mencap penghuni kampung kumuh sebagai kriminal dan pemalas, sekaligus juga pra­duga positif dari sebagian aktivis dan peneliti yang kerap memandang persoalan riil kemiskinan secara romantik.

192 pages, Paperback

First published February 1, 2016

20 people are currently reading
375 people want to read

About the author

Roanne van Voorst

18 books45 followers
Roanne van Voorst is a social scientist, author and public speaker. She has been doing research on the themes of risk, fear and courage for over a decade. Her fiction and non-fiction books have been internationally published.

Ratings & Reviews

What do you think?
Rate this book

Friends & Following

Create a free account to discover what your friends think of this book!

Community Reviews

5 stars
279 (59%)
4 stars
169 (36%)
3 stars
17 (3%)
2 stars
2 (<1%)
1 star
2 (<1%)
Displaying 1 - 30 of 115 reviews
Profile Image for Agie Soegiono.
30 reviews9 followers
September 9, 2018

Saya sering kali menghindari perdebatan dengan orang yang tidak mengerti “kesadaran kelas”. Lelah menjelaskan kepada mereka. Orang-orang ini menganggap “semua orang bisa sukses dan keluar dari jurang kemiskinan kalau dia berusaha”. Mereka biasanya sering menelan kata-kata Bill Gates mentah-mentah. Bill berkata “If you born poor, it’s not your mistake. If you die poor, it’s your mistake.” Mereka tidak pernah berpikir, seandainya Bill Gates lahir di salah satu negara Sub-sahara Afrika, apakah Bill tetap akan berhasil mendirikan Microsoft seperti sekarang? Otak brilian Bill Gates mungkin tidak akan bertemu dengan komputer karena perbedaan akses dan jaminan sosial yang begitu jauh. Kelas sosial-lah yang kemudian menjadi penentu signifikan. Buku dari Van Voorst menguatkan argumen ini. Permasalahan orang miskin jauh lebih kompleks dari yang kita kira. Permasalahan yang mungkin tidak cukup diselesaikan dengan pendekatan administrasi publik semata.

.

Sejak Butet Manurung, Roanne Van Voorst adalah orang yang membuat saya jatuh cinta kepada Antropologi. Buku ini menceritakan kisah Van Voorst ketika melaksanakan penelitian doktoralnya di salah satu kawasan kumuh rawan banjir di Jakarta. Dengan menggunakan metode observasi partisipatif, Van Voorst tinggal selama setahun di kawasan kumuh dan hidup Bersama dengan masyarakat Bantaran Kali. Sebagai antropologis, ia dapat lebih bisa mengerti dan merasakan apa yang sesungguhnya dihadapi orang-orang di Bantaran Kali dan bagaimana mereka menyelesaikan probelamtika-problematika tersebut. Kehidupan mereka bukan saja miskin, namun juga tidak aman. Banjir bisa saja menenggelamkan rumah mereka kapan saja. Pemerintah dapat secara tiba-tiba menggusur pemukiman mereka. Pemindahan ke rusun pun bukan jawaban, karena sebagian dari mereka bukanlah warga ber-KTP Jakarta yang secara otomatis tidak dapat mendapatkan akses kepada bantuan tersebut. Dengan pendapatan tidak menentu, tempat tinggal yang ilegal, sudah pasti juga mereka tidak bisa membuka rekening, mengakses layanan kesehatan di rumah sakit dan pendidikan di sekolah untuk orang miskin. Maka, penyelesaian masalah kemiskinan dan ketimpangan, harus dapat dilakukan di luar wilayah administrasi.

.

Di luar gambaran masalah kompleks tersebut, buku ini berhasil menunjukkan saya bahwa bangsa Indonesia adalah sebagai bangsa yang unik. Bangsa yang sangat komunal, mistis, susah diatur, namun memiliki semangat kekeluargaan yang sulit diukur dengan apapun untuk bertahan hidup. Dari kisah-kisah ini, saya meyakini pembacanya akan dapat bisa belajar untuk lebih memanusiakan manusia.
Profile Image for Kristoporus Primeloka.
116 reviews6 followers
February 8, 2021
Ini buku tentang kampung kumuh di Bantaran Kali (dugaan saya penelitian Roanne Van Voorst dilakukan di kampung pulo yang digusur sekitar bulan agustus 2015) yang diceritakan secara ringan, agar kita tidak buru-buru membuat stigma negatif terhadap kampung tersebut, juga agar kita tidak terlampau meromantisir kondisi kampung yang seolah normal-normal saja.

Seperti yang disebutkan bahwa persoalan bencana banjir seringkali lebih disebabkan masalah politik, maka sekurangnya ada 7 hal dalam 7 bab buku ini yang perlu diperhatikan jika pemerintah akan membuat kebijakan terhadap kampung kumuh terdampak banjir:
1. persoalan teknologi antisipasi bencana
2. persoalan status tanah dan hunian yang terjangkau
3. persoalan perijinan dan 'korupsi'
4. jaminan kesehatan
5. persoalan perempuan
6. jaminan keuangan
7. jaminan jejaring sosial

kalau kurang jelas, bisa baca sendiri ya.
semoga tidak ada lagi penggusuran.
Profile Image for ~:The N:~.
850 reviews55 followers
January 17, 2021
"Kamu bisa menulis tentang kami, kan? Tentang bagaimana dulunya di sini, juga tidak adil dan sungguh disayangkan semua ini dirusak? Suara kami tak pernah didengar karena kami cuma penghuni kampung kumuh. Tapi, kata-katamu setidaknya masih akan mendapat perhatian! Kamu bisa menceritakan kisah kami pada dunia." - Tikus.

Ada pelbagai rasa menyatu semasa menguliti buku ini-- hiba, ngilu, marah, namun adakalanya masih ada anekdot yang lucu-lucu. Buku ini merupakan hasil penelitian Roanne van Voorst, seorang ahli antropologi yang menetap di 'Bantaran Kali', salah satu kampung kumuh (atau setinggan) termiskin di Jakarta. Beliau menyelami kehidupan penduduk yang bergulat dengan pelbagai ancaman dan masalah sehari-hari serta cara-cara menyelesaikannya. Terdapat 7 perkara yang menjadi topik perbincangan dalam 7 bab (yang saya yakin terdapat perkara-perkara lain juga tetapi cuma ini yang diketengahkan):

1) tentang teknologi dalam menghadapi ancaman banjir
2) tentang status dan pemilikan tanah
3) tentang rasuah
4) tentang jaminan kesihatan
5) tentang seksualiti wanita
6) tentang tabungan dan kewangan
7) tentang hierarki dan kelompok sosial

Mahu saya katakan bahawa ini salah sebuah bacaan penting untuk mengetahui tentang isu sosial yang dialami kelompok marginal. Bagus untuk menghilangkan skeptik dan prasangka buruk bahawa golongan ini kriminal dan pemalas, malah dapat mengenal sisi lain mereka yang ternyata sangat menghargai tamu, dan saling bantu-membantu, meski mereka sendiri tidak punya apa-apa. Juga dapat mengetahui tentang pelbagai sistem dan birokrasi di Indonesia, sedikit sebanyak.

Saya amat menyenangi buku ini kerana terjemahannya yang begitu lancar, sehingga saya berasakan buku ini memang ditulis asli dalam bahasa Indonesia.

Saya tahu saya lebih suka berada di zon selesa, diam dalam busa privilege meski bukan tergolong kaum kayangan, saya tidak termasuk dalam 30 juta penduduk Indonesia yang masih hidup tanpa listrik, atau 28 juta orang Indonesia yang harus hidup dengan penghasilan kurang dari 2 dolar per hari, dan saya sudah cukup beruntung kerana tidak dilahirkan dalam masyarakat yang tinggal di kampung kumuh di Jakarta. Saya kira saya tidak cukup kuat dan mampu tinggal di kawasan kumuh seperti penulis walaupun untuk tempoh setahun demi menyantuni penghuninya.

Terima kasih Roanne, kerana melalui bacaan seumpama ini dapat memanusiakan saya kembali.
Profile Image for Devina Heriyanto.
372 reviews255 followers
July 26, 2020
"'Kaum miskin' itu tidak ada. Yang ada hanyalah individu-individu yang miskin." Roanne van Voorst dalam Tempat Terbaik di Dunia

Buku ini adalah catatan dari penelitian Roanne selama sekitar setahun tinggal di kawasan kumuh Jakarta, di sebuah kampung di pinggiran kali Ciliwung yang disebut dengan "Bantaran Kali". Meski judulnya demikian, Roanne tidak berusaha meromantisasi kehidupan warga kampung dan kemiskinan mereka.

Pada bagian pengantar saja, dia sudah membantah bahwa gagasan romantik bahwa orang miskin akan lebih rajin bekerja keras dan punya sifat solidaritas yang lebih tinggi. Ada orang miskin yang rajin bekerja, dan ada pula mereka yang dengan sigap membantu sesama, tapi ini bukan generalisasi yang seharusnya disempatkan pada semua orang yang hidup di bawah garis kemiskinan. Seperti kutipan di awal, kaum miskin itu tidak ada, karena generalisasi kaum miskin berarti menafikan keunikan manusia sebagai sebuah individu.

Sepanjang penelitiannya, Roanne tinggal di kampung dan menjadi akrab dengan beberapa penghuni. Sosok-sosok ini kemudian dinamakan sebagai Tikus, Enin, dan Neneng, yang masing-masing merupakan seorang pengamen sekaligus preman, pemilik kontrakan, dan pekerja seks. Lewat sosok-sosok ini dan penghuni kampung lain, Roanne memberikan wajah pada bahasan soal kemiskinan.

Beberapa isu besar seperti korupsi, kesehatan, dan akses terhadap jasa finansial dibahas secara membumi lewat kehidupan sehari-hari penduduk kampung. Sebagai antropolog, Roanne tidak memberikan nilai baik atau buruk, pun benar atau salah, tapi hanya menggambarkan dan berusaha memahami perilaku penduduk kampung sebagaimana adanya.

Buku ini tidak banyak memberikan angka atau statistik yang mencengangkan, tapi memberikan wajah dan narasi yang kompleks pada suatu hal yang sering kita abaikan dan salahartikan. Sebuah bacaan penting untuk mereka yang masih menganggap bahwa kemiskinan adalah sepenuhnya salah orang miskin.
Profile Image for Marina.
2,035 reviews359 followers
February 8, 2020
** Books 14 - 2020 **

Buku ini untuk menyelesaikan Tsundoku Books Challenge 2020

4 dari 5 bintang!


Sejak pertama kali saya melihat buku ini saya langsung penasaran dengan isinya bagaimana pendapat seorang antropolog Belanda ketika datang ke kawasan kumuh di Jakarta? Hal apakah yang ia ingin ketahui dan cari didalam sini?

Ketika baru membaca paragraf di halaman 10 saya sudah bisa memprediksikan kalau saya akan menyukai buku ini

"Jakarta sebagai kota yang tak gampang dicintai. Jakarta boleh saja menjadi daya tarik buat kebanyakan orang miskin atau para pencari kerja du Indonesia yang setiap tahun menyerbu kota ini, meskipun begitu berbagai penelitian juga menyebut Jakarta sebagai salah satu kota yang paling tidak nyaman untuk ditinggali. Terlalu banyak polusi, terlalu banyak penduduk, terlalu banyak kendaraan. Orang Jakarta rata-rata menghabiskan sekitar 400 jam per tahun dalam kemacetan" (Halaman 6)

Buku ini membuka mata kita akan sisi lain dari gemerlapnya kehidupan Jakarta dimana perkampungan kumuh yang sering kebanjiran setiap saatnya memberikan perspektif baru tentang Jakarta. Salah satu hal yang menarik dibuku ini ketika Roanne menceritakan pertentangan batinnya mengenai perlukah dia memberikan bayaran lebih kepada seseorang untuk mempermudah urusannya? Dimana hal tersebut tidak lazim di lakukan di Belanda namun disini seringkali kita lakukan sudahlah kasih lebih sedikit petugasnya biar urusan birokrasi disini kelarnya cepat

Lalu ada bab lainnya yang membahas jangan percaya dengan dokter dimana hal ini menggelitik saya karena orang-orang terdekat saya malah ada juga yang masih tidak percaya dengan dokter dan obat-obatan yang dikasih. Lebih banyak orang yang lebih percaya akan ramuan tradisional yang belum terbukti uji klinisnya ketimbang obat-obatan yang sudah jelas. Dibuku ini menceritakan ketika Roanne sakit malah disuru minum jamu yang tidak membantu penyembuhan tetapi malah membuat semakin lemas dan demam

Ada bab yang juga menceritakan selalu bersama dimana-mana yang membuat saya paham bagaimana rasanya Roanne yang terbiasa dengan konsep hidup individualisme di negaranya ketika datang ke Indonesia dimana semuanya harus dilakukan bersama-sama karena konsep gotong royong disini masih sangat kental. Saya paham sekali rasanya dimana kita melakukan hal yang seperti makan dan nonton sendirian dianggap aneh tapi tampaknya perlahan-lahan saya rasa budaya ini mulai berubah orang mulai masa bodoh dengan melakukan hal apa2 sendirian tidak tergantung dengan orang lain

Semoga dengan tinggal selama setahun di Bantar Kali Roanne gak kapok ya untuk kembali ke Indonesia lagi? :')

Terimakasih Patjarmerah 2020 Jakarta!



Profile Image for Rahmadiyanti.
Author 15 books173 followers
August 7, 2019
Teman saya yang tinggal di dekat bantaran kali Kampung Melayu sering kali bercanda saat "musim banjir" melanda dan rekan-rekan lain bertanya: "Gimana kondisi rumah?"

"Cuma semata kaki, kok... tapi di lantai dua," jawab teman saya. Dan kami pun tertawa. Miris. Itu artinya banjir kali itu minimal setinggi 2,5 meter.

Begitulah. Buat teman saya dan banyak lainnya warga bantaran kali, banjir adalah hal “biasa”. Mereka sudah punya cara mengatasinya. Meski begitu, bukan berarti mereka pasrah. Saat beberapa kali mengantar bantuan untuk korban banjir , saya menyaksikan bagaimana kondisi tempat tinggal warga bantaran kali . Bagaimana mereka bersiasat dengan bencana. Bagaimana mereka mereka cepat bangkit dari musibah.

Teman saya mungkin sedikit beruntung, karena rumah tempatnya tinggal cukup permanen dan letaknya masih. Tapi tidak bagi warga yang benar-benar menempati bantaran kali. Warga yang menjadi objek penelitian penulis buku ini untuk disertasinya.

Selama setahun Roanne van Voorst tinggal di bantaran kali (saya cukup yakin menebak daerah tersebut adalah Kampung Pulo, Kampung Melayu :). Ia melakukan penelitian yang di kemudian hari menjadi disertasi berjudul Get ready for the flood: Risk-handling styles in Jakarta, Indonesia. Buku ini sendiri bukanlah hasil penelitian tersebut, tapi semacam memoar yang Roanne tulis, refleksinya saat bersentuhan langsung dengan warga bantaran kali untuk melakukan penelitian.

Keseharian warga bantaran kali diungkap dengan lugas dan diselipi humor menggelitik. Bagaimana warga bertahap hidup, kehidupan komunal warga kelas bawah, sikap pejabat dan aparat yang seringkali berprasangka negatif terhadap warga miskin, transportasi publik yang busuk, korupsi dan kebiasaan aparat yang mata duitan, hingga soal jejaring sosial dan penggusuran.

Sebenarnya hal-hal yang diungkap Roanne, sudah cukup banyak juga ditulis dan diungkap oleh jurnalis atau aktivis sosial. Namun memang pengalaman Roanne tinggal langsung dan berbaur dengan warga bantaran kali selama setahun membuat buku ini terasa pekat dan emosional. Paling emosional di bagian penggusuran. Membaca paparan Tikus tentang penggusuran tersebut pada Roanne (yang telah kembali ke Belanada), saya yakin (lagi) ini adalah penggusuran Kampung Pulo pada Agustus 2015 yang rusuh.

Ada sedikit hal mengganggu dari cara penulis memilih istilah sudut pandang dialog warga, yakni “aku”. Menurut saya, yang lahir dan besar di Jakarta dan cukup dekat dengan daerah bantaran kali, sangat jarang sekali warga menggunakan “aku” dalam percakapan sehari-hari. Penggunaan “saya” mungkin lebih pas.

3,5 stars untuk buku ini.
Profile Image for Tara Reysa.
47 reviews7 followers
August 11, 2020
Buku yang sangat ingin kujejelkan ke orang-orang yang belum paham soal ketimpangan kelas dan permasalahan sistemik. Aku membagi buku ini menjadi dua poin: yang pertama, tentang kesanku terhadap kegiatan Roanne sebagai antropolog, dan yang ke dua tentang kehidupan dan tatanan sosial di Bantaran Kali.

Untuk poin pertama, tentu aku sangat kagum dengan kegiatan Roanne. What a dream. Roanne menceritakan penelitiannya dengan cukup detail, yang membuat buku setipis ini menjadi substantif. Cerita Roanne ini seperti memberikan gambaran nyata atas materi-materi kualitatif yang ku dapatkan dari buku teori dan ceramah dosen. Ke depannya mungkin aku akan lebih banyak membaca buku tentang penelitian yang tidak ditulis sekaku dan seakademik jurnal, tapi mengalir seperti buku ini.

Ke dua, buku ini juga memberi tahu kalau kehidupan di Bantaran Kali, yang serba terlihat sementata itu juga memiliki sistem dan tatanan sosial sendiri. Tikus, Pinter, Yusuf, Yanti, dan lainnya memiliki perannya masing-masing di tengah masyarakat mereka, sama seperti di masyarakat kita, dan masyarakat lain di luar sana. Tentu poin ini jarang sekali disorot oleh media atau pihak manapun yang selalu fokus seputar problem-problem di dalamnya saja. Dan tentu saja, seperti yang ku tulis di atas, kemiskinan struktural dan sistemik itu sangat nyata. Bantaran Kali mungkin hanya salah satu contoh produk dari sistem yang ancur ini, bagaikan iceberg phenomenon.

A legit five stars ⭐⭐⭐⭐⭐
Walaupun tentu saja masih banyak hal yang perlu digali lebih dalam dari cerita-cerita Roanne.
Profile Image for Esmeralda Hübner.
4 reviews
September 30, 2025
Tijdens het lezen kwam bij mij een heel scala aan emoties voorbij: verbazing, ongeloof, verdriet, schaamte (daar zit je dan, op de bank met je kopje thee in je comfortabele huis te lezen over zoveel armoede) en heb ook veel moeten lachen. Het boek leest lekker weg. Hartverwarmend. Een aanrader!!
Profile Image for mahatmanto.
545 reviews38 followers
February 20, 2021
kasus permukiman bantaran sungai ciliwung di jakarta jadi penuh pelajaran bagi penulis ini. selain kompleksitas hidup bermasyarakat di sana berbeda dari tempatnya tinggal di belanda, juga tulisannya menjadi catatan historis, sebab tempatnya tinggal di sana itu kini telah tiada, digusur oleh yang berwajib menata kota.
dasarnya roarke ini memang trampil menulis, sehingga kisah permukiman bantar sungai ini menjadi kaya, dan kita maklum dengan kemampuannya itu.
ia produktif sekali menulis.
jarak kultural antara dia dengan masyarakat tempat tinggalnya memungkinkan ia melihat dengan lebih obyektif gejala-gejala sosio antropologis masyarakat bantaran sungai.
selebihnya, menurut saya, sudah sering kita baca tentang permukiman pinggiran seperti ini.
agak males saya selesaikan buku ini, karena halaman-halaman awalnya tidak memikat saya untuk membuka halaman lebih lanjut. bahasanya datar...
ya sudah, nanti kalau kober saja saya lanjutkan.
Profile Image for Bagus.
474 reviews93 followers
July 15, 2021
Roanne van Voorst menemukan de beste plek ter wereld—tempat terbaik di dunia saat melakukan survei untuk penelitiannya tentang aspek sosial dari banjir. Sudah banyak penelitian yang mengkaji fenomena banjir di Jakarta dari segi manajemen pengairan, namun masih sedikit kajian mengenai dampak banjir bagi masyarakat miskin kota. Kondisi Belanda tempat Roanne berasal sangat bertolak belakang dengan kampung Bantaran Kali tempat dirinya menghabiskan waktunya selama setahun mengamati kondisi dan situasi sosial yang berlangsung dalam kampung itu. Selama setahun, Roanne belajar melupakan kenyamanan dirinya saat di Belanda yang masih bisa menikmati banyak momen-momen penuh privasi dan mengikuti kursus yoga, demi mendapat kesempatan mengamati kehidupan masyarakat Bantaran Kali yang sangat komunal dan membawanya pada observasi partisipatif—dengan kata lain, ikut tinggal dan menjadi bagian dari objek penelitian yang diobservasinya.

“Sudah biasa,” adalah kata yang kerap kali berulang dari ujaran penduduk Bantaran Kali tentang banjir. Banjir bukan lagi suatu musibah, namun menjadi suatu kebiasaan yang dianggap sebagai suatu kewajaran. Banjir memang berbahaya dan tidak sedikit warga Bantaran Kali yang kehilangan tempat tinggalnya akibat banjir, namun tetap akan selalu ada pihak-pihak yang diuntungkan oleh adanya banjir. Seperti misalnya, para pemilik portofon—walkie talkie yang digunakan oleh beberapa penduduk kampung yang berkecukupan untuk berkomunikasi dengan penjaga pintu air untuk mendeteksi adanya bahaya banjir. Harga portofon yang mahal membuatnya tak bisa dimiliki oleh setiap orang, namun kepemilikan portofon menjadi suatu indikator tingginya posisi seseorang di masyarakat Bantaran Kali.

Status yang dimiliki portofon bukan hanya karena alat itu bisa menangkap informasi tetapi juga karena dengan alat itu, mereka bisa berkomunikasi dengan pegawai pemerintahan. Bagi orang miskin di Indonesia, orang-orang yang bekerja untuk pemerintah adalah orang berstatus tinggi, seperti halnya pegawai kantor pemerintahan, militer, dan juga penjaga pintu air.
—Roanne van Voorst, Hal. 49


Walaupun pada awalnya buku ini menyuguhkan observasi Roanne tentang langkah mitigasi banjir di masyarakat Bantaran Kali yang menganut asas gotong-royong, observasinya di beberapa bagian buku ini menyentuh banyak karakteristik yang unik dan jauh dari stereotipe masyarakat miskin kota. Umumnya, masyarakat miskin kota dipandang sebelah mata oleh para pejabat pemerintah yang merasa keberadaan mereka di sekitar kali membuat perencanaan tata kota menjadi berantakan. Mereka dipandang sebagai penduduk ilegal yang tak tercatat, tak memiliki kekuatan di hadapan hukum, serta secara rutin terlibat dalam aksi kejahatan untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya. Namun sebagai antropolog, Roanne mencoba mengajak kita keluar dari kotak stereotipe yang umum berkembang tentang masyarakat miskin kota. Lewat buku ini, Roanne mengajak pembacanya untuk memanusiakan para tetangganya yang memiliki bermacam-macam profesi: Tikus sang pengamen yang berjiwa entrepreneurial, Neneng sang pekerja seks yang berjuang menghidupi anaknya yang soleh usai kematian suaminya, Pinter sang bankir keliling yang menawarkan sistem menabung dan keuangan mikro demi mendukung roda ekonomi kampung Bantaran Kali, dan berbagai macam karakter yang menarik untuk dieksplorasi lebih lanjut.

Jika ditilik lebih lanjut, masyarakat miskin kota memiliki asal muasal yang kompleks, dan ada beragam alasan yang kemudian menutup pintu mereka untuk memperbaiki kualitas hidupnya menjadi lebih baik. Ada faktor internal yang mempengaruhinya, seperti misalnya kecenderungan mereka untuk menjaga kehidupan mereka agar tetap self-sufficient, segala sesuatunya dapat diselesaikan dengan kreativitas yang mungkin akan membuat kita yang merasakan hidup nyaman tercengang, contohnya: ide Tikus untuk mendirikan pusat kebugaran dengan menggunakan perkakas bekas pakai. Lalu ada juga faktor eksternal seperti tertutupnya akses generasi muda di kampung tersebut pada pendidikan yang lebih baik dan akses perbankan karena ketiadaan status hukum yang jelas bagi mereka sebagai penduduk Jakarta. Di luar penduduk kampung kumuh tersebut pun, masih begitu bercabang permasalahan kependudukan Jakarta yang memang di siang hari kian dipadati oleh para komuter dan perantau dari berbagai daerah di Indonesia yang identitasnya masih tertaut dengan daerah asal mereka.

…karena peneliti kualitatif yang radikal selalu ikut serta dalam kegiatan sehari-hari yang terjadi di lingkungan objek yang ditelitinya, sekalipun jika kegiatan tersebut dirasakan sebagai sesuatu yang tidak menyenangkan atau janggal. Metode ini dikenal sebagai “observasi partisipatif.”
—Roanne van Voorst, Hal. 126


Yang jadi hal menariknya dari buku ini, mungkin karena segala sesuatunya diceritakan secara sporadis tanpa adanya suatu garis waktu yang singular. Roanne mencoba menyuguhkan kajiannya tentang masyarakat Bantaran Kali melalui topik-topik yang merangkum depiksi kampung itu sebagai tempat terbaik di dunia. Di samping pengalamannya mengenai banjir, ada juga cerita-cerita senang dan sedih, persepsi kesehatan, pergolakan perekonomian kampung, ciri khas komunal yang masih tetap kental dalam masyarakat miskin kota, dan berbagai cerita lain yang mencoba melihat sosok penghuni kampung sebagai manusia dan melawan stereotipe yang umumnya berkembang.

Ringan, tidak menghakimi, dan ditulis oleh seorang antropolog yang dapat melihat kontras yang terjadi antara tempat asalnya dengan kampung yang menjadi objek observasinya, saya merekomendasikan buku ini untuk memahami kompleksitas masyarakat miskin kota yang kini makin tersudutkan oleh wabah COVID-19.
Profile Image for Vita.
12 reviews
August 6, 2019
Sensasi akhir setelah baca buku antropologi selalu sama, mataku basah melihat realitas lain di luar lingkungan dan kebiasaanku. Pertama, karena bagiku menjadi pekerja lapangan itu bukan sesuatu yang mudah, lebih-lebih bila berhadapan dengan beragam manusia dengan isi kepala yang berbeda-beda. Kedua, realitas sosial yang digambarkan sering kali mempertegas kalau keberadaanku sebetulnya jauh lebih baik dari sekelompok masyarakat yang ada dalam buku.

Membaca buku ini seolah-olah menarik memori saat K2N. Ada rasa ingin kembali ke sana dan keengganan dalam waktu yang sama. Perasaan-perasaan haru saat mengakhiri kegiatan, semangat berbagi, dan kebanggaan tersendiri saat menyadari bahwa telah berjalan sejauh itu.

Aku tidak menampik bahwa sebelum membaca buku ini, aku sering sekali berlaku skeptis pada masyarakat marginal yang hidup di permukiman kumuh. Di bab awal, Roanne seakan membaca pikiranku, ia menulis tentang bagaimana masyarakat di luar permukiman kumuh menganggap orang-orang yang hidup di sana berkelakuan kriminal, agresif, dan malas. Mungkin memang ada segelintir orang yang berlaku demikian, namun di luar itu budaya kolektivisme juga melekat di sana.

Tidak banyak hal baru yang kutemukan dalam buku itu, sebab rata-rata masyarakat Indonesia menganut cara kerja yang sama. Misalnya "uang pelicin" dalam beberapa keperluan, arisan, bertetangga, dsb. Itu terjadi mungkin karena kita dididik secara turun-temurun dengan ajaran orang tua dan ajaran agama yang sama.

Bagi Orang Bantaran Kali mendapatkan citra baik dari orang lain adalah bentuk investasi. Misalnya dengan memberikan sumbangan untuk mendapatkan sumbangan balik dari para tetangga saat membutuhkan, kemudian memperoleh citra baik dari para peminjam uang demi mendapatkan pinjaman saat terhimpit kebutuhan.

Selain itu, mengenakan atribut jabatan tertentu adalah bentuk jaminan keamanan. Orang-orang Bantaran Kali, atau di tempatku tinggal mengenakan kaos bermotif seragam TNI adalah cara membentuk citra relasi mereka. Mereka merasa aman membentuk identitas yang sama dengan orang-orang yang memiliki jabatan di kursi pemerintahan. Contoh lainnya adalah dengan memasang stiker lembaga tertentu di kendaraan untuk mengamankannya dari razia polisi.

Bagi orang-orang di Bantaran kali, keduanya adalah cara yang baik untuk mengamankan finansial mereka. Orang-orang Bantaran memiliki jam kerja yang panjang, namun banyak juga yang tidak memiliki jaminan keamanan dan keselamatan kerja.

Di sana, tidak ada kesenjangan sosial dalam lingkup masyarakat Bantaran Kali sebab sebagian besar orang berpenghasilan sama atau tak jauh beda. Namun, bagi orang-orang yang dekat dengan bencana banjir, memiliki portofon (alat untuk memprediksi banjir) memberikan status sosial yang tinggi bagi pemiliknya.

Buku ini membawaku melihat "Indonesia" melalui sudut pandang orang asing. Senang sekali, karena ia banyak menggali hal-hal sederhana dan akhirnya membuatku lebih "ngeh'. Roanne mendeskripsikan masalah kampung dengan rapi. Ia paham betul bagaimana menempatkan dirinya diantara orang-orang baru, menjaga jarak agar datanya menjadi netral, tapi tak lupa untuk membangun relasi kekeluargaan yang erat.

Profile Image for Endriady Abidin.
4 reviews
December 2, 2019
Membaca buku Tempat Terbaik di Dunia karya Roanne Van Voorst, membawa kita pada dunia “kumuh” yang selama ini cenderung gelap dan dihindari. Bagi kebanyakan dari kita, kumuh itu adalah kotor, tidak sehat, tidak aman, dan merusak pemandangan. Persis cara berpikir pejabat-pejabat, yang disebutkan oleh Roanne dalam bagian awal bukunya.

Di buku ringan ini, Roanne menyuguhkan cara melihat yang berbeda. Selama satu tahun, peneliti doktoral dari Belanda ini tinggal di salah satu perkampungan di tepi bantaran sungai di jakarta melakukan penelitian etnografi untuk keperluan penulisan disertasinya. Yang ingin Roanne ketahui, bagaimana orang-orang tersebut mempertahankan diri dari bencana yang kerap melanda Jakarta hampir tiap tahun.

Dalam proses meneliti itulah Roanne mendapatkan persepsi yang sangat berbeda dengan pandangan para pejabat yang waktunya dihabiskan di gedung-gedung menterang, mencoba memahami kemiskinan dari ruang kerja mewah milik mereka. Bagi mereka orang yang tinggal di bantaran kali sedikit banyak merupakan “penyebab” banjir di jakarta. Mereka membangun hunian di tepi kali, atau bahkan mungkin, masuk ke tengah sungai, yang menyebabkan semakin menyempitnya arus pembuangan air. Salah satu contohnya adalah kali ciliwung, yang tadinya 50 meter, kini hanya tersisa 5 meter di beberapa tempat.

Yang menarik yang saya tangkap dari buku ini, orang-orang yang tinggal di bantaran kali, yang tidak mendapat perhatian pemerintah, sesungguhnya adalah orang-orang yang ulet untuk bertahan hidup. Bahkan dalam kasus banjir, mereka punya strategi “pinter” sendiri untuk bagaimana menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungannya. Bagi mereka banjir adalah “sudah biasa”.

Tentu saja banjir masih merupakan masalah besar bagi mereka, namun untuk bisa terus bertahan hidup di jakarta, di tengah belit kemiskinan dan kurangnya perhatian pemerintah, mereka punya strategi sendiri yang mereka peroleh dari “sekolah kehidupan” mereka. Salah satunya adalah “melawan” bencana banjir. Coping mechanism inilah yang dibahas oleh Roanne dengan sangat baik dan cenderung santai dan kocak dalam bukunya.

Profile Image for Rei.
366 reviews40 followers
December 1, 2020
Tempat Terbaik di Dunia oleh Roanne Van Voorst.
Roanna Van Voorst, seorang antropolog, mengambil tema tentang respons manusia terhadap banjir untuk desertasi doktoralnya. Maka ia pun terbang ke Jakarta, kota yang terkenal menjadi langganan banjir hampir sepanjang tahun. Dalam bayangannya, tentu mudah mencari daerah yang akan dijadikan tempat penelitiannya.

Namun perjuangan Roanne tidak semudah bayangannya semula. Mulai dari pemerintah setempat yang enggan memberikan informasi hingga warga kampung yang mencurigainya sebagai pegawai pemerintah yang hendak menggusur tempat tinggal mereka yang ilegal. Tapi kemudian Roanne bertemu dengan seorang pengamen jalanan, Tikus, yang mengundangnya ke ‘tempat terbaik di dunia.’

Singkat cerita, ia terdampar di Bantaran Kali, kampung terkumuh dan termiskin di pinggiran sungai yang tercemar. Roanne mendapati rumah-rumah yang jauh dari memadai, apalagi higienis. Kebanyakan hampir tidak berperabot, karena selain tidak mampu, toh semuanya hanya akan merepotkan bila banjir datang. Dan masih ada kemungkinan rumah-rumah tersebut akan digusur pemerintah karena seharusnya pemukiman penduduk tidak boleh dibangun di daerah aliran sungai. Walaupun demikian, warga kampung yang teramat miskin ini menyambut Roanne dengan tangan terbuka. Ia diterima sebagai keluarga, dan selama setahun tinggal di sana, mereka mengajari Roanne berbagai cara bertahan hidup, terutama dalam menghadapi banjir. Terkadang efisien, terkadang kreatif, terkadang absurd. Namun warga kampung miskin ini memiliki rasa kekeluargaan yang kuat dan setiap kesulitan hidup yang bertubi-tubi mereka hadapi dengan kalimat, sudah biasa.

Satu tahun Roanne tinggal di Bantaran Kali. Tak hanya belajar tentang bagaimana warga menyikapi banjir, Roanne juga belajar tentang budaya Indonesia yang korup dan ngaret, mitos-mitos yang absurd, dan warga kampung yang senantiasa saling membantu dan bergotong-royong. Semuanya diceritakan dengan gamblang tanpa sarkasme (duh), ringan tapi personal dan sangat menyentuh. Salah satu buku terbaik yang kubaca tahun ini.
Profile Image for Unda Anggita.
49 reviews11 followers
June 21, 2021
Kalau penasaran dengan apa yang dilakukan para ahli atau mahasiswa Antropologi, buku ini representatif sekali untuk menunjukkannya pada kalian. Sebagai "others", kami bukan hanya harus menembus lapis birokrasi, melainkan juga berbaur dengan kehidupan informan atas nama observasi partisipatif.

Roanne menyebutnya "peneliti kualitatif radikal". Betul. Ada kalanya kami ikut menikmati hidangan yang sebetulnya bertentangan dengan selera lidah atau bahkan suguhan yang dilarang oleh keyakinan. Baca buku ini untuk tahu mengapa.

Riset yang dilakukan Roanne ini mencerminkan bagaimana antropolog perempuan terjun ke dalam masyarakat yang hidup dalam kultur korupsi akut, budaya kolektif yang berseberangan dengan apa yang ia lakukan di Belanda, serta hal-hal mengenai urusan perempuan (yang dalam opiniku, kadang dapat mempermudah tujuan riset yang mendalam melalui banyak hal seperti bercengkrama selagi bantu memasak, bergosip, dan sebagainya).

Hal lain yang patut diapresiasi adalah kerja penerjemahan yang membuat buku ini begitu "gurih" dinikmati dalam bahasa indonesia. Selain yakin bahwa riset ini merupakan etnografi yang baik dalam bahasa aslinya, hasil terjemahan yang mumpuni dapat berpengaruh dalam memproduksi buku-buku terjemahan yang apik berikutnya.[]
Profile Image for Nike Andaru.
1,632 reviews111 followers
September 6, 2019
176 - 2019

Buku ini direkomendasikan sama Kak Roos. Membaca judulnya aja sebenernya sudah menarik, segala yang berkaitan dengan perjalanan/petualangan seseorang di tempat baru itu selalu menarik buat saya.

Roanne, seorang antropolog Belanda memutuskan untuk melakukan penelitian untuk kebutuhan menyelesaikan disertasi doktornya. Setelah tau mau ke Jakarta, Roanne sempat bingung mau ke mana, sampe akhirnya menemukan Bantaran Kali sebagai tempat penelitian.

Selama 10 bulan, Roanne merasakan langsung bagaimana menjadi penduduk kampung kumuh tersebut. Bagaimana Roanne tinggal, apa yang dikerjakan Roanne selama di Bantaran Kali sungguh tidak mudah, tapi begitulah Roanne bisa mengerti bagaimana menjadi penduduk Jakarta, tepatnya menjadi orang miskin di Jakarta.

Saya merasa senang sekali membaca terjemahan buku ini, terasa kayak beneran ditulis dalam bahasa Indonesia. Saya pikir awalnya Roanne menulis buku ini langsung dengan bahasa Indonesia, karena dia memang bisa berbahasa Indonesia, tapi setelah melihat dalam buku ini ditulis hasil terjemahan dari bahasa Belanda saya takjub. Penerjemahnya begitu hebat, enak banget baca cerita Roanne dalam buku ini.

Buku ini ditulis sebagai hadiah buat 'keluarga' Roanne yang pernah ditinggal di Bantaran Kali, yang sejak Agustus 2015 sudah tak lagi berwujud kampung karena sudah digusur.
Profile Image for mellyana.
319 reviews17 followers
September 11, 2018
Ketika abang membaca, dia bolak balik tertawa dan tidak jarang diikuti kegiatan browsing. Aku yakin, dia punya perjalanan dan pengalaman yang serupa.

Ketika aku membaca, pikiran aku kemana-mana.

Aku sempat berpikir soal begitu banyak catatan lapangan peneliti yang semestinya bisa lebih banyak bercerita seperti ini.

Ah, pintar bersiasat kita itu. Ini hal yang bolak-balik muncul. Seperti Elizabeth Pisani, piawai bercerita soal keseharian orang miskin yang mungkin tidak selalu disadari orang, dengan beberapa kisah yang mengingatkanku pada film jalanan.

Bagus dibaca buat peneliti atau yang mau jadi peneliti, buat mereka yang ingin kasih solusi tercanggih untuk masalah sosial serta buat mereka yang menikmati sebuah tulisan yang bertutur dengan baik.
Profile Image for Yuu Sasih.
Author 6 books46 followers
December 11, 2020
Buku yang menarik. Sangat dalam mengupas mengenai pola pikir dan kebiasaan sosial dan ekonomi warga miskin Jakarta, juga sangat nyata. Seringkali bahasan tentang kemiskinan dibahas dengan terlalu judgemental--kalau tidak terlalu menyalahkan orang miskin akan kemalasannya, maka terlalu meromantisir para pengusaha yang "berangkat dari nol".

Roanne yang melakukan penelitian partisipatif di Kampung Bantaran Kali secara objektif menggambarkan bagaimana kehidupan warga miskin di Jakarta, bagaimana semangat hidup mereka, pola pikir mereka, juga silap-silap perilaku mereka. Semuanya terasa sangat nyata dan apa adanya, terutama bagi saya yang juga pernah merasakan beberapa belas tahun hidup di bawah garis kemiskinan.
Profile Image for lia.
32 reviews1 follower
February 7, 2021
Buku non-fiksi pertama yang saya baca di tahun 2021. Sungguh pilihan yang tepat dan tidak menyesal sama sekali.

Buku ini bercerita mengenai pengalaman Roanne—seorang antropolog Belanda—yang hidup selama satu tahun di Bantaran Kali untuk memenuhi gelar Doktor yang sedang ia tempuh.

Saya diajak bertemu dengan realita bahwa proses administrasi di Jakarta sungguh lah memakan waktu yang panjang, sungguh tidak efisien betul. Saya diingatkan kembali dengan kisah “salam tempel” agar proses administrasi atau apapun bisa berjalan dengan cepat.

Dalam bukunya, Roanne bercerita dengan sangat gamblang, apa adanya, dan tidak memihak. Di satu sisi, ia menolak bahwa orang miskin di Bantaran Kali karena mereka tidak bekerja keras. Di sisi lainnya ia juga tidak memungkiri bahwa banyak orang miskin yang hanya peduli dengan dirinya sendiri dan kesenangan sesaat. Di beberapa halaman, Roanne memasukkan jurnal-jurnal ilmiah, seperti banjir di Indonesia lebih disebabkan oleh masalah politik, bukan hanya masalah alam.

Roanne juga menceritakan kisah-kisah yang mungkin tidak akan saya tahu jika tidak membaca tulisannya. Seperti kolektivitas warga Bantaran Kali mengenai arisan; perihal tongkat Madura; perihal buah mangga yang bisa meningkatkan nafsu perempuan, dan lain-lain.

Secara pribadi, saya masih salut bagaimana Roanne memenuhi klasifikasi sebagai seorang peneliti, tidak memihak, menahan agar perasaannya tidak bercampur dengan hasil penelitian, bahkan turut menyesuaikan dengan budaya “kelompok” orang Indonesia yang mungkin sangat sulit untuk diikuti olehnya.
Profile Image for Alya Putri.
77 reviews134 followers
March 24, 2021
Yep, cukup ironi ya di kota segemerlap Jakarta, masih ada kampung kampung kumuh. Sungguh kesenjangan cukup nyata, dan terasa dalam kisah dibuku ini
Profile Image for Fitria Mayrani.
521 reviews25 followers
May 27, 2020
Baca buku ini di tengah pandemi begini jadi bikin tambah melow 😭😭😭
34 reviews4 followers
February 16, 2019
Roanne Van Voorst melakukan penelitian di daerah kumuh bantaran kali di Jakarta 2000-an. Pengalamannya hidup bersama masyarakat di sana selama setahun dia kemukakan di bukunya ini. Tentang kemiskinan yang membelenggu, akses kesehatan diskriminatif, pendidikan yang tak terjangkau, mitigasi banjir yang buruk, atau birokrasi yang korup.
Sebagai antropologian akhirnya nalar kemanusiaan Roanne berjalan, bahwa banjir bukan disebabkan oleh perubahan iklim dan intensitas hujan. Tapi diciptakan oleh politik di Jakarta, kebijakan publik yang salah, lambat, tak antisipatif bahkan korup menjadi penyebab utamanya.
Profile Image for Kahfi.
140 reviews15 followers
July 4, 2019
Secara garis besar buku ini merupakan kajian antropologis, mengamati aktifitas manusia. Namun dalam tema besar tersebut mengurai relasi antara manusia sebagai warga negara, sebagai makhluk politik dan tentu saja manusia ekonomi.

Narasi dalam buku ini dibuat mengalir, seperti sedang tidak mengkonsumsi buku ilmiah. Pemulihan kata-kata nya pun bisa dibilang sangat ringan.

Jika hanya memiliki satu kesempatan untuk melontarkan pujian, rasa nya hal tersebut bakal ditujukan kepada pemerintah yang mampu melakukan hal tersebut sehingga saya memiliki perspektif berbeda memandang kaum miskin perkotaan.
Profile Image for Guntar Ramadhan.
14 reviews18 followers
December 6, 2018
Bagus dan penting (rekom buat) dibaca oleh pemerintah atau pemangku kebijakan setempat.

Suatu upaya yang patut didukung dan diacungi jempol untuk penulis, sebagaimana dapat tersirat di akhir epilog buku tersebut bahwa "memoar" selama riset di "bantaran kali" ini sebagai upaya moral seorang antropolog sebagai "upaya pembelaan" terhadap masyarakat "bantaran" dengan memberikan gambaran (meskipun singkat) kehidupan masyarakat "pinggiran" dari seorang antropolog. Upaya pembelaan tsb. dg. cara memberikan gambaran seperti apa kehidupan sehari hari mereka, apa yang biasa mereka kerjakan, kebutuhan hidup apa saja yang mereka butuhkan, apa saja masalah yang mereka alami, dan apa saja keinginan hidup mereka, bagaimana keluh kesah dan cara mereka menghadapinya, dan banyak lagi (silahkan baca). Meskipun kadang pengalaman ditulis dengan sudut pandang tertentu (yang mengartikan bahwa dia tidak lepas dari subjektifitas penulis) namun dalam rangka bagaimana membuat kesalingmengertian atau kesalingpahaman daripada pembaca atau masyarakat lain dalam memandang masyarakat "pinggiran" saya rasa penting dan mengapa buku ini bagus untuk dibaca untuk keperluan membangun kesalingmengertian tadi. Dan paling terutama untuk "orang atas" jikalau membuat suatu kebijakan apapun itu yang menyangkut hajat hidup orang banyak supaya membuatnya lebih manusiawi.
Profile Image for Kezia Nadira.
59 reviews6 followers
September 26, 2023
"Ini adalah tempat terbaik di dunia. Semua yang kamu pengin, bisa kamu dapatkan dan kamu lakukan di Bantaran Kali. Di kampung kumuh ini, kami menjalankan hidup semewah hidup miliarder di Jakarta."

Saya tidak pernah menyangka bahwa saya akan sangat menyukai buku ini. Sewaktu pertama kali melihat sampulnya di website Marjin Kiri, saya sangat tidak tertarik untuk membacanya - apalagi harus membelinya! Tapi kemudian, saya sempat baca sepintas kalau ternyata buku ini ditulis oleh warga negara Belanda, yang mana merupakan perspektif orang asing, tentang kehidupan sebuah perkampungan kumuh di Jakarta - yang sebagian besar bukunya menjelaskan mengapa kampung kumuh tersebut merupakan "tempat terbaik di dunia" dalam arti yang sesungguhnya.

Dan lagi, saya tidak pernah menyangka kalau saya akan membaca buku tentang "sisi positif" dari sesuatu yang kebanyakan kita lihat dengan pandangan negatif (dalam hal ini, perkampungan kumuh dan penduduknya), dan buku tersebut disusun dan ditulis dengan sepenuh hati oleh orang asing. Rasa-rasanya, saya banyak menemui buku yang ditulis orang asing, yang memang mendedikasikan tenaga, waktu, pikiran dan biayanya untuk melakukan penelitian dan studi di negara kita dalam berbagai hal - dan kebanyakan tulisan dari mereka mengurai sisi positif berbagai lapisan negara kita: keramah-tamahan, budaya, tradisi, adat, bahkan sejarah. Kebanyakan penulis asing ini mampu "membalikkan" sisi negatif yang kelamaan sudah mendarah-daging di kepala kita, dan menyegarkannya dengan sisi positif. Kalaupun ada sisi negatif yang disampaikan, mereka menyampaikannya denga sepositif mungkin. Mereka seperti menyadarkan kita bahwa "negaramu indah, dan kaya. kau harus bersyukur" di saat kita (mungkin) membenci kebobrokan negara kita sendiri dan berharap lahir di negara yang lain. Yang ini suka saya geli sendiri, padahal semua negara - bahkan yang adikuasa sekalipun, pastilah ada borok dan bobroknya. Intinya, buku-buku yang ditulis oleh penulis asing tentunya disusun atas peninjauan dan pengamatan mereka terhadap bangsa kita - sebuah perspektif asing yang kita tidak tahu akan kita butuhkan. Dan mereka, ironisnya, lebih mencintai dan menghargai bangsa kita dibandingkan kita sendiri.

Saya bisa berargumentasi dengan kalimat saya yang terakhir di paragraf di atas. Apa yang kita lihat saat pertama kali melihat perkampungan kumuh di pinggir sungai? Rumah-rumah beratap seng dan asbes, atau bahkan papan triplek atau kardus yang lapuk? Apa yang kita pikirkan saat melihat orang-orang dengan pakaian kumuh dan kotor yang berhimpitan di dalam rumah-rumah tersebut?Kebanyakan dari kita akan berpikir negatif, mengaitkannya dengan rasa jijik, mual, apalagi ada sampah-sampah! Lalu, kita akan mengambil kesimpulan bahwa tingkat kriminalitasnya tinggi, dan ingin segera menjauh dari perkampungan kumuh seperti itu - yang jauh dari kata nyaman dan layak untuk dihuni.

Tapi, apa yang kemudian dilakukan oleh Roanne van Voorst, sebagai penulis? Beliau datang ke Indonesia, khususnya Jakarta, untuk melakukan penelitian akan prilaku masyarakat perkampungan kumuh saat dan terhadap banjir. Namun, apa yang diperolehnya selama 1 tahun menetap di perkampungan tersebut lebih jauh dan dalam dari sekadar mempelajari banjir. Roanne van Voorst rela datang ke Jakarta, tinggal di perkampungan kumuh, berbaur dan bergaul dengan penduduknya - walau memang untuk penelitian, tetapi hal ini sepertinya bukan sesuatu yang kita ajukan dengan senang hati untuk melakukannya sendiri.

Saya tidak berniat untuk me-glorifikasi apa yang dilakukan penulis, tapi saya sangat berterimakasih padanya atas buku yang sudah ia tulis ini. Buku ini menyadarkan saya bahwa ada sesuatu yang tidak pernah terlihat ketika saya melihat perkampungan kumuh, buku ini seperti menampar saya, mengingatkan saya bahwa orang-orang yang tinggal di perkampungan kumuh tersebut tidak memiliki pilihan lain. Mereka seperti terhimpit di antara 2 dinding raksasa yang seiring dengan berjalannya waktu semakin mendekat satu sama lain, sehingga mereka yang berada di antaranya akan bingung untuk lari kemana karena terhimpit dari segala sisi.

Hal ini sejalan dengan apa yang ditulis Roanne dalam tulisannya:
"...saya dengar dari para pejabat pemerintah membayangkan penghuni perkampungan kumuh ini berkelakuan kriminal, agresif, dan malas. Ini hanya prasangka belaka, karena pejabat itu sendiri belum pernah sekali pun menginjakkan kaki di kampung kumuh!"

Roanne juga menjelaskan, yang mana pernyataan ini sangat amat saya sukai dan setujui, bahwa masyarakat tersebut menjadi miskin bukan karena mereka bodoh atau malas. Karena mereka tidak memiliki kesempatan. Kalaupun kualitas pendidikan mereka rendah, semua karena mereka tidak memiliki kesempatan.

Ini yang dikatakan Roanne:
"Kemiskinan dianggap sebagai kesalahan si miskin itu sendiri. Sederhananya, pandangan itu menyebutkan bahwa masyarakat membuka kesempatan kepada warganya, barang siapa tidak menggunakan kesempatan itu, dia menjadi miskin. Miskin itu salah sendiri: ada yang tidak beres dengan orang tersebut, karena kalau dia hidup dengan baik dan benar, dia tidak mungkin hidup dalam kemiskinan."

Dan sanggahan Roanne yang saya garis-bawahi dengan tebal:
"Pada kenyataannya, kehidupan bermasyarakat tidak memberi kesempatan yang merata kepada setiap orang."
Dan dalam hal ini, mencakup kesulitan bagi mereka untuk memperoleh pendidikan yang baik, peluang kerja yang merata, sehingga menghambat jumlah penghasilan mereka. Ini akan menyebabkan kemiskinan struktural, artinya kemiskinan ini akan terus diturunkan dan berjalan seperti lingkaran setan.
"Lewat buku ini, saya ingin menunjukkan bahwa kesulitan keuangan yang dialami oleh penduduk di kawasan kumuh umumnya tidak disebabkan oleh diri mereka sendiri tetapi terutama karena mereka memang tidak memiliki kesempatan yang sama di masyarakat."

Roanne juga menyanggah persepsi berbau romantik peneliti atau ilmuwan asing terhadap kaum miskin: "pengusaha kelas sandal jepit" yang mana dengan etos kerja yang bekerja keras, mereka berpeluang menjadi pengusaha hebat dan sukses - di sinilah mentalitas "etos kerja kampung kumuh" berasal. Sayangnya, menurut Roanne - yang juga saya setujui - adalah hanya beberapa persen orang yang "berbakat" untuk menjadi pengusaha. Karena namanya bakat, tidak terjadi pada setiap orang, dan yang berhasil dibandingkan yang tidak rasionya sangat berbanding terbalik.

Roanne juga menjelaskan bahwa "Miskin ternyata tidak selalu identik dengan sikap sosial" karena walaupun ada gagasan romantik lainnya bahwa orang miskin "lebih komunal" dibanding orang kaya, dan walau orang Indonesia lebih berbudaya "budaya kami" - hal ini tidak benar adanya. Walau orang kita ramah-ramah dibanding orang luar, saya setuju dengan Roanne yang menyatakan bahwa:
"Kemiskinan membuat orang menjadi pragmatis. Mereka (penghuni kampung kumuh) bekera sama kalau hal itu memang menguntungkan mereka, dan di saat lainnya membela kepentingan diri sendiri jika hal itulah yang akan memberi mereka keuntungan."

Sehingga dari banyaknya gagasan romantik dan persepsi negatif tentang orang miskin di Indonesia, dan dari berbagai sanggahan Roanne terhadapnya, dapat disimpulkan bahwa "Tidak ada yang bisa disebut sebagai 'stereotip Indonesia'".

Roanne van Voorst datang ke Indonesia dengan tujuan melakukan penelitian di kampung rawan banjir, terhadap strategi penanggulangan bencana oleh para korban banjir. Hal ini mencakup, khususnya, apa yang orang lakukan saat mereka tahu bahwa mereka akan kebanjiran. Umumnya masalah-masalah sosial yang diakibatkan oleh banjir: bagaimana hidup di daerah banjir, kehidupan sehari-hari orang-orang yang tinggal di tempat semacam itu, keresahan dan masalah mereka, juga cara mereka dalam menyelesaikan masalah. Hal ini karena tidak ada laporan realistis yang mengupas tentang kehidupan di perkampungan kumuh. Roanne tak hanya ingin mengupas tentang prilaku masyarakat terhadap menanggulangi banjir, tapi juga ingin mengupas lebih dalam tentang "kemiskinan ekstrem" yang sering kali dilihat sebagai sesuatu yang negatif oleh pemerintah - daripada sesuatu yang harus mereka atasi.

Roanne van Voorst menyatakan kecintaannya terhadap sesuatu yang kita hindari, yang sering kita pandang dengan jijik dan takut. Dan ironisnya, rasa cinta terhadap kaum miskin yang selalu kita temui tiap hari di pinggir jalan ini datang dari orang asing, sedangkan kita sebagai saudara sebangsa setanah air kerap kali memilih untuk menutup mata.

Dalam buku ini, Roanne memaparkan berbagai masalah sosial terkait kemiskinan dan perkampungan kumuh yang sudah lama kita sadari dan kita ketahui, tapi kita diamkan - karena kita memilih untuk "mementingkan" urusan kita sendiri. Pemaparan ini tidak secara membosankan disampaikan lewat statistik yang memusingkan atau dialog wawancara yang menjemukan, tapi Roanne menyajikannya dalam balutan kisah dengan gaya bercerita yang menarik - seolah-olah kita adalah penduduk Bantaran Kali, bagian dari "keluarga" tersebut. Seperti membaca buku fiksi, kecuali yang terjadi dalam buku ini benar-benar terjadi dan nyata, dan para tokohnya memang ada!

Setiap bab adalah apa yang Roanne alami selama tinggal di Bantaran Kali, sekaligus setiap bab mewakili satu masalah sosial tertentu yang sangat dekat dan erat kehadirannya dalam kehidupan sehari-hari:

-> Bagaimana seorang rela berhutang-hutang demi membeli portofon (alat untuk menangkap informasi tentang kedatangan banjir) karena alat 'mahal' ini satu-satunya yang dapat memberikan mereka alarm kalau akan terjadi banjir - hal ini karena pemerintah sudah tidak mau lagi mengalokasikan dana untuk memfasilitasi teknologi seperti ini untuk daerah kumuh, dengan anggapan: "untuk apa membuat mereka semakin hidup nyaman di atas lahan yang seharusnya mereka tidak berhak tinggali?".

-> Kebakaran yang disebabkan oleh kabel listrik putus. Banyak orang (ratusan!) yang kehilangan 'rumah' mereka. Hingga mereka harus tidur tanpa atap, di pinggir sungai atau jalanan. Mereka harus mengumpulkan puing-puing atau barang rongsok untuk kembali membangun rumah mereka. Di bab ini, kita juga mendapati bahwa pemerintah tidak memberikan kompensasi yang cukup bagi mereka saat hunian mereka digusur. Alokasi ke rumah susun pun juga tidak menjadi pilihan yang tepat, karena selain biauya sewa yang mahal bagi mereka, di sini ada mafia atau preman yang memonopoli rumah susun ini, selain itu - tidak mungkin rumah susun dapat menampung seluruh penduduk kampung kumuh yang tersebar di wilayah Jakarta.

-> Budaya orang kita yang "sogok-menyogok", atau urusan dipersulit. Bahkan orang miskin di kampung kumuh juga harus merasakannya: iuran sampah, iuran keamanan, iuran hiburan (bahkan mereka harus membayar untuk mendapatkan hiburan!). Semua ini seperti "sogokan" agar mereka aman dan tidak diganggu, yang saya lihat lebih seperti "pemalakan".

-> Sulitnya mendapatkan fasilitas kesehatan yang memadai. Banyak cerita (nyata, benar-benar terjadi!) tentang bagaimana instalasi rumah sakit 'menolak' menangani pasien yang miskin, terutama yang mereka ketahui berasal dari perkampungan kumuh, sehingga mereka harus meninggal dunia tanpa sempat ditolong dokter. Hal ini menyebabkan banyak orang miskin di perkampungan kumuh lebih percaya terhadap ramuan rempah-rempah dan pijat tradisional untuk cepat sembuh, dan memandang skeptis terhadap dokter yang bagi mereka hanya untuk orang kaya.

-> Mangga dan cabe merah sebagai pembangkit gairah laki-laki!

-> Konsep "arisan" dan "pinjam-meminjam" seperti koperasi yang ada di perkampungan kumuh: membuat saya menyimpulkan bahwa orang miskin di sana juga ingin menabung seberapa kecil pun, kebanyakan untuk kemajuan mereka sendiri: rencana bisnis, atau pendidikan anak mereka. Bahkan ada yang rela meminjam uang untuk membelikan anak mereka seragam: "Saya tidak ingin anak saya kehilangan kesempatan pelajaran karena tidak memiliki seragam. Kalau tidak punya seragam, tidak diperbolehkan masuk oleh gurunya."

-> Dan sebenarnya, gagasan romantik peneliti asing tentang penduduk kawasan kumuh yang "komunal" lebih ke benar adanya, karena kebanyakan dari mereka merasa berbagi satu nasib, berjuang di ibu kota Jakarta. Mereka saling membantu saat susah, dan senang pun meriung bersama-sama. Hal ini yang menjadikan kawasan kumuh Bantaran Kali sebagai "tempat terbaik di dunia", bukan karena fasilitasnya yang mewah, tapi karena kebersamaan dan kebahagiaan yang berada dalam bentuk paling sederhana.

Sehingga, berbagai isu yang saya bisa rangkum adalah:
- Di kawasan pinggiran sungai tidak ada sistem peringatan resmi dari pemerintah. Tak ada lagi anggaran yang dialokasikan pemerintah untuk membeli sistem peringatan dini di perkampungan kumuh seperti Bantaran Kali.
- Para pemilik pabrik dapat memiliki keuntungan dengan adanya pinggiran sungai (sedangkan warga tidak boleh menghuni di sana), karena bisa gratis memmbuang limbah ke sungai. Keberadaan mereka merupakan sumber pendapatan kota dan pemerintah. Namun, soal pemukiman kumuh, pemerntah selalu bersikap keras.
- Keamanan warga kampung kumuh akan banjir bergantung pada strategi jitu mereka sendiri.
- Pada 2001, para peneliti mencatat dalam kurun waktu 8 bulan terjadi 437 kebakaran di Jakarta dengan 80% lokasinya di kampung kumuh.
- Pembongkaran perkampungan kumuh kebanyakan terjadi atas instruksi pemerintah. Hunian ini dikatakan ilegal karena dibangun tanpa izin. Padahal, hal ini karena hunian yang 'layak' dan dikatakan 'legal' tidak terjangkau untuk orang miskin.
- Di Jakarta, hampir tidak ada lagi permukiman untuk orang yang tak mampu. Selama puluhan tahun, pemerintah berupaya mendorong pertumbuhan ekonomi dengan memberikan ribuan perizinan pada pemilik modal besar yang akan memenuhi kota dengan vila, apartemen, atau kompleks perumahan mewah, mall, dan sebagainya. Hanya saja, pada waktu tahun-tahun belakangan ini, masalah kekurangan rumah untuk orang berpenghasilan rendah baru mulai mendapatkan perhatian.
- Yang saya dapat simpulkan, dengan abainya pemerintah terhadap kawasan kumuh Jakarta yang bisa hancur karena banjir ini, maka sebagian kerja mereka terselesaikan dengan sendirinya: mereka tidak harus repot-repot menggusur mereka.
- Pemerintah baru mulai mau membayar 'lebih' sedikit uang kompensasi karena ada yayasan hak asasi manusia baik nasional maupun internasional yang 'mengawasi', di balik penggusuran hunian kumuh. Hal ini sering kali dikatakan sebagai "pengambilan lahan secara paksa". Sayangnya, terlalu banyak syarat yang harus dipenuhi untuk mendapatkan kompensasi: harus memiliki KTP asli Jakarta. Pula, belum tentu kompensasi yang diberikan sepadan dengan kerugian dari kehilangan tempat hunian.
-> Terdapat antipati tinggi dari penduduk hunian kumuh terhadap rumah susun pemerintah.
-> Menurut Roanne, banjir lebih disebabkan oleh masalah politik, bukan hanya masalah alam.
-> Orang tidak punya pilihan lain selain membuang sampah di sungai, karena tidak ada fasilitas yang memadai (jalan masuk truk sampah, saluran pembuangan air yang tak tersedia).

Buku yang awalnya saya kira akan membahas lebih banyak tentang banjir, ternyata jauh lebih kompleks dibandingkan itu. Profesi Roanne sebagai antropolog membuat kita memahami sisi lain perkampungan kumuh dari segi manusia sebagai elemen sosialisnya: prilaku, harapan, dan pemikiran mereka yang berkaitan dengan berbagai isu sosial yang terjadi di dalam kompleksitas hubungan mereka satu sama lain.

Setelah membaca buku ini, mungkin saya akan memandang mereka berbeda. Saya tidak ingin bersikap terlalu idealis, dengan berbagai pemaparan yang saya dapatkan dari buku ini, menuntut pemerintah untuk segera menyikapi berbagai isu yang terjadi di buku ini dan mengklaim pemerintah sebagai pihak yang salah dan penduduk kawasan kumuh sebagai pihak yang benar - tidak. Saya hanya merasa, melalui buku ini, kita dapat mengikis dinding yang kita bangun antara kita dan mereka - selain karena kontrasnya kehidupan yang mungkin kita miliki dengan mereka. Kita punya banyak kesamaan, yang paling utama adalah memiliki harapan dan ketakutan akan masa depan, dan yang kita lakukan setiap harinya adalah berjuang demi hal tersebut.

Hal itulah yang menjadi tujuan utama Roanne menulis buku ini: menceritakan kehidupan manusia-manusia yang tidak dilirik keberuntungan dan tidak diberi kesempatan, sehingga mereka harus berjuang dari setiap peluh keringat mereka sendiri untuk bertahan di antara ketidakadilan, untuk mengamankan masa depan mereka walau demi celah terkecil dan tersempit di Ibu Kota Jakarta. Dan betapa kehidupan mereka seperti tanah yang akan longsor, cepat hilang - tidak meninggalkan jejak, tapi pernah ada. Buku ini untuk meninggalkan jejak tersebut, menandakan kehidupan mereka pernah ada, walau "tempat terbaik" itu sudah tidak ada lagi - digusur oleh ketidakadilan.

Beberapa kutipan atau fakta statistik yang saya garis-bawahi:

"Elizabeth Pisani menggambarkan Jakarta denga kekiritisan terselubung sebagai kota yang 'tak gampang untuk dicintai.'" (hlm. 10)

"Karena sifatnya yang paradoksal, Jakarta kerap kali dijuluki sebagai "The Big Durian"." (hlm. 10).

"Kulit putih - yang saya pelajari di sana - diasosiasikan dengan kesuksesan dan kekuasaan." (hlm. 34)

"Selama orang yang tepat mendapat bayaran, sebetulnya tidak ada yang terlarang di Indonesia." (hlm. 89)

"Saya bayangkan orang-orang yang sudah hampir tak punya apa-apa itu diperas oleh orang dengan kekuasaan dan kesempatan yang lebih besar." (hlm. 90)

"Korupsi, sebetulnya bagi kebanyakan orang Indonesia, adalah sebuah cara agar urusan mereka terselesaikan, strategi yang sangat dibutuhkan di sebuah negara yang tidak berfungsi optimal." (hlm. 94)

"Abhijit Banerjee dan Esther Duflo melakukan penelitian tentang mengapa orang miskin lebih sulit menabung dibanding orang kaya. Hal ini karena kebanyakan barang yang mereka ingin miliki relatif mahal untuk mereka." (hlm. 143)

"Ya, mereka takut dengan tentara, tetapi yang lebih menakutkan lagi adalah memikirkan masa depan." (hlm. 183)
Profile Image for Egy Imaldi.
30 reviews
November 18, 2024
Roanne van Voorst menceritakan kemiskinan (individu-individu miskin menurut istilahnya) dengan cara yang begitu renyah untuk dinikmati dalam sajian tulisan. Ia mengelompokkan topik ke dalam 7 bab yang menurut saya cukup untuk menggambarkan permasalahan yang perlu diatasi pada kelas sosial yang ada pada Bantaran Kali. Mulai dari permasalahan banjir, kepemilikan tempat tinggal, hingga pada akhirnya proses 'pembersihan' lahan yang masih menggunakan cara-cara kekerasan.


Pengalaman tinggal selama satu tahun di tempat kumuh nan langganan banjir yang menjadi objek penelitiannya tentu membuat ia menjadi dekat dengan penghuni kampung Bantaran Kali dan segala tempat yang terdapat di dalamnya. Hal ini yang menjadikan tulisannya terasa dekat, personal, dan membuat segala sesuatu yang ia tulis menjadi dapat tergambar dengan mudah di kepala pembaca (setidaknya saya). Pengalaman ini juga yang menjadi penting ketika membicarakan soal kemiskinan di Indonesia—Jakarta tepatnya.


Selama ini, seringnya kemiskinan dibicarakan dengan sederet angka: persentase, jumlah angka yang mengalami, nominal upah perindividu—tanpa menyentuh inti dari kemiskinan itu sendiri: mencoba memahami kenapa kemiskinan terjadi, menilik yang mengalami, dan membuang segala prasangka buruk bahwa kemiskinan hadir pada kelompok tertentu karena kurangnya daya usaha dalam mencari lebih banyak uang. Roanne, melalui ceritanya, membuktikan bahwa individu-individu miskin adalah juga pejuang keras dalam bekerja, berpikiran positif, dan tidak pernah kenal putus asa. Adalah kemudian nasib tidak berubah, ada banyak faktor lain dan kita bisa berdebat panjang perihal ini.


Seringkali, ketika berbicara kemiskinan kita juga luput untuk membicaran bahwa kemiskinan dapat terjadi secara struktural. Beberapa orang bahkan menganggap orang miskin itu sendiri tidak menyadari kemiskinan struktural, menganggap bahwa individu-individu miskin terlalu bodoh untuk menyadari hal demikian. Padahal pada cerita Roanne, mereka sendiri paham betul bahwa kemiskinan dapat diputus oleh anak-anak mereka melalui pendidikan dengan mutu bagus. Oleh karena itu, ada orang tua yang rela berhutang agar anaknya tidak ketinggalan pelajaran. Betapa sebetulnya masalah terstruktur seperti ini seharusnya dapat diatasi oleh pemerintah. 


Selain menceritakan setumpuk kisah kemiskinan, Roanne juga merekam interaksi sosial yang terjadi pada kawasan Bantaran Kali.


Pada bab terakhir, Roanne sendiri membuat saya menyadari betapa komunalnya orang Indonesia. Sekaligus betapa guyup dan saling perhatian satu-sama lain. Saya dibawa untuk mengingat kejadian-kejadian serupa yang dialami oleh Roanne; dikasihani karena kemana pergi selalu sendiri, mengerjakan sesuatu sendiri, dan membutuhkan waktu menyendiri. Betapa sesungguhnya komunikasi sosial di Indonesia begitu menjaga kebersamaan, yang sebetulnya pada banyak tahap tertentu berbuah positif. Setidaknya kita bisa menarik kesimpulan bahwa orang-orang Indonesia adalah manusia-manusia yang saling peduli.


Hingga kemudian sampai pada lembar-lembar terakhir, Roanne berhasil membuat saya gelisah.


Perasaan saya campur aduk ketika membaca epilog di akhir halaman. Menyadari bahwa pada akhirnya penghuni Bantaran Kali menghadapi mimpi buruk yang selama ini mereka takutkan untuk terjadi. Proses penggusuran yang membuat takut warga, relokasi yang tidak sepenuhnya dirasakan oleh penghuni kampung Bantaran Kali, dan kebingungan warga Bantaran Kali setelah tempat tinggalnya digusur membuat saya beberapa kali berhenti membaca. Membayangkan apa yang akan mereka lakukan setelahnya, yang tentu dengan perasaan-perasaan gusar ketika melakukannya. 


Ketika membaca epilognya, selagi membayangkan perasaan dan wajah-wajah penghuni Bantaran Kali, saya menjadi teringat tulisan Ahmad Khadafi—Bagimana Rasanya Digusur?. Bahwa menggusur bukan saja semata proses meruntuhkan bangunan, memidahkan penghuninya ke tempat baru. Tapi, adalah juga di dalamnya terikat segala aspek sosial.


"Memindahkan rumah tidak semudah yang dibayangkan-apalagi memindahkan kampung dengan beragam aspek sosial di dalamnya. Ada beragam kultur yang dicabut dari akarnya. Bahkan ketika dipindahkan ke tempat yang dinilai merupakan tempat yang "lebih baik", hal itu tidak menjamin semuanya akan baik-baik saja."


Roanne, sebagai antropolog dan penulis, sukses merekam (saya yakin tidak semuanya) yang ia alami selama menjadi warga di salah satu kampung termiskin di Jakarta. Dan bukunya ini, menurut saya, adalah media penting yang perlu dibaca oleh siapapun yang masih menganggap bahwa Jakarta adalah gemerlap, juga oleh mereka yang masih berpikir bahwa kemiskinan adalah produk dari kemalasan individu.
Profile Image for summerreads ✨.
110 reviews
January 26, 2021
Tempat Terbaik di Dunia adalah salah satu non fiksi terbaik yang saya baca tahun 2018 lalu. Kisah yang dituturkan Roanne dibuka dan ditutup dengan kalimat yang menghangatkan hati. Roanne van Voorst datang ke Jakarta untuk mengerjakan desertasi demi meraih gelar doktor. Penelitian itu mengharuskannya tinggal di sebuah perkampungan kumuh dan meneliti tentang banjir di Jakarta.

"Mau ikut?" Teriak seorang pemuda ke arah saya, di atas kebisingan deru mesin bus kota yang saya tumpangi. "Ke tempat terbaik di Indonesia. O tidak, ke tempat terbaik di dunia! Apa saja yang ingin kamu lakukan, bisa di sana, dan apa saja yang ingin kamu punya, ada di sana!"

Begitu Roanne membuka ceritanya di halaman blurb buku ini. Dan benar saja, setelah 'diajak berkeliling' perkampungan yang disamarkan namanya menjadi Bantaran Kali, Roanne benar-benar menunjukkan hal-hal yang nggak pernah saya sangka-sangka.

Kebanyakan orang menganggap bahwa di perkampungan kumuh seperti Bantaran Kali pastilah warganya tidak menyenangkan, tidak kooperatif, dan kriminal. Kemudian Roanne menyusuri tempat itu dan tinggal bersama mereka selama setahun lamanya, untuk bisa mengenal warga Bantaran Kali lebih jauh (dan akhirnya bisa menceritakan semuanya kepada dunia luar). Di sana mereka hidup berdampingan dengan damai dan saling membantu, beberapa kali ada kejadian dan cerita lucu, tak jarang juga bergotong-royong menghadapi banjir musiman yang selalu melanda Jakarta.

Kemiskinan tak lantas menghapus kemanusiaan mereka. Di sana Roanne yang bule itu tinggal dan makan bersama mereka. Dirawat ketika sakit. Ditunjukkan hal-hal yang ada di kampung mereka. Roanne menceritakan bagaimana bersahabatnya orang Bantaran Kali, sekaligus beberapa kenyataan hidup mereka yang mungkin tidak diketahui banyak orang termasuk saya.

Ada yang berkencan dengan petugas-petugas tertentu karena dijanjikan keamanan seandainya ada penggusuran, atau kadang berkencan untuk mendapatkan batu baterai untuk senternya. Bahkan Tikus, pemuda yang mengajak Roanne ke Bantaran kali, punya cita-cita membuat tempat fitness sendiri dan bisa mewujudkannya dengan barang-barang sederhana yang ditemui di pinggir kali atau toko bangunan. Fungsinya sama, tak kalah dengan tempat gym elit ibukota.

Yang paling menarik adalah kisah mengenai Pinter si pemilik bank keliling. Ia mengumpulkan tabungan milik warga Bantaran Kali setiap hari. Ada yang menabung tiga ribu Rupiah sehari, ada juga yang menabung lima ratus bahkan lebih receh dari itu. Mereka menabung karena punya keinginan tertentu, misal beli seragam sekolah anak, beli televisi rusak, memperbaiki rumah, dan lain sebagainya.

Menurut saya konsep bank keliling itu menarik, dan tercipta karena bank pada umumnya tidak mau menerima nasabah yang tidak bisa membayar mininum saldo buka tabungan, yang tidak punya identitas, etc. Tapi, bank keliling tidak pilih nasabah. Semua warga Bantaran Kali bisa jadi nasabah. Bahkan bisa meminjam uang kepada bank keliling milik Pinter jika mereka membutuhkannya.

Roanne benar-benar menuliskannya dengan apik dan rapi sekali. Seolah-olah ia sedang menuliskan sebuah buku harian. Salah satu alasan Roanne menulis buku ini juga menarik: karena Tikus yang memintanya. Dan semua nama disamarkan.

Mengapa?

"Suara kami takkan didengar. Kami hanya penduduk kampung kumuh. Tapi tulisanmu masih akan dibaca banyak orang dan mereka bisa tahu mengenai tempat ini."

Mengenai tempat terbaik di dunia yang sekarang tak ada lagi karena sudah digusur oleh pemerintah, diratakan oleh buldozer kuning raksasa.
Profile Image for Thoriq Fauzan.
37 reviews
December 10, 2023
Apresiasi kepada penerjemah karena telah membuat buku ini sama sekali tidak terasa seperti buku terjemahan!

Setelah membacanya, dapat disimpulkan bahwa corak budaya paling menonjol yang Roanne, seorang antropolog dari Belanda, temukan dalam kehidupan masyarakat di suatu perkampungan kumuh di bantaran kali di Jakarta adalah budaya kolektivisme yang begitu kental. Saking kentalnya, kesendirian adalah jawaban yang diajukan oleh para warga perkampungan tersebut saat ditanya hal apa yang paling menakutkan bagi mereka. Bukan banjir, kebakaran, ataupun ancaman penggusuran karena perkampungan ilegal mereka di pinggir sungai, tapi kesendirian. Roanne yang sepertinya seorang introvert sampai-sampai kesulitan untuk menemukan waktu sendirian lantaran selalu dikelilingi oleh "keluarga"nya para warga Bantaran Kali. Ini sangat kontras dengan individualisme yang lazim di negara asalnya. Namun saya pikir, kekontrasan ini juga berlaku untuk warga Indonesia dengan ekonomi menengah ke atas. Sendirian, tenggelam dalam ketenangan, fokus pada aktivitas pribadi merupakan sesuatu yang lazim bagi masyarakat urban. Barangkali perlu diteliti kaitan antara preferensi terhadap "me time" dengan tingkat ekonomi individu.

Hal kedua yang dapat disadari adalah peran kekeluargaan dari para anggota masyarakat dalam perkampungan tersebut sebagai jaring pengaman sosial. Di negara yang pemerintahnya tidak peduli pada rakyat, rakyat sendirilah yang harus peduli satu sama lain. Di kampung Bantaran Kali, warga saling membantu membangun rumah, berbagi makanan, bahkan mengumpulkan uang untuk berobat. Jaring pengaman sosial ini bukan tanpa syarat. Sebagaimana dalam sebuah keluarga, ada hierarki yang harus dipatuhi. Hierarki dapat ditentukan oleh berbagai faktor, misalnya status, tingkat penghasilan, tingkat pendidikan, atau usia. Di kampung Bantaran Kali, faktor terakhir lah yang jadi penentu utama lantaran tidak ada warga kampung itu yang memiliki faktor lainnya. Senioritas menjadi penentu siapa harus mendengar siapa dan tidak boleh membantah siapa. Contohnya, Roanne menyadari bahwa membantah pendapat seorang nenek tentang ketidaklogisan sebuah acara tv bukanlah hal yang tepat dilakukan. Hal ini mungkin terdengar kontraproduktif bagi mereka yang mengedepankan kebebasan berpikir, tapi dengan mematuhi aturan-aturan inilah kedekatan dan saling tolong-menolong layaknya keluarga antar warga Bantaran Kali dapat terjaga.

Berbeda dengan di Belanda, budaya senioritas ini menurut saya masih cukup universal di Indonesia bahkan Asia. Membantah atau mendebat orang tua termasuk hal yang tabu bagi anak-anak Indonesia terlepas dari tingkat ekonomi keluarganya. Perlu diteliti lagi apa penyebab perbedaan budaya di timur dan barat ini.

Secara umum, Roanne menuturkan "mini etnografi"-nya dengan sangat apik. Pengamatan cermat dan kepekaan tinggi terhadap fenomena sosial yang dialaminya membuat buku yang sebenarnya cukup tipis ini dapat menyingkap banyak sekali realitas yang sering disalahpahami oleh mereka yang lebih beruntung kehidupannya. Sangat direkomendasikan!
Profile Image for Dyan Eka.
287 reviews12 followers
December 27, 2024
Kalau saya bisa memberi rate sepuluh, akan saya beri rate SEPULUH untuk buku ini!!

Mengikuti perjalanan Roanne untuk mengumpulkan data penelitiannya di Bantaran Kali, membikin saya melihat berbagai aspek yang tidak pernah saya pikirkan sebelumnya tentang penerapan sempadan sungai. Kalau hanya dilihat berdasarkan keilmuan yang saya pelajari, memang sempadan sungai harus bersih sesuai dengan kelas sungai berdasarkan ketentuan yang berlaku, maka jika masyarakat yang terdampak banjir adalah masyarakat yang tinggal di wilayah sempadan sungai, itu adalah 'kesalahan' mereka sendiri, karena debit air akan tetap mengalir melalui 'tempatnya'.

Tapi apa memang benar itu semua 100% 'kesalahan' masyarakat yang hidup di wilayah sempadan sungai? di Bantaran Kali?
Buku ini menyadarkan saya, bahwa terlalu banyak aspek di hidup ini sebelum menentukan mana yang benar dan salah. Dan saya berpikir, akar masalah dari orang-orang yang akhirnya memutuskan untuk hidup di bantaran kali adalah kesalahan pemerintah.

Kesalahan pemerintah karena tidak berusaha untuk meratakan pembangunan dan penyediaan lapangan pekerjaan, segalanya berfokus di kota-kota besar, hingga sebagian masyarakat memutuskan untuk bertaruh hidup ke kota besar, dalam buku ini adalah Jakarta.

Permasalahan sosial yang struktural menyebabkan kemiskinan yang struktural dan ketimpangan sosial yang sangat terlihat pula. Buku ini mencoba menjelaskan hal itu dengan cara yang ringan dan mudah dipahami. Terlebih ada banyak kisah menggelitik diantara pola tingkah dan pikir orang-orang di sekitar Roanne, seperti Tikus, Enin, Neneng, Yantri, Pinter, dan lainnya....

Campur aduk perasaan saya sepanjang membaca buku ini. Sekilas terasa lucu, tapi mungkin itu karena saya tidak hidup sebagai mereka, jadi sekelumit kisah mereka terkesan lucu bagi saya. Ada perasaan hangat juga, karena begitu banyak orang-orang yang menunjukkan kepedulian (walau terkadang dengan cara yang aneh, tapi mereka yakini benar), dan selebihnya perasaan tidak nyaman, karena kisah yang saya baca ini benar-benar dialami sekelompok manusia.

Manusia yang tidak punya pilihan lain selain menerima diskriminatif sosial.

Buku ini sangat banyak sekali menyinggung bagaimana norma dan perilaku sosial bekerja di tengah masyarakat Indonesia. Mulai dari korupsi-korupsi kecil, hierarki sosial sesuai dengan pangkat dan umur, hingga cara manusia agar diterima dalam suatu kelompok.

Menurut saya buku ini harus dibaca oleh pemerintah, sebagai salah satu cara untuk mengevaluasi penerapan kebijakan wilayah sempadan sungai.
Ah, tapi ini bulan Desember tahun 2024, ketika bahkan negara ini memiliki seorang pemimpin yang tidak suka membaca. Bagai pungguk merindukan bulan.
Profile Image for Gita Swasti.
322 reviews40 followers
November 6, 2022
Sains telah menghasilkan peningkatan kumulatif dalam basis pengetahuannya melalui metodologinya. Sayangnya, kita tidak dapat mendiskusikan kemajuan dalam humaniora dengan cara yang sama. Mitos, sastra, musik, dan puisi belum berkembang seperti penjelasan ilmiah.

Kadang saya suka ke pesta dan acara ramah tamah lainnya, tapi kalau sudah terlalu sering datang ke acara-acara semacam itu, sesudahnya saya sengaja ingin menyendiri dan menyepi ...


... di Indonesia tidak bisa begitu. Makanya, orang-orang tidak bisa memahami kalau saya menginginkan hal itu, atau bahkan memerlukannya.


Kali Ciliwung merupakan sungai yang mengalir sepanjang 120 km meiintasi Bogor, Depok, dan Jakarta. Sungai menjadi salah satu kondisi fisik dasar yang terdapat pada suatu daerah untuk mempertahankan sumber daya air berkelanjutan. Kendati demikian, di Kali Ciliwung, tepian sungai dimanfaatkan untuk pembangunan pemukiman. Benar-benar dekat hingga sudah menyentuh garis sempadan sungai. Hal ini tentu saja menyangkut dengan ketentuan Pasal 140 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang
Perumahan dan Kawasan Permukiman. Disebutkan bahwa setiap orang dilarang membangun perumahan dan/atau permukiman ditempat yang berpotensi dapat menimbulkan bahaya bagi barang ataupun orang.

Tempat Terbaik di Dunia memotret kehidupan warga Bantar Kali dengan humanistik. Mereka adalah orang-orang yang. Roanne adalah seorang antropolog sekaligus ilmuwan. Alih-alih menggunakan metode ilmiah, Roanne menggunakan metode partisipatif-observatoris untuk mempelajari masyarakat dan budaya yang berbeda. Ia menggunakan pendekatan humanistik-interpretatif dalam banyak keadaan.

Keyakinan dan praktik budaya mungkin tidak mudah diterjemahkan dari satu masyarakat ke masyarakat lainnya, maka dari itu Roanne memilih untuk merasakannya sendiri. Ini adalah pilihan yang brilian. Ia memahami praktik atau institusi budaya Bantar Kali yang mungkin memiliki makna yang kaya, mendalam, terlokalisasi langsung (dalam masyarakat yang diteliti), tetapi ia tidak serta merta mengubahnya menjadi makna transkultural atau lintas budaya.

Dilansir dari https://roannevanvoorst.com/, Roanne menggeluti tema-tema seperti kemanusiaan yang berkelanjutan (sustainable humanity) , etnografi, dan kajian pembangunan.

Buku yang keren!
Displaying 1 - 30 of 115 reviews

Can't find what you're looking for?

Get help and learn more about the design.