Jump to ratings and reviews
Rate this book

Camar Biru: Cinta Tak Selalu Tepat Waktu

Rate this book
Aku membutuhkanmu.
Kau terasa tepat untukku. Pelukanmu serasi dengan hangat tubuhku. Dan setiap bagian dari diriku sudah terlalu terbiasa dengan kehadiranmu-dengan suaramu, dengan sentuhanmu, dengan aroma khas tubuhmu. Dengan debaran yang terdengar seperti ketukan bermelodi saat kau menatapku penuh perhatian seperti itu.

Aku membutuhkanmu.
Ya cinta, ya waktumu. Dan kau sudah melihat jujur dan juga munafikku. Bahkan, di saat aku begitu yakin kau akan meninggalkanku, kau hanya menertawakan kecurigaanku dan merangkul bahuku. Sungguh heran, setelah sekian tahun pun, kau masih bertahan di sini, bersamaku.

Aku membutuhkanmu-dan bisa jadi... aku mencintaimu. Tapi, aku belum akan mengakui ini padamu. Aku belum siap meruntuhkan bentengku dan membiarkanmu memiliki hatiku....

279 pages, Paperback

First published November 1, 2012

48 people are currently reading
1061 people want to read

About the author

Nilam Suri

2 books141 followers
Sudah sejak lama beranggapan bahwa growing up is overrated, even after being a mom. Paling aktif menulis ketika matahari berubah jingga, atau saat langit menjadi kelabu, dan pastinya saat gerimis bergemerisik pelan dari balik jendela.

Sedang berusaha mengelabui waktu, dan menolak gravitasi. Suatu hari, dia akan terbang dan tanpa pernah menjadi tua.

Ratings & Reviews

What do you think?
Rate this book

Friends & Following

Create a free account to discover what your friends think of this book!

Community Reviews

5 stars
351 (35%)
4 stars
280 (28%)
3 stars
276 (27%)
2 stars
74 (7%)
1 star
17 (1%)
Displaying 1 - 30 of 120 reviews
Profile Image for Dewi.
177 reviews67 followers
December 22, 2012
Ini cerita tentang sebuah bujursangkar, yang dulu pernah begitu solid namun kini terpecah karena sebuah tragedi.

Ini cerita tentang Nina, salah satu sisi bujur sangkar yang tersisa. Sang putri gulali dengan warna pastel yang berubah jadi manusia kelabu berhati biru. Nina yang hidup dalam kurungan kenangan masa lalu. Nina yang sekadar "bertahan" untuk hidup namun juga ingin menghilang.

Ini juga cerita tentang Adith, sisi lain yang tersisa dari bujur sangkar. Adith memang bukan pangeran tampan berkuda putih-nya Nina, tapi Adith adalah pangeran yang selalu setia di samping Nina. Adith yang tidak membiarkan Nina menghilang.

Berawal dari pemenuhan sebuah janji yang terucap sepuluh tahun lalu, kini Adith dan Nina belajar untuk memaafkan masa lalu, berani menapak masa depan dan menerima satu sama lain dalam hati masing-masing.

Pertama kelar baca buku ini, saya bengong sesaat. GIMANA CARANYA BIKIN REVIEW BUKU INI SECARA FAIR TANPA CURCOL???

Well...anyhoo this is my attempt. Mudah-mudahan sih fair dan gak jadi curcol. Dan mudah-mudahan juga gak ada spoiler. Tapi kalo pun iya, you've been told before :p.

Satu, saya suka sama penggalan lagu-lagu yang ada di tiap bab, fits my taste. Terutama buat lagu "Paint It Black"nya The Rolling Stones yang pernah jadi soundtrack hidup saya dan "Blackbird"nya Beatles yang masih menjadi soundtrack saya.

Dua, saya kurang nyaman dengan gaya bahasa loe-gue yang dipake di buku ini. Saya ngerti kalo percakapan antar tokoh pake gue-loe, ato ketika yang bernarasi adalah tokoh pria, tapi saat semua tokoh menggunakan gue-loe, maka yep...saya terganggu.

Tapi saya salut. Walopun pake bahasa gue-loe, percakapan antar tokoh di buku ini berbobot. Bahasa ringan yang digunakannya membuat pesan yang ingin disampaikan jadi "kena". Saya juga suka analogi-analogi yang digunakan oleh Nilam. contohnya percakapan mengenai Dufan berikut ini :
"Lo tahu nggak kenapa gue bilang tempat ini sebagai tempat kebahagiaan semu?" "Karena menurut gue, orang - orang yang sedang menaiki wahana ini sebenarnya sedang setengah mati ketakutan. Mereka sebenarnya sedang setengah mati ketakutan dan berusaha menutupinya dengan tawa."

Tiga, masih soal gaya bahasa. Sama kayak mas Tomo, saya nggak ngerti kenapa Sinar membahasakan diri dengan "saya" ke Nina. Mereka sangat akrab bukan? Kenapa nggak pake "gue-lo" aja? Ato paling nggak "aku-kamu" lah. "Saya" itu kesannya resmi banget untuk seorang istimewa yang dikenal selama 20 tahun lebih.

Empat, saya nggak nyaman dengan multi POV yang dipake buku ini.
Don't get me wrong. Saya suka kok baca cerita yang pake POV 1 ato POV berapa pun itu. Saya juga suka kalo cerita pake multiple POV 1 yang membuat setiap tokoh utama ber-narasi seperti yang terjadi di Perfect Chemistry-nya Simone Elkeles ato Antologi Rasa-nya Ika Natassa. Fine with that.

Tapi ketika sebuah buku mengambil multiple POV 1 lalu beralih ke POV 3 dan balik lagi ke POV 1, then I have a problem with that. Penulisnya berasa Tuhan yang bebas mengatur nasib para tokohnya.

Lima, sama seperti sebagian besar reviewer, saya juga gak suka dengan bagian epilog itu. Cerita ini akan lebih nendang kalo ditutup di bab sebelum epilog. I prefer a story that tied with a red ribbon but not too tight please.

Enam, saya suka dengan analogi asap rokok di buku ini.
"Gue selalu percaya permintaan itu akan dikabulkan kalau dia bisa terbang semakin tinggi, nggak tahu kenapa. Mungkin kalau dia semakin tinggi, dia akan semakin mudah didengar. Karena nggak mungkin gue harus terus-terusan naik pesawat setiap kali punya permintaan, jadi jalan lainnya adalah dengan asap."

Seseorang juga pernah mengajarkan hal serupa pada saya. Namun bukannya menggunakan rokok, beliau menggantinya dengan balon gas. Saya sempat lupa dengan ajaran tersebut dan membaca bagian asap rokok membuka kenangan saya akan beliau. Thank you, Nilam, for bringing back that sweet memory.

Tujuh, uhm...jujur...saya kurang suka dengan covernya. Cantik sih, tapi gak secantik cover Gagas lain. Emang cover designer-nya bukan favorit saya ternyata.
Tapi itu gak penting.
Yang penting adalah : kok gambar yang ada di cover itu bangau kertas biru sih? Kan judulnya camar biru? #SebenernyaIniJugaGakPenting
Apa karena Gagas gak punya stok gambar camar kertas biru? Ah enggak kookk. Halaman dalam buku ini dipenuhi gambar camar kertas

Delapan, bosen rasanya harus bilang ini lagi dan lagi *sigh*, tapi saya gak suka banget deh dengan blurb di buku ini. Tipikal Gagas banget sih yang suka kasi blurb sok puitis berisi curahan hati salah seorang tokohnya tapi gak bakal dipahami maksudnya sama orang yang belum baca novel ini (Dan kenapa bahasa gw ribet giniii??)

Jujur aja, kalo saya lagi di toko buku, ngeliat cover buku ini dan baca blurb di back cover, saya gak bakal tertarik beli buku ini. Blurb-nya gak menjual. In fact, yang bikin saya ngeh sama buku ini adalah nama penulisnya dan review Mas Tomo.

Sembilan, hmm...twist di buku ini sebenarnya udah ketebak bahkan sejak awal. Dari sejak bab 5 ketika Nina bernarasi seperti ini :
"Dengan tetap menyisihkan malam penuh kabut lainnya, kabut mengerikan, yang juga dari sepuluh tahun lalu. Alasan sebenarnya kenapa gue membiarkan Adith membuat sumpah konyol itu, dan alasan kenapa gue menyetujuinya sekarang."

Lain kali coba clue-nya jangan ditaro sejak awal buku, mbak Nilam. Jadinya ketebak. Akan lebih bikin penasaran kalo cuma tokoh Adith aja yang berprasangka dan menebak-nebak sendirian. Biar pembaca (saya sih tepatnya) ikut menebak bersama Adith.

Sepuluh, saya suka dengan chemistry antar tokohnya, terutama chemistry Adith-Nina. Kerasa banget transisi perasaan mereka dari sahabat lama yang kemudian belajar membuka hati. Saya suka gimana Nilam perlahan membangun chemistry mereka hingga keduanya sadar bahwa mereka butuh yang "lebih" dari hubungan mereka selama ini.

Sebelas, saya berharap buku ini bisa lebih tebal sehingga Nilam bisa mengeksplorasi karakter Nina lebih dalam. See...Nina has some wrecked past yang mengubah karakter keseluruhannya. Saya berharap Nilam bisa menggambarkan perasaan dan trauma Nina lebih dalam lagi, tentang bagaimana dia mengatasinya atau bagaimana perjuangan dia untuk menerimanya.
Tapi saya juga paham kok perjuangan psikologis Nina bukanlah topik utama kisah ini. Dan saya juga paham kalo 279 halaman tidaklah cukup untuk mengeksplorasi hal tersebut, belum lagi ditambah cerita tentang Adith-Nina di masa sekarang.

Dua belas, saya suka analogi persahabatan bujur sangkarnya. I know it so well.

Saya pernah punya sebuah persahabatan seperti itu dalam hidup saya. Sebuah dekagon yang begitu solid dan bertahan 20 tahun lebih.
Tapi 2x campur tangan Thanatos dan sebuah "persilangan hati" meretakkan dekagon kami.

Beberapa memilih seperti Sinar, yang pergi menjauh namun tak bisa benar-benar lepas dari jaringan sisi dekagon yang tersisa.
Beberapa seperti Nina yang berusaha keras mempertahankan apa pun yang tersisa dari sebuah ikatan yang sudah retak, mengubahnya jadi oktagon bila perlu.
Saya?
Saya seperti Adith yang hanya diam dan menikmati sisi mana pun yang tersisa dari dekagon kami. Sama seperti Adith, saya tak berusaha menjauh, namun juga tak berusaha merekatkan apapun.
Dan karena itu, I feel Adith. Saya ngerti concern-nya ke Nina, juga rasa pahitnya pada Sinar yang memilih pergi.

Tiga belas, saya suka kalimat ini dari halaman 269 :
"Kadang, saat kita nggak mampu melepaskan orang yang terlalu kita cintai, berarti kitalah yang harus pergi. Mungkin membalikkan badan dan berlalu lebih mudah dibanding berdiri diam menatap punggung seseorang (atau dalam kasus gue, menatap batu nisan) yang berjalan menjauh."

I did that once.
Sayang saya gak seberuntung tokoh-tokoh dalam buku ini. Karena saat kembali, saya masih terjebak dalam same-old-brand-new problem. Should I go again? (woooiii....kok jadi curhat wooiiii? XD)

Empat belas, saya mempertanyakan maksud kalimat yang ada di halaman 4 : "Si Kunyuk itu pecandu kopi akut dan cuma mau kopi Sumatra-nya Starbucks".

Apa maksud "akut" pada kalimat di atas? Apakah Si Kunyuk baru-baru ini saja suka kopi? Ah nggaaakk kookk. Dari ceritanya jelas ditunjukkan Si Kunyuk sudah lama suka kopi.
Mungkin maksud Nilam adalah "kronis"?
Ato mungkin maksud Nilam, Si Kunyuk adalah pecandu kopi kelas berat?
Apa sih makna "akut" yang dimaksud?

Dan kenapa saya segitu bawelnya sama satu kata doang?

Simpel sih, karena saya liat banyak banget penggunaan yang salah pada kata "akut". Entah kenapa banyak yang berpikir "akut" artinya sudah parah. Sehingga saat saya bilang ke client saya kalo penyakit mereka adalah tipe penyakit yang akut, yang ada mereka jadi pucat dan panik.
Padahal akut kan merujuk pada suatu hal yang baru terjadi. Belum tentu jelek.

Dan sebelum saya salah kaprah sama maksud Nilam, mending saya tanya dulu kan?

Lima belas, kenapa saya kasi bintang 4 untuk novel ini?
Balik ke definisi goodreads dan definisi saya aja. Karena saya suka banget sama buku ini dan bakal saya baca ulang someday. Terutama kalo saya lagi mood untuk buku ringan yang beraura beautifully sad dan sadly beautiful kayak buku ini.

Fyuh...finally nemu juga buku terbitan Gagas yang bisa saya sukai dan tidak membuat saya merasa tertipu oleh covernya.

Enam belas, ini sih buat Sulis doang. Liiisss, ada buku Gagas bagus yang layak masuk koleksi niihh. X)

Udah ah. So far sih cuma 16 point ini yang keingat ("cuma" loe kateee, wiii?"). Kapan-kapan kalo masih ada yang perlu ditambah, ditambahain aaahh.
Reserved to be edited sometimes later yaaaa #berasaKaskus

=======================================

Gimana caranya nulis review ini tanpa jadi curcol? Hmmm...biarkan mengendap dulu deh
Profile Image for Wirotomo Nofamilyname.
380 reviews51 followers
December 10, 2012
Saya harus memberitahukan bahwa review ini sangat banyak menampilkan spoiler bagi anda yang sangat benci mengetahui sesuatu sebelum saatnya. So beware!!! Jika anda termasuk kategori tersebut, segera tinggalkan review ini dan segera pergi ke toko buku terdekat untuk membeli buku ini. (#titipan promosi dari Nilam) :-).

Pertama harus saya sampaikan, saya kenal dengan penulis buku ini, Nilam, tidak sebegitu dekatnya sehingga nama saya bisa masuk ke ucapan terima kasih di buku ini, namun juga tidak sebegitu tidak kenalnya sehingga dia bisa bilang: "Tomo? Tomo yang mana ya?".

Kedua, saya sudah memutuskan semua buku yang dikarang/ditulis oleh teman-teman saya TIDAK akan mendapatkan review 1 bintang dari saya. Mereka pasti akan mendapatkannya dari orang lain, jadi mengapa saya , sebagai teman mereka mesti menambahkan hal tersebut. Jadi sebelum baca, saya sudah memutuskan paling tidak buku ini akan mendapat 2 bintang.

Ketiga, ternyata saya sangat suka tokoh-tokoh di buku ini. saya juga sangat suka upaya Nilam membuat pembaca tidak bosan dengan menempatkan 2 POV secara bergantian dan terkadang menyelipkan kejadian masa lalu, misal: kecelakaan lalu lintas yang dialami sang tokoh wanita, Nina, bersama kakaknya, kejadian masa kecil Nina bersama Adith di rumah pohon, dsb. dan bahkan ada satu bab yang diperuntukkan e-mail Sinar kepada sobatnya Naren (alm.) yang secara cerdik mengisi kekosongan pendapat pribadi Sinar, yang selama ini hanya kita ketahui dari penuturan sang adik (Adith) dan gadis yg memujanya (Nina). Menurut saya aliran cerita cukup lancar, dan penuturan setiap POV konsisten dengan sifat mereka yg berusaha ditampilkan.

Keempat, Gangguan yang sangat mengganggu saya yang sudah jadi trademark saya adalah saya benci jika buku berbahasa Indonesia dengan tokoh orang Indonesia mulai berbicara bahasa Inggris. Saya sudah mengomentarinya di review saya tentang Cintapuccino: http://www.goodreads.com/review/show/...
di butir No. 2. Namun paling tidak di buku ini saya melihat Nilam berusaha tetap konsisten dengan menjadikan Sinar dan Danish sebagai yg paling sering nyerocos dalam bhs Inggris, lebih karena kebiasaan krn tinggal di LN dan urusan pekerjaan, dan mungkin sedikit sifat snob mereka. :-) Sedang yang lain hanya terkadang nyerocos dlm bhs Inggris, hanya utk sekadar menunjukkan "saya bisa bhs Inggris juga lho".

Kelima, saya sangat tidak suka cara Nilam mendzholimi POV pria, Adith. Bayangkan, sudah penampilannya biasa, kecerdasan juga biasa, 22 tahun harus menanti gadis pujaannya untuk akhirnya memilih dia (setelah 20 tahun dijadikan "keset"), punya kakak yang sangat ganteng, keren, cerdas. Man! dan yang lebih parah dari 5 tokoh utama, sepertinya hanya dia yang ditakdirkan menjadi orang biasa. Kejaaam!!!!

Keenam, saya tidak bisa memahami mengapa Sinar selalu membahasakan diri dengan "saya" kepada Nina. Padahal di situ mereka digambarkan sangat akrab. Saya, sebagai contoh adalah pemakai bhs Indonesia sbg mother's tongue, karena Ibu saya melarang saya ngomong "gue/loe" dalam kehidupan sehari-hari (shg saya menyebut "aku" kepada para teman/sahabat, "saya" kepada orang yg dihormati atau belum dikenal atau untuk keperluan seperti ini (menulis), dan "Tomo" kepada keluarga saya). jadi mengapa Sinar tdk menggunakan "Aku" atau "Sinar" ke Nina, itu masih jadi misteri buat saya.

Ketujuh, dari seluruh bab di buku ini saya paling tidak suka dengan bab 2 (kalau saya tidak salah) yang berusaha menceritakan kejadian yang menyebabkan mengapa mereka sampai harus bikin perjanjian seperti itu (perjanjian seperti yang ada di film My Best Friend's Wedding, namun tentu saja yang terjadi kebalikannya). Adegan itu begitu kartun, komikal dan apa ya, sehingga menurut saya sangat tidak tepat diceritakan melalui POV orang pertama. Tapi mungkin ini memang ide Nilam tentang adegan kartun dalam sebuah cerita romance. Kemudian saya ketika sampai halaman-halaman terakhir sepertinya jadi merasa agak lelah, eh tapi ini mungkin karena faktor U dan kebiasaan saya membaca komik yang tidak banyak halamannya. hehehe. oke lupakan.

Kedelapan, saya suka cara Nilam menempatkan setiap bab dengan diawali teks/lirik lagu penyanyi-penyanyi tertentu, yang berusaha menggambarkan kejadian yg akan terjadi bab itu. Penggambaran paling tepat tentu saat tertulis lagu "Wouldn't It Be Nice" dari Beach Boys, yang menurut saya menggambarkan harapan yang mungkin menjadi kenyataan. Walaupun tentu saja ada beberapa ada bab yg saya bingung mengapa harus dicantumkan teks lagu itu.
Tentu saja di sini, Nilam berusaha "pamer" selera musiknya. Semua penyanyi yg ditampilkan adalah penyanyi yg ngetop namun tidak pasaran. Belle & Sebastian, anyone?:-) Tidak ada penyanyi Indonesia, kecuali Efek Rumah Kaca (yg juga tdk komersil). Padahal beberapa bab menurut saya lebih cocok jika diawali dengan teks/lirik lagu lain, misal: lirik lagu "Oops... I Did It Again" dari Britney Spears sangat cocok ditempatkan di bab... hadeh, ini kritik saya berikutnya, saya tidak menemukan nomor bab di buku ini. Oke nanti saya cek bukunya langsung, sekarang lagi tidak dibawa. :-)

Kesembilan, saya sangat suka penempatan lagu "To Make You Feel My Love" dari Bob Dylan pada saat adegan kecelakaan yang menewaskan Naren. Mantap sekali. Apalagi pada saat kecelakaan baru saja terjadi dan diceritakan lagu tersebut mengalun lamat-lamat. (Tentu saja saya lebih suka versi remake dari penyanyi favorit saya, Billy Joel, yang menurut saya suaranya lebih jantan dari Bob Dylan, yg menurut saya menyanyi seperti jika... maaf... "biji"nya kejepit sesuatu). Tapi it's okay, itu masalah selera.
Tapi sayangnya adalah pada adegan itu Naren akhirnya tewas, sayang sekali. Karena saya belum sempat menanyakan kepada Naren, merek dan tempat dia membeli cd player mobilnya yg sudah terbukti kuat menghadapi guncangan saat mobil berguling-guling saat kecelakaan. Sayang sekali! :-)

Kesepuluh, sebagai seorang optimist sejati saya tidak begitu suka adanya epilog "2 tahun kemudian" di buku ini. Harusnya buku ini diakhiri cukup di bab perpisahan di bandara. kita sudah tahu kok pasti Nina akan kembali untuk Adith. Sepertinya ini atas permintaan dari penerbitnya, eh atau bisa juga bentuk perhatian Nilam terhadap pesimist reader-nya, eh atau ini pesanan dari suami Nilam (yang tentu saja namanya diawali huruf A --- jadi jelas kan mengapa Nina memilih Adith dan bukan Sinar :-)). Bisa saja ada sih. Tapi menurut saya ceritanya lebih kuat tanpa epilog tambahan.

Kesebelas, di akhir pembacaan buku ini saya bingung apakah saya akan memberikan bintang 4 atau bintang 3? Tapi akhirnya saya memutuskan, bintang 4 saja, lebih karena saya suka banget dengan tokoh2 ciptaan Nilam. Lelucon mereka sangat sesuai dengan selera saya (Saat Adith bilang ke Danish yg sedang menangis: "make upmu pasti mahal sekali karena tidak luntur". atau e-mail Sinar ke alm. Naren "kali ini gue bersyukur loe sudah mati, Ren, dsb). Jadi saya putuskan 4 saja deh. Saya pikir "I really like it", jadi 4 lah bintangnya.

Keduabelas, adegan kecelakaan yg membuat Nina trauma dijadikan salah satu bab. Mengapa adegan perkosaannya tidak, Nilam? hehehe Mengapa? Mengapa? (#titipan permintaan Aki-Aki penggemar EA). :-)

Review ini ditulis dengan tanpa memegang buku termaksud sehingga tidak bisa dilakukan konfirmasi. Maka jika saya menemukan kesalahan di kemudian hari, saya akan merevisinya lagi sesuai keadaan sebenarnya di buku tersebut.


NB:
Tips untuk membedakan apakah anda optimist sejati atau pessimist sejati.
Tonton film Lost In Translation, terutama adegan akhirnya saat Bill Murray membisikkan sesuatu (tidak terdengar oleh kita, para penonton) kepada Scarlett Johansson.
Jika anda menyatakan bahwa Bill Murray memberitahukan alamat atau nomor telepon atau petunjuk untuk bertemu kembali dengannya, maka anda adalah "OPTIMIST SEJATI".
Jika anda menyatakan bahwa Bill Murray mengucapkan kata perpisahan dan hiburan, maka anda adalah "PESSIMIST SEJATI"


Profile Image for Alvi Syahrin.
Author 11 books717 followers
December 10, 2012
Dari gaya bercerita, sebenarnya ini bukan tipikal novel favorit saya. But, surprisingly, I like it. Really like it. :)

Pengen curhat dulu, hehe. Akhir-akhir ini, saya sepertinya salah membeli novel. Seperti biasa, saya selalu baca beberapa review di Goodreads baru beli novelnya. Tapi saya sadar, segede apa pun ratingnya, kalau bukan selera, ya nggak bisa memaksakan diri untuk suka. Dan itulah yang terjadi pada saya. Beberapa novel yang saya baca akhir-akhir ini bukannya jelek, tapi biasa aja. Saya tipikal pembaca yang suka konflik yang bikin deg-degan atau heartbreaking-lah--walaupun saya jarang sekali terbawa ketika membaca. Intinya, novel-novel yang saya baca akhir-akhir ini lumayan aja. Konfliknya ada, tapi melempem. Saya nggak bisa nemu klimaknya. Dan sudah begitu saja. :(

Jadi ketika saya beli novel ini, saya berharap novel ini bisa bikin saya nggak salah beli buku lagi. Saya kangen kasih rating 4... Saya kangen kasih rating 5...

Dan, saya nggak salah beli novel. Saya suka novel ini. Saya suka ide ceritanya. Saya suka janji dua sahabat itu--dan saya selalu suka kisah persahabatan. Saya suka sekali ketika mereka melakukan flashback ketika mereka masih kecil--kenangan manisnya terasa sekali. Dan meskipun gaya menulisnya menggunakan bahasa sehari-hari, saya masih merasakan unsur manis, galau, ceria. Dan, konfliknya dapet, nggak melempem. Klimaksnya juga sampai menyentuh puncak. Meskipun saya nggak sampai terbawa (saya heran kok saya susah sekali terbawa ketika baca novel), tapi saya sangat bisa memahami perasaan Adith dan Nina. Sangat bisa. Kejadian-kejadian terjadi dengan alasan yang jelas, nggak ditaruh begitu saja, sehingga saya jadi percaya mengapa reaksi tokoh bisa seperti ini-itu. Semuanya jelas dan wajar dan penyelesaiannya oke banget.

Dan, endingnya... meskipun saya sudah tahu mereka akan bersatu, tapi saya pengen di ending mereka mengungkit lagi tentang kenangan mereka, tentang Naren, tentang janji mereka, dan camar biru...

Mengapa saya menyimpan satu bintang lagi, itu karena saya belum menemukan tokoh favorit saya di novel ini. Dan ketika saya menutup buku ini, lalu melanjutkannya beberapa jam kemudian, saya suka lupa... ini Nina atau Adith ya yang ngomong? Mungkin hanya saya aja yang merasa 'suara' mereka sama. :p

Intinya, saya sangat menanti novel Mbak Nilam ini dan menanti novel berikutnya. Semoga Mbak Nilam menulis kisah remaja dan sesuatu yang berhubungan dengan persahabatan. Semoga. :D
This entire review has been hidden because of spoilers.
Profile Image for Nina Ardianti.
Author 10 books397 followers
December 4, 2012
Seperti yang semua orang tahu, saya adalah penggila romance. Terutama contemporary romance yang light, gaya tulisannya kayak bahasa sehari-hari, nggak mellow/sendu/sedih/galau dengan penulisan yang terlalu puitis dan nggak berusaha supaya quotable banget. Sayangnya, contemporary romance Indonesia yang bagus dan memenuhi kriteria saya, jarang ditemukan (atau saya kurang usaha nyarinya? Ya pokoknya gitu lah...). Ketika saya tahu bahwa Nilam menerbitkan Camar Biru, tanpa ekspektasi apapun saya langsung beli.

Dan ternyata saya menemukan satu Indonesian contemporary romance yang saya suka. Huehuheu... Mulai dari gaya bahasanya, setting, percakapan, dan segala hal yang berkaitan dengan kehidupan riil yang memang dialami kita semua. Semuanya relatable dengan kehidupan kita.

Ceritanya sendiri tentang sepasang cowok dan cewek yang sudah bersahabat dari kecil dan sepuluh tahun yang lalu mereka berdua saling berjanji, kalau sampai sepuluh tahun yang akan datang mereka belum nikah, maka mereka akan menikahi satu sama lain. Eh sumpah deh, pas denger premisnya kayak gini, tiba-tiba saya tertawa. Bukan apa-apa, tapi saya jadi teringat saya dan sahabat yang pernah melakukan janji yang sama waktu duluuuu... Pas SMA. Janji yang nggak terpenuhi karena... Ya karena banyak hal.

Dan ternyata memang nggak sesederhana itu. Kedua tokohnya, Adith dan Nina (bukan salah saya kalo namanya kebetulan samaaaa... Bukan terinspirasi dari saya jugaaaa. Harus ada disclaimer disini) menyadari bahwa untuk menikah, mereka menghadapi banyak hal yang melibatkan hal-hal besar yang nggak mereka bagi satu sama lain selama menjadi sahabat. Dan permasalahan mereka berdua (terutama Nina) lebih berat dari pada yang kelihatan. Padahal yang kelihatan aja udah berat.

Diceritakan dengan sudut pandang orang pertama dan orang ketiga secara bergantian bikin horizon dan perspektifnya lebih luas. Ada kekurangan typo dikit disana-sini cuma masih oke kok. Banyak penggunaan bahasa Inggris namun buat saya nggak masalah.

Sekali lagi, Good job, Nilam! Ditunggu buku berikutnya!
Profile Image for Biondy.
Author 9 books233 followers
November 21, 2014
Judul: Camar Biru
Pengarang: Nilam Suri
Penerbit: GagasMedia
Halaman: 279 halaman
Terbitan: November 2012

Apa yang terjadi ketika satu sisi dari sebuah persegi lenyap? Itulah yang terjadi pada persahabatan Adith, Nina, Sinar, dan Naren. Saat sebuah kecelakaan merenggut nyawa salah seorang di antara mereka, keseimbangan persahabatan tiga orang yang tersisa pun goyah.

Tahun-tahun berlalu dan saat jangka waktu telah terlewati, sepasang camar biru kembali muncul ke permukaan. Dua orang yang bersumpah memenuhi perjanjian mereka. Saat langit yang biru tampaknya akan menjadi ujung perjalanan, awan-awan kelabu tiba-tiba datang menyeruak. Rahasia apa yang sebenarnya tersimpan selama ini?

Review
Mengandung spoiler. Percayalah

Jangan salahkan saya kalau saya tiba-tiba pakai bahasa yang "berat" seperti di atas. Salahkan blurb-nya GagasMedia yang selalu (berusaha) membuat pembacanya galau.

Ok, saya sih ngaku aja ya. Saya jarang baca novelnya Gagas. Buku Gagas yang pernah kubaca, yang bisa kuingat, cuma Heaven on Earth sama Think, Tinka! dan dua-duanya kurang berkesan buat saya. Makanya agak ragu juga sih buat beli buku Gagas (plus banyak juga yang suka kecewa karena merasa kecele sama sampul+blurb-nya Gagas), tapi setelah baca soal buku ini di Ren's Little Corner, jadi penasaran juga. Buku ini lalu saya pilih sebagai salah satu hadiah giveaway dari Ren's Little Corner. Lumayan, gratisan. *intinya teutep aja belum pernah beli bukunya Gagas.

Menurutku buku ini harusnya dibundling bareng sebuah kamus mini. Bahasa Inggrisnya itu loh. Kayaknya ini novel Indonesia dengan penggunaan bahasa Inggris terbanyak yang pernah saya baca. Untung saya baca buku ini sekarang. Coba kalau bacanya pas zaman SMA dulu. Duh, bisa joget saya.



Uhuk, maaf. Saya teralihkan.

Lepas dari bahasa Inggrisnya yang bertebaran, saya rasa cara pengarang menuturkan ceritanya cukup baik. Enak diikuti. Hubungan antar karakternya tergambar dengan baik dan saya suka hubungan Nina dan Adith. Sangat manis dan tidak membuat diabetes. Gula hubungan mereka takarannya pas.

Rahasia yang pengarang simpan untuk menjadi kejutan besar di akhir, sayangnya cukup terbaca dengan cepat. Khususnya setelah percakapan telepon antara Sinar dengan Nina plus sedikit tambahan latar belakang Nina. Sangat disayangkan, karena ini satu hal yang membuat saya penasaran dan menebak-nebak di awal cerita.

Hal lain yang saya sayangkan dari buku ini adalah epilognya. Nilam Suri, what have you done!? You've made such a great ending, but then you spoiled it with that epilog. Tuh kan, saya jadi ketularan pakai bahasa Inggris deh gara-gara buku ini. Ya, pada intinya, saya rasa buku ini akan lebih nendang tanpa bagian epilognya.

Secara keseluruhan buku ini cukup baik. Ceritanya mengalir, bahasa cukup enak (walau mungkin ada yang bakal terganggu dengan panggilan 'monyet', 'kunyuk', dsb yang dipakai antar karakter), dan endingnya bagus. Kalau baca buku ini, saran saya, berhentilah di halaman 275. Gak usah dilanjutin ke epilognya.

Tiga bintang untuk Nilam Suri dan Camar Biru-nya. I like this novel.

Buku ini untuk tantangan baca:
- 2013 New Authors Reading Challenge
- 2013 Serapium Reading Challenge
- 2013 TBR Pile Reading Challenge
- 2013 Indonesian Romance Reading Challenge
- 2013 Color Coded Reading Chalenge
- 2013 Monthly Key Word Reading Challenge
Profile Image for Dion Sagirang.
Author 5 books56 followers
February 4, 2016
Dear penulis...

Kapan-kapan kita nongkrong bareng yuk ah, biar suatu saat nanti, kalau mau bikin novel lagi dengan sudut pandang laki-laki, feel cowok-nya kerasa. *ngemodusinpenulis*

Novel ini tipis sebenarnya, bercerita tentang Nina dan Adit, sepasang sahabat yang punya janji yang ditandai dengan sepasang camar biru. Singkatnya begitu.

Awalnya saya menyukai buku ini, tapi makin ke tengah, porsi Adit ini ngeyel banget. Saya kurang tahu, apakah tipikal laki-laki Jakarta kayak si Adith ini, atau memang penulis gagal membuat si Adith ini kelihatan laki. Pertama, dia cerewetnya cerewet cewek di narasi. Kedua, laki-laki mana yang manggil ke cewek, temen cewek, ke cewek yang mau dinikahi dengan sebutan hewan: si kunyuk-lah, beruk-lah, dan ke si Danish disebut setan betina-lah, penyihir-lah. Man, yang bener aja! Begitu juga karakter Sinar yang ga ada bedanya, ditunjukan lewat e-mail dia ke Naren yang udah meninggal. Nar, situ laki, secengeng itukah? Di London nggak ada cewek yang bisa lo tiduri apa? #gariskeras

Ceritanya tipikal drama, so far nggak masalah. Yang ganggu itu ya karakter si Adit doang. Sisanya, saya lebih suka diceritakan dari pov Nina, karena toh kalau nggak ada penanda dengan perbedaan font, saya nggak bisa bedain mana Nina mana Adith. Voice mereka sama. Kebiasaan mereka manggil orang seenaknya sama. Cerewet mereka sama. Jenis kelamin mereka... beda!

Kalau kovernya, novel ini terbit pas Gagas lagi juara-juaranya bikin kover bagus.

Segitu aja, ke Mbak Penulis, kalau mau ngajakin nongkrong entar, jangan ke tempat kopi, ya?!

Sekian.
Profile Image for Prisca.
Author 36 books675 followers
December 17, 2012
Cerita dan idenya simpel, tapi saya suka sekali. Mood-nya mengingatkan saya pada Norwegian Wood dari Haruki Murakami. Analogi-analoginya pun indah, meskipun menggunakan bahasa sehari-hari.

Some novels could be simple but contain a lot of feelings, and Camar Biru is one of them. :)
Profile Image for ijul (yuliyono).
811 reviews970 followers
May 24, 2013
Janji sahabat yang mencintaimu....

--3,5 star--

Saya tahu novel ini semenjak Nilam masih “mengandung”nya. Meskipun tidak mengikuti proses persalinannya, setidaknya saya tahu novel ini saat masih menjadi janin. Dan, ketika novel ini akhirnya lahir dan diterbitkan oleh Gagas Media, saya bahagia untuk Nilam. Well, saya kenal Nilam berkat Goodreads Indonesia. Seingat saya, saat itu ia masih ngantor di femina. Suatu hari, ia mengirimi saya naskah awal novel ini dan mengizinkan saya untuk membacanya. Tapi justru teman satu kos saya yang lebih excited membacanya duluan. Maklum, saya pembaca lambat, jadi begitu terpampang di layar laptop, si teman itu justru yang tekun membaca. Saya butuh beberapa hari untuk menuntaskan bacanya. First impression, I liked it a lot, dengan beberapa pertanyaan saya layangkan pada Nilam.

Saya membaca ulang Camar Biru begitu resmi diterbitkan oleh Gagas Media. My bad. Saya detailnya agak lupa. Apakah ada yang dihilangkan atau ditambahkan ke dalam novel resminya ini. Beruntunglah saya, dengan demikian saya bisa merasai novel ini seperti baru kali pertama baca.

Satu komentar saya ketika membaca draft-ya dulu pada Nilam. “Non, ini apa nggak yang klise gitu, pake janji-janjian bocah ingusan yang kalo gede mau nikah?” Saya lupa jawaban Nilam apa waktu itu. Tapi, saya kemudian dicerahkan dengan kata-kata salah seorang teman, “Jul, apa yang ada di bawah matahari, hampir semuanya sudah diceritakan sama manusia. Serius kamu mau cari sesuatu yang belum pernah dikisahkan? Menurutku, tinggal bagaimana mahirnya si pencerita buat mendongeng aja sebenarnya yang perlu kita lihat.” Well, saya setuju sih dengan kalimat si teman. Meski, saya agak kurang sreg dengan pilihan cara memulai kisah ini, Camar Biru berhasil menyedot atensi saya untuk terus mengikuti kisahnya hingga akhir.

Bagi saya, ketika plot-nya hampir-hampir bisa ditebak akan mengarah ke mana, adalah kekuatan diksi dan karakterisasinya yang akan menentukan penilaian saya terhadap novel itu. Lagi-lagi saya agak kurang oke dengan pilihan Nilam untuk “elo-gue” di hampir seluruh bagian, baik narasi maupun dialog. Memang benar, itu dapat mengikis jarak kita dengan karya tulisan sehingga kita seolah-olah adalah tokoh yang berperan di dalam novel itu, tapi bagi saya pribadi (sangat subjektif) pembedaan narasi dan dialog masih diperlukan untuk menarik-ulur emosi. Jika penggambaran karakternya dibuat sama ketika narasi dan dialog, saya cenderung mudah jatuh bosan.

“Elo-gue”nya bikin saya sedikit kurang nyaman, tapi karakter para tokohnya begitu terasa di sini. Nina yang cuek dan superberantakan. Adith yang meskipun slengekan tapi bertanggung jawab. Danish yang dominan dan cablak. Ryu yang metroseksual nan necis. Sinar yang dewasa, serta memori Naren yang picture perfect banget sebagai seorang kakak laki-laki. Dan, beberapa aktor-aktris figuran yang tidak hanya berseliweran saja, tapi juga memberikan napas untuk novel ini. Karakterisasi inilah yang menurut saya menjadi salah satu kekuatan dari novel ini.

Bila menilik lagi ke kisahnya, beberapa bagian novel ini bernuansa kelam dan itulah yang membentuk karakter seorang Nina, pun karakter seorang Adith yang sangat ingin melindungi Nina. Jarak yang tercipta antara Nina dan keluarganya memang masih membuat saya bertanya-tanya, apa memang begitu? Dulu, saya pernah punya pengalaman. Ada satu keluarga di kampung saya. Punya dua anak lelaki. Si sulung ini terkenal pintar, tampan, dan memiliki karisma yang sangat besar. Setidaknya, satu kampung tahu dia meski hanya disebut namanya. Sedangkan si adik, biasa saja. Pada suatu waktu, keduanya bersama dengan beberapa cowok di kampung saya, belajar berenang di waduk karena si sulung ini ingin mendaftar masuk ABRI (TNI). Nahas, si sulung tewas tenggelam di waduk yang di kampung saya memang terkenal angker (meminta tumbal, istilahnya). Berhari-hari, bahkan berbulan-bulan, keluarganya meratapi kepergian si sulung ini, namun selewat waktu, orangtua yang awalnya menyalahkan si adik, lambat laun mengerti dan ikhlas. Bahkan, mereka bangga karena si adik kini telah menjadi anggota TNI. Sedikit banyak itu mengobati kerinduan mereka akan mimpi si sulung.

Nah, di novel ini, atas suatu peristiwa, kedua orangtua Nina (khususnya sang ibu) masih tak dapat menerima kepergian Naren dan terus saja menyalahkan Nina. Yah, saya bukan psikolog yang dapat menyelami rasa manusia, jadi saya tak bisa menyingkirkan pertanyaan, “Is it for real? Benarkah ada orangtua yang sampai segitunya?” Hmm, katanya juga, kan nothing is impossible di dunia ini ya, mungkin saja memang ada sih. Sayanya saja yang terjebak gambaran ideal, bahwa seharusnya orangtua berlaku adil pada seluruh anak-anaknya.

Oiya, satu lagi yang saya tanyakan pada Nilam waktu itu. Satu chapter yang full isinya email Sinar pada Naren, yang membuka detail-detail kecil yang hanya diketahui Sinar-Naren karena melibatkan perasaan kedua sahabat karib ini. Mengingat novel ini menggunakan sudut pandang orang pertama yang dikuasai oleh Nina-Adith, saya protes dengan chapter email Sinar yang “ujug-ujug” ada menjelang ending ini. Lagi-lagi saya menuduh, ini adalah keinginan pengarang yang mau mengungkap semuanya. Saya pribadi, cukup menikmati beberapa detail yang dibiarkan misterius atau tetap tersembunyi, khususnya ketika sepanjang novel digambarkan dua tokoh yang mendominasi. Saya jengkel jika tetiba di tengah-tengah ada tokoh cameo mendadak mendapatkan spotlight. Hahaha, again, ini sangat subjektif saya kok.

Hal lain yang saya kurang suka dari novel ini adalah bagian epilognya. Duh, buat apa sih diberikan eiplog itu? Saya lebih suka novel ini dibiarkan berakhir sebagaimana chapter terakhirnya tanpa ditutup dengan epilog yang justru membuat saya mendesah kecewa. Well, sejatinya saya “sepemikiran” dengan epilog itu, tapi jika saya boleh memilih, biarkan itu hidup dalam imajinasi saya. Jangan dipaksakan untuk menggiring saya pada kesimpulan dalam epilog itu.

Oh, dan seperti biasa. Typo masih tersebar di beberapa tempat. Lagi-lagi saya cuman menggeleng-geleng saja. Buat apa ada proofreader kalau typo-nya saja masih sebanyak ini. Ckckck.

Overall, saya menyukai bagaimana Nina-Adith yang terikat unconscious promise ini menjaga hati masing-masing hingga mereka benar-benar mewujudkan janji itu. Apakah janji yang disaksikan sepasang camar biru itu dipenuhi? Mengapa harus camar biru? Untuk mendapatkan sensasi cinta sepasang sahabat yang tak lekang oleh waktu, silakan baca dan nikmati karya perdana Nilam Suri ini. ditunggu karya selanjutnya, Nilam.

http://metropop-lover.blogspot.com/20...
Profile Image for Utha.
821 reviews395 followers
November 26, 2020
Aku beli novel ini tuh udah dari beberapa tahun lalu, diskonan pula, ketika doyan-doyannya nimbun buku. Dan akhirnya kesampaian baca.

Yang aku suka:
• Plotnya rapi, bacanya enaaaaak.
Page turner banget sekali duduk langsung kelar baca.

Yang aku gak suka:
• Menurutku kover dan judulnya, plus sinopsis geje ala Gagas, bikin novel ini terkesan novel tua. Padahal isinya "chicklit" lokal banget. Sebel.

Yang aku galau:
• Aku suka saat penulis menjadi "perempuan" di buku ini. Aku juga setuju kalau karakter Adith kurang maskulin di sini. Tapi tenang, nggak usah ribet bawa PoV cowok ke novel lanjutan, asah aja PoV 1-nya karena eksekusi nulisnya termasuk enak hwhwhw.

Tapi kayaknya penulis nggak ada tanda-tanda bikin novel serupa, ya, padahal udah bertahun-tahun.

PS: Masih dalam rangka membabat timbunan buku fisik, dan buku ini bakal aku kasih ke temenku siang ini haha.
Profile Image for Gita Ganesha.
78 reviews11 followers
January 14, 2013
Jangan menilai sebuah cerita berdasarkan beberapa lembar prolog. Itulah yang terjadi dengan buku ini. Di prolog diceritakan tentang Adith, Nina, dan janji yang pernah mereka buat 10 tahun yang lalu. Janji bahwa jika 10 tahun dari itu, mereka masih sendiri atau belum bertemu dengan orang yang tepat, maka mereka akan menikah. Janji itu ditandai dengan dua buah burung camar biru dari kertas yang masing-masing disimpan mereka. Dan janji itu hanya berlaku jika kedua burung camar itu masih ada. 10 tahun telah berlalu, mereka juga masih sendiri... so they have to married...

Aku excited banget dengan cerita itu di prolog itu, terlebih ketika mereka memutuskan untuk memenuhi janji mereka dan menikah. Aku kira cerita ini akan berkembang seperti novel-novel 'marriage with no love' lainnya. Seperti bagaimana kehidupan mereka setelah menikah, bagaimana prosesnya ketika akhirnya mereka saling mencintai dan live happily ever after. Tapi, novel ini tidak seringan cerita-cerita itu. Ada banyak hal yang ditutupi, ada kesedihan dan luka yang terpendam. So here we go...

Adih dan Nina bukanlah dua orang asing, mereka tumbuh bersama bahkan telah saling mengenal seumur hidup mereka. Adih dan Nina adalah dua sisi yang tersisa dari segiempat sempurna yang pernah ada. Adith, Nina, Naren, dan Sirna. Mereka selalu bersama-sama, hingga sebuah tragedi memisahkan mereka dan menyisakan Adith dan Nina. Sebuah tragedi yang merubah hidup mereka, terutama Nina. Tidak ada lagi Nina, tuan putri dari negeri gulali yang manis. Yang ada sekarang adalah Nina yang hanya mengenal warna kelabu dalam hidupnya.

Well, setidaknya ada satu yang tidak berubah, Adith. Adith selalu ada untuk Nina ketika yang lain meninggalkan Nina. Istilah, 'Tidak ada persahabatan yang abadi antara laki-laki dan perempuan', berlaku untuk Adith. Seumur hidupnya, Adith selalu mencintai Nina. Menjaga dan membahagiakan Nina adalah prioritas hidup Adith. Adith selalu ada kapan dan dimanapun Nina membutuhkannya. Mereka masih tidak mengakui adanya cinta diantara mereka, walaupun orang-orang di sekitar mereka dapat melihat dengan jelas bahwa Adith dan Nina adalah satu. Nina mendeskripsikan apa yang ada diantara mereka adalah 'care for each other'. Nina merasa itu adalah pondasi yang kuat untuk menikah dengan Adith selamanya. Adith tidak bisa menjamin bahwa mereka akan bahagia, tapi yang jelas they're going to have fun.

Tidak ada rahasia yang tak terungkapkan. Serapi apapun Nina menyimpan sebuah rahasia, dia tetap harus menceritakannya pada Adith. Sebuah rahasia yang akhirnya membawa sisi lain segiempat itu kembali...

Hmmm...
Di dunia nyata ini, ada nggak ya tokoh seperti Adith, sempurna banget. Well, setidaknya sempurna untuk Nina. Adith ini tipe cowok yang diimpikan setiap wanita. Protektif dan memuja seperti Edward+Jacob+Benji, mencintai seumur hidup seperti Snape.

"Dan siapalah gue sampai mampu menolak cowok yang tawanya membuat gue teringat pada bahan-bahan pembuat Power Puff Girls ini. Sugar and Spice, and everything nice."
-Nina-

"Don't worry about a thing. Bahkan kalo mimpi buruk lo itu dateng, ada gue yang siap mengusir"
-Adith-

Sedangkan Nina, dia rapuh walaupun selalu menampilkan bahwa semuanya baik-baik saja. Yang jelas dia tidak menye-menye seperti Bella Swan. Nina selalu berpikir dengan logikanya sendiri. Penampilan Nina berantakan, seberantakan hidupnya. Overall, Nina unik.

Well, i'm not going to tell you the whole story. Let's keep it as a mystery. You have to read this book to reveal the truth... ;)

Tema untuk novel ini memang tipikal. banget. Dua orang yang tumbuh bersama. Lalu saling mencintai.

Tapi buku ini worth banget kok untuk dibaca. Tau nggak semalem aku tidur jam berapa? Jam 3. Ya apalagi kalo nggak membaca buku ini. Walaupun badan udah capek banget, mata cenat-cenut, tapi novel ini bisa mengalahkan itu semua. Novel ini terlalu seru untuk ditinggal tidur, hahaha.

Sebagai orang yang gak biasa make gue-elo, rasanya agak gimana gitu ketika membaca novel ini. Tapi ya mungkin ini juga yang membuat novel ini gak terlalu serius. Bahasanya santai, mengalir, analoginya juga pas dengan kehidupan sehari-hari. Ceritanya pas, gak ada deskripsi yang gak jelas. Singkat, padat, jelas, dan bermakna. Overall, it's a bittersweet story... Chemistry antara setiap tokoh dapet banget...

Novel ini menggunakan dua sudut pandang untuk bercerita, Adith dan Nina. Ada juga satu bab yang menggunakan sudut pandang Sinar. Well, bukan cerita juga sih. Cuma berupa cuplikan email-email dari Sinar untuk Naren. Bahasanya ringan, penuh gurauan, tapi ntah kenapa hal itu malah yang bikin terasa makin nyesek. Biasanya orang tertawa paling keras ketika sedang merasa paling ingin menangis.

Tagline novek ini adalah, 'Cinta tak selalu tepat waktu'. Gak setuju ah, cinta Adith untuk Nina selalu ada, begitu juga Nina mengakui cintanya untuk Adith di waktu yang tepat.

Tapi cerita novel ini menggantung... Trus Adith dan Nina jadi beneran nikah apa nggak???

*ThanKyu so much untuk Oji yang udah ngirimin buku ini.... Makaciiihhhhh..... ;)



10.35 AM
Profile Image for Delisa sahim.
274 reviews13 followers
May 29, 2013
Serius, dulu itu niat kepengin bikin review-nya setelah membacanya tetapi apa daya. Rencana tinggal rencana.

Ehm, awal baca novel ini ekspetasi gue tinggi sangat karena banyak yg bilang bagus. Berhubung takut dua kali dapat ini novel maka gue menunda-nunda membelinya. Hingga gue membaca review entah punya siapa. *sumpah lupa* Akhirnya gue berniat membeli ini. Langsung nanya sama mas mimin*ya tahulah siapa mas mimin itu gak perlu disebutinkan* , Apakah novel ini bagus? Dia bilang : Bagus, aku baca saat dalam kandungan.

Langsung deh ke gramed terus beli ini novel.

Setelah baca pertama kali banyak missing dalam memori gue. Bahkan gue nyangka Sinar itu cewe. Entahlah karena gue kepengin tahu akhir ceritanya maka gue baca asal libas. Hahahaha *bahasa gue*

Bahkan niat bikin review pun tertunda karena selesai baca gue lempeng aja. Gak ada gairah mengebu-gebu buat nulis curhatan gue akan novel ini. Setelah kian lama terdampar dan tak tersentuh. Bahkan gue lupa janji mau bikin ini review. Sampai babang minta minjem ini novel. Baru gue inget. Bhuahaha. *Maafkan saya kak nilam*

Akhirnya gue membaca ulang. Bahkan gue melupakan alur dan ceritanya. Gue mau baca seperti baru pertama kali membaca novel ini tapi ya namanya pernah baca pasti ada segelintir inget akan ceritanya.

Setelah membacanya diresapi. Gue bisa ketawa ngakak, muram, bahagia. Gue suka akan percakapan Danish dan Adit. Pikiran ajaib Nina memberikan warna di dalam novel ini.

Oh, sebelum curhat gue mau cerita tentang novel ini.

Bercerita tentang sepasang anak manusia yang berjanji apabila sepuluh tahun kemudian diantara mereka belum menikah dan memiliki kekasih mereka akan menikah.

Iya cuma itu GB-nya.

Penyampian Kak Nilam dalam camar biru asik dan bisa membuat gue masuk kedalam karakternya. *yah, walaupun baca ke dua kali* *Hohoho, ini bukan salah kak nilam kok, cuma gue lagi Lemot kok*

Gue mempermasalahkan tentang Orang tua Nina. Okeylah kalau ibu membenci Nina tetapi kenapa bapak-nya gak mau merangkul Nina? Yah, bagaimana pun juga Nina juga anaknya, Anak perempuan dan anak satu-satunya saat ini. Bahkan, Bapaknya gak meminta dirinya untuk membantu pernikahan Nina. Gue tahu kalian pusingkan sama bahasa gue tadi, susah gue jelasin. Hmmm, Kayak gini "Bapak akan membantu mempersiapkan pernikahanmu"
Iya, kayak dialaog itu atau "Kalau perlu sesuatu, katakan kepada bapak"

Bagi gue kalau mau keluarga gak harmonis sekalian aja bikin gak harmonis. Gak usah mengantung kayak gini. Sikap bapaknya yg gak terlalu tegas. Yah, mungkin peran itu sudah diambil alih oleh Naren maka bapak adem ayem. Pas gak ada Naren gak harus bersikap bagaimana ke anaknya.
*tiba-tiba delisa berubah ahli menjadi psikolog*

Yahsutralah. Itu aja sih yg mau gue gerutuin. Selebihnya gue suka. Bahkan jarak dan tak mau tersentuh itu dengan memberikan alasan yg logika.

Terakhir, Banyak yg menyayangkan epilog yg gak gantung itu. Bagi gue sih enjoy aja karena gue merasa bahwa setiap kisah memiliki akhir dan inilah akhirnya tidak mengantung. Gue bukan orang yg optimis dalam bagian akhir, gue orang yg pesimis karena setiap hal memungkinkan untuk tidak berakhir bahagia. Mungkin aja tiba-tiba Adit meninggal. Siapa yg tahu? *Yang tahu penulisnya del*

Okey, cukup sekian dan terima kasih.

3,5 bintang dan dibulatkan menjadi 4
Karena gue ketagihan untuk membacanya kembali.
Profile Image for Pauline Destinugrainy.
Author 1 book263 followers
July 2, 2016
Kalau ada yang tanya, genre buku apa yang saya sukai? Pertama kali saya akan menjawab romance. Eh, bukan berarti saya cemen ya… Saya hanya menyukai kisah yang diakhiri dengan kebahagiaan (para) tokohnya. Itu jaminan yang didapatkan kalau membaca genre romance. Genre ini selalu menjadi pilihan saya ketika saya membutuhkan sesuatu untuk menyemangati saya. Bahagia itu menular lho… Dan ketika bulan Juni ini ditetapkan untuk baca bareng genre favorit saya ini, jelas tidak akan saya lewatkan (meski sempat koar-koar mau hiatus… ternyata ga bisa hiatus).

Persahabatan Nina, Adith, Sinar dan Naren ibarat bujursangkar, dengan masing-masing mereka menempati sudut-sudutnya. Di antara mereka terhubung garis yang menyatukan mereka. Tapi bujursangkar itu rusak sejak kematian Naren dalam sebuah kecelekaan. Nina yang saat itu semobil dengan Naren, abangnya, merasa sangat bersalah. Terlebih lagi ketika dia harus pergi dari rumah karena Ibunya menyalahkannya atas kematian Naren. Sinar, sahabat Naren sekaligus first crush-nya Nina, juga pergi ke London karena tidak sanggup menghadapi kenyataan Naren sudah tidak ada. Tinggallah Adith, adik Sinar, yang berusaha menyatukan kepingan hati Nina, dan selalu menjaga Nina dari keterpurukan.

Suatu waktu, sepuluh tahun lalu, ketika Nina sedang patah hati ditinggal kekasihnya, adalah tugas Adith untuk menghibur Nina. Di bawah pengaruh alkohol, mereka berjanji jika sepuluh tahun lagi tidak ada di antara mereka yang pacaran dengan orang lain, maka mereka akan menikah. Sepasang camar dari kertas biru mengukuhkan janji yang terucap kala itu. Dan ketika sepuluh tahun kemudian itu datang, Adith benar-benar menepati janjinya. Nina menerimanya, tapi keduanya tidak yakin ada cinta di antara mereka. Setidaknya rasa nyaman dan care each other sudah cukup.

Cinta berangkat dari persahabatan, mengingatkan saya pada novel Coupl(ov)e yang pernah saya baca beberapa waktu lalu. Ide cerita yang sama, cinta yang berawal dari persahabatan antara pria dan wanita. Keduanya berujung pada pernikahan atas dasar yang sama. Bukan saling meniru, toh sudah banyak novel seperti ini. Tokoh pria yang setia, dan tokoh wanita yang terluka.

Dibandingkan Nina, penokohan Adith lebih terasa. Mungkin karena Adith lebih banyak bernarasi tentang dirinya, mimpinya, pikirannya dan perasaannya. Sementara Nina tetap terasa tertutup, bahkan setelah dia mengungkapkan rahasia terbesarnya pada Adith dan Sinar. Apa yang diungkapkan Nina sudah ada di bagiannya Adith. Atau Adith sebegitu tahunya Nina luar dalam? Multi POV yang dipakai jadi tidak berasa, kecuali bagian Sinar yang berupa penggalan email.

Soal typo, masih ada sih tapi sedikit, ga sampai menganggu. Ohya, gambar origami burung-nya. Setahu saya itu origami bangau, bukan camar. Dan bangau ga nemplok di atas pohon seperti pada gambar di sampul. Trus puisi-puisi di bagian belakang itu, aduh.. romantis iya. Tapi ya yang belum baca bukunya ga bakal tahu itu maksudnya apa. Saya sering gagal membeli buku Gagas gara-gara puisi-puisi macam itu di sampul belakang buku. Berasa beli kucing dalam karung (udah gitu saya ga suka kucing #abaikan #infogapenting).
Profile Image for Mita.
134 reviews22 followers
March 29, 2013
I don't personally read or enjoy many Indonesian books*, but every now and then I make an exception, more often than not when I know the author in one way or another. That was the very reason why I picked this book up. You see, I did English Lit in uni, where I knew the author, and I've always had that what-if question of 'if I hadn't diverted and became a glorified bean-counter, would I have been able to do this?'

The story started out with an almost-classic old-friends situation of 'let's get married if we're not married in X years/by the time we're X old' and I was a bit thrown. The blurb on the back is quite melancholic and I expected a 90's slow ballad kind of melancholy full of heavy writing and heartbreak, but it actually started off light and relatable.

Then slowly it trickles and we move on with Nina and Adith, opening the world of who they are slowly, not painfully, just slowly and consistently. There's no big bang. There's no shocking action. There are stories being told. There are past events being unravelled. There are names growing into characters. The story is light but not fluffy yet it avoids being heavy and exhausting to read. And everything is written so well, so enjoyably, so comfortingly familiar.

The story is about moving on and I think it sums the process well. There are loose ends that are left unfinished, there are characters that could've had more meaning, and the ending leaves a bit more to be desired, but who am I to say? This book is a good enough book for anyone to read without it having to be perfect.

So I can now answer my what-if question. No, I wouldn't have been able to write something like this, so yes being an accountant might've been the right choice for me, but yes, I am glad and comforted in the idea that some of the ordinary people I knew in my very ordinary life, are extraordinary enough to write & publish and preserve the culture of books and literature. And this time around, it was good.

*Before you go up in arms and go batshit crazy misquoting this line, let's make clear that this is my personal opinion and in no way a reflection towards the overall quality of the genre.
Profile Image for Lea Citra.
Author 13 books58 followers
January 28, 2013
Good but not great.

Kisah singkatnya: ada dua pria-wanita yang sudah jadi teman bermain dari kecil. Iseng2 karena mabuk berjanji untuk menikah 10 tahun lagi, kalau salah satu dari mereka blm punya pasangan. Pas 10 tahun kemudian janji itu akhirnya diangsurkan & mereka pun sepakat menikah. Tapi hal itu gak mudah, karena mereka masing2 harus memperbaiki permasalahan, baik itu dengan masa lalu & masa depan.

Like:
1) Karakter kedua tokoh utamanya cukup digambarkan secara kuat & mendetail.
2) Jatuh cinta deh sama Adith & bagaimana dia memendam cinta ke Nina/Noy dari kecil sampai dewasa.
3) Always love the story about "cinta monyet" comes to "true love"

Dislike:

1) Sudut pandang penulisannya bikin bingung. Mungkin kalau salah satu bergaya "aku" dan sisanya "gue" bakal bikin pembacanya bisa langsung membedakan ini siapa yang sedang bersuara. Gaya bicara keduanya mirip.
2) Typo cukup mengganggu. CMIIW >> masa fotografi ditulis pornografi? Kl mnrt Sigmund Freud kesalahan nulis ada artinya loh..hehe *sudut pandang psikolog*
3) Orangtuanya Nina jahatnya luar biasa. Gak kebayang aja ada yang seperti mereka di dunia nyata :p
4) Agak keganggu sama percakapan bahasa Inggrisnya. Itu hak penulis sih, tapi kesannya kok jadi gegayaan aja ya? Kenapa mesti pakai bahasa Inggris kalau kita bisa pakai bahasa Indonesia? Mnrtku sih tll terkesan nempel aja.
Profile Image for Muhammad Rajab Al-mukarrom.
Author 1 book26 followers
December 15, 2012
it deserves 5 stars from me :)

humm, awalnya gue ngasih empat bintang, karena alasannya; suka ceritanya, dan suka banget tokoh-tokoh di dalamnya. pokoknya gue suka banget sama Nina. gilak, ya. bisa bikin gue jatuh cinta sama tokoh fiksi (sebenarnya udah sering kejadian sih :P)

gue suka gaya kak Nilam bertutur dalam Camar Biru.
sumfeh, ya, selera gue itu adalah tulisan" bergaya Windry Ramadhina, dan Winna Efendi (kalo keluaran gagasmedia) dan sukses deh kak Nilam bikin gue suka dengan gaya penulisannya itu. kereeeennn!!

suka banget sama emosi-emosi yang campur aduk dalam novel keren ini.
gue juga suka jokes" yang keluar dari tokoh lewat dialog yang ringan tapi ngena banget.
awesome!
gue sampe ngakak-ngakak di perpus kampus (dilihatin orang-orang pula) :D
terus gue juga bisa bener-bener ngerasain kalut, kecewa, marah, dan pilu dari Nina, Adith, dan tokoh lainnya.
wicked! ^^

yang agak keselnya adalah ending-nya yang sedikit klise, dan bukan tipe ending yang gue suka. tapi dibalik semua itu, gue suka perasaan gue yang lega di akhir ceritanya. :')
salut untuk novel ini, dan sang penulisnya juga tentunya..

satu bintang pelengkap untuk cover-nya yang cantik.
jadilah gue kasih 5 bintang.
:D

p.s: ditunggu karya-karya lainnya Kak Nilam :))
Profile Image for sifa fauziah.
52 reviews
July 6, 2016
Awal cerita masih enteng, pertemanan mereka--Nina dan Adith--menyenangkan, Adith-nya lucu! dan kebelakang ceritanya... oke, serius.
Profile Image for ahmad.
188 reviews4 followers
September 19, 2017
bintang dua berarti OK bagus namun saya berselera untuk mendapatkan novel dengan permainan konflik yang rumit, dan novel ini amat simpel sehingga tidak ada sesuatu yang membuat saya wow untuk permasalahan, konflik, dan juga konklusi.
Profile Image for Arfan Putra.
139 reviews3 followers
September 19, 2018
"Kadang saat kita nggak mampu melepaskan orang yang terlalu kita cinta, berarti kitalah yang haru pergi. Mungkin membalikkan badan dan berlalu lebih mudah dibanding berdiri diam menatap punggung seseorang yg berjalan menjauh"

hlm 269
Profile Image for Arfanlel.
90 reviews
January 16, 2024
"Kadang saat kita nggak mampu melepaskan orang yang terlalu kita cinta, berarti kitalah yang haru pergi. Mungkin membalikkan badan dan berlalu lebih mudah dibanding berdiri diam menatap punggung seseorang yg berjalan menjauh"

hlm 269
Profile Image for Tamara Fahira.
130 reviews8 followers
November 30, 2021
Sebenernya, sih, ceritanya bagus, gaya berceritanya juga lumayan, yang jadi masalah, gue kurang suka ceritanya. It’s about taste.
Profile Image for Ifnur Hikmah.
Author 5 books13 followers
August 24, 2013
Sepuluh tahun lalu, ketika patah hati, Nina membuat sumpah konyol dengan sahabatnya, Adith, jika sepuluh tahun lagi mereka masih single, mereka akan menikah. Perjanjian itu ditandai dengan sebuah paper bird warna biru.
Sepuluh tahun berlalu, mereka sama-sama single dan memutuskan untuk menikah.
Nina dan Adith sudah bersahabat sejak kecil. Mereka bertetangga. Dulu mereka berempat. Ada Narendra, kakak Nina, dan Sinar, kakak Adith. Sinar ini juga jadi cinta monyet Nina. Narendra dan Sinar akrab banget sehingga Nina lebih sering bareng Adith. Ketiga cowok ini juga overprotective terhadap Nina yang sampai udah kerja pun masih diperlakuin kayak anak kecil. Sampai lima tahun lalu, ketika menjemput Nina pulang kerja, kecelakaan itu terjadi. Narendra meninggal. Sinar yang enggak sanggup menahan kesedihannya memutuskan kabur ke London.
Tinggal Adith yang selalu ada di sisi Nina di saat terapuhnya itu.
Begitu juga ketika Nina pergi dari rumah. Sejak awal, Nina memang diperlakukan seperti anak yang enggak diharapkan sama orangtuanya. Berbeda dengan Narendra yang seperti putra mahkota. Jadi, ketika Narendra meninggal, dan ibunya menimpakan kesalahan kepadanya, Nina memutuskan untuk pergi. Lagi, ada Adith di sisinya.
Nina pun berubah. Putri dari negeri gulali yang centil mendadak jadi putri kelabu yang berantakan, enggak pernah dandan, cuek, dan semrawut. Tapi ternyata ada alasan kenapa Nina berubah. Enggak cuma karena kematian Narendra. Rahasia yang selama sepuluh tahun disimpannya, bahkan dari kakaknya sendiri.
Cuma butuh waktu beberapa jam untuk membaca buku ini. Thanks to Nilam atas gaya menulisnya yang seru dan mudah diikuti. Apalagi saat ini gue sedang terobsesi dengan cerita tentang the boy next door setelah membaca Lola And The Boy Next Door, jadi ketika tahu cerita ini juga tentang sahabat sekaligus tetangga, gue semakin semangat.
Cerita ini diangkat melalui dua PoV, yaitu Adith dan Nina serta sesekali PoV 3. Permainan multiple PoV ini udah pas. Cuma, satu kritik gue yaitu ketika Nilam membahasakan Nina dengan gue. Okelah gue dikira pas dengan karakter Nina yang cuek dan berantakan. Cuma, gue ngerasa kurang pas. Nina memang cuek dan berantakan tapi itu cuma di permukaan. Deep in their heart, dia itu gloomy banget. So far sih efek gloomy and blue udah dapet cuma kalau dibahasakan pake aku pasti akan lebih dapet feel-nya. Selain, tentu saja, buat ngebedain dengan Adith karena jujur saja enggak jauh beda mereka ini.
Isi cerita sendiri lumayan kompleks dengan konflik berlapis dan semua berhasil dieksekusi dengan baik. Di beberapa part gue sampai menitikkan air mata, apalagi tentang orangtua Nina. Sumpah, ada ya orangtua sejahat itu? Gue setuju sama Adith. Di saat satu orang anak meninggal, seharusnya mereka menjaga satu-satunya anak yang tersisa, bukannya ngejauhin anak itu. Gue juga suka dengan ending konflik Nina dan orangtuanya ini. Terlalu too good to be true jika mereka berbaikan jadi gue salut sama Nilam yang tetap ngebiarin mereka seperti ini. Hell, reality bites, right?
Tapi, keasyikan gue agak terganggu dengan tokoh Sinar. Ini cowok ngomongnya formal enggak sampai. Maksudnya, dia bermaksud untuk formal tapi keserimpet pake nonformal. Lagian, sama sahabat dari kecil kok formal banget, sih? Kesannya mereka, tuh, enggak ada dekat-dekatnya. Dan formal enggak sampainya ini juga gengges. Misal pas Sinar ngomong, “kalau kamu laki-laki, saya sudah menonjok kamu.” Bo, kalo formal beneran bisa kali diganti pake meninju. Gue suka ketika Sinar ngobrol sama Adith, lebih luwes. Soalnya diceritain kalau mereka dekat tapi dari gaya ngomongnya Sinar ini, enggak kerasa kedekatan itu. Gue lebih suka Sinar ngomong bahasa Inggris, deh, sama Nina ketimbang formal nanggung ini.
Lagi, bromance Sinar dan Narendra aneh. Otak gue yang ngaco malah nangkep mereka lebih cocok jadi pasangan gay ketimbang sahabat, sumpah. Soalnya, kalau sahabat enggak sampai segininya kali. Email-email Sinar untuk Narendra kebaca kayak email seseorang yang patah hati ditinggal mati pacarnya. Seriously.
Oh, beberapa typo dikit enggak masalah.
Di beberapa review gue sempat membaca banyak yang protes Nilam memakai sapaan Si Kunyuk, Monyet, Beruk, dll. Tapi gue enggak bermaksud ikut protes. Kenapa? Sometimes I found it’s funny dan berasa dekat aja, hehe.
Kritik terbesar gue mungkin cuma di ending, ya. Gue suka ending berakhir di Nina pergi. Menurut gue itu udah jadi konklusi yang pas dan happy. Nina memang pergi, tapi dia bilang akan pulang dan Adith akan menunggu. So, udah jelas kan kesimpulannya? Jadi, ketika gue baca bagian epilog, gue menyesal baca bagian itu karena gue langsung drop. Kalau tahu gitu, gue akan mengakhiri buku ini di bab Nina pergi.
Sebagai debut, buku ini bisa dibilang bagus banget. Dan real, itu yang paling penting. Oh, lagu-lagu yang diselipin juga gue suka karena tipe lagu-lagu gue, jadul maksudnya, hehe, dan iseng gue bisa menebak nih Mbak Nilam angkatan berapa dari lagu-lagunya, hihi. This book is my cup of tea dan gaya menulis Nilam juga. Can’t wait for your next book, ya, Mbak.
76 reviews
January 24, 2015
CAMAR BIRU, Nilam Suri

Tadinya saya nggak tertarik untuk beli novel ini, walaupun saya udah liat reviews di goodreads yang kebanyakan bilang novel ini bagus. Dan saya tetap nggak menggubris. Tapi entah karena angin apa, tiba-tiba saya beli juga novel ini.

Pertama kali liat cover-nya, cantik banget! Didominasi warna biru, pink, dan putih kekuningan bikin novel ini kelihatan...apa ya, kalem mungkin. dan ada sedikit vintage di dalamnya. Yang jelas, saya suka cover-nya.

Lalu saya pun mulai membaca. hanya butuh 4 halaman pertama dan saya langsung terhipnotis. Saya terus membaca novel ini sampai tuntas dan tanpa berhenti. Dan saya gak bisa untuk gak loncat-loncat kegirangan ketika saya sampai di akhir cerita. Well, it was worth it:)

Saya suka gaya bercerita Nilam, walaupun saya lebih setuju bila sudut pandang Nina menggunakan kata ganti 'aku', bukan 'gue', tetapi itu tetap tidak mengurangi minat saya terhadap novel ini. Saya juga suka penggambaran masing-masing karakter. Terasa sangat kuat dan nyata. Mungkin yang kurang hanya untuk karakter-karakter pendukung konflik seperti orangtua Nina, Naren, Sinar (yaa walaupun dia udah meninggal, sih) yang saya yakin kalau sedikit lebih dieksplor maka akan menguatkan cerita itu sendiri, tapi nggak apalah namanya juga pendukung.

Selebihnya? Sudah sangat memuaskan. Saya suka semua bagian yang menceritakan tentang Nina dan Adith. Dialognya santai, terkadang menyentuh, dan terkadang juga lucu. Saya suka banget! Dan menurut saya, chemistry antara Adith dan Nina itu dapet. Oke bangetlah.

Kemudian, di setiap awalan bab baru, ada selipan bait lagu-lagu yang liriknya punya benang merah dengan isi bab tersebut. Ini merupakan satu hal yang saya sukai dari novel ini. Karena Nilam berhasil menemukan lagu-yang kebanyakan dari penyanyi dan band-band non-mainstream yang liriknya selain indah juga bisa menggambarkan inti cerita di bab tersebut.

Terakhir dan terpenting, SAYA SUKA ENDINGNYA<3 Nggak peduli banyak reviews di goodreads yang bilang bahwa epilognya beginilah, begitulah, tapi menurut saya itu ending yang paling sweet dan paling pas untuk cerita ini. Memang kelihatannya kurang klimaks, apalagi kebanyakan pembaca bertanya-tanya tentang rencana pernikahan Nina dan Adith yang tidak jelas. Tetapi bukankah bila ending-nya adalah Nina dan Adith menikah, maka cerita ini akan menjadi sama dengan cerita-cerita yang lain? Hal itu juga yang saya rasa sedang diusahakan oleh Nilam. Dia nggak ingin cerita-cerita ini sama dengan cerita-cerita yang lain, makanya dia membuat ending yang berbeda, yang tetap berakhir bahagia tapi bukan dari point of view yang itu-itu saja. Keren!

Well, overall ini semua sebenernya kembali lagi ke penilaian dan selera masing-masing. Tapi bagi saya novel ini layak mendapat lima bintang. Untuk Nilam, ditunggu novel-novel selanjutnya ya!

-----------------------------------------------------------------------

Tanpa pikir panjang, gue tarik badan Nina dan memeluknya erat-erat.
"Lo nggak bakalan pernah jelek di mata gue, Noy," bisik gue di kupingnya. Gue merasakan tangannya memeluk gue balik. "Sengaco apa pun elo, tetap aja buat gue lo sempurna."

hal.134

"Gue akan selalu memikirkan lo setiap melihat lampu kunang-kunang."
"Kenapa?" tanyanya bingung, tapi tetap tersenyum.
"Karena mereka cantik." Gue memandang Adith sambil sedikit menundukkan kepala. "Just like the way you make me feel."

hal.274
Profile Image for owleeya.
306 reviews100 followers
May 4, 2013
10 tahun lalu, sebuah pertanyaan yang meluncur dari mulut Nina berasal dari kejadian yang tidak terduga. "Dhit, kalau gak ada cowok yang mau sama gue lagi gimana?" Lalu Adhit, sahabatnya, berjanji mereka akan menikah di 10 tahun yang akan datang kalau mereka masih sama-sama sendiri.

Dalam 10 tahun, banyak hal tak terduga dan berubah. Termasuk persahabatan bujur sangkar yang terdiri atas dua pasang kakak-adik; Naren dan Nina, Sinar dan Adhit.

Persahabatan mereka berubah karena kematian Naren.

Sinar, yang paling dekat dengan Naren setelah Nina, merasa terpukul dan pergi ke luar negeri. Pergi di saat Nina paling membutuhkannya.

Dan Nina tidak akan lagi pernah sama.

Hanya Adhit yang tersisa.

Aku membutuhkanmu.

Adhit lah yang membantu Nina pindah rumah. Memarahi Nina karena ketahuan keluar malam-malam untuk beli kopi. Menjadi orang pertama yang ditelepon Nina saat dia terbangun karena mimpi buruk. Membelikan Nina buku-buku yang berguna untuk pekerjaannya sebagai ilustrator.

Aku membutuhkanmu -- dan bisa jadi aku mencintaimu.

Ketika mereka akan menikah, barulah Nina menyadari betapa pentingnya Adhit selama ini. Butuh waktu 10 tahun bagi Nina untuk melihat Adhit sebagai... sosok yang dia cintai. Tapi bagaimana dengan masa lalu Nina? Mimpi-mimpi buruk Nina?

Tapi, aku belum akan mengakui ini padamu. Aku belum siap meruntuhkan bentengku dan membiarkanmu memiliki hatiku..

-----

Pas sekali saat saya sedang menulis review ini, saya juga sedang mendengarkan Ours-nya Taylor Swift. :3

And it's not theirs to speculate
If it's wrong and
Your hands are tough
But they are where mine belong and
I'll fight their doubt and give you faith
With this song for you


:3

Okee, the A side for this book (halah kayak kaset aja):

- Ceritanya ringan. Cocok, sih, buat saya yang lagi ngejar challenge. Dan saya berhasil baca buku ini seharian.

- Multi POV. Iyes, untuk pelanggan setia The Black in The Book atau hobi baca review saya di Goodreads, pasti tahu betapa saya sukaaa banget novel-novel yang ada multi POV kayak gini. Saya suka baca sudut pandang dari kedua tokoh utama, terutama kalau tokoh-tokohnya laki-laki dan perempuan.Oh ya, saya juga tidak memiliki masalah dengan sudut pandang orang ketiga yang digunakan penulis ketika sedang menceritakan kejadian lampau. Dan adegan-adegan flashback itu tidak dipaksakan dan malah ikut mengalir bersama cerita.

- Chemistry antara Adhit dan Nina oke. Manis, tapi gak kebanyakan gula. Saya suka bagaimana Adhit perhatian sekali ke Nina. Saya suka bagaimana Nina perlahan-lahan menyadari tentang itu. Pelan-pelan, gak dipaksakan. Cieh. Lope-lope di udara.

- Saya suka bagaimana penulis menggambarkan apa yang terjadi pada Nina. Mimpi-mimpi buruknya. Bagaimana Nina bertransformasi dari gadis lugu dan manis menjadi wanita berantakan dan pendiam.

The B side:

- Saya setuju dengan review ini yang bilang suara karakternya agak serupa.

- Sayang sekali tidak diceritakan bagaimana Nina mengatasi traumanya. Gak papa lah bukunya ditebelin dikiiit. *woy*

- Epilog. Saya gak tahu saya orang keberapa yang bilang kalau epilognya itu... yah. 

Setelah mengintip di Goodreads, ternyata Camar Biru ini novel pertama mbak Nilam Suri. Overall,saya puas sih sama buku ini. Ditunggu buku selanjutnya! :3

3.5/5
Profile Image for Nana.
405 reviews26 followers
July 14, 2013
Konfliknya menarik..

Jadi ceritanya, Nina si tokoh utama, sejak dulu selalu dinomorduakan di keluarga. Dia anak bungsu dan kebetulan banget lahir di saat yang tidak tepat, dan nyokapnya akhirnya kayak nolak dia. Beda dengan perlakuan sang nyokap ke abangnya Nina, Naren, yang disayang-sayang. Ketika Naren meninggal karena kecelakaan waktu ngejemput Nina pulang kantor, nyokap Nina malah nyalahin Nina sehingga Nina harus pergi dari rumah.Untungnya, sahabat sekaligus tetangga Nina, Adith, tetap menemani Nina. Mereka bahkan berjanji kalau sepuluh tahun lagi belum nikah, mereka akan menikahi satu sama lain. Sepuluh tahun kemudian, ternyata mereka masih single. Jadi yaaa tertebak dong lanjutannya?

Kenapa bintang tiga?

Seperti yang saya bilang, konfliknya menarik. Masalah keluarga seperti ini sering terjadi. Pernah denger ungkapan "black sheep of the family" kan? Naah.. rata-rata, keluarga beranak banyak punya satu walau tingkat keparahannya beda-beda. Makanya, saya memasukkan buku ini ke kategori buku yang saya suka.

Masalahnya, yang kemudian jadi alasan saya mengurangi bintang, karakterisasinya kurang dalam. Jadi novel ini menggunakan alternate POV di mana di bab yang satu cerita menggunakan sudut pandang Nina, di bab berikutnya menggunakan sudut pandang Adith, dst dst. Naah.. gue suka bingung kapan si Adith ngomong,kapan si Nina ngomong. Sifatnya kayaknya mirip-mirip. Udah gitu sama-sama suka ngomong gado-gado Inggris-Indonesia pulak! Padahal si Adith dosen sastra Jepang. Kayaknya akan lebih keren dan juga beda kalau pas di bagian Adith dibanyakin kata-kata Jepang atau istilahnya. Masukin perbandingan dengan film Jepang kek.. Misalnya nih pas adegan Adith marah-marah di apartemen Nina. Coba dibuat seperti ini:

"Rasanya gue pengen menebas dia seperti Kenshin menebas musuh-musuhnya" --> contoh doang.

Apalagi si Adith ini dibilangnya Otaku.

Lalu di beberapa tempat, rasanya kok terlalu memanjang-manjangkan ya? Saya sih seringnya tidak pernah skip halaman dalam membaca, namun untuk kali ini saya beberapa kali skip halaman saking banyaknya bagian yang sebenarnya menurut saya nggak perlu dideskripsikan segitunya.

Ketiga, oke gue orang yang sensitif. Di review novel All You Can Eat-nya Christian Simamora, gue protes soal penggunaan kata-kata makian yang membanjir kayak air bah. Nah di novel ini gue mau protes soal panggilan "sayang"nya Adith-Nina. Adith manggil Nina "kunyuk", "beruk", "monyet" sementara Nina manggil Adith "Kampret". Selain itu, masih ada Danish yang manggil Adith "Douche". Sama seperti kata pendeta gue yang pernah ngritik anak-anak sebuah SMA swasta khusus pria yang punya sapaan "nyet" ke satu sama lain, gue juga ngerasa kalau lo sayang atau mensyukuri keberadaan teman lo, ungkapkanlah secara manusiawi. Jadi hal itu gue dapati sebagai hal yang ganggu.

Namun secara umum gue suka ide cerita dan twist-nya. Kalau dibandingkan dengan Refrain yang sama-sama membahas tentang sahabat menjadi cinta, buku ini ceritanya lebih dewasa dan berbobot.

Semoga kritik menjadi masukan yang membangun, bukan undangan mencari musuh.



Profile Image for Rizka.
19 reviews17 followers
March 9, 2013
Camar Biru adalah buku pertama karya Nilam Suri yang saya baca. Pertama kali lihat buku ini di goodreads dan saya langsung tertarik buat membaca sinopsisnya lebih jauh karena cover depannya lucu juga (yeah, I sometimes do jugde book by its cover). Pertamanya agak sangsi untuk beli buku ini karena sinopsisnya hanya berisi kalimat-kalimat puitis gitu. I should say, books often dissapoint me with the synopsis at their back covers. Tapi berhubung saya sekalian belanja novel online (hal yang sudah sering saya lakukan berhubung saya suka menghabiskan uang saya di hal-hal lain kalau ke mall), jadilah saya memantapkan hati saya untuk membeli novel ini. Ternyata Camar Biru bisa membuat saya jatuh cinta, dan melupakan fakta bahwa saya sempat ragu membelinya :-)

Karakter Adith, Nina, Sinar dan Naren sangat melekat di otak saya karena setiap karakter berbeda & mempunyai cerita mereka masing-masing, walaupun yang disampaikan di dalam Camar Biru lebih banyak fokus tentang Adith-Nina, sedikit side story tentang Sinar, dan juga Naren yang sudah meninggal. Nggak hanya karakter, tapi saya harus kasih poin plus untuk Camar Biru karena saya udah dibuat penasaran setengah mati dari mulai halaman-halaman awal. Sang penulis sukses menempatkan setiap chapter dengan tepat supaya pembaca terus melanjutkan bacaannya karena rasa penasaran. Dari mulai apa yang terjadi dengan Adith-Nina sehingga mereka memutuskan untuk menikah, sampai apa yang akan terjadi di akhir cerita setelah berbagai kepedihan ada. Bagi sebagian orang mungkin ceritanya memang mudah ditebak, tapi justru bagi saya enggak sama sekali. Saya suka bagaimana saya sedikit ‘dipermainkan’ oleh Camar Biru karena saya terus menebak-nebak apa yang akan terjadi berikutnya. I enjoyed it ;)

Satu-satunya kekurangan yang saya nggak suka adalah kenapa sang penulis menyelipkan satu chapter berisi email-email Sinar ke Naren (yang pasti nggak akan dibaca). Mungkin, tujuannya adalah menyelipkan side story tentang perasaan Sinar yang sebenarnya ke Nina saat Naren meninggal. Karena kalau saya perhatikan, memang sulit untuk menceritakan side story saat si penulis jelas-jelas menggunakan POV orang pertama. It’s not that I hate Sinar’s story. No, I like it. Cerita-cerita samping tentang karakter yang lain yang mendukung cerita utama ini justru seperti bumbu dalam novel supaya ceritanya nggak monoton dan jadi boring. Tapi cara penyampaiannya memang sangat harus diperhatikan, apalagi jika novel menggunakan POV orang pertama dan hanya fokus dengan POV sang karakter-karakter utama. Saya agak kecewa karena disini chapter berisi email-email Sinar kelihatan agak useless dan salah tempat.

But overall, mbak Nilam Suri benar-benar bisa membuat saya menyelami Camar Biru dan ikut merasakan kepedihan yang di alami setiap karakter. Another good novel to read from GagasMedia. 4.2 out of 5 :)
Profile Image for saxotagon.
2 reviews
August 22, 2016
Buku ini sebenarnya bukan buku milik saya pribadi. Buku ini punya teman sekelas yang saya pinjam (entah udah berpuluh-puluh bulan lamanya teronggok dikamar saya) dan baru saya baca kemarin.

Awalnya saya tidak begitu tertarik dengan novel ini karna, say tidak terlalu suka dengan novel romantis (baik Indonesia ataupun English), tapi setelah saya membaca sinopsisnya saya jadi penasaran dan akhirnya membaca novel ini hanya dalam waktu 2 hari.

Ya. 2 hari bagi saya itu waktu yang sangat singkat buat baca novel. Biasanya saya baca novel itu lama dan mood-moodan. Sering berhenti tengah jalan karna gairah membaca hilang dan sya lebih sibuk sama hp dll. Kenapa cuma 2 hari? Satu, karna itu Bahasa Indonesia, jadi saya lancar membacanya tanpa harus bolak-balik google translate-oxford dicti-buat nyari tau apa arti kata yang saya gaktau kalo baca English. Kedua, ceritanya ringan, namun bikin penasaran sehingga bikin saya ketagihan membacanya lagi dan lagi. Ketiga, karakter-karakter dan alur ceritanya tidak tergesa-gesa, semuanya berjalan sesuai dengan alur dan setting yang ada, pengembangan karakternyapun gak buru-buru, detail tapi gak bikin pusing, dan yang paling saya seneng adalah klimaksnya disembunyika dengan baik dan disimpan di pertengahan mau ke akhir cerita.

Hanya saja, ini novel dengan POV beberapa karkter, jadi kalo menurut saya bacanyya harus pelan-pelan dan hati-hati supaya saya tahu di ba ini dari POV siapa. Tapi gak membingungkan kok, karna cuma ada 3 POV dari 3 karakter yang berbeda dan bahasanyapun cukup jelas dan mudah dimengerti ini POV siapa ini POV karakter yang mana.

The last but not least, buku ini mengajarkan saya bahwa cinta itu bukan melulu harus selalu diutarakan dengan kata-kata manis, cukup dengan perbuatan nyata saja sudah bisa membuktikan cinta itu sendiri. Cinta itu bukan sekedar saling care about each other, tapi selalu ada disaat-saat kita terpuruk bahkan di saat kita benci sama diri kita sendiri. Cinta itu bukan melulu manis, penuh nuansa bahagia dsb, tapi cinta itu mengajarkan kita berkorban, mengajarkan kita mau berbagi susah dan senang, mengajarkan kita untuk mau lepas dari zona aman dan nyaman kita. Buku ini juga mengajarkan bahwa hanya dengan satu perbuatan bisa sangat amat sangat berpengaruh terhadap hidup orang, bisa itu membawa kebahagiaan atau bisa berakhir fatal untuk kehidupan orang tersebut.

Tadi saya bilang last but not least tapi panjang amat ya hahaha, maklum masih amatir saya kalo soal bikin review-review yang bagus kece badai kayak orang-orang apalagi avid readers. Intinya buku ini mengajarkan saya bahwa ups and downs dalam setiap hubungan percintaan itu berarti dan akan menguatkan pasangan satu sama lain. Recommended dari saya untuk baca certia ini.

Sekian.
Profile Image for Hendra Laba.
61 reviews6 followers
December 14, 2012
Menyelesaikan novel ini dengan puas.
Awalnya ketika sepintas saya membaca novel ini di toko buku, saya sangat tidak tertarik sekali dengan penggunaan sudut pandang pertama 'Gue'. MENURUT SAYA, terlalu akrab dan agak kaku dibaca bagi orang yang kesehariannya tidak pernah menggunakan kata 'Gue'.

Namun, pada akhirnya novel ini saya beli dan mau tak mau harus saya baca. Komentar pertama saya adalah 'wow, ini bakalan seru'. Dan benar saja, perlahan tapi pasti saya dibawa kepada hal-hal yang membuat saya tersenyum sendiri saat membayangkannya.

Tentang persahabatan Nina, Adith, Naren, dan Sinar, yang tampaknya begitu kuat. Sangat sirik dengan persahabatan mereka. Nina yang di bayangan saya mirip Fahrani tanpa tato. Nina yang begitu ceria saat bertemu Ryu-kun. Ibu Nina yang sangat tidak suka dengan Nina. Mungkin jika novel ini adalah sebuah film, maka saat adegan Nina dan Adith bertemu orang tua Nina. Kemudian saat Ibu Nina berdialog dingin, sudah dipastikan saya akan bilang, "Wow, ekspresinya dapet bu." :D

Lalu yang saya favoritkan lagi, interaksi Adith saat bertemu Danish, begitu pun sebaliknya. Saya sangat suka tokoh Danish. Candaan di antara mereka itu cocok untuk saya. Dan entah mengapa saya suka tokoh perempuan yang bitchy, seperti Rashi di Reputation atau Quinn di Glee :D

Temanya klise memang,tapi semua dikemas menjadi tak seklise itu.
Walaupun ada beberapa hal yang sedikit mengganggu, seperti ketidakjelasan umur Nina. Apalagi membuat saya bingung, tidak sedikit bagian, entah saat narasi di sudut pandang Nina atau dialog yang ia ucapkan, menggambarkan ia begitu kekanak-kanakan. Padahal Nina sendiri, katanya, dewasa apalagi setelah perubahannya dari princess menuju kepada sosok yang berantakan. Jika dihitung-hitung, kemungkinan umur Nina berkisar 27-28, mengingat Sinar sudah 30-an. Ah, sudahlah. Biarkan umur Nina menjadi misteri.

Dan ini yang menurut saya sangat mengganggu adalah bagian epilog. Tanpa epilog itu saya rasa lebih baik. Pembaca juga pasti akan lebih puas, dan membayangkan Nina pasti akan kembali kepada Adith nantinya. Toh, genre mainstream romance sudah dipastikan dua tokoh utamanya akan bersatu akhirnya. Endingnya itu ibarat naik tangga, lalu ketika sudah sampai di anak tangga terakhir, kaki kita sempat keselip anak tangga walau tak sampai jatuh.

Oh ya, kenapa harus burung camar dari kertas ya? Dalam kondisi mabuk, walau pun bisa, tapi kan sulit membuat burung camar dari kertas dengan rapi. *terlalu dipikirkan* HAHAHA

Intinya, saya sukaaaa novel ini. Sudah lama saya tidak dibuat tersenyum sendiri saat membaca novel sebelumnya yang pernah saya baca. :)
SANGAT ditunggu karya selanjutnya :)
Profile Image for Rizky.
1,067 reviews86 followers
April 12, 2013
You don't have to say it, but when love is in the air, you just know it's there.

Wow, I really like this story, benar-benar gak bisa menghentikan membaca hingga kata "the end". Gaya bercerita novel ini begitu mengalir, diselipin sebait lagu disetiap babnya, membuat novel ini makin menarik ^^ Ide ceritanya simple tapi penulis membuat novel ini cukup berkesan bagiku.

Aku bisa merasakan chemistry yang kuat diantara para tokoh. Ini bukan tentang cinta 2 sahabat yang kemudian saling mencintai, ini juga bukan tentang persahabatan bujursangkar yang kemudian retak dan hanya tersisa 2 sisi, bukan juga tentang drama keluarga. Novel ini lebih daripada itu. Bagaimana sebuah peristiwa kelam dimasa lalu bisa membuat seseorang berubah begitu drastis, dan ternyata tidak hanya orang tersebut yang menjadi korban, juga orang disekelilingnya.

Ini tentang persahabatan 4 orang, Nina, Adith, Naren dan Sinar yang sejak kecil bersama-sama. Dan harus terenggut begitu saja, ketika akhirnya Naren meninggal, kemudian menyusul Sinar yang memutuskan pergi jauh ke London, hanya tersisa Adith dan Nina dalam lingkaran persahabatan mereka.

Ternyata kepergian Naren, benar-benar mengubah hidup Nina, keluarganya hancur dan satu-satunya orang yang tetap bersamanya adalah Adith. Dan bukan hanya kepergian Naren penyebabnya, ada 1 rahasia besar dan pahit yang benar-benar disembunyikan Nina yang membuat sebagian diri Nina mati walau dia masih hidup.


Bersama Adith, dia menemukan segalanya, menemukan rasa nyaman dan ketenangan. Bagi Adith, Nina adalah segalanya. Membaca bab Adith dan Nina secara bergantian, membuatku bisa menyelami pikiran dan hati mereka masing-masing ^^ Dan bagaimana aku bisa jatuh cinta dengan karakter Adith. Adith mungkin bukan seseorang yang digambarkan "wow" seperti di kebanyakan novel, tapi gayanya yang apa adanya itu benar-benar manis dan menyentuh hatinya. Cintanya kepada Nina itu begitu kerasa banget disetiap perbuatannya yang melindungi Nina.

Dan janji konyol mereka, Janji Camar Biru membuat novel ini menjadi warna sendiri =) Walau sejak awal aku sudah bisa menebak akhir cerita Adith dan Nina, namun agak gak rela dengan endingnya yang terkesan biasa dan kurang menendang banget. Apalagi penulis benar-benar bisa membuat aku tersenyum dengan celetukan gaya Adith dan Nina dan juga permainan emosinya membuatku bisa menyelami hati para tokoh dan itu membuatku cukup berharap banyak dengan kisah ini. Tapi, novel ini cukup sukses mencuri hatiku ;p Dan aku akan dengan senang hati menantikan karya selanjutnya penulis =)
Displaying 1 - 30 of 120 reviews

Can't find what you're looking for?

Get help and learn more about the design.