Jump to ratings and reviews
Rate this book

Ratings & Reviews

What do you think?
Rate this book

Friends & Following

Create a free account to discover what your friends think of this book!

Community Reviews

5 stars
1,088 (44%)
4 stars
834 (34%)
3 stars
394 (16%)
2 stars
70 (2%)
1 star
46 (1%)
Displaying 1 - 30 of 211 reviews
Profile Image for Irwan.
Author 9 books122 followers
August 23, 2010
Sejarah Indonesia ditangkap dalam novel ini secara mikroskopis dalam sejarah sebuah keluarga priyayi. Ceritanya mengalir tenang. Tanpa grusa-grusu seperti alunan gamelan Jawa yang lirih tenggelam sebagai musik latar. Meruang menciptakan semesta dimana tokoh-tokohnya mewakili individu yang beraneka namun disatukan dengan ikatan kekeluargaan yang kuat. Buku yang membuatmu menyesal ketika ia telah usai. Kenapa harus usai sih?

Sebagai orang keturunan luar Jawa yang lahir dan besar di Jawa, buku ini menunjukkan - tidak sekedar menjelaskan - kepadaku apa itu priyayi. Sebuah kelas sosial yang dinamis, namun cukup terbuka untuk diraih. Tidak tertutup melulu dalam garis keturunan. Tapi ada syarat-syarat “keanggotaan” yang cukup jelas, seperti kerja di gupermen, posisi guru, militer, dan berbagai pekerjaan “berstatus” lainnya. Kadang saya menduga asal sudah keluar dari kelas petani atau pedagang kecil, mungkin sudah bisa mengaku priyayi. Entahlah.

Para priyayi ini menjalani gaya hidupnya dalam panggung dunia yang senantiasa berubah. Umar Kayam menangkap perubahan itu dan menugaskan tokoh-tokohnya untuk mewakili unsur-unsur eksternal itu melalui berbagai kebetulan yang halus. Kebetulan-kebetulan yang bisa mengganggu kenikmatan cerita bila tidak dieksekusi secara anggun oleh sang penulis. Benturan-benturan paham dan gaya hidup seperti abangan, santri, kolonial, komunisme, dan modernitas disajikan dengan alami tanpa penghakiman. Dalam taraf individu-individu memang sulit untuk melihat retorika demonisasi atas suatu paham tertentu. Sesuatu yang sepatutnya diingat oleh orang-orang yang begitu nyaman berpikir, bercakap dan bertindak melulu dalam tataran umum. Itulah salah satu fungsi sastra: memberi wajah manusia pada ide-ide abstrak sosial budaya.

Novel ini selesai ditulis tahun 1991, menurut goresan penulisnya di halaman terakhir. Sepanjang jalan dari perhentian subway menuju rumah, masih terbayang-bayang suasana Wanagalih, aku tergoda untuk berandai-andai. Apa yang bakal Umar Kayam tulis seandainya novel ini diselesaikan tahun 2010? Bisa saja anak kembar sepasang dari Gadis Pari dan Harimurti, Sungkowo dan Prihatin, tumbuh besar dan menangkap tren jamannya. Pemuda Sungkowo mungkin mewarisi militansi ibunya dalam suatu gerakan politik berbasis agama yang mengusung isu konflik di seberang samudera dengan menciptakan kekrisuhan lokal yang ahistoris. Prihatin mungkin tumbuh menjadi gadis cantik yang tenggelam dalam dunia glamor kemodernan dengan memenangi gelar Miss Indonesia. Sungguh menarik membayangkan guncangan apa yang akan dirasakan keluarga besar Sastrodarsono dan bagaimana mereka menyikapinya. Akankah Sungkowo dan Prihatin memahami atau bisa membayangkan apa makna “priyayi” yang telah turun temurun mewarnai sejarah keluarga mereka?

Entahlah. Aku pun bukan seorang priyayi hehe…

Profile Image for Dion Yulianto.
Author 24 books196 followers
September 20, 2017
Pada akhirnya, siapakah yang disebut dengan para priyayi itu? Karena istilah ini tidak saja mencakup makna pejabat dan pamong praja, tetapi juga orang-orang dengan sikap hidup yang terhormat. Agak unik kiranya karena di bagian penghujung novel ini, penulis malah menyorot ke sosok Lantip yang aslinya hanyalah anak angkat di keluarga besar Sastrodarsono. Meskipun memiliki orang tua dengan sejarah kehidupan yang kurang baik, Lantip dapat tumbuh menjadi sosok pemuda yang lurus dan taat. Sosoknya melambangkan satu lagi sifat khas orang Jawa, yakni tahu menempatkan diri. Lantip sadar bahwa dirinya hanya anak angkat alias bukan keturunan priyayi, tetapi ia berjuang untuk setidaknya layak berada dalam lingkup keluarga priyayi. Mungkin, malah sosok inilah yang benar-benar layak menyandang gelar priyayi dari generasi ketiga keluarga Sastrodarsono. Dia membuktikan bahwa seorang priyayi tidak saja dipandang dari keturunannya, tetapi juga dari tindak tanduknya.

https://dionyulianto.blogspot.co.id/2...


Profile Image for Nanto.
702 reviews102 followers
December 4, 2014
Bahwa priyayi adalah sebuah konsep yang tertelan ruang dan waktu.
Pengamatan dan membaca buku ini menebalkan kesimpulan itu.
Dengan mengikuti kisah tokoh Sudarsono yang setelah jadi "wong" berganti nama menjadi Sastrodarsono merupakan bentuk lain dari sekian banyak jenis priyayi. Dengan mengikuti Sastrodarsono, dari Pak Kayam, seolah saya dengar "ada loh...priyayi yang lahir dari rahim revolusi kemerdekaan."
Selain itu, buku ini lebih bayak mengupas beberapa konsep kultur jawa yang lebih luas. ada "ngenger"-nya saudara Sastrodarsono yang suka dimaki "anak kecu!"
Sayangnga buku lanjutannya terasa dangkal, konfliknya kok standar abiezzz.
Selain itu, saya kok selalu menganggap buku ini enak dibaca bareng buku "Burung-Burung Manyar"-nya Romo Mangun, sama setting-nya kurang lebih.
Profile Image for Patty.
60 reviews
September 10, 2007
I've never thought being half-javanese is interesting until I read this book. It is very beautifully written, and Umar Kayam never fails to write complex things in a simple way. It captures the heart and soul of being javanese, which I think is the most complex culture. It made me see how much strength the javanese women must possess. This book has opened my eyes in so many ways and it made me respect my origins, as we can never really stray that far from where we come from.
Profile Image for Aravena.
675 reviews36 followers
March 1, 2017
Mungkin salah satu novel Indonesia terbaik yang pernah saya baca.

Berfokus pada perkembangan sebuah keluarga priyayi di Wanagalih, Jawa Timur, ini buku yang sarat dengan tradisi dan budaya Jawa. Walau kandungan darah Jawa dalam diri saya 0%, banyak tema maupun nilai-nilai universal yang dapat saya apresiasi (*sedangkan bagi pembaca berdarah Jawa, pastinya akan semakin bisa memaknainya). Tidak ada keterangan seperti catatan kaki untuk menjelaskan berbagai dialek dan nama panggilan kedaerahan yang mewarnai interaksi dalam cerita, tetapi saya cukup mudah memahaminya berdasarkan konteks situasi.

Ada banyak sekali teknik penceritaan favorit saya yang digunakan Bapak (Alm.) Umar Kayam:

~Bab yang dipisah berdasarkan berbagai sudut pandang, di mana penceritaannya pun elastis menyesuaikan dengan watak dan latar belakang narator/sudut pandang yang sedang ditampilkan.

~Alur waktu yang berjalan panjang dengan elips narasi dan lompatan waktu yang elegan

~Tema dan latar yang tersampaikan dengan sangat kuat

~Gaya bahasa yang berbobot dan kaya perumpamaan, tetapi juga humoris, akrab dan mudah dimengerti .

Semua teknik tersebut dengan apik merangkai berbagai transisi dalam cerita. Transisi dari satu tokoh ke tokoh lainnya yang terikat oleh seutas benang merah bernama ‘keluarga’. Dari petani desa menjadi priyayi. Dari bocah menjadi pemuda-pemudi dan akhirnya suami-istri. Dari hidup menjadi mati. Dari nilai-nilai tradisional ke nilai modern. Dari masa kolonialisme Belanda dan Jepang ke pasca-kemerdekaan dan Gestapu. Dari suasana akrab penuh kelakar ke masa-masa mengerikan penuh gonjang-ganjing, hingga akhirnya kembali lagi kepada kedamaian dan keikhlasan.

Esensi kepriyayian…. hubungan pria dan wanita… patriarki… politik dan ideologi…. semua itu hanya sebagian saja dari tema-tema yang diusung Pak Umar. Saking ‘makmur sejahteranya’, saya rasa bisa dibuat selusin tesis dengan tema yang berbeda-beda dari buku ini.

Mungkin yang paling berkesan bagi saya adalah sosok Wage alias Lantip. Sebenarnya Para Priyayi tidak benar-benar memiliki tokoh utama (karena penyampaiannya yang multi-perspektif), tetapi di hati saya Lantip inilah sang pelakon utamanya. Baru kali ini saya melihat protagonis seperti ini, yang hidupnya didedikasikan untuk mengurusi orang lain dan yang egonya benar-benar nihil. Kisah hidupnya tidak seseru atau sedahsyat tokoh-tokoh lainnya (*bahkan percintaannya pun hanya dibahas dalam satu kalimat), tapi esensi kepriyayian paling terlihat dalam diri Lantip, sebagaimana ditegaskan oleh penulisnya sendiri.

Profile Image for Nonna.
137 reviews2 followers
April 4, 2020
Priyayi itu status sosial yang bisa diraih oleh siapa saja. Jalannya adalah pendidikan. Pendidikan pun tidak bisa berdiri sendiri untuk menjadikan seorang menjadi priyayi. Ia butuh spiritualitas. Spiritualitas tumbuh dari tanah di mana manusia itu lahir.

Buku ini membuka wawasan saya soal itu. Buku yang sangat enak dibaca. Bintang lima, Eyang Guru.
Profile Image for Shadiq.
55 reviews1 follower
April 7, 2023
Novel yang tidak sengaja tertarik untuk punya hanya karena sekilas terlihat ketika scrolling di medsos (instagram), direkomendasikan oleh seorang yang diwawancarai dan ketika ditanya buku apa yang bagus menurutnya salah satunya direkomendasikanlah buku Para Priyayi ini untuk dibaca. Ketika searching ternyata ini novel cukup klasik yah, cetakan pertama pada tahun 1992 yang ditulis pada 1 tahun sebelumnya, sempat terpikir kemungkinan susah untuk membayangkan latar belakang sketsa yang diambil, tempat, suasana dan nama tokoh-tokoh didalamnya dikarenakan memang pada masa novel ini terbit mungkin saya masih sekitar usia TK..hehehe. Bantuan gugel untuk memuaskan imajinasi setiap kata yang saya belum terbanyang makna dan ilustrasinya serba sedikit cukup membawa saya larut ke masa seperti yang digambarkan dalam novel ini.

Novel sekaligus karya sastra ini yang menurut beberapa ulasan yang saya temukan, hakikatnya adalah berusaha untuk mengungkapkan esensi kesejatian dari makna kata Priyayi itu sendiri yang pada kala itu merupakan kata yang disematkan pada kaum terhormat penuh dengan embel-embel kekuasaan dan kemewahan serta memiliki inteletektualitas tinggi di kelasnya. Sederhananya adalah kisah perjuangan kelas pada masa itu, namun Umar Kayam memberikan tawaran menarik bahwa sejati kata Priyayi itu jika hanya dibatasi pada pencapaian kelas semata akan semakin meng-eksklusifkan kaum Priyayi itu sendri menjadi agung, elit birokrat dan aristokrat yang semakin berada dipuncak untuk semakin sulit disentuh dan peduli nasib rakyat dan masyarakat sekitarnya (sekarang juga beberapa diantaranya juga bukannya masih relevan, eksklusif penuh dengan penghormatan dan pengakuan ketika sudah berada diatas, hehehe). Apakah itu tujuan kesejatian kaum Priyayi yang mengatasnamakan jabatan, kehormatan yang dipunyai di masyarakat? Bukankah semakin mendekati kelompok borjuis yang tanpa kenal empati membuat kaum abangan atau rakyat jelata semakin menderita untuk menerima kenyataan akan ketidakmungkinan berjuang untuk lebih baik dan tidak merasa terasing ditanah kelahirannya sendiri? hehehe...

Lewat tokoh kuat Sastrodarsono membuktikan perjuangan kelas yang pada akhirnya menemukan sosok dari sejatinya makna Priyayi yaitu Lantip yang bukan berasal dari keluarga Priyayi. Fleksibelitas yang disuguhkan oleh tokoh Lantip menunjukkan setiap orang mampu menjadi Priyayi dalam arti sebenarnya, mendobrak batasan eksklusif yang pada akhirnya menemukan makna sejatinya. Tokoh lantip menggambarkan bagaimana ketulusan dan keikhlasan yang diberikan kepada keluarga sastrodarsono menjadikan lantip menjadi seorang yang pandai, cerdas dan dihormati. Dan berkat keluarga itupun lantip juga dapat menjadi seorang priyayi, namun perilaku kepriyayiannya itu adalah hasil dari kesantunan, ketulusannya mengabdi dengan keluarga sastrodarsono dan diterapkan pada setiap tindak tanduknya dalam kehidupan bermasyarakatnya. Perjuangan kaum sosialis dengan menjadikan seni budaya dan sastra sebagai alat politik juga sedikit diceritakan dalam novel ini, namun berakhir dengan kehancuran akibat dari sistem yang melahirkan kekejaman serta kesewenangan karena tidak mungkin mengangkat kehidupan orang kecil bagaimanapun sistem dan penguasanya mengira begitu, tidak dibenarkan mengaku pembela atas nama hak kemanusiaan namun mengorbankan kemanusiaan itu sendiri bahkan sampai para taraf kebuasan setara dengan binatang. Karena satu hal yang tidak mungkin kita bantah adalah bahwa kita sama-sama manusia, klaim kebenaran masing-masing kelompok harus akan kabur jika sadar akan subtansi peciptaannya ke dunia ini. ^_^

Dengan misi sejatinya Priyayi demi mengayomi keluarga dan rakyat miskin atau wong cilik memiliki pendirian yang kokoh dan berjuang keras tanpa pamrih. Selalu menjaga nama baik keluarga. “Mikul duwur, Mendem jero” (menjunjung tinggi nama baik, mengubur dalam aib keluarga). Lantip adalah gambaran Umar Kayam akan priyayi sejati. Lantip menggambarkan seorang priyayi sebagai seorang yang memiliki semangat “pengabdian kepada masyarakat banyak, terutama kepada wong cilik, tanpa pamrih kecuali berhasilnya pengabdian itu sendiri” dan “warna semangat kerakyatan”. Umar Kayam menekankan bahwa priyayi, seperti halnya kaum santri dan abangan, jugalah manusia.Umar Kayam berhasil menggambarkan kehidupan priyayi dari dekat. Menjadi priyayi adalah sebuah ketidakmustahilan, walaupun ia berasal dari golongan bawah. Segala daya upaya ditumpahkan agar seseorang bisa masuk golongan priyayi. Kegemilangan sebuah keluarga dapat dilihat dari upayanya menjadikan seluruh keluarga atau setidak-tidaknya salah satu dari anggota keluarga menjadi priyayi.(dikutip dari himawan S Putra).
Jadi teringat sedikit konteks masa dan latar belakang yang membentuk sejarah perjuangan kelas Karl Marx dan Nietzsche...hehehe, mereka yang mampu melampui segala keterbatasan untuk tetap eksis menjadi manusia super dalam arti yang sebenarnya..hehehe

anw, kren ni novel, mungkin masih rendahnya sasmita saya saja dalam memahami makna karya sastra besar yang mendalam sehingga semakin mereduksi sudut pandang dan pemahaman saya...Flashback sejarah perjuangan kelas jawa yang kental mungkin saja sama pola dan relevansinya pada budaya dan ada istiadat lainnya di Nusantara tercinta kita saat ini, kemasannya saja yang baru. ^_^

Beberapa Kutipan:
"Yang penting sinau, belajar, sampai pinter, le." _Hal:22
"Pekerjaan apa saja baik asal dilakukan baik jujur, baik dan rajin, kata embok"_Hal:26
"Sejak kapan orang siap dengan pendapatan cukup pada waktu mau berkeluarga? Tidak pernah ada."_Hal:36
"Sumantri adalah contoh wong cilik yang dengan ikhlas menyerahkan baktinya buat raja dan negoro"_Hal:43
"Salah satu jalan untuk maju dalam jenjang priyayi adalah terjun dalam sebanyak mungkin pergaulan dengan para priyayi juga"_Hal:47
"Wingko kencono yang secara harfiah berarti 'pecahan genting yang nampak bagaikan emas'."_Hal:66
"Bagaimanapun panjang lorong, masih panjang tenggorokan"_Hal:84
"Sangkan paraning dumadi, darimana kita datang dan hendak kemana kita ini menuju"_Hal:85
"Hidup ini hanyalah untuk mampir ngombe"_Hal:85
"Kalau niat nglakoni, menjalani laku prihatin, Le, jangan kepalang tanggung, begitu pesan bapak saya"_Hal:91
"Kenapa orang kecil selalu menundukkan kepala mereka di depan orang yang dianggap berkuasa?"_Hal:110
"Ngelmu iku kelakoni kanti laku (ilmu itu akan terlaksananya lewat upaya keras)"_Hal:131
"Pada gulange ing kalbu, ing sasmita amrih..(Berlatihlah dalam bathin dalam tanda-tanda agar kalian peka)". Hal_132
"Maka kurangilah makan dan tidurmu"_Hal:133
"Saya menikmati, menghayati sepenuhnya keindahan kebahagiaan dan kepedihan hubungan itu"_Hal:151
"Wibawa itu tidak membuat orang merawa takut mealinkan hormat"._Hal:157
" Tugas saya yang terpenting yaitu menjadikan kalian orang benar-benar orang, Le"_Hal: 164
"Hidup berjalan terus dengan segala kekurangan dan kemiskinannya"._Hal:191
"Paham itu kalo fanatik bisa jadi bisikan syaiton, lho"_Hal:199
"Kita manusia hanya sekedar dititipi Gusti Allah anak-anak kita"._Hal:204
"Saya sangat percaya kepada hikmah keseimbangan dan kerukunan"_Hal:210
"Barangkali kali karena kami sudah begitu terbiasa dengan sikap nrimo, maka perasaan jenuh itu tidak kami kenal"_Hal:216
"Kita usahakan agar ikan bisa kita tangkap tanpa harus membuat arinya keruh, kecekel iwake, ojo nganti butek banyune"_Hal 217
"Kegembiraan serta kelenturan dan keikhlasan sikap beliau dalam menjalankan semua pekerjaan itu"_Ha; 234
"Sing Sembodo, bersikaplah gagah dalam melaksanakan kerja"_Hal 247
""Sekarang saya tau, kesenian itu alat kelas"_Hal:259
"Saya lebih percaya pada transformasi damai"_Hal:291
"Meskipun sulit, cobalah gembirakan hatimu"_Hal:295
"Semangat kerukunan dan persaudaraan itulah yang terpenting bagi keturunannya, bagi masyarakat, karena semagat itulah yang akan terus mampu membuat kita tumbuh dengan sebaik-baiknya sebagai masyarakat yang melaksanakan tugas Allah di Dunia Fana ini"_hal:305
Profile Image for Vanda Kemala.
233 reviews68 followers
September 1, 2018
Baca buku ini ibarat lagi mendengarkan alunan gamelan yang mendayu-dayu. Lembut, melenakan, mengalir tenang, dan nggak ada kesan grusa-grusu.

Suka cara penulis menunjukkan bagaimana perjuangan seorang Sastrodarsono yang awalnya cuma anak petani, disekolahkan, berhasil jadi guru, bisa mengangkat derajat hidupnya, dan akhirnya bikin trah priyayi, yang diikuti kemujuran dan kesuksesan anak-cucu.

Suka juga cara penulis yang berhasil mengangkat kalau lika-liku keluarga priyayi juga nggak luput dari permasalahan orang-orang, yang menurut pandangan cerita ini, bukan kalangan priyayi. Seakan mau kasih tunjuk kalau priyayi cuma sekadar status di masyarakat, tapi kehidupan orangnya ya sama aja kayak orang lain. Jadi priyayi cuma "sekadar" perbedaan status, demi terlihat terhormat di mata masyarakat.

Lebih suka lagi cara penulis yang menunjukkan perubahan kondisi Indonesia dari masa ke masa. Mulai dari zaman pemerintahan Belanda, Jepang, masa-masa RIS, sampai akhirnya kejadian Gestapu. Buku ini ibarat lintas kondisi pemerintahan. Memang nggak terlalu detail, tapi narasinya cukup jadi gambaran.

Penulis juga berhasil memaparkan bagaimana pandangan perempuan Jawa, yang seakan harus menurut kehendak kaum lelaki, dan menerima dengan tabah, sabar, dan ikhlas atas apa-apa yang ada di pedoman hidup kaum patriarki.

Menjelang akhir, sempat muncul dialog yang agak serius, yang rasanya menghilangkan esensi santainya buku ini. Untungnya, tepat di penutup, penulis bisa mengembalikan suasana dan bikin terbayang lagi damai dan tenangnya Wonogalih, tempat trah Sastrodarsono berasal.
Profile Image for Teguh.
Author 10 books335 followers
June 12, 2014
Membaca novel Para Priyayi seperti membaca sejarah Indonesia yang dipotret dari sebuah keluarga Soedarsono (atau setelah menjadi priyayi berubah Sastrodarsono). Konflik di dalam keluarga priyayi dan perjalanan sejarah yang dialami mulai dari kakek-anak-hingga cucu juga adalah bagian sejarah negeri ini. Cuma bedanya ini terjadi dalam keluarga priyayi agung, kinormatan.

Generasi tertua dari novel ini adalah Sastrodarsono, yang semula adalah anak petani utun yang sangat bukan priyayi. Namun sepertinya ayah Soedarsono (nama kecil Sastrodarsono) bukan sekadar petani biasa. Dia memiliki pandangan beberapa langkah ke depan terhadap anaknya. Dia ingin anaknya menjadi priyayi dan ngangkat dhuwur mendhem jero nasab keluarganya, membuat garis priyayi baru dari keluarga petani utun. Ini juga mendapat bantuan dari Eyang Sepen, priyayi yang melihat Siedarsono kecil bukan anak biasa. Tetapi cerdas. Jadilah Soedarsono, yang setelah menjadi priyayi berganti nama menjadi Sastrodarsono seorang guru.

Sastrodarsono menghadapi beberapa konflik yang cukup pelik. Mulai dari bagaimana para guru yang ditekan ketika dekat-dekat dengan kelompok pergerakan, setelah Belanda diusir Jepang, Sastrodarsono direndahkan martabat priyayinya oleh nipon. Tidak ada pembeda antara sekolah anak biasa dan anak priyayi, sekolah dicampur, lalu kepala harus plontos, dan menghormati Jepang dengan membungkuk. Itu membuat ia pensiun lebih cepat. Belum lagi persoalan dalam rumah tangganya. Keponakannya menghamili seorang anak Wanalawas, yang kelak menjadi Wage atau Lantip. Peliknya urusan cinta Hardojo, yang mencintai seorang gadis katholik. Juga urusan cucu-cucu yang mulai bertingkah.

Nasib serupa sepertinya dialami Wage, atau setelah masuh dalam pusara priyayi berganti nama Lantip. Lantip yang merasa sebagai anak seorang embok penjual tempe di Wanalawas, merasa tersanjung saat keluarga Eyang Guru Sastrodarsono mengangkatnya sebagai keluarga. (Meski nanti bakal diketahuinya apa hubungannya dengan keluarga priyayi itu). Tetapi nasib Lantip seperti mendapat durian runtuh. Diangkat keluarga oleh Sastrodarsono dan kemudian diangkat oleh Hardojo sebagai anak dan kakak Harimurti.

Sepertinya nasib keluarga Priyayi tidak selamanya indah. Manusia tetaplah manusia. Mau dilahirkan di keluarga mana saja tetaplah manusia dengan variable yang unik, tidak terduga. Keponakan Sastrodarsono yang menghamili anak orang. Hardojo yang mencintai gadis katolik. Soemini yang tidak baru buru-buru menikah. Cucu yang anak dari Noegroho yang dihamili Maridjan, HArimurti yang tersangkut PKI dan meniduri Gadis. Semua benar-benar fenomena keluarga priyayi yang tidak selamanya agung kinormatan.

Beberapa adegan sangat mengingatkan saya kepada beberapa tradisi dengan simbah kakung saya: suka cerita wayang kepada cucu-cucunya, lalu kalau hendak memberi nasihat pasti nada suara atau posisi duduknya sedikit berubah, kemudian ada pembatas jelas mana ruangan anak-anak dengan orang dewasa. Ketika Lantip dan Harimurti berrebut es cemoe mereka di arahkan ke ruang makan dan Sastrodarsono berserta anak mantu berkumpul berbagi petuah.

Tetapi Lantip seperti membawa sebuah atmosfer baru. Lantip yang bukan berdarah priyayi asli, tiba-tiba mencuat sebagai tokoh priyayi karena kerendahan hati dan sifat mau menolong saudara dan sepupunya. Merasa tidak agung dengan kepriyayiannya. Contoh lain untuk mengerti maksud priyayi juga diberikan oleh Sastrodarsono, dia mendirikan sekolah tanpa biaya di Wanalawas, meski akhirnya ditutup karena diancam oleh gopermen. Tetapi kita bisa menarik kesimpulan bahwa priyayi asi itu bukan yang berkain, berbeskap, dan bercas-cis-cus dengan Bahasa Belanda saja, tetapi yang mau turun tangan dan meningkatkan kepekaan. Lalu apakah kita sekarang sudah menjadi priyayi betulan? Atau sekadar memiliki darah priyayi tanpa bermental priyayi? Itu adalah pertanyaan yang kita sendiri yang bisa menjawabnya sambil melihat kaca.

Mungkin ini adalah anthropologi manusia Jawa secara menyeluruh. Keluarga dengan fenomena abangan, bagaimana menghadapi poligami, kemodernan, dan cinta tanah air.

Sungkem untuk Eyang Umar Kayam.
26 reviews5 followers
July 9, 2008
novel otokritik yang paling jujur yang pernah saya baca. Umar Kayam mengungkap kejujuran sebuah hipokrisi dengan sangat halus.
lapisan demi lapisan aturan (tata krama) dijalinkelindankan dengan begitu rapi hingga hampir setiap desah, harp, resah, ngeri sosok manusia-manusia priyayi dapat kita tangkap maknanya.
Umar kayam tidak menjustifikasi, ia hanya membeberkan kehidupan sehari-hari sebuah keluarga priyayi yang masih teguh dan bangga menggenggam ke-priyayi-annya. sedang kita, pembacanya, tanpa berbekal kejelian pikiran tetapi harus mengerahkan kepekaan, dapat dengan mudah memunguti nilai dan pesan yang dirangakai oleh Umar Kayam.

sebuah novel yang bisa membantu saya menjawab hampir semua pertanyaan mendasar tentang "kenapa bangsa kami menjadi sebegini tertinggal?"
1 review
May 2, 2009
Buku ini sangatlah mengagumkan...Kehidupan yang penuh dengan cerita dan lika-likunya itu di kupas habis oleh Umar Kayam. Priyayi yang kumengerti dalam novel ini adalah merupakan orang-orang yang mempunyai pengetahuan dan terdidik dengan ilmu pengetahuan yang diajarkan disekolahan. karakter-karakter dalam novel ini mempunyai kepribadian mereka masing-masing. Dan yang paling mengagumkan adalah Sastrodarsono dan Lantip. Mereka berdua memperlihatkan daya tarik tersendiri dalam novel ini. Mereka mempunyai backgroud yang sama yaitu dari seorang petani menjadi priyayi. Dan mereka mempunyai harapan yang sama, tentang keluarga, masyarakat dan negara.
Profile Image for Ernie Maendari.
1 review
February 15, 2010
to love is not only admiring the beauty...but also understand the ugliness. never be afraid to laugh at yourself. i'm a javanese who didn't know anything about my culture until i read this book. salute to Pak Umar Kayam who dare to laugh at his own culture..dan bukan 'cinta buta' (baca: fanatisme) belaka..hehe.
Profile Image for Ardita .
337 reviews6 followers
August 16, 2007
Bear with Khayam to the end. Then continue with "Jalan Menikung". Hopefully you'll understand more about Javanese, one of Indonesia's ethnic and will eventually be able to differentiate "Indonesia" and "Javanese" (the two are kiwi and banana).
Profile Image for Gita Romadhona.
Author 9 books35 followers
February 6, 2008
Umar Kayam Rock! Saya kira, inilah masterpiece-nya Umar kayam. HAl penting yang bisa diambil dari buku ini adalah "Bagusnya alur keturunan nggak selamanya sejalan dengan kelakuan.".
Profile Image for Sonny.
43 reviews9 followers
Read
October 14, 2008
Melalui mulut salah satu tokohnya, Umar Kayam berkata :

aku tak percaya pada ideologi yang telah menumpahkan darah milyaran manusia..
Profile Image for Raffi Zulvian.
12 reviews
October 27, 2025
The first book I borrowed from a friend! (Thanks Windooyyyy)

Here, we'll basically follow the journey of the Sastrodarsono family. We'll see them from the very beginning, when he married Dik Ngaisah, through the hardships of building a big family during turbulent times, and on to the growth of the next generations. Several themes are explored in this book, but I think education is the central one. These include the importance of women's education, the roles of formal and informal education, and the different kinds of educational approaches within a family.

Although Sastrodarsono was educating all three of his children with the same mindset, we'll see how they ended up with different characters, social statuses, and problems (they lived with different material conditions, of course). One of my favorite parts/social critics here is when Sumini wanted to continue her education first before marrying the man her parents chose for her. Since we know that at that time, women didn't really have much freedom to pursue their education and career as freely as they wished. Today it's still not ideal, but at least it's better (or is it?!).

Hari is my favorite character in the book! Such an emphatic and loving person. Despite his background as an upper-class man, he had connections with and solidarity for the oppressed people around him. Especially the economically oppressed people, the working class. I also agree with his assessment of our beloved Lantip that he is a right-wing person (liberal) lol.

This book made me angry, too. There are many portrayals of victim-blaming in relationships, patriarchal behavior, and much more. However, it's not because the book is supportive of these terrible things, but rather because this book is set at a time when these things were considered "normal" and attempted to highlight them as societal criticism. So this is not really a downside of the book, just a caution for anyone who wants to read it.

Overall, it was a very pleasant reading experience! 4.25!
Profile Image for Inov.
14 reviews
May 5, 2025
Sebenarnya ingin memberi 3.5, tapi tidak tersedia. Secara keseluruhan mengesankan.
Tersentuh dengan sentimen betapa terpandangnya profesi guru saat itu. Berpotensi untuk diadaptasi menjadi film epik yang membentang sepanjang tiga generasi yang menjadi saksi berbagai masa sejarah penting Indonesia.

Hanya saja, agak terasa bahwa detil latar kadang terasa hanya 'sekedar lewat' dan kurang terolah. Posisi penulis yang seolah 'apologetic' terhadap pembantaian yang digerakkan aparat juga sangat terasa dan 'mengurangi' potensi konflik moral yang seharusnya bisa digali.

Noegroho yang seorang TNI menjadi penyelamat keponakannya pun akhirnya menjadi justifikasi lumrah atas segala praktek nepotisme dan fenomena nepobaby yang terjadi hingga kini. Seandainya Noegroho bisa menjadi bagian dari manuver militer yang secara 'tidak sengaja' menewaskan Harimurti, pemaknaan tehadap konflik 65 dan akibatnya pada kemanusiaan bisa lebih terasa, ketimbang 'hanya menumbalkan' Gadis yang bukan anggota inti keluarga Sastrodasono.

Satu hal di luar isi buku yang membuat penasaran: di manakah Penerbit Grafiti saat ini, dan siapa pemegang hak cetak untuk Para Priyayi sekarang?
Profile Image for Oni.
Author 9 books45 followers
January 16, 2016
Mungkin aku akan sedikit subjektif dalam menilai buku ini. Latar tempat novel ini adalah di sebuah kabupaten fiktif seputaran Madiun, mungkin Ngawi, mengingat ini adalah tempat kelahiran Umar Kayam. Istri dan mertuaku sendiri berasal dari Madiun. Setelah sering berkunjung di seputaran Madiun dan menguasai sepatah dua patah bahasa Jawa, aku mulai bisa mendalami dan merasakan novel ini seperti yang diinginkan oleh penulisnya. Aku bisa merasakan bahwa pecel (yang dulunya tidak bisa kubedakan dengan gado-gado) yang ditaburi lantoro, mangga santok magetan, dan wedang cemoe, sesuatu yang dulunya sangat asing bagi seorang yang berlatar belakang Melayu Sumatra yang hanya tahu jawa sebatas gudeg (itu pun Jogja, bukan Madiun yang identik dengan pecel).

Satu keunggulan buku ini: Detil. Detil adalah sesuatu yang jarang ditemui dalam penulis fiksi Indonesia. Di dalam buku ini saya bisa merasa seolah hidup di zaman di mana cerita ini berlatar. Saya bisa merasakan aroma Jawa yang kental, iklim politik Hindia Belanda pasca politik balas budi Van Deventer, awal perkembangan pergerakan nasional Indonesia, dan terutama sekali detil kehidupan dan pola pikir para priyayi; singkatnya zeitgeist zaman itu.

Buku ini membawaku masuk jauh menyelami iklim pemikiran priyayi zaman itu. Aku bisa merasakan awal merembesnya modernisme ke dalam budaya Indonesia (baca: Jawa). Pendidikan Belanda mau tidak mau membuka wawasan "intelektual" di zaman itu yang sebelumnya hanya berkutat pada wayang dan Islam.

Aku juga dibawa menyelami religiositas orang Jawa di masa itu, terutama Jawa abangan. Aku mulai bisa mengerti mengapa seorang Jawa abangan tidak menjadi seorang muslim yang taat. Aku juga bisa merasakan ketegangan antara Islam Santri dan Islam Abangan yang memperebutkan tonggak keabsahan dominasi religius di tanah Jawa ini. Dan yang menarik juga adalah bagaimana seorang Islam abangan (yang notabene dianggap tidak Islam lagi oleh sebagian yang santri) tetap menegakkan identitas Islamnya saat berhadapan dengan agama lain, misalnya Katolik (yang kebetulan juga berkembang pesat di Jawa, khususnya di Jawa Tengah sekitar daerah Magelang, Muntilan, Semarang, Solo dan Jogja).

Buku ini justru menjadi sangat penting di saat budaya kita (Indonesia) mulai mengalami pergeseran. Sebuah retrospeksi yang ditawarkan novel ini menjadi sebuah model sejarah yang berguna bagi kita saat ini, yang sedang bergulat dalam zaman serba terhubung saat ini. Tokoh-tokoh dalam Para Priyayi bergulat dengan terbukanya pikiran akibat persinggungan dengan bahasa dan budaya Belanda; kita sekarang pun bergulat dengan keterhubungan global yang ditawarkan teknologi.

Jika dibandingkan dengan novel Laskar Pelangi, novel ini ibarat langit dan bumi. Jika novel ini adalah sebuah foto panorama detil dari sebuah lanskap Jawa, Laskar Pelangi adalah sebuah foto selfie Andrea Hirata, yang penuh dengan narsisisme pribadinya. Di dalam Laskar Pelangi, budaya dan suasana Belitung hanya menjadi latar belakang foto selfie pengarangnya. Di dalam Para Priyayi, justru budaya dan suasana Jawa-lah yang menjadi pusat cerita; tokoh-tokohnya adalah pengisi detil dalam lanskap foto tersebut. Mungkin ini adalah sebuah gambaran njawani penulisnya yang tidak mau menonjolkan dirinya. (Catatan: budaya Melayu yang menjadi latar belakang Andrea Hirata sebenarnya juga tidak suka menonjolkan diri, dia-nya aja yang narsis).

Saya rasa menarik juga kalau novel ini dibandingkan dengan Cantik itu Luka. Cantik itu Luka adalah sebuah upaya epik lintas zaman dari penulisnya, Eka Kurniawan. Namun epik goresan Eka Kurniawan terasa begitu kasar, ibarat sebuah kain tenun yang dijalan dengan amarah, atau sebuah lukisan yang digores dengan tenaga dan kuas lebar. Para Priyayi lebih tenang. Ia adalah sebuah tenun halus yang dijalin dengan penuh kehati-hatian. Ia adalah sebuah lukisan penuh detil dengan kuas halus dan lembut. Walhasil, ia menjadi sebuah lukisan realis yang indah; sedangkan Eka menghasilkan sebuah lukisan impresionis yang menggambarkan emosi penulisnya.

Novel ini juga bisa disejajarkan dengan Tetralogi Buru-nya Pramoedya Ananta Toer. Keduanya sangat kuat di detil. Bedanya, Para Priyayi kuat dalam detil lanskap kultural, seolah ia agak alergi dengan politik; Tetralogi kuat dalam detil lanskap politik. Keduanya dapat saling mengisi untuk mendapatkan sebuah potret mendalam suasana Indonesia menjelang kemerdekaan.

Satu kata penutup, buku ini luar biasa. Ia seharusnya menjadi salah satu tonggak kesusastraan Indonesia dan menjadi bacaan wajib anak sekolah, berjajar dengan Tetralogi Pulau Buru, Siti Nurbaya, Layar Terkembang, Ronggeng Dukuh Paruk dan Salah Asuhan.

Tapi sehebat-hebatnya buku ini, sayur asem kangkung kesukaan Ndoro Guru tidak akan bisa menyaingi dahsyatnya sayur asem dengan terasi Belitung dari tanah kelahiranku! Hahaha...
Profile Image for Ally Sara.
19 reviews
May 12, 2025
The narrative was an enjoyable holiday read but I found it difficult to parse the politics of this book. The author is not unsympathetic to the PKI or communist-adjacents, and the character of Gus Hari, the young socialist-leaning grandson who joins the PKI-associated Lekra, is written as one of the books most sensible and compassionate characters, applauded for his concern about the struggles of others. The penultimate chapter, written from Gus Hari’s perspective, felt like it was setting up for an ideological victory of socialism over the class-based hierarchies of Java’s pre-colonial and colonial past, which would have been a welcome and forward-looking conclusion after the obsession with social mobility and ascendancy to the gentry class that dictated the lives of the older generations of previous chapters. However, the disappointing victor of the book is the values of the ‘priyayi’, the professional strata of Javanese society who worked for the Dutch administration. In the final chapter, the young Gus Hari reforms from his troublesome communist ways and implausibly quickly recovers from the death of his bad-influence radical girlfriend and their unborn child. The book falls into the trap of lauding ‘good old-fashioned family values’, seemingly attributing the issues of contemporary Javanese society to the decline in priyayi-style familial responsibility. While I enjoyed the writing and the characters, it was disappointing that a book about Indonesian history ended with a lament about the diminishing import of systems of colonial stratification, and I left the book feeling robbed of a better ending.
This entire review has been hidden because of spoilers.
Profile Image for Amanatia Junda.
15 reviews6 followers
January 13, 2014
Kiranya, saya cukup terlambat dalam mengenal sosok Umar Kayam. Saya jatuh cinta pada sebuah cerpennya, Kunang Kunang di Manhattan, dan sekali lagi saya jatuh cinta pada karyanya yang cukup tebal, Para Priyayi. Adapun novel ini berkisah--sesuai judulnya--kehidupan para priyayi di Jawa. Berlatar belakang Wanagalih atau Ngawi, kota kecil yang bertetangga dengan Madiun, lalu dilanjutkan Solo dan Jogja, novel ini sangat "njawani".

Saya memberikan lima bintang karena Umar Kayam benar benar berhasil membuat pembaca menghayati para lelakonnya. Saya tidak berekspekstasi tinggi saat membaca dua bab awal. Bab pertama yang banyak berisikan deskripsi Wanagalih, cukup monoton menurut saya. Bab kedua, tentang Lantip, si anak haram, membuat saya mau tak mau menebak bahwa tokoh utama ini akan terus berkembang jauh, dengan alur terjal dan lain sebagainya.

Ternyata tebakan saya salah. Bab bab selanjutnya diisi oleh lakon lakon yang berbeda. Saya sangat terpukau dengan pemindahan gaya narasi dan penokohan di Para Priyayi. Sangat mengalir, dan luwes. Hal ini menjadi daya utama Para Priyayi. Kehidupan satu per satu priyayi dalam trah keluarga Sastrodarsono dituturkan, oleh kakek, anak, cucu. Membayangkan menulis satu generasi saja sudah rumit, Umar Kayam mampu melintasi tiga generasi sekaligus dalam bukunya.

Hal kedua yang membuat decak kagum saya adalah bagaimana Umar Kayam tampak mengerahkan seluruh pengalaman dan referensinya dari hasil riset untuk dibaur menjadi satu kesatuan narasi. Saya berkali kali mencoba mencari celah, letak ketidaksinkronan dalam fakta dan data di novel tersebut, tetapi sangat sulit menemuinya. Semisal dalam menu sarapan harian keluarga Sastrodarsono yakni pecel Mbah Soera. Sejak Sastro tinggal di jalan Setenan sampai ia mempunyai cucu, selalu dituliskan tentang menu sarapan tersebut. Saya jadi terheran heran, logikanya bagaimana Mbah Soera bisa terus berjualan selama itu? Tetapi akhirnya, di bab akhir akhir, Umar Kayam menambahkan keterangan bahwa pecel itu sudah ditangani oleh putrinya mendiang Mbah Soera. Hilang sudah celahnya. Umar Kayam dengan ahli menambalnya, meskipun saya kira agak terlambat.

Saya juga paling suka dengan dialog dialog yang njawani betul. Kata "elho" sepertinya baru familiar tatkala saya baca novel ini. Lama lama saya sangat menyukai dialog dialognya, dan sering saya suarakan saat membaca. Kadang terlintas, apakah ada nantinya sutradara yang mampu menggarap karya ini menjadi sebuah film? tetapi pasti akan jauh berbeda sensasinya dan bagaimana menggambarkan sekian banyak tokoh dan cerita dalam durasi dua jam?

Namun meski demikian, rasa bosan juga sempat hadir saat lakon Hardojo bercerita. Mungkin, karena kehidupannya tidak terlalu dinamis dan lempeng lempeng saja. Lalu bagian tokoh Mbah Kusumo yang sakti itu, bas ketoprak, saya pikir nggak terlalu penting muncul dalam novel ini.

Pergolakan politik pun satu persatu dilintasi, kecuali penggulingan orde lama. Entahlah, sudah atau belum saat momen kematian Mbah Sastro, namun rasanya jika membaca dialog Harimurti dan Lantip tentang komunis-sosialis, rasanya Umar Kayam sedikit berat hati menyampaikan pandangan lebih positif tentang paham ini. Mungkin, ini juga faktor terbitnya Para Priyayi saat Orba berkuasa. Kecenderungan menegatifkan komunisme saya rasakan di bab Harimurti dan bab akhir. Yang saya heran, bagaimana nasib anak kembar Hari yang dikandung Gadis. Tidak ada kabar lebih lanjut.

Saya rasa, buku ini wajib dibaca oleh semua lapisan masyarakat. Kental betul disiplin Antropologi di dalamnya. Namun, masih sangat disayangkan, porsi para wanita khususnya Soemini sangat sedikit di dalam kisah Para Priyayi. Apa istilah Priyayi cenderung Patriarki dan selalu merujuk ke laki laki?

Profile Image for Rei.
366 reviews40 followers
September 16, 2019
Sastrodarsono bertekad untuk merombak tradisi keluarganya yang turun-temurun menjadi petani; ia ingin menjadi priyayi. Maka amat berbanggahatilah ia dan kedua orang tuanya saat akhirnya lulus dari sekolah guru dan menjadi guru bantu, apalagi lalu Sastrodarsono dijodohkan dengan seorang anak gadis priyayi pula. Pelan namun pasti, Sastrodarsono menapaki jenjang kepriyayian semakin tinggi. Sastrodarsono diangkat menjadi guru tetap, bergaul dengan para priyayi lainnya seperti dokter dan jaksa, dan menyekolahkan anak-anaknya di sekolah Belanda. Namun mereka tidak melupakan kesusahan orang-orang di sekitar, Sastrodarsono menampung anak-anak kerabatnya dan menyekolahkan mereka. Hatinya juga tergerak untuk mendirikan sebuah sekolah seadanya di desa terpencil tak jauh dari desanya. Tentunya kehidupan keluarga Sastrodarsono tidak selalu mulus; mereka mengalami lekuk-liku kehidupan yang selayaknya dialami setiap manusia di dunia ini.⁣

Dinarasikan dengan sabar dan bahasa penuturan yang halus dan sederhana, aku dibawa menelusuri kehidupan Sastrodarsono dari enam sudut pandang tokoh-tokoh utamanya; Lantip, Sastrodarsono, Hardojo, Noegroho, Siti Aisah, dan Harimurti. Rentang waktunya pun cukup panjang; masa pendudukan Belanda, Jepang, kemerdekaan, pemberontakan PKI Muso, perang revolusi, pemberontakan PKI 30 September. Bagiku tokoh utama yang istimewa tentunya Sastrodarsono, yang menapaki jenjang sosialnya dengan sabar, dan Lantip, anak desa yang serba tulus dan ikhlas dalam menjalani perannya sebagai anak angkat keluarga Sastrodarsono. Di bagian awal terus terang aku agak kesulitan menyesuaikan diri dengan kalimat dan paragrafnya yang panjang-panjang, malah sempat agak bosan. Namun setelah dibuat jatuh cinta dengan karakter-karakternya, mudah saja menyelesaikan buku yang sarat dengan pesan moral ini.⁣
Profile Image for Farah Fitria Sari.
228 reviews10 followers
June 24, 2016
Baca buku ini kayak belajar mengenai keluarga sendiri. Ada mbah buyut di Solo yang hampir setiap lebaran disamperin sama keluarga besar dulu. Walaupun beliau udah meninggal gue masih inget banget; dari kesukaannya dengerin radio campur sari (atau keroncong? Atau dangdut? ._.) sampe, pernah suatu ketika, unjuk kemampuan beliau bisa Bahasa Belanda. Beliau manggil gue bulan, adek bintang. Gara-gara buku ini gue juga mengerti kenapa di rumah beliau tinggal beberapa keluarga jauh. Terus gue jadi ngitung-ngitung umur beliau waktu beliau ngelahirin eyang kakung: 17 tahun! Wow.

Buku ini bener-bener ngebuat mikir seberapa cepet budaya itu bisa luruh... soalnya buku ini kasarnya menceritakan tiga generasi suatu keluarga besar. Tiap generasi keliatan banget bedanya. Terus jadi sedih.

Bahasa Jawanya banyak banget! Gue yang dibesarkan di keluarga yang bisa Bahasa Jawa tapi kadang-kadang doang makenya masih bisa ngerti (dikit sih) dan entah kenapa hal ini ngebuat kangen eyang-eyang... terus mungkin buat orang yang kurang mengerti Bahasa Jawa jadi agak susah untuk mengerti gitu.

--walaupun begitu bahasanya tetep legit dan baik. Plotnya nggak cacat. Pengembangan karakter bener-bener terlihat kompleks dan nggak sederhana. Jadi bisa melihat filosofi yang dianut orang Jawa, ataupun orang secara umum, itu seperti apa sampe bisa bikin karakternya kek gitu. Keliatan banget Pak Umar ini orangnya mengakar, buktinya bisa sampe bikin karakter yang kek gitu: si Lantip. Indah banget buku ini!

Baca buku ini kayak melihat sore di rumah mbah--candikala.
Profile Image for Indah Purwanti.
124 reviews1 follower
January 28, 2018
Pertama kali melihat buku ini di mediatheque IFI Bandung. Langsung terpikat oleh desain sampul bukunya karena benar-benar Jawa sekali, dan tertarik setelah membaca resensi buku di belakangnya : Laluu apakah sesungguhnya Priyayi itu? Pandangan dunia kelas menengah elite birokrasi? Sekedar gaya hidup? Atau kesemuanya?

Setelah membaca halaman pertama buku tersebut, saya agak dibuat bingung, karena alur penceritaan buku ini adalah berdasarkan tokoh. Bukan penggabungan seluruh cerita per-bab. Awal mula berkisah seorang priyayi dari kalangan petani biasa -Soedarsono, bagaimana latar belakangnya, kegigihan dan kerja kerasnya untuk menaikan derajat orang tua dan tentunya keluarga besar, bagaimana ia bertemu dengan istrinya dan membangun keluarga di desa Wanagalih, bagaimana perjuangannya untuk mendidik anak-anak desa, dan beberapa drama dalam kehidupannya.

Kisah tersebut lantas bergulir kepada seluruh anggota keluarga besar Sastrodarsono, yang tak lain adalah Soedarsono itu sendiri. Seorang priyayi yang menyekolahkan Soedarsono memilih nama tersebut supaya pantas sebagai nama priyayi.

Buku ini sarat dengan wejangan-wejangan atau petuah kuno namun nilai-nilai tersebut sangat mengena untuk mengambarkan inti dari kehidupan manusia, apalagi dalam segi individu sebagai mahluk sosial. Setelah membaca buku ini pula, saya jadi punya keinginan untuk belajar bahasa Jawa lagi, karena latar belakang keluarga. Benar-benar buku yang sangat bagus.
23 reviews
November 11, 2019
NOVEL PARA PRIYAYI DENGAN PENDEKATAN SOSIOLOGI SASTRA.
Sosiologi sastra adalah salah satu jenis pendekatan karya sastra yang ada pada studi karya. Didefinisikan sebagai pendekatan tentang hubungan antara karya sastra dan masyarakat. Dalam perspektif sosiologi, kenyataan sosial dalam suatu masyarakat dipahami dalam tiga paradigma utama, yaitu fakta sosial, definisi sosial, dan paradigma perilaku sosial. Pendekatan sosiologi masih mempertimbangkan karya sastra. Lewat pendekatan ini, keberadaan pengarang dan karyanya sering tidak bisa dilepaskan dari lingkungan pada zamannya. Padahal, ada pengarang yang tidak terikat oleh perubahan lingkungan, termasuk momentum penting dalam perubahan politik. Tiap-tiap pilihan tak lain adalah simpul konsep kepengarangan. Seberapa jauh seorang pengarang terikat oleh lingkungan dan zamannya, sebenarnya juga ditentukan antara lain oleh konsep kepengarangannya. Pendekatan sosiologi sastra dapat mengungkapkan latar belakang pengarang, karena dalam kajiannya mempelajari tentang keberadaan manusia, baik dari segi pengarang atau segi hasil karyanya dalam lingkungan masyarakat.
Dapat dikatakan bahwa sastra muncul karena masyarakat menginginkan keterangan kehidupan sosial budayanya. Tepatnya keterangan keberadaan kehidupannya. Sehingga muncullah pesan-pesan dalam karya sastra, sebagai bentuk nilai moral yang hendak disampaikan oleh pengarang. Nilai-nilai yang ada berkaitan dengan nilai-nilai yang terdapat pada latar belakang sosial budaya masyarakat ketika pengarang hidup dan menjadi salah seorang anggotanya. Di sisi lain faktor subjektivitas pengarangnya akan menentukan bentuk karya sastra yang akan dihasilkan. Contoh dalam lingkup masyarakat Jawa, seni budaya pewayangan merupakan salah satu fakta sosial budaya yang sudah memasyarakat, sehingga kehadirannya dapat dirasakan siapa pun dalam novel Para Priyayi karya Umar Kayam. Gaya penulisannya juga sederhana, bernarasi Jawa yang akrab, mudah dicerna, dengan kritik-kritik yang segera mengajak pembaca membuat perenungan, yang sebenarnya memiliki kandungan makna dan filosofi kehidupan. Selain budaya pewayangan yang banyak diekspos dalam novel Para Priyayi, pengarang juga menghadirkan para tokoh yang sangat mencerminkan orang-orang Jawa pada umumnya. Selain itu, pengarang juga menyampaikan semua idenya dengan menyeluruh secara terang-terangan sehingga tidak ada hambatan dalam penyampaian ide atau gagasan pengarang.
Biografi singkat Umar Kayam, ia adalah sastrawan yang sosiolog, atau sosiolog yang sastrawan. Umar Kayam adalah anak dari seorang guru Hollands Inlands School. Lahir pada tanggal 30 April 1932, di Ngawi Jawa Timur. Umar menuntut ilmu di HIS Mangkunegoro Surakarta, yang tidak lain tempat ayahnya mengajar. Semasa kecil, ia sudah akrab sekali dengan dunia membaca. Saat masih duduk di sekolah setingkat SD, Umar terbiasa dengan bacaan-bacaan dongeng, dan pelajaran-pelajaran yang terkait cerita dalam bahasa Belanda.
Secara garis besar, Novel ini menggambarkan sosial masyarakat Jawa yang mempunyai adat dan kebiasaan yang cukup unik, khususnya daerah Wanagalih (Ngawi) Jawa Timur. Hal ini tidak terlepas dari sosial budaya pengarang yang berasal dari Ngawi, Jawa Timur. Pengarang sepertinya telah paham betul akan kehidupan priyayi-priyayi pada masa itu. Seakan-akan pengarang mampu menceritakan secara detail lika-liku kehidupan ketika itu. Kebudayaan Jawa yang ditampilkan dalam novel ini begitu halus dan lembut penyampaiannya sehingga tidak semua orang dapat memahaminya. Selain itu, dalam novel ini kebudayaan di keraton Mangkunegaran Surakarta ikut dikenalkan. Mangkunegaran merupakan tempat bekerja Hardojo sehingga dalam novel ini juga diceritakan mengenai kebudayaan di Surakarta.
Para tokoh dalam novel ini dilahirkan dari latar tempat, sosial dan waktu yang memang benar-benar menggambarkan kebudayaan Jawa pada saat itu. Bahkan Umar Kayam menambahkan novelnya dengan beberapa penggal tembang kinanti yang merupakan perwujudan kesenian jawa di bagian tengah dan akhir novel, sebagai simbol keunikan bahwa novel ini memang condong terhadap kebiasaan budaya orang Jawa dan lingkungannya. Umar Kayam banyak menggunakan dialog dengan berbahasa Jawa kental karena memang tokoh dalam novel lahir dari latar budaya Jawa. Bahasa Jawa yang disajikan Umar Kayam dalam novelya ada tiga bahasa Kromo Inggil (sangat halus) ,Kromo (halus) , dan Ngoko (kasar). Misalnya pada saat Lantip berbicara pada Sastrodarsono, Lantip menggunakan bahasa yang terkesan begitu halus dan berbeda pada saat Lantip berbicara dengan orang yang statusnya sama atau sebaya dengan lantip. Contoh kutipannya” wah, Ndoro. Nuwun sewu, mohon maaf.” dan pada kenyataannya bahasa seperti kromo inggil tersebut dipakai oleh yang muda ke yang tua, sedangkan jika yang muda berbicara pada yang muda atau yang setara umurnya, menggunakan bahasa Jawa ngoko. Apabila orang tua berbicara pada yang lebih muda biasanya juga menggunakan bahasa ngoko. Bukti “Karena itu sudah sepantasnya kamu menyandang nama tua, Le.” Dialog ini, terutama kata “Le” Sangat terkenal di kalangan orang Jawa, berasal dari bahasa Jawa pula.Tingkatan antara ngoko, kromo, dan kromo inggil dapat dikaitkan dengan kesopanan yang berlaku di Jawa
Status atau gelar sebagai priyayi merupakan status yang banyak terlahir dalam suasana kehidupan orang-orang Jawa. Bahkan orang-orang Jawa pada zaman dahulu pada saat memilih menantu mereka lebih memberatkan pada calon menantu yang memiliki status priyayi. Bagi orang-orang Jawa status memanglahlah sangat penting dalam kehidupan sehari-hari. Tetapi Umar Kayam menyajikan pemahaman tentang priyayi yang sebenarnya dalam novel, bahwa priyayi itu bukan dari darah birunya, bukan dari posisi dan jabatannya, melainkan dari sikap kesungguhannya untuk melayani dan mengayomi rakyat banyak. Hal ini disampaikan pada bagian akhir novel saat tokoh Lantip berpidato di pemakaman eyangnya. Lantip berpidato tentang keberadaan Eyangnya selama masih hidup dalam mengayomi rakyat banyak terutama di bidang pendidikan.
Dengan buku novel Para Priyayi karangan Umar kayam, pembaca Indonesia yang berlatar belakang bukan Jawa akan dapat mengenal dan memahami sebagian kehidupan sosial budaya Jawa. Tingkah laku tokoh-tokoh dalam novel tersebut tampak sangat terikat dan sekaligus mengikatkan diri dengan penuh kesadaran terhadap aturan kelembagaan masyarakat Jawa.
Profile Image for Indra.
16 reviews11 followers
September 16, 2007
Kalau ditanya, kenapa aku jadi dosen (well, belum dosen tetap, sih), jawabannya adalah karena aku baca buku ini. Kebetulan sekali pas aku baca buku ini di tahun 1999, aku baru dapet 'brevet guru bantu', eh, maksudnya diangkat jadi asisten dosen.

Jelas saja aku mengasosiasikan diri dengan Sudarsono (Sastrodarsono). Memang, tidak seperti beliau, aku tidak lantas dinikahkan ketika terangkat statusnya menjadi priyayi...

Tentang buku ini sendiri, aku lebih suka bagian depannya. Bagian belakang, terutama tentang si anak yang tercebur aktivitas PKI, kurang aku suka, karena kesannya seperti 'political propaganda' Orde Baru. Tapi ya sudahlah, itu bukan hal penting.

Secara keseluruhan, dampak buku ini adalah membuatku jadi 'priyayi' dalam arti tidak menjadi entrepreneur atau pegawai swasta; apa arti priyayi, silakan dibaca sendiri dalam buku ini, nanti saya dituduh menyombongkan diri kalau saya sebut di sini.
Profile Image for Marina.
2,035 reviews359 followers
July 15, 2014
** Books 180 - 2014 **

kalo diandaikan seperti makanan. buku inii paket sehat lengkap. 4 sehat 5 sempurna! berisi masing2 anggota keluarga yang bercerita disudut pandang mereka masing2 yang semuanya terjalin dengan ikatan satu keluarga besar sastrodarsono..

saya sampe speechless baca novel ini! buku ini membawa saya dejavu membaca novel canting arswendo atmowiloto tapi buku ini jauhh jauhh lebih bagus! saya suka mulai konflik batin, konflik keluarga, cara bertahan hidup, prinsip jawa yang amat kental! dohhh seperti pepatah buku ini bagus banget untuk dibaca tapi saking bagusnya jadi bingung gimana mau mereviewnya karena umar kayam pintar meracik isi buku ini..

buku ini layak saya hadiahkan 4,8 dari 5 bintang! bagus dan saya suka banget!!
2 reviews
February 26, 2008
In here, we can understand what the mean of "priyayi", a government workers who has a high reputation in the people evidences. "priyayi" is a hero to bring up the people glory.

In this book, there're stories about a big family which started from Sastrodarsono, ex-farmer who can study in high level and build up a very attractive family.

The most "priyayi" in this book is Lantip, a child from one of the Sastrodarsono's family who break the honour of a village girl. Lantip is the main actor in this book. He's nice, friendly, good and much more good things fromk him.
Profile Image for Rama Adeyasa.
12 reviews
November 29, 2009
Sewaktu pertama membaca buku ini... sebenarnya bingung dengan cara bertutur yang berpindah-pindah dari tokoh yang satu ke tokoh yang lain. Akan tetapi, setelah beberapa lembar pembacaan, akhirnya dapat juga! Ternyata seru banget membaca karya Umar Kayam ini! Jadi berpikir, apa sih makna priyayi sesungguhnya?
Profile Image for dian.
22 reviews3 followers
January 16, 2008
Buku ini mengajarkan gw tentang arti "Priyayo" yang sesungguhnya.
"Priyayi" itu tidak ada dalam darah, tidak dibawa dalam gen. "Priyayi" ditunjukkan dalam perbuatan, hati, dan pikiran secara sadar.
Bagus :)
Displaying 1 - 30 of 211 reviews

Can't find what you're looking for?

Get help and learn more about the design.