Jump to ratings and reviews
Rate this book

Tetralogi Buru #1

Människans jord - en kärleksroman från Java

Rate this book
Minke är en javanesisk pojke som växer upp i 1890-talets Indonesien. Han kommer från en förnäm javanesisk släkt och rör sig hemtamt bland de holländska kolonisatörerna. När han en dag blir våldsamt förälskad i den vackra Annelies, dotter till en holländsk affärsman och hans javanesiska konkubin, blir det början till ett uppvaknande.

266 pages, Hardcover

First published August 1, 1980

2573 people are currently reading
34452 people want to read

About the author

Pramoedya Ananta Toer

62 books3,102 followers
Pramoedya Ananta Toer was an Indonesian author of novels, short stories, essays, polemics, and histories of his homeland and its people. A well-regarded writer in the West, Pramoedya's outspoken and often politically charged writings faced censorship in his native land during the pre-reformation era. For opposing the policies of both founding president Sukarno, as well as those of its successor, the New Order regime of Suharto, he faced extrajudicial punishment. During the many years in which he suffered imprisonment and house arrest, he became a cause célèbre for advocates of freedom of expression and human rights.

Bibliography:
* Kranji-Bekasi Jatuh (1947)
* Perburuan (The Fugitive) (1950)
* Keluarga Gerilya (1950)
* Bukan Pasarmalam (1951)
* Cerita dari Blora (1952)
* Gulat di Jakarta (1953)
* Korupsi (Corruption) (1954)
* Midah - Si Manis Bergigi Emas (1954)
* Cerita Calon Arang (The King, the Witch, and the Priest) (1957)
* Hoakiau di Indonesia (1960)
* Panggil Aku Kartini Saja I & II (1962)
* The Buru Quartet
o Bumi Manusia (This Earth of Mankind) (1980)
o Anak Semua Bangsa (Child of All Nations) (1980)
o Jejak Langkah (Footsteps) (1985)
o Rumah Kaca (House of Glass) (1988)
* Gadis Pantai (The Girl from the Coast) (1982)
* Nyanyi Sunyi Seorang Bisu (A Mute's Soliloquy) (1995)
* Arus Balik (1995)
* Arok Dedes (1999)
* Mangir (1999)
* Larasati (2000)

Ratings & Reviews

What do you think?
Rate this book

Friends & Following

Create a free account to discover what your friends think of this book!

Community Reviews

5 stars
13,186 (58%)
4 stars
6,700 (29%)
3 stars
1,919 (8%)
2 stars
386 (1%)
1 star
286 (1%)
Displaying 1 - 30 of 2,500 reviews
Profile Image for Harry Rutherford.
376 reviews106 followers
October 28, 2010
This Earth of Mankind is the first novel of the Buru Quartet, so called because it was composed when Pramoedya Ananta Toer was a political prisoner on Buru Island in the 60s. I say ‘composed’ rather than ‘written’ because the first version of it was told orally to his fellow prisoners. He had apparently just about finished the research and planning when he was arrested and all his notes and books were destroyed.

Which is an immediately intriguing back-story, although the relationship between the novel and his imprisonment is not particularly direct, in that Pramoedya was imprisoned by Suharto’s military dictatorship as part of an anti-Communist purge, whereas the novel is set at the very end of the C19th — 1898, in fact — in a Java which is part of the Dutch East Indies.

Still, it is, among other things, a clearly political novel; it deals with the political awakening of a young man growing up in a society structured as a formal racial hierarchy, with ‘Natives’ at the bottom, ‘Pures’ (i.e. Europeans) at the top, and a layer of ‘Indos’ (Indo-European, mixed race) stuck in the middle, operating as a local elite.

The hero of the novel is a Native, but an unusually privileged one; because of the importance of his family, he is the only Native* at an elite high school for Europeans and Indos. So he’s awkwardly positioned in between worlds, brought up to believe that his European education makes him better than other Natives. But of course when he comes into conflict with the establishment, he discovers how fragile his privilege is, and how much he is dependent on the goodwill of the colonial powers.

I enjoyed it; it reminded me rather of one of those European novels from between the world wars, with a whiff of melodrama, and characters having long wordy conversations about ideas. Slightly old-fashioned, but in a good way. I’m certainly tempted to pick up the second in the quartet.

This Earth of Mankind is my book from Indonesia for the Read The World challenge.

* it feels very weird to keep capitalising ‘Native’ like that, but I’m following the practice of the novel, or the translation, which capitalises the racial terms to emphasise their formal legal status.
Profile Image for erry.
120 reviews76 followers
January 21, 2010
“ Cerita..selamanya tentang manusia, kehidupannya, bukan kematiannya. Ya biarpun yang ditampilkannya itu hewan, raksasa atau dewa ataupun hantu. Dan tak ada yang lebih sulit dipahami daripada sang manusia.. jangan anggap remeh si manusia, yang kelihatannya begitu sederhana; biarpun penglihatanmu setajam mata elang; pikiranmu setajam pisau cukur, perabaanmu lebih peka daripada dewa, pendengaranmu dapat menangkap musik dan ratap tangis kehidupan; pengetahuanmu tentang manusia takkan bakal bisa kemput”

- Pramoedya Ananta Toer dalam Bumi Manusia –

=============================================================

Aku adalah manusia. Tentu yang tak sempurna. Karena kealpaan dan lupa tak bisa lepas dariku. Aku hanyalah manusia biasa. Aku bukanlah dewa dengan segala ke-Maha-annya. Sempurna adalah kata yang tidak untukku.

Namaku Minke, setidaknya itulah sapaan orang-orang ketika memanggilku. Saking terlalu seringnya nama itu digunakan, hingga aku hampir lupa nama asliku. Nama yang diberikan oleh Bunda dan Ayanda yang dengan bersusah payah akhirnya berhasil menjadi Bupati B.

Sebagai keturunan priyayi Jawa, aku beruntung bisa mengenyam pendidikan ala Eropa. Ilmu pengetahuannya, budayanya, pergaulannya, bahasanya serta segala hal yang berbau Eropa. Aku begitu kagum akan peradaban dan budaya mereka. Hingga hampir- hampir tak lagi berdiri di atas tanah budaya sendiri. Ironis memang, tetapi itulah yang mungkin akan terjadi padaku kalau saja tak terjadi peristiwa itu

Sebagai lelaki normal, wajarlah kiranya ketika kujatuh hati pada seorang perempuan. Apalagi perempuan yang kecantikannya ibarat dewi. Cantik, lembut namun rapuh. Aku mabuk karena kecantikannya dan cintanya. Hingga membuatku tak sadar, jatuh semakin dalam. Sebuah hubungan yang tulus, tanpa menyadari hukum, peraturan, kasta, etnis, bangsa dan pandangan orang lain dan dunia. Tak kudengarkan lagi nasihat para guru dan orangtua sendiri. Aku terjerat, terikat, terpenjara.

Pribumi adalah bundaku. Bunda yang melahirkanku, memberiku dasar budaya, adat dan darah Jawa ini. Bunda yang telah memberiku kehidupan. Pribumi juga adalah Mamaku. Seorang wanita cerdas yang menjadi pintar secara otodidak. Perempuan biasa yang menjadi keras karena pengalaman hidup. Seorang Mama yang membuatku begitu mengaguminya.

Eropa adalah guruku. Aku belajar dari mereka. Aku melihat dunia dari mereka, hingga aku lebih sering berlisan dengan bahasa mereka. Tetapi seperti apapun aku tetaplah seorang pribumi. Pribumi yang hanya dijadikan alat bangsa Eropa untuk meninggikan kejayaan mereka, sementara di pihak lain kami - kaum pribumi - akan semakin direndahkan derajatnya hingga ke jauh ke dalam tanah.

Batinku berontak, harga diriku berteriak. Apakah ini arti dari semua yang telah kupelajari dari kalian wahai bangsa Eropa?? Apalah artinya semua ilmu, pengetahuan, sopan santun, hukum dan keadilan yang telah mereka ajarkan?? Ketika keadilan itu hanya berlaku bagi kaum mereka sendiri. Ketika hukum hanya melindungi ras kulit putih sendiri. Dan ketika batas antara Eropa dan pribumi tetap tak dapat terlampaui. Ketika kaum penjajah kolonial tetap akan menginjakkan kaki mereka di atas kepala kaum pribumi pemilik negeri sendiri. Apakah akan selamanya seperti itu??
=============================================================

Bumi manusia. Manusia dgn segala problematikanya. Sebuah novel tentang seorang seorang keturunan priyayi Jawa yang mengenyam pendidikan ala Eropa. Sebuah pergolakan batin ketika ia berada di antara pertentangan antara apa yang dinamakan dengan modern dan tradisi. Apakah harus memilih cinta, cita cita ataupun keluarga. Pun jua ketika dihadapkan pada batasan antara pribumi dan Eropa. Hukum, keadilan dan semuanya.

Sebuah novel yang cukup berani. Humanis. Melihat manusia dengan segala sisinya. Karena memang ini adalah Bumi manusia. Tak salahlah kalau novel ini banyak meraih penghargaan dari berbagai lembaga dan negara. Juga berulangkali diterbitkan di dicetak ulang dalam berbagai bahasa di dunia. Bahkan kalau tak salah, karena novel ini Pramoedya pernah beberapa kali dinominasikan meraih nobel sastra. Satu pertanyaan menggelitik kepala : Kenapa novel ini pernah sampai dilarang peredarannya?? Sepanjang saya membaca novel ini menurut pandangan saya pribadi, tiadalah unsur sosialis, komunis, mengancam ketahanan negara dan semacamnya. Suatu keanehan memang. Tetapi bukankah Indonesia memang adalah negeri yang penuh anomali??

Bumi manusia mengajak kita untuk berpikir dan merenung. Walaupun settingnya di era kolonial Belanda. Masih cocok dengan kondisi sekarang. Kebaikan dan keburukan manusia, diskriminasi, keadilan dan ketidak adilan hukum, mengutamakan kepentingan kelompok/ golongan tertentu, pemerasan, penjajahan dan pembatasan kemerdekaan, dan sebagainya. Kalau kita renungi, hingga masa kini pun itu semua masih terjadi bukan?? Bedanya tidak lagi antara Eropa dan pribumi. Tetapi antara sesama pribumi anak negeri. Hmm…mungkin saja itu jadi salah satu jawaban dari pertanyaan yang menggelitikku tadi. Mungkin. Dan itu mungkin saja loh………..


- Erry -
Profile Image for Scott.
197 reviews
July 18, 2014
If this is a great work of literature, Its greatness eluded me. But I enjoyed the book, learning a bit of Indonesian history and imagining what life would've been like for Natives under Dutch colonial rule.
Profile Image for Jr Bacdayan.
221 reviews2,021 followers
April 21, 2020
Pramoedya Ananta Toer's This Earth of Mankind is a deeply spirited coming-of-age tale of a native Javanese set in the Dutch East Indies or Colonial Indonesia. Pieced together from orally mastered parts composed while a political prisoner, Ananta Toer's work is a vital contribution to the vastly hindered landscape of Indonesian literature.

Before anything else I just want to point out something that bothers me. While browsing through the author's page I noticed that the second sentence of Ananta Toer's profile here in Goodreads says "A well-regarded writer in the West..." Why does this have to be highlighted when his literary accomplishments for Indonesia actually carry a greater significance? Xenocentrism and Western-Validation are exactly against the spirit of what his writings embody, self-belief and pride in the native Indonesian. This needs to be fixed.

Going back, I really wanted this to be a great piece of literature outside of its sociopolitical sphere as a deeply important work for its political and social commentary on the Dutch oppression of the native Indonesian during their colonial rule. However when judged purely on its merits as a written piece of fiction there is a lot left to be desired. But that is not to discount the good that it brings.

The hero of this tale is Minke, a very priveledged native who is given a European education because of his family's wealth and political influence. He is basically treated as a superman given the qualities of being highly intelligent, verbose, and even strikingly handsome. He is a Javanese Casanova envied by all including his European peers. While I understand the need to uplift Minke as a character symbolizing the innate capacity of the native Indonesian to excel, somehow all this together seemed quite excessive. A character not lacking in anything is unrealistic and more importantly boring.

So when the Indo or mixed-blooded heroine falls madly in love with Minke on their very first meeting it seemed a bit contrived. Basically four-fifths of the book revolve on exhibiting Minke's flawless perfection and then the last fifth is where the actual conflict in the story occurs. I know that this is a quartet and there are three more books to the story, but as a stand-alone piece there are some chapters that could have been compressed or even cut altogether. On top of that some loose ends are haphazardly tied with a single passing sentence. I don't know if some things were lost in translation, but that could very well be a possibility.

Now don't take my criticisms to say that I dislike the book, in fact I rather enjoyed it. The nuances of pre-colonial Indonesian culture and how it adapted to the Dutch regime is fascinating to explore. And this book's strong female characters, except for the often-drugged heroine, reflect the common trait of strength that the female Malay are renowned for. And when you finally get to the conflict and what ultimately happens, you realize that the gravity it carries from its resilient people is well deserved.

Pramoedya Ananta Toer devoted his life to Indonesian literature. While he may not have written a perfect book, his patriotic intentions are clearly perceived. Thus if to paint his native countrymen in a flawed perfection is his crime, then the fault lies with this foreign beholder.
Profile Image for Daniel Simmons.
832 reviews56 followers
August 11, 2016
Pretty awful as a work of literary fiction (or else a truly terrible translation of a masterpiece?), but interesting as an anthropological document of colonial-era Java.
Profile Image for Glenn Ardi.
72 reviews481 followers
November 18, 2014
Dulu seorang teman pernah berkata :

" Jika Amerika memiliki F.C Fitzgerald,
Perancis memiliki Victor Hugo,
Rusia memiliki Fyodor Dostoyevsky,
Jerman memiliki Johann Wolfgang von Goethe
dan Jepang memiliki Haruki Murakami
Maka, Indonesia memiliki seorang Pramoedya Ananta Toer "

Penasaran, karena saya sudah baca beberapa karya sastra dunia, tapi baru sedikit karya sastra Indonesia yang saya baca. Maka pada suatu kesempatan saya sempatkan membaca karya Pramoedya yang paling dikenal - Bumi Manusia.

Bumi Manusia adalah buku pertama dari Tetralogi Pulau buru yang menceritakan tentang pertentangan batin yang dialami seorang intelektual Indonesia pada masa pra-kemerdekaan bernama Minke (terinspirasi dari RM Tirto Adisuryo). Bersama Minke kita sebagai pembaca diajak untuk mengalami langsung serta terlibat dalam masa perjuangan pra-kemerdekaan Indonesia, juga tentang pandangannya terhadap pendidikan serta bagaimana pendidikah dapat merubah derajat manusia dan juga nasib bangsanya.

Naskah cerita ini dibuat pada masa Pram diasingkan di penjara Pulau Buru. Setelah naskah ini berkali-kali disembunyikan, kejar-kejaran sama sipir, sampai mungkin dikubur di dalam tanah, disita, ditulis ulang kembali, diceritakan dari mulut ke mulut oleh kawan-kawan Pram di penjara, kemudian ada juga sebagian dari naskahnya yang diselundupkan ke luar negeri (Australia) sampai pada akhirnya diterbitkan dalam bahasa Inggris dan Indonesia pada tahun 1975.

Setelah membaca bukunya, saya menjadi begitu paham arti dari kebesaran nama seorang Pramoedya Ananta Toer. Pram yang lebih lama menghabiskan hidupnya dalam penjara, yang mencoba menulis jejak langkah pemikirannya - agar tetap abadi, tidak hilang ditelan jaman. Ternyata, nama besarnya memang bukan cuma isapan jempol belaka.

Memang pantaslah jika buku ini disebut-sebut sebagai karya sastra terbesar Indonesia. Pantaslah jika buku ini mendapat 12 perhargaan internasional.

dan memang pantas.. jika karya sastra Indonesia yang satu ini, disejajarkan dengan karya-karya besar sastra dunia.
Profile Image for Michael.
10 reviews11 followers
October 4, 2010
This book (English title: The Earth of Mankind) was recommended by an academic friend who learned Indonesian to read it in the author's native language - impressive! The subject is serious: a love affair between a pure-blood Javanese and a mixed-race Indo set against the backdrop of the emergence of Indonesian anti-colonial sentiment near the start of the 20th century. Unfortunately, I found the almost soap-opera-ish style hard to get accustomed to.
Profile Image for Jackie.
3 reviews4 followers
January 7, 2008
Three stars because it introduced me to a slice of Javanese-Indonesian history and Dutch colonialism there, but was a difficult read at times. Though Toer takes a pretty clear side against the Dutch and its imperialism, he gives a more complex telling and analysis of Javanese life. However, the language felt a bit old (which it is), and so got got a little repetitive and dry. Still, it's worth reading and admiring the clarity that Toer had at the time in looking at his country.
Profile Image for Taufiq Yves.
509 reviews319 followers
August 7, 2025
Bumi Manusia, adalah karya yang lahir dari penindasan – dikarang oleh penulis besar Indonesia Pramoedya Ananta Toer semasa beliau ditahan tanpa bicara di Pulau Buru. Dari penindasan itulah lahirnya sebuah karya yang mengangkat sejarah, dan menghidupkan semula jiwa bangsa yang terjajah.

Sebagai peminat tegar Tuan Zainal Rashid Ahmad, buku ini aku dapatkan jua setelah berkali - kali direkomen beliau. Ternyata ia sebuah karya yang indah khabar dan rupa.

Novel ini berpusat pada Minke, seorang anak bangsawan Jawa yang mendapat pendidikan Belanda dan berusaha mencari jati diri dalam dunia yang sarat dengan diskriminasi kolonial. Minke jatuh cinta dengan Annelies, gadis Indo yang lembut dan penuh kasih, anak kepada Nyai Ontosoroh, seorang wanita luar biasa yang walaupun berstatus gundik, memiliki kekuatan intelektual dan maruah yang mengatasi kaum lelaki dan penjajah.

Melalui perjalanan Minke, aku disaksikan bagaimana sistem kolonial merampas hak, melerai kasih, dan menundukkan martabat manusia. Dalam kesusahan itu, Pramoedya menyalakan api kesedaran – bahawa pena dan pemikiran adalah senjata paling ampuh untuk memyedar dan membebaskan bangsanya.

Melalui karya ini, Pramoedya telah mencatat sebuah sejarah penjajahan yang maha susah dan mengupas luka-luka batin yang dialami oleh bangsa yang kehilangan suara dengan nada yang pedih namun tidak mengalah. Aku amat tertarik dengan kisah Minke, walaupun berpendidikan Barat, dia tetap dianggap rendah status sosialnya kerana berdarah Jawa. Di sinilah Bumi Manusia menjadi cermin – bahawa penjajahan itu bukan sekadar fizikal, tetapi juga psikologi dan budaya.

Nyai Ontosoroh adalah lambang kebangkitan wanita Nusantara. Dalam dunia yang menindasnya sebagai gundik, dia bangkit sebagai ibu, pemimpin, dan pemikir. Pramoedya mengangkat dia bukan sahaja sebagai objek naratif, tetapi sebagai subjek perjuangan. Dalam usia 40an, perjuangan hidup Nyai Ontosoroh cukup menyentuh hati aku. Aku dapat melihat bagaimana wanita yang sering dipinggirkan dalam masyarakat kita, utuh melawan nasib dan berjuang untuk bangsanya.

Cinta Minke dan Annelies pula adalah simbol harapan yang diragut oleh sistem kolonial. Ketika Annelies dipaksa pulang ke Belanda, aku bebetul dapat merasakan kehilangan yang bukan sahaja peribadi, tetapi juga bersifat nasional. Ia adalah ratapan terhadap segala yang dirampas oleh penjajahan: cinta, tanah, dan harga diri.

Pramoedya menekankan bahawa pendidikan adalah jalan keluar dari kegelapan dalam novel ni. Minke, melalui tulisan dan pemikiran, mula menyedari bahawa pena tu sebenarnya lebih tajam daripada senjata. Bagi aku yang telah melalui pelbagai fasa kehidupan, tema ini mengingatkan aku bahawa ilmu bukan sekadar alat, tetapi cahaya yang membebaskan.

Menelaah karya ini pada usia sekarang, aku rasa Bumi Manusia selain menjadi cermin retrospektif, ia juga memaksa aku untuk merenung kembali zaman muda yang penuh idealisme, cinta yang pernah direnggut oleh realiti, dan pemberontakan yang kadangkala terasa sia-sia. Tapi menerusi Minke, aku juga disedarkan bahawa setiap luka adalah pelajaran, dan setiap kehilangan adalah panggilan untuk bangkit.

Novel ini benar benar mengurut jiwa dengan cara yang cukup mendalam – ia menghidupkan semula semangat untuk tidak tunduk, untuk terus membaca, menulis, berfikir, dan mencintai tanah air dengan cara yang paling manusiawi.

Dalam usia yang semakin matang, Bumi Manusia menjadi teman yang mengingatkan aku bahawa ada perjuangan yang belum selesai, selagi nyawa dikandung basan, dan suara kita masih perlu dilaungkan demi sebuah kemerdekaan yang sebenar - benar.

5 / 5 stars
Profile Image for Andres Eguiguren.
372 reviews3 followers
January 2, 2016
This is a long-delayed review, partly because I must admit I never finished reading it and partly because I so wanted to like this Indonesian author having read about his time as a political prisoner in the 1960s. As a history teacher, I did appreciate how Ananta Toer captures 19th Century colonial life and the caste-like system that was instituted by the Dutch. The romantic story between the native Javanese boy and the mixed race girl at the centre of the novel, however, did not feel realistic to me and that is why time and time again I could only read a chapter or two before putting the book down.
Profile Image for Heidi.
187 reviews12 followers
March 16, 2016
I got this book to read while I was on Java. I didn't dislike it, but it definitely dragged. I was also hoping for something that would give me more of a feel for the island than this did, more akin to "The Gift of Rain" or "Midnight in the Garden of Good and Evil" in terms of being really steeped in the setting.
Profile Image for R. Sanyoto.
Author 5 books14 followers
March 22, 2008
"Mas, kan kita pernah berbahagia bersama ?"
"Tentu, Ann."
"Kenangkan kebahagiaan itu saja, ya Mas, jangan yang lain."
Profile Image for Erik Angriawan.
4 reviews3 followers
August 15, 2011
Kutipan Tetralogi Pulau Buru

==''Bumi Manusia''==

* "Berbahagialah dia yang makan dari keringatnya sendiri bersuka karena usahanya sendiri dan maju karena pengalamannya sendiri " (''Mama/Nyai Ontosoroh, hal 39''
* "Seorang terpelajar harus juga belajar berlaku adil sudah sejak dalam pikiran, apalagi perbuatan. (''Jean Marais, hal 52'')
* "Cinta itu indah, Minke, terlalu indah, yang bisa didapatkan dalam hidup manusia yang pendek ini. (''Jean Marais, 55'')
* "Tak ada cinta muncul mendadak, karena dia anak kebudayaan, bukan batu dari langit. (''Jean Marais, 55)
* "Melawan, Minke, dengan segala kemampuan dan ketakmampuan. (''Jean Marais, 60)
* "Hidup bisa memberikan segala pada barang siapa tahu dan pandai menerima. (''Mama, 73)
* "Jangan anggap remeh si manusia, yang kelihatannya begitu sederhana; biar penglihatanmu setajam elang, pikiranmu setajam pisau cukur, perabaanmu lebih peka dari para dewa, pendengaran dapat menangkap musik dan ratap-tangis kehidupan; pengetahuanmu tentang manusia takkan bakal bisa kemput. (''Mama, 119)
* "Cerita tentang kesenangan selalu tidak menarik. Itu bukan cerita tentang manusia dan kehidupannya , tapi tentang surga, dan jelas tidak terjadi di atas bumi kita ini. (''Mama, 120)
* "Duniaku bukan jabatan, pangkat, gaji, dan kecurangan. Duniaku bumi manusia dengan persoalannya . (''Minke, 135)
* "Semakin tinggi sekolah bukan berarti semakin menghabiskan makanan orang lain. Harus semakin mengenal batas. (''Bunda, 138)
* "Kau terpelajar, cobalah bersetia pada katahati. (''Jean Marais, 203)
* "Suatu bangsa yang telah mempertaruhkan jiwa-raga dan harta benda untuk segumpal pengertian abstrak bernama kehormatan. (''Miriam de la Croix, 212)
* "Melawan pada yang berilmu dan berpengetahuan adalah menyerahkan diri pada maut dan kehinaan. (''Miriam de la Croix, 213)
* "Suatu masyarakat paling primitif pun, misalnya di jantung Afrika sana, tak pernah duduk di bangku sekolah, tak pernah melihat kitab dalam hidupnya, tak kenal baca-tulis, masih dapat mencintai sastra, walau sastra lisan. (''Magda Peters, 233)
* "Kalian boleh maju dalam pelajaran, mungkin mencapai deretan gelar kesarjanaan apa saja, tapi tanpa mencintai sastra, kalian tinggal hanya hewan yang pandai. (''Magda Peters, 233)
* "Tak pernah ada perang untuk perang. Ada banyak bangsa yang berperang bukan hendak keluar sebagai pemenang. Mereka turun ke medan perang dan berguguran berkeping-keping seperti bangsa Aceh sekarang ini...ada sesuatu yang dibela, sesuatu yang lebih berharga daripada hanya mati, hidup atau kalah-menang. (''Jean Marais, 250)
* "Cinta tak lain dari sumber kekuatan tanpa bendungan bisa mengubah, menghancurkan atau meniadakan, membangun atau menggalang. (''Dr. Martinet, 279)
Profile Image for Nilam Suri.
Author 2 books141 followers
March 22, 2010
So, what can i say...after prolonged it for quite sometime i finally read one of Pramoedya's books.I'm not sure if my review can do justice for this phenomenal book,but let's try, shall we.

Honestly,this book didn't impress me that much.

Saya nggak tau apa yang saya harapkan saat membaca buku yang dipuja2 banyak orang,yang dijadikan bahan skripsi dan thesis,bahkan menjadikan penulisnya salah satu nominator penerima nobel. Buat saya,buku ini sama saja seperti buku-buku lainnya yang digarap dengan serius. Paling perbedaan terbesarnya terletak pada setting cerita,dan hal remeh temeh lainnya yang berhubungan dengan setting.Atau mungkin kehebatan sang penulis yang bisa membuat kita lintas waktu ke masa kolonial dulu yang bikin buku ini spesial? Yah entahlah.

Namun satu hal yang pasti, buku ini menempatkan perempuan pada tempat yang tidak biasa. Hampir semua tokoh-tokoh penting dan hebat dalam buku ini adalah perempuan, mulai dari sang Nyai sampai Magda Peters. Bahkan Bunda pun adalah seorang wanita yang exceptional. Cuma Annalies agak mengganggu saya. Oke saya tau dia masih muda,nah justru karena itulah,setiap melihat ulahnya saya nggak bisa berhenti berpikir, "drama banget sih, dasar ABG!" walaupun dia memang menunjukkan sisi lain dirinya di bagian akhir buku sih,tapi sepanjang buku dia lebih sering membuat saya geleng-geleng kepala.Namun saya jadi penasaran, kalau buku ini benar difilmkan siapakah bintang yang secantik itu sampai kita bisa melihat kejora di matanya, ya? Semoga pilihan Mira dan Riri tidak membuat kecewa.

Bagaimana dengan Minke sendiri?Hm...nggak banyak yang bisa saya katakan tentang dia,kecuali 'tukang nyosor' hahaha...well,sebutan apalagi yang harus saya berikan pada pemuda yang langsung mencium seorang gadis pada perjumpaan pertama? ;p tapi ada kalanya saya menyukai Minke,kadang dia lucu,walau saya sempat berpikir kalau dia seorang pengecut dan lemah hati. Mungkin itu karena dia masih muda. 18 is a very young age indeed.

Saat membaca buku ini saya juga harus berkali-kali mengingatkan diri saya kalau kejadian dalam buku ini terjadi saat kita masih dijajah Belanda,soalnya kalau saya tak melakukannya mungkin saya akan emosi melihat kerasisan para bule itu,dan kedangkalan bangsa pribumi yang berlebihan memuja mereka. Oh,okay, mungkin buku ini memang hebat ternyata. Dia berhasil membangkitkan rasa nasionalisme saya yang nyaris nol.

Good job, old man!*sambil berdoa semoga ga dikutuk*
Profile Image for Naeem.
531 reviews295 followers
August 27, 2008
First, thanks to Sara-Maria and Manu (hard as this is for me to do, a debt is a debt) for encouraging me to read the Buru Qurtet. These four books and Max Havelaar made for superb summer reading.

All the book covers say that Toer is "Asia's leading candidate for the Nobel Prize." I have no doubts about that. This not because he is a great stylist of prose (at least not in the English translation), nor because he uncovers new ground in form. Rather, I think it is Toer's ambition and vast knowledge that is astounding.

Somewhere in the back of my mind, I recall the statement that Benedict Anderson, he of Imagined Communities fame, was influenced by Toer. I can see that. In the first three books, Toer is developing a theory of colonial resistance and colonial consciousness. He also formulates a theory of nationalism. All this is done within dramatic plots and very engaging characters. I continue to believe that some of the best third world theorizing is done through fiction.

The strength and weakness of the four novels is the vast amount of detail that Toer offers. You will learn more about Dutch Indonesia than you ever thought was possible. These details had the effect of completely transporting into a different time and place. I kept thinking to myself: "Why is it that I know next to nothing about Southeast Asia's struggle with the Dutch colonialism?" Reading these books was like looking out at your back yard and realizing that, in it, there is a trail that leads to whole another dimension.

The fourth novel, House of Glass was rather unsettling for me. First the point of view shifts. The first three books are written from the point of view of Minke -- a gifted "native" who internalizes the Dutch and Western norms of his white education and who comes to see the impossibility of realizing the values of equality and justice within the colonial setting. House of Glass shifts the point of view to another native but one who is a collaborationist. In some ways this novel reminds me a bit of the first essay in Memmi's colonizer and the colonized. Second, it is not difficult to identify with the tragedy that befalls Minke since his character has integrity. But the collaborationist in House of Glass, while intelligent, falls further and further into self-hatred. I found the fourth book emotionally difficult.

All in all an enthralling experience. I am very impressed with Toer's historical and theoretical grasp, although I wished he had done more work on the daily operations of the sugar factories that ruled Indonesia.
Profile Image for Whitaker.
299 reviews578 followers
August 2, 2020
I was completely blown away by this work.

The first three books in the Buru Quartet were decent enough but a little programmatic: Minke starts off as a supporter of the Dutch and his loves represent his gradual move away from colonialist supporter to staunch nationalist. His first crush is the Queen of the Netherlands (!) but then he meets a Eurasian girl and her mother. The injustices visited on them by their half brother is what fuels his start towards nationalism. His next love is a young Chinese woman who brings with her the fervent Chinese nationalism to the Indies to try to get the Chinese there to rise up. His final love is a Javanese woman. With each relationship, he matures and learns to love his own people as he learns about and confronts colonial deceit, injustice and racism.

That trajectory was interesting in itself but what really sealed the deal for me was the last book, The House of Glass. The perspective shifts from Minke to Pangemann, the internal security native officer who is the one responsible for putting him under house arrest. As Pangemann's star climbs as a high ranking government officer of the Dutch colonial Indies, the increasing conflict from successfully suppressing the natives of the Indies and his own French beliefs (he was adopted and brought up in France) in equality and independence erode his self-respect. Unlike Minke who fights for his own beliefs in indigenous development and nationalism, Pangemann clings to the security and status of his job only to find that he is left in the end with nothing but self-contempt.

This twin trajectory in opposite directions made the work all the more a trenchant critique not only of colonialism but of those who suck up to power for material gain. The work was created initially as oral literature in the Buru political concentration camp where Toer was held. He was arrested and imprisoned during the time of Suharto's American sponsored military dictatorship of Indonesia. A time of a genocide more ignored than the one against the Armenians, a genocide where the CIA incited the Indonesians to massacre up to 2 million Indonesians in the name of the fight against communism. Unsurprisingly, this work which criticises those who suck up to power, forgoing their morals, struck such a sore spot that it was banned for decades in Indonesia. Highly recommended.
Profile Image for Cintoenxz Abstraxz.
3 reviews8 followers
September 26, 2007
Sebuah novel sejarah yang mengisahkan perjalanan intelektual seorang anak manusia (yang diberi nama oleh Pram Minke=monyet) untuk menemukan arti kemanusiaan dan identitas kebangsaan awal abad 20-an. Berhadapan dengan kolonialisme dan sistem hukumnya yang diskriminatif, Minke melihat banyak ketimpangan-ketimpangan, penindasan-penindasa, politik pecah belah, pembagian kelas, dan politik kolonial yang menyengsarakan manusia Indonesia dan menjatuhkan kemanusiaan ke titik yang paling rendah dalam pergulatan sejarah manusia Indonesia. Betapa tidak berharganya seorang Inlander (priboemi) dimata pemerintah kolonial.
Berbagai pengalaman hidup dan kekecewaan yang dialami dalam kehidupannya, kehidupan seputar kehidupan pribadinya, terutama percintaannya dengan Annelis, yang karena berbeda warna mata harus mengalami "tragedi". Munculnya sosok Nyai Ontosoroh, meskipun hanya seorang gundik Belanda Totok tapi dengan kebanggaan yang besar sebagai inlander (priboemi)mampu menjadi "guru spiritual" yang menanamkan kesadaran identitas diri pada Minke, yang akhirnya membawanya pada kesadaran untuk menyadarkan bangsa ini, sebagai pewaris sah Nusantara, untuk bangkit dan berjuang melawan kolonialisme.
Sebuah roman yang sangat menarik, yang akan membangkitkan jiwa nasionalisme, jiwa kebanggaan sebagai bangsa besar. Bahwa bangsa kita pernah mengalami penghinaan yang luar biasa, dan apakah kita akan terus melestarikan kehinaan tersebut, atau justru membangkitkan kesadaran untuk kebesaran bangsa, sebagaimana pernah dicapai pada era Majapahit?
Profile Image for Utha.
824 reviews398 followers
May 4, 2022
Aku bikin semacam ungkapan rasa iri terhadap Nyai Ontosoroh di blog pribadi haha, jadi ini bukan resensi novel! HAHA. Ini nih: http://www.tsaputrasakti.com/2019/08/...

- - -

Selesai membaca, justru rasa iri yang terbit terhadap sikap Nyai Ontosoroh.

Catatan:
Dulu pernah baca waktu SMP dan sensasinya ternyata beda saat udah "gede" begini bacanya... :')
Profile Image for Jenny (Reading Envy).
3,876 reviews3,707 followers
December 3, 2015
This is a complex novel about Dutch-Indo relations through the eyes of Minke, an intelligent Javanese boy who is sent up through Dutch schooling. He falls in love with the daughter of a nyai (a concubine, or slave, as she would put it) whose father is Dutch but whose mother is native. He calls the nyai "Mama" through most of the novel. He is forced to confront his own preconceived notions on intelligence, hierarchy, and personal value, largely because of Mama:
"Stories about happy things are never interesting. They are not stories about people and their lives, but about heaven, and clearly do not take place on this earth of ours."
There are co-existing governments in Indonesia during this time period - Minke's father is a bupati, a regional nobleman post that is given honor and authority until it involves a non-native person, and then all bets are off. Minke could actually have moved up into a similar role (because of his blood) but seems to be positioning himself to have more of an influence in crossing the lines, something that is not a popular approach, but one gaining a lot of attention, referred to as "Association Theory," this idea of equal governance with the Europeans. It looks like Child of All Nations continues Minke's story as he takes on a larger role. Since this volume ends so tragically, I would be interested in knowing what happens next.

I have read a handful of books set in Indonesia (more than a handful if you include West Papua) but this is the only one translated from a native author. It actually is against the law to sell or purchase his work within Indonesia, and the quartet that this novel introduces were originally composed orally while the author was in jail for political reasons, recited to other inmates, until he was allowed to have paper. The author's life is reflected in the tensions of the novel - native vs. European, tradition vs. religion, etc.
"Science was giving birth to more and more miracles. The legends of my ancestors were being put to shame. No longer was it necessary to meditate in the mountains for years in order to be able to speak to somebody across the seas. The Germans had laid a cable reaching from England to India! And these cables were multiplying and spreading all over the face of the earth. The whole world could now observe the behavior of any person. And people could now observe the behavior of the whole world.

But mankind and its problems remained as they have always been. And no more so than in the matters of love."
Also discussed on Episode 044 of the Reading Envy Podcast.
Profile Image for Missy J.
629 reviews107 followers
February 12, 2022
This first time I read this book was in English about 8-9 years ago. I wrote a review in my early days on GR. Soon after that, I got my first smart phone and downloaded the GR app. My clumsy fingers accidentally deleted the original first review and I was never able to retrieve it back. Now, I've come back to Pramoedya Ananta Toer's classic and read it in the original language. I feel so happy. At the same time my feelings about this book have changed quite a bit. The first time I read this book, I was full of admiration and pride, because it was my first encounter with an Indonesian literary classic. Back then I thought it was the love story of Minke and Annelies. But having finished the entire Buru Quartet and knowing the outcome of the story, I felt very different about this relationship now. Minke was still brainwashed with colonial mentality and quite arrogant. I was rolling my eyes. Annelies was so young, but back in the day that was common. I found Tuan Mellema's transformation unbelievable. Overall, what I liked the best was the mix of characters that we encounter and the setting in Dutch East Indies at the turn of the 20th century. The author clearly shows how colonialism wrecked the self-esteem and mentality of the people. They thought the world of the white colonialists and Europe couldn't do anything wrong. That's why Annelies' mother was such an exceptional woman at that time - self-educated, strong and principled. At the same time, I couldn't help but wonder how much has Indonesia changed since then. How would Pramoedya Ananta Toer view Indonesia now?

"...Tetapi kecantikan, bahkan hidup sendiri menjadi sia-sia bila dikuasai ketakutan."

"Dan advokat itu orang Eropa juga. Ma?"
"Hanya pengabdi uang. Bertambah banyak uang kau berikan padanya, bertambah dia jujur padamu. Itulah Eropa."
Profile Image for Bernard Batubara.
Author 26 books818 followers
October 22, 2013
Selesai baca Bumi Manusia - Pramoedya Ananta Toer.

Sempat saya menunda membaca Tetralogi Buru yang saya beli sebulan lalu, karena tebal dan panjangnya sehingga saya merasa nanti-nanti sajalah bacanya. Lalu saya menyuruh diri untuk mulai membaca. Saya mengambil Bumi Manusia dari rak, bagian pertama Tetralogi Buru, dan mulai membaca. Tak terasa, saya sudah tiba pada halaman keseratus, dan terus melanjutkan membaca.

Saya kira Bumi Manusia berat, namun ternyata tidak. Pram bertutur dengan sangat nyaman dan mengalir. Bumi Manusia betul-betul page turner, saya sulit berhenti membuka halaman demi halamannya. Bahasa cerita Pram sangat enak untuk diikuti. Ringan, meski secara substansi persoalan yang diangkat adalah isu yang serius: perlawanan Pribumi terhadap sikap dan tindakan-tindakan Eropa.

Secara cerita, Bumi Manusia adalah fiksi yang sangat baik. Elemen-elemen fiksinya digarap Pram dengan begitu baik. Idenya besar, plotnya jalin menjalin dengan sangat oke, karakter-karakternya kuat, dialognya menarik, narasinya nyaman, deskripsinya pas, pov orang pertama namun tak kehilangan arah dan tak membingungkan ketika Minke (aku-tokoh) bercerita dari suara orang lain (pada beberapa bab "aku" berganti menjadi Annelies, Nyai Ontosoroh, dan yang lain). Pendalaman karakter dan motif karakter lewat back-story dan narasi isi kepala dan perasaan karakter disampaikan dengan sangat baik.

Ah, sulit buat saya untuk tidak memberikan 5 dari 5 bintang untuk Bumi Manusia.
Profile Image for Andrew.
2,258 reviews928 followers
Read
December 6, 2014
Rest in peace to the postcolonial novel of characters. There were once droves of them, from all parts of the newly liberated world, but they're a rare commodity in an era where the “ethnic” novel in the U.S. has been reduced to level one alienation and occasional italicized references to spices.

Toer wrote a fucking four-volume epic without a pen on a prison island in Indonesia (and you think you're a writer...). And the first volume is a novel of beautifully drawn characters. Like E.M. Forster in A Passage to India, Toer is interested in showing every nuance of colonial existence, every intersection of the colonizer and colonized, from the decent people to the outright motherfuckers, and the infinite varieties of complex humanity in between. My only regret is-- given all the references to what dialects characters are speaking at any given moment-- that I wasn't able to read the original in what is presumably a shimmering heteroglossia.
Profile Image for Nurul Suhadah.
180 reviews33 followers
April 8, 2020
Sekali lagi, Pram membuatkan air mata mengalir di hujung cerita selepas Gadis Pantai. Kerana merasa dalamnya emosi yang dibawa bersama. Dengan bahasa khas Pram, memang sekali lagi susah nak berhenti setelah mula membaca. Yang tebal terasa nipis, yang dirasa akan ambil masa lama rupanya sekejap sahaja. Ada yang perkataan kurang difahami, lama-lama makin mampu menangkap maksudnya.

Mulanya, saya tertanya-tanya juga, kenapa novel ini menjadi fenomena? Kenapa trilogi ini begitu menjadi hingga diterjemah ke pelbagai bahasa. Malang, saya yang terlambat membaca karya ini. Malah mula mengenali Pram bukan dengan karya agungnya ini, tetapi masuk mendekati Pram kerana Kartini.

Tetapi seperti novel-novelnya yang telah saya baca sebelum ini, Pram terus mengangkat dan mengagungkan wanita. Malah, jujur saya kata, peribadi yang paling kuat yang melekat di jiwa saya dalam karya ini adalah Sanikem, si Nyai itu. Nyai Ontosoroh yang kuat melawan, yang menjadi terpelajar dan penuh budi secara tidak sengaja. Yang kuat bekerja, punya pandangan jauh, kuat jatidiri, tabah dan berani. Beliau adalah mangsa yang terus bangkit dan berjuang. Mangsa yang tidak mahu terus terjelopok dalam dunia kemangsaan. Malah, bangkit dan melawan. Nyai adalah antara watak-watak kuat yang telah dikembangkan dengan sangat baik dalam novel ini.

Tak dilupa, wanita yang mungkin tidak punya rupa tapi punya pengetahuan yang luas, punya prinsip dan antara guru dan pembimbing yang terbaik, si Magda Peters. Wanita Belanda yang mengabdi kepada ilmu dan peradaban, dan jujur dengan keilmuan. Malah mampu pula mendidik dengan penuh kesungguhan dan kesabaran. Hingga si anak murid tumbuh mekar menjadi seorang yang sangat gemilang. Malah, sangat tersentuh apabila buku-buku terpilih yang dihadiahkannya buat anak murid kesayangannya tatkala hari pernikahan beliau. Betapa Magda Peters ini terus mahu membimbing, dan sangat mengenali sejauh mana anak didiknya mampu pergi.

Apabila membaca tentang si Bunda Minke itu pula, saya terinspirasi mahu menjadi ibu sebaik itu. Wanita pribumi yang sangat menarik dan unik. Entah dari mana beliau memperoleh peribadi itu. Tanpa pelajaran Barat, hidup kuat dengan adat Jawa yang terus dipertahankan, beliau sangat terbuka dan boleh menerima seadanya. Menyayangi dan mengenali potensi anak sendiri disamping sentiasa mengingatkan agar si anak tidak lupa diri.

"Sekali dalam hidup, kita harus menentukan sikap. Jika tidak, kita tidak akan mampu jadi apa-apa."

Itulah yang saya nampak. Setiap watak-watak ini punya sikap yang sangat kuat.

Dan saya cuba menyelami, mengapa kata keramat daripada Jean Morais itu yang dinukil di belakang buku ini. Rupanya, memang itulah yang menjadi akar dan asas karya ini. Keadilan!

"Seorang terpelajar harus juga berlaku adil sudah sejak dalam fikiran, apalagi dalam perbuatan".

Inilah kisah Bumi Manusia.
Profile Image for Wahyu Novian.
333 reviews46 followers
September 16, 2019
Bagaimana sih menulis kesan terhadap buku sepopuler Bumi Manusia?

Let’s get personal.

Saya mau misuh-misuh dulu sama Minke. Jemawa sekali dia, merasa tinggi sebagai orang terpelajar lalu kemudian merendahkan orang lain. Menganggap bodoh dan kurang berpendidikan Ibu, Bapak, dan Abangnya (patutkah terhadap orang tua seperti itu?), benci unggah-ungguh Jawa, tapi juga merasa gagah sebagai keturunan priyayi. Pikirannya ramai mengeluh ini itu. Juga sering berprasangka duga yang buruk-buruk. ⁣

Mungkin begitulah kolonialisme membentuk Minke. Pembagian Totok, Indo, dan Pribumi, memaksa Minke bertingkah. Tetap dilihat sebelah mata, meski sudah bekerja lebih keras dan berkemampuan lebih tinggi. Kamu bayangkan saja, setiap hari langsung dihakimi hanya karena darah (dan masih ada saja di dunia ini—katanya manusia semakin berpendidikan, nyatanya rasisme tidak pernah hilang). ⁣

Saya pikir buku ini terlalu penuh drama—saya sebal dengan romansa Annelise dan Minke! Tapi gaya bahasa dan alur bercerita Pram bikin saya tetap terus membaca buku ini. Mungkin karena topiknya yang politis? Seorang privileged yang sedang terombang-ambing jati dirinya melihat kepelikan hidup bangsanya. ⁣

Sastra menjadi salah satu cara untuk mengintip sebuah zaman di suatu negeri, betul juga rasanya. Sayang belum sempat tonton filmnya. Oiya, saya tidak paham alasan buku ini dilarang Orde Baru. Kenapa begitu ditakuti? ⁣
Profile Image for Bunga Mawar.
1,355 reviews43 followers
January 10, 2009
Malangnya nasibmu, Inlander. Dipecah-belah lalu dikuasai Belanda yang rakus. Bebal. Biadab.

Malangnya nasibmu, Sanikem. Diambil madu dan kemanisanmu, diperas otak dan jiwamu, dihinakan status nyai-mu, tak bisa menyelamatkan darah dagingmu sendiri.

Malangnya nasibmu Annelies. Muda, cantik, berbudi halus. Dibuat lemah oleh kuatnya pribadi mamamu, kesempitan duniamu, dan butanya cintamu.

Malangnya nasibmu Minke. Ganteng, cerdas, berani. Punya nama lahir kok tidak dipakai. Apa kurang bagus pemberian orangtuamu, ha?

Malangnya nasibmu Vera. Baca buku keren, diniatkan dibaca sehari semalam, eh... baru sadar belakangan halaman 312-344 ternyata bukan bagian dari buku ini, tapi buku Anak Semua Bangsa. Kena spoiler deh. Mbak Endah (empunya buku) sadar nggak ya?


Benar-benar buku bagus. Buktinya saya hampir meraung saat Annelies tak bereaksi saat suaminya bercerita macam-macam. Dari Putri Genoveva sampai Baron von Munchausen. Dan buku bagus ini tak layak dapat review ngasal macam ini. Tapi kan saya baru kena spoiler.

Bunga bakung, buah kedondong.
Harap maklum, dong.
Profile Image for Kiran Bhat.
Author 15 books215 followers
June 24, 2020
There is a reason why Toer is considered Indonesia's best author. He writes of a certain time of Indonesian history and gives it the life and spark of literature. He makes one feel as an Indonesian everyman visiting the palaces of Dutch lords, he gives a pomp decadence to layouts of luxury, but from the eyes of people who have barely experienced it. Whether it's young females on the age of adolescence or incarcerated intellectuals, Toer spares no time in giving each and every one of his characters an aura, feeling, and depth. An easy comparison would be Tolstoy, as both writers give a certain atmosphere to the page that almost resembles life itself. I also think Toer's writing is like Naguib Mahfouz's. Both writers were unabashedly realists in a time of much experimentation, and yet they both created some of the most unique characters in literature, and in parts of the world usually unaccounted for on the international reading horizon.
Profile Image for Aloke.
209 reviews57 followers
May 11, 2017
Historical fiction set on the island of Java at the turn of the 19th century. Knowing next to nothing about the milieu it was almost like reading science fiction, i.e. trying to understand the "futuristic" slang and social conventions. Adding to my confusion were the echoes of the colonial relationship between the British and India, replaced here by the Dutch and the "Indonesians" (I write it in quotations because the book mostly refers to Javanese, Acehnese, Madurese, i.e. specific islands although the term "Indo" refers to those of mixed Dutch and local descent) and the hints of Hinduism in the names of figures from Javanese mythology contrasted with the fact that most of the islanders practice Islam.
Profile Image for Delasyahma.
242 reviews125 followers
July 25, 2019
Saya suka buku ini, awalnya ketika saya memilih buku ini dari tumpukan buku yang lain, saya ragu, karena saya takut tidak mampu memahami buku ini, yang digadan-gadang merupakan "sastra berat" yang kemungkinan akan sulit dipahami. Namun saya nekat dan memberanikan diri, dimulai dari detik itu, saya langsung menyesal.

Saya menyesal karena, kenapa tidak sedari dulu saya membaca buku Bumi Manusia, lembar demi lembar sama sekali tidak terasa karena cerita yang begitu mengalir. Bahkan, saya sendiri enggan berhenti membaca. Ketakutan-ketakutan saya saat itu hanya tinggal kenangan. Saya bahkan merasa Bumi Manusia lebih mudah dipahami dibandingkan dengan Max Havelaar karya Multatuli.



Yang saya sukai dari buku ini adalah semu karakter-karakter dalam cerita yang terasa begitu hidup. Semua karakter didalam buku terasa kuat dan berpengaruh dalam cerita. Buku ini bukan hanya menceritakan romansa namun juga pemikiran-pemikiran kritis Pramoedya Ananta Toer yang dituangkan kedalam karakter-karakter yang ada di dalam cerita. Terutama tokoh Minke. Saya sangat menyukai bagai mana cara berpikir Minke. Dan saya juga menyukai ketangguhan nyai Ontosoroh dalam menjalani hidupnya. Seperti cerminan wanita mandiri dari masa ke masa.

Cara bercerita penulis yang mengalir membuat buku ini mudah dipahami, walaupun terdapat kata yang tidak saya mengerti, karena mungkin gaya bahasa yang ditulis tidak seperti sastra-sastra populer lainnya. Karenanya saya menyiapkan "google" untuk mempermudah memahami kosakata yang sulit. Mungkin gaya bahasa merupakan salah satu hal yang membuat buku ini masuk kedalam kategori "sastra berat".

Selain karena buku ini sudah diterjemahkan kebanyak sekali bahasa dan mendapat banyak penghargaan tentunya.

Isu-isu yang dibawa penulis dalam buku ini pun sangat penting. Kolonialisme, rasisme, sosial masyarakat, adat istiadat dan juga modernisme.



Selain itu ada hal yang sebenarnya kurang membuatku sreg, pertama ada satu tokoh yang tidak terlihat konsiten yaitu Robert Suurhof, menurutku karakternya aneh, diawal terasa akrab, tapi dengan cepat bisa begitu renggang seakan tidak terbangun chamistry yang baik sebelumnya.

Selain itu, ada kalimat yang tidak di beri tanda baca. Saya menemukannya di beberapa bagian, itu cukup mengganggu, karena saya menjadi kesulitan memahami kalimat tersebut, jika hanya di baca satu kali. Hanya itu saja yang dirasa kurang oleh saya, selebihnya saya suka.
Profile Image for Shanya Putri.
345 reviews160 followers
August 24, 2019
Sudah lama dengar betapa bagusnya buku ini. Karya sastra Indonesia terbaik. Bahkan di beberapa sekolah, saat pelajaran Bahasa Indonesia, murid-murid disuruh membaca buku ini—sekolahku tidak. Alhasil aku baru membacanya saat di bangku kuliah.


Bumi Manusia bercerita tentang Minke–pribumi, anak Bupati dan siswa H.B.S.–dan orang-orang yang ada di sekitarnya. Ditulis dari sudut pandang orang pertama, Minke. Tapi ada beberapa bab yang dari sudut pandang karakter lain, seakan-akan mereka bercerita kepada Minke. Unik sekali.

Bahasanya sebenarnya lumayan berat, karena ada banyak kosakata yang jarang dipakai di jaman sekarang. Untungnya aku masih lumayan ngerti.

Emosional. Kata-katanya juga indah. Hanya saja terkadang aku kesal terhadap kebucinan Annelies :(. Karakter dia sangat bertolakbelakang dengan Mama, Nyai Ontosoroh, yang jauh lebih tegar dan kuat.

Di samping fakta bahwa tertulis "roman" di sampulnya, Bumi Manusia juga menceritakan banyak hal lain. Terutama pedihnya hidup di jaman kolonial Belanda pada akhir abad ke-19.

Anyway, sepertinya aku bakal tetap lanjut baca buku-buku lanjutannya. Toh alasan awal aku memulai untuk baca buku ini karena mau nonton filmnya (tim baca sebelum nonton). Sangat direkomendasikan untuk semua yang ingin mengenal sejarah Indonesia (ini buku historical fiction pertamaku!!). Just read it.
Profile Image for Happy Dwi Wardhana.
244 reviews38 followers
May 3, 2019
Though I've read many Indonesian novels, I missed this book which is considered as the milestone in Indonesian literature. I'm not into classics. The only reason to read it was just because Bumi Manusia would be screening soon, starring my favorite actor: Dilan Iqbaal.

As the pages turned on and on, I began to like it. It wasn't like the classics I had read before. The pace wasn't slow as other classics. The characters were built very well. The emotions were absorbed in my mind. It is not exaggerated that people say Bumi Manusia is Indonesia's best work of all time.
Displaying 1 - 30 of 2,500 reviews

Can't find what you're looking for?

Get help and learn more about the design.