Jump to ratings and reviews
Rate this book

Pada Suatu Hari Nanti & Malam Wabah

Rate this book
Cerita-cerita yang dikumpulkan dalam "Pada Suatu Hari Nanti" didasarkan pada berbagai sumber, lisan maupun tulis. Sumber yang dipakai umumnya sudah dikenal luas dan memiliki sejenis pakem. Dongeng dari pakem bisa berupa lisan atau tulisan, atau yang dalam perkembangannya telah melalui proses ulang-alik lisan-tulisan. Ini merupakan kumpulan dongeng carangan “cabang, ranting” yang pada dasarnya merupakan tanggapan atas pakem yang sudah ada dengan memelintir dongeng-dongeng itu—terutama yang menyangkut penokohan dan alur.

Kumpulan kedua, "Malam Wabah", berisi dongeng-dongeng yang boleh dikatakan merupakan tulisan “asli”, meskipun kategorisasi asli dan bukan asli selalu saja merupakan masalah. Dalam kumpulan cerita ini, orang dan benda yang berkeliaran di sekitar kita dibiarkan saja berbicara mengungkapkan diri mereka sendiri: ada narapidana, sepatu, daun, gadis kecil, rumah, lelaki tua, dan sebagainya. Masing-masing memiliki kehidupan sendiri; penulis sekadar menyediakan bahasa yang kira-kira sesuai untuk mereka.

94 pages, Paperback

First published June 1, 2013

19 people are currently reading
526 people want to read

About the author

Sapardi Djoko Damono

122 books1,588 followers
Riwayat hidup
Masa mudanya dihabiskan di Surakarta. Pada masa ini ia sudah menulis sejumlah karya yang dikirimkan ke majalah-majalah. Kesukaannya menulis ini berkembang saat ia menempuh kuliah di bidang bahasa Inggris di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Sejak tahun 1974 ia mengajar di Fakultas Sastra (sekarang Fakultas Ilmu Budaya) Universitas Indonesia, namun kini telah pensiun. Ia pernah menjadi dekan di sana dan juga menjadi guru besar. Pada masa tersebut ia juga menjadi redaktur pada majalah "Horison", "Basis", dan "Kalam".

Sapardi Djoko Damono banyak menerima penghargaan. Pada tahun 1986 SDD mendapatkan anugerah SEA Write Award. Ia juga penerima penghargaan Achmad Bakrie pada tahun 2003. Ia adalah salah seorang pendiri Yayasan Lontar.

Karya-karya
Sajak-sajak SDD, begitu ia sering dijuluki, telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa. Sampai sekarang telah ada delapan kumpulan puisinya yang diterbitkan. Ia tidak saja menulis puisi, tetapi juga menerjemahkan berbagai karya asing, menulis esei, serta menulis sejumlah kolom/artikel di surat kabar, termasuk kolom sepak bola.

Beberapa puisinya sangat populer dan banyak orang yang mengenalinya, seperti Aku Ingin (sering kali dituliskan bait pertamanya pada undangan perkawinan), Hujan Bulan Juni, Pada Suatu Hari Nanti, Akulah si Telaga, dan Berjalan ke Barat di Waktu Pagi Hari. Kepopuleran puisi-puisi ini sebagian disebabkan musikalisasi terhadapnya. Yang terkenal terutama adalah oleh Reda Gaudiamo dan Tatyana (tergabung dalam duet "Dua Ibu"). Ananda Sukarlan pada tahun 2007 juga melakukan interpretasi atas beberapa karya SDD.

Berikut adalah karya-karya SDD (berupa kumpulan puisi), serta beberapa esei.

Kumpulan Puisi/Prosa

* "Duka-Mu Abadi", Bandung (1969)
* "Lelaki Tua dan Laut" (1973; terjemahan karya Ernest Hemingway)
* "Mata Pisau" (1974)
* "Sepilihan Sajak George Seferis" (1975; terjemahan karya George Seferis)
* "Puisi Klasik Cina" (1976; terjemahan)
* "Lirik Klasik Parsi" (1977; terjemahan)
* "Dongeng-dongeng Asia untuk Anak-anak" (1982, Pustaka Jaya)
* "Perahu Kertas" (1983)
* "Sihir Hujan" (1984; mendapat penghargaan Puisi Putera II di Malaysia)
* "Water Color Poems" (1986; translated by J.H. McGlynn)
* "Suddenly the night: the poetry of Sapardi Djoko Damono" (1988; translated by J.H. McGlynn)
* "Afrika yang Resah (1988; terjemahan)
* "Mendorong Jack Kuntikunti: Sepilihan Sajak dari Australia" (1991; antologi sajak Australia, dikerjakan bersama R:F: Brissenden dan David Broks)
* "Hujan Bulan Juni" (1994)
* "Black Magic Rain" (translated by Harry G Aveling)
* "Arloji" (1998)
* "Ayat-ayat Api" (2000)
* "Pengarang Telah Mati" (2001; kumpulan cerpen)
* "Mata Jendela" (2002)
* "Ada Berita Apa hari ini, Den Sastro?" (2002)
* "Membunuh Orang Gila" (2003; kumpulan cerpen)
* "Nona Koelit Koetjing :Antologi cerita pendek Indonesia periode awal (1870an - 1910an)" (2005; salah seorang penyusun)
* "Mantra Orang Jawa" (2005; puitisasi mantera tradisional Jawa dalam bahasa Indonesia)

Musikalisasi Puisi

Musikalisasi puisi karya SDD sebetulnya bukan karyanya sendiri, tetapi ia terlibat di dalamnya.

* Album "Hujan Bulan Juni" (1990) dari duet Reda dan Ari Malibu.
* Album "Hujan Dalam Komposisi" (1996) dari duet Reda dan Ari.
* Album "Gadis Kecil" dari duet Dua Ibu
* Album "Becoming Dew" (2007) dari duet Reda dan Ari Malibu
* satu lagu dari "Soundtrack Cinta dalam Sepotong Roti", berjudul Aku Ingin, diambil dari sajaknya dengan judul sama, digarap bersama Dwiki Dharmawan dan AGS Arya Dwipayana, dibawakan oleh Ratna Octaviani.

Ananda Sukarlan pada Tahun Baru 2008 juga mengadakan konser kantata "Ars Amatoria" yang berisi interpretasinya atas puisi-puisi SDD.

Buku

* "Sastra Lisan Indonesia" (1983), ditulis bersama Subagio Sastrowardoyo dan A. Kasim Achmad. Seri Bunga Rampai Sastra ASEAN.

Ratings & Reviews

What do you think?
Rate this book

Friends & Following

Create a free account to discover what your friends think of this book!

Community Reviews

5 stars
121 (30%)
4 stars
155 (38%)
3 stars
102 (25%)
2 stars
15 (3%)
1 star
5 (1%)
Displaying 1 - 30 of 66 reviews
Profile Image for Nabila Budayana.
Author 7 books80 followers
July 22, 2013
Nama besar Sapardi menjadi daya tarik utama buku ini bagi saya (sebelum membacanya). Saya selalu percaya seseorang yang mampu menyajikan Hujan Bulan Juni selalu akan punya bahan menarik untuk dituliskan, entah dalam bentuk apa. Kali ini Sapardi hadir dengan kumpulan cerita pendek "Malam Wabah dan Pada Suatu Hari Nanti"

Saya mengawali buku ini dengan "Pada Suatu Hari Nanti" yang ternyata terdiri dari kumpulan kisah-kisah besar yang penulis 'modifikasi' dari bentuk aslinya. Baik plot, karakter tokoh, dsb. Kisah tentang Ken Arok, Malin Kundang dan Kancil misalnya. Saya rasa ide tersebut sangat menarik, namun juga memiliki tantangan besar dalam pengeksekusiannya. Kisah harus benar-benar berbeda, namun juga harus berhasil memberi kesan baru yang tak kalah kuat dengan kisah aslinya. Penulis berhasil melakukannya, saya rasa. Beliau berani mengambil kebalikan dari plot dan karakter tokoh awal. Jadi kisah-kisah tersebut memiliki peluang besar untuk diingat kemudian.

Pada "Malam Wabah", tidak seperti "Pada Suatu Hari Nanti", penulis menyuguhkan kisah-kisah yang murni berasal dari buah pikirnya. Dan sesuai dengan yang saya duga, akan banyak personifikasi khas penulis. Saya jadi teringat tweet bersambung Dewi Lestari tentang obrolannya dengan Sapardi saat sama-sama menjadi juri seleksi event literasi. (Jika saya tak salah ingat, kira-kira begini): Bahwa Sapardi selalu ingin mengungkap kebisuan. "Malam Wabah" menjadi salah satu representasi dari keinginan tersebut. Personifikasi beliau ada di nyaris semua kisah. Sepatu, rumah, daun dapat penulis hidupkan sedemikian rupa, sehingga mereka punya 'suara'

Personifikasi tanpa penyampaian baik akan percuma. Tidak dengan buku ini. Caranya yang sederhana (ditunjukkan dengan diksi) bukan berarti kering 'gizi'. Saya sesekali mampu berhenti lama pada suatu kalimat, tertawa kecil karena sindiran-sindirannya, juga merasa haru di akhir kalimat. Saya jadi membayangkan, mungkin saat kisah ini ditulis, penulis sedang ingin memberi humor, mengungkapkan amarah, atau justru menangis (ini dalam kepala saya saja). Di antara kalimat-kalimatnya, penulis membagikan banyak hal yang semestinya mampu menjadi bahan perenungan pembaca.

Di atas itu semua, kumpulan cerpen ini berhasil "Mengubah hal yang kecil dan sederhana menjadi besar dan berarti."

Sehingga setelah membacanya, saya ternyata mampu merasa tidak lagi peduli siapa penulisnya. Seandainya kisah-kisah ini berada di buku penulis lain pun saya akan menyukainya. Karena nyatanya ini benar-benar lahir dari tangan sang maestro, SDD, itu menambah keistimewaannya bagi saya.
Profile Image for Adriyan Achda.
93 reviews7 followers
November 4, 2013
saya membayangkan Pak Sapardi ini suka ngomong sendiri sama hujan, pohon, dan benda-benda mati.
Profile Image for Arief Bakhtiar D..
134 reviews82 followers
August 15, 2018
SULAIMAN

PADA tahun 1973 malam dan lampu jalan adalah sesuatu yang hidup: keduanya tercatat pernah bercakap-cakap.

Perihal sederhana, sebenarnya: mereka berebut ingin tampil menjaga malam.

Saya belum lahir waktu itu. Tapi saya akhirnya tahu seorang penyair telah mencatat bahwa “hujan, yang mengenakan mantel, sepatu jalan, berdiri di samping tiang listrik.” Penyair itu menceritakan kepada kita dua kalimat pendek yang dikatakan hujan kepada lampu jalan: “Tutup matamu dan tidurlah. Biar kujaga malam.”

Tapi lampu jalan, yang cuma bangun di malam hari kalau petugas tak lupa mematikannya subuh-subuh, yang bertahun-tahun tegak di persimpangan jalan itu, menolak. “Kembalilah,” kata lampu jalan itu kepada hujan, “jangan menggodaku tidur. Aku sahabat manusia. Ia suka terang.”

Penyair yang mengabadikan percakapan tahun 1973 itu adalah Sapardi Djoko Damono. Ia memberi judul Percakapan Malam Hujan. Agaknya penyair kita ini gemar membayangkan pihak-pihak lain bersuara. Bukan hanya membayangkan, Sapardi agaknya menyukai kalau-kalau benda-benda di sekitarnya bersuara. Ia meraba-raba bila benda itu hidup, punya jiwa, apa yang akan dikatakannya. Ia menuliskannya dalam puisi-puisi. Seperti misalnya puisi Bunga, 2 yang dibikin 1975:

mawar itu tersirap dan hampir berkata jangan ketika pemilik taman memetiknya hari ini; tak ada alasan kenapa ia ingin berkata jangan sebab toh wanita itu tak mengenal isaratnya – tak ada alasan untuk memahami kenapa wanita yang selama ini rajin menyiraminya dan selalu menatapnya dengan pandangan cinta itu kini wajahnya anggun dan dingin, menanggalkan kelopaknya selembar demi selembar dan membiarkannya berjatuhan menjelma pendar-pendar di permukaan kolam


●●●

Tapi rupanya tidak hanya mawar, dan tidak hanya puisi. Dalam buku kumpulan cerita pendek Malam Wabah, yang diterbitkan Penerbit Bentang Pustaka pertengahan tahun ini, ia pun menulis tentang benda-benda yang bersuara. Saya kutipkan.

“Saya sebuah rumah seluas 150 meter persegi, hampir semuanya ditanami bangunan, kecuali tiga kali enam meter persegi di depan. Mungkin dimaksudkan sebagai semacam taman kecil nantinya. Entah bagaimana, dulu-dulunya ada keluarga yang ingin membangun rumah, yang ingin melahirkan saya—begitu istilahnya kira-kira bagi Saudara.”


Dari gayanya nampak ada corak yang khas Sapardi, yaitu, seperti yang ditulis dalam pengantar di tepi buku, “benda yang berkeliaran di sekitar kita dibiarkan berbicara mengungkapkan diri mereka sendiri”. Satu paragraf yang saya kutip di atas, misalnya, membuat kita akhirnya tahu bagaimana rumah berbicara mengungkapkan diri mereka sendiri—terkadang seperti manusia yang bertahan dari gosip. Rumah itu, yang mungkin juga doyan makan cap cay goreng dan nila bakar, mengungkapkan dirinya pada kita. “Saudara”, begitu rumah-rumah itu sering menyebut kita—seorang pembaca cerpen yang tak cerewet.

Saya tidak ingin berlebihan, tapi begitulah: rumah-rumah itu seperti manusia—salah satu dari mereka bercakap tentang satu atau dua rumah lainnya (agaknya kita bisa menyebutnya curhat), dengan mengemukakan sudut pandang masing-masing. Mereka berbicara kepada manusia dengan pengalaman-pengalaman. Rumah no. 11, sebagai contoh, tahu penghuninya ramai dan menganggu ketenangan rumah no. 13. Rumah no. 13, sebuah rumah kontrakkan yang menggoda kita untuk mengontrak dirinya, mengeluh kepada kita bahwa dia terganggu keramaian di rumah no. 11 dan menganggap rumah no. 15 adalah sebuah rumah hantu: setengah jadi, buruk, penuh rumput liar, tak berpenghuni, dan tak pernah laku-laku. Rumah no. 15 tak terima dikatai rumah hantu dan tak laku-laku. Ia mencela balik no. 13: sebuah rumah kontrakan (hanya dikontrak, bukan dibeli) yang tak laku-laku itu lebih memalukan. Ia merasa lebih mending: meskipun buruk, ular pun masih sudi menghuninya.

Suasana benda yang seakan hidup itulah yang terasa pada beberapa cerita pendek dalam Malam Wabah.

●●●

Sapardi Djoko Damono seringkali memberi kalimat yang seperti puisi dalam cerpen-cerpennya: “suara paku besar kecil dipaksakan masuk kayu” (Rumah-Rumah, hal. 2). Atau ini: “Ia selama ini percaya setulus-tulusnya pada apa saja yang sering diperbincangkan daun-daun jeruk purut yang suka menyentuh-nyentuh jendela kamar tidurnya” (Daun di Atas Pagar, hal. 35). Dengan begitu, rasa-rasanya bagi saya, buku Malam Wabah adalah cerpenisasi puisi. Atau mendekati itu.

Kalimat-kalimat liris-puitis itu lantas membuat saya berpikir, apakah cerita pendek itu akan dibikin puisi oleh Sapardi. Kalau belum keluar puisinya, mungkin karena Sapardi masih menyimpannya. Setidaknya, tulisan-tulisan Ketika Gerimis Jatuh, Daun di Atas Pagar, Rel, dan Malam Wabah berpotensi menjadi puisi—kalau mau.

Sebab, dalam kumpulan cerita itu hal sebaliknya telah terjadi. Kita akan menemukan dalam cerita pendek Sepasang Sepatu Tua. Sapardi bercerita, dengan gaya orang pertama, mengenai seorang manusia yang membeli sepasang sepatu di China Town, San Francisco. Sepatu itu “warnanya merah kecoklatan, solnya agak tebal dan kuat, pinggiran atasnya sampai ke mata kaki—mirip sepatu bot, tetapi bukan sepatu bot”. Labelnya buatan Jerman, dan sepasang sepatu itu bercakap-cakap: lirih, tapi tak jelas bahasanya, ataukah Inggris, Cina, ataukah Jerman. Baru di Jakarta pria pemilik sepatu itu menemui Mas Gondo, yang tenar bisa memahami bahasa sepatu. Kata Mas Gondo setelah dengar-dengar percakapan: sepasang sepatu tua itu mencintai pemiliknya.

Sang pemilik semakin jatuh cinta pada sepasang sepatu itu. Ia membawanya ke mana saja, ke acara resmi apa pun. Dari selalu bersama itu, ia lambat laun mengerti apa yang dipercakapkan sepasang sepatu itu, seperti suatu saat mereka pernah bertengkar apakah kulit mereka dari seekor sapi Jerman atau Prancis.

Tapi toh lama-lama sepatu itu lusuh juga, dan sering diperbaiki di tukang sepatu. Istri dan anaknya menyarankan untuk membuang sepatu tua itu, daripada dikira tidak mampu beli sepatu baru. Tentu saja ia menolak. Tapi suatu hari itulah yang terjadi: sepasang sepatu tua itu tiba-tiba tak ada lagi di rak. Setelah diselidiki, anaknya telah memberikannya ke tukang sampah, dan kini mungkin tengah berada di gerobak.

Saya tak ingin menceritakan kisah sepasang sepatu tua itu sampai akhir. Yang ingin saya katakan kemudian adalah: bagaimana sepasang sepatu tua itu mengkhawatirkan masa depan mereka, kelanjutan hidup mereka, Sapardi pernah menuliskannya dalam bentuk puisi pada tahun 1973:

sepasang sepatu tua tergeletak di sudut sebuah gudang, berdebu

yang kiri terkenang akan aspal meleleh, yang kanan teringat jalan berlumpur sehabis hujan – keduanya telah jatuh cinta kepada sepasang telapak kaki itu

yang kiri menerka mungkin besok mereka dibawa ke tempat sampah dibakar bersama seberkas surat cinta, yang kanan mengira mungkin besok mereka diangkut truk sampah itu dibuang dan dibiarkan membusuk bersama makanan sisa

sepasang sepatu tua saling membisikkan sesuatu yang hanya bisa mereka pahami berdua


Dari situlah saya berpikir, bahwa puisi-puisi Sapardi (tentu saja tidak seluruhnya) bisa berkembang sebaliknya dengan menjadi cerita pendek yang bagus. Cerpen dan puisi dengan judul yang sama di atas bisa menjadi contoh. Kita mungkin saja membuat cerpen, misalnya, tentang Muara yang menyayangi Laut. Kita ambil dari puisi berjudul Muara.

Seumur hidupnya Muara tokoh utama kita ini menyanjung air-air yang datang dari gunung. “Inilah lambang cinta sejati,” kata Muara, “sumber denyut kehidupan.” Tapi Muara itu tak selalu mengirim air-air dari gunung—dibawanya pula satu-dua botol minum bekas, plastik ciki, atau pelepah daun pisang tua dari tepi sungai yang memang sudah saatnya untuk gugur; mereka semua “sampah dan kotoran”. Demi sebuah kesantunan, seolah-olah Muara dan Laut bertetangga, atau bersaudara, Muara mengatakan kepada Laut: “Tentu saja bukan maksudku mengotori hubungan kita yang suci, tentu saja aku tak menghendaki sisa-sisa ini untukmu.”

Seperti cerpen, puisi-puisi Sapardi yang bergaya liris itu pun selanjutnya punya konflik, dan mungkin tafsir. Itu yang membuatnya lebih menarik. Seperti saat tiba-tiba seseorang terapung di Muara: sesosok jenazah. Muara itu berkata, seperti panik: rupanya seseorang telah mengusut sedalam apakah lubuk-lubuk sungai dan laut, apakah memang sedalam cinta ataukah tidak. Mungkin jenazah itu tertantang ingin membuktikan sebuah pepatah: cinta yang suci selalu lebih dalam dari dalamnya lautan.

Kalau ingin mencoba lagi, kita bisa meminjam Puisi Cat Air untuk Rizki. Di sebuah pagi sebuah kisah dari puisi itu mungkin bermula: ada Daun yang jatuh tersangkut di Kabel Telpon. Angin melihatnya, mengatakan, “Aku ingin mempermainkanmu!” Maka Daun-Daun itu pun dipungut oleh jari-jari Angin. Di sini Angin adalah sebuah tokoh antagonis. Kabel Telpon, yang bisa kita bayangkan seseorang yang memergoki kejahatan tapi tak bisa berbuat apa-apa, cuma memperingatkan, “Jangan berisik, menganggu hujan!”

Maka yang dikatakan Kabel Telpon ada benarnya. Kemudian datang Hujan, seperti pahlawan. Anggap saja dia sebuah tokoh protagonis. Kita boleh membayangkan kemungkinan-kemungkinan: daun itu kira-kira pacar Hujan, atau adiknya, atau sekedar kenalannya waktu jajan bakso di pasar. Hujan meludah, setelah sebelumnya berteriak “lepaskan!”, tanda tidak terima pacarnya dipermainkan. Dan dari situ kita bisa membuat sebuah cerita lanjutan yang bisa ditulis cukup panjang sampai dua-tiga halaman: duel antara Angin dan Hujan.

●●●

Terlepas dari kemungkinan semacam itu, Sapardi membuktikan, setelah buku kumpulan cerpen Membunuh Orang Gila yang diterbitkan tahun 2003 oleh Penerbit Kompas, bahwa seorang cerpenis dan penyair puisi yang giginya sudah ompong bisa menghasilkan karya yang sama bagusnya—meskipun puisi-puisi Sapardi bagi khalayak tetap lebih fenomenal.

Saya kira, baik itu dalam cerpen atau puisi, kepekaan inderawi senantiasa kental. Sapardi yang sekarang masih seperti Sapardi yang dulu: melakukan eksplorasi inderawi itu dalam waktu yang tepat, suasana yang tepat, dan sama-sama dalam. Sebagai penyair, Sapardi berjasa membuat puisi sebagai sesuatu yang populer di masyarakat. Puisinya Hujan Bulan Juni dan Aku Ingin adalah dua yang paling sering dikutip. Sebagai cerpenis, Sapardi mendekatkan sastra kepada masyarakat yang tak merasa penting menikmati puisi. Ia menempuh keduanya, ia mencoba memberi greget pada kata dan hal-hal remeh. Dan Sapardi memang, selama berpuluh-puluh tahun, mampu menanggung tugas itu. Ia seperti menguasai segala bahasa—saya tiba-tiba ingat kisah Nabi Sulaiman yang sanggup berbicara dengan semut, burung, dan angin. Kesan saya adalah: kalau kau ingin tahu apa perasaan ketonggeng kepada malam, atau rindu cabai kepada panas yang agak panjang, mungkin kau bisa bertanya pada Sapardi—penyair kita itu seperti dokter yang tahu perasaan apa saja, siapa saja.

Tapi sebenarnya ada lagi yang saya kagumi dari Sapardi Djoko Damono. Yaitu kerendahhatiannya: ia mengaku hanya menyediakan bahasa yang kira-kira sesuai, dan benda itu yang berdongeng tentang diri mereka sendiri. Yaitu imajinasinya: yang digunakan untuk membuat puisi dan cerpen (hal ini berlaku pula untuk sastrawan-sastrawan yang lain), bukan untuk prasangka-prasangka buruk pada manusia. Prasangka-prasangkanya difokuskan kepada benda-benda di sekitarnya, sehingga menjadi karya sastra dan, syukur-syukur, penghasilan buat keluarga.

Saya kira hal itu bukan soal gampang. Sebab di situ prasangka-prasangka punya arti: tenaga-tenaga kita, pikiran-pikiran kita, kesibukan-kesibukan kita, jauh dari demi benci dan curiga.
Profile Image for Lilia Zuhara.
60 reviews5 followers
September 17, 2013
Absurd. Kesan pertama setelah selesai membaca buku ini. Sapardi Djoko Damono tampaknya berniat menyimpan beberapa rahasia penulisannya agar para pembaca menarik interpretasi sendiri atas alur setiap cerita. Namun tidak mengherankan mengingat ini adalah karangan SDD.

Jika anda memiliki kebutuhan untuk 'hilang' dalam bacaan anda, maka inilah buku yang tepat. Jangan terlalu banyak menggunakan logika, karena logika bukan instrumen yang tepat untuk membaca buku ini.
Profile Image for Dion Yulianto.
Author 24 books196 followers
June 23, 2019
Bapak Sapardi yang biasanya dikenal karena puisi-puisi legendarisnya, ternyata juga mampu menghadirkan diri dalam bentuk karya cerpen. Kumpulan cerpen di buku ini dibagi menjadi dua: Pada Suatu Hari dan Malam Wabah, yang juga judul dari dua cerpen di dalamnya. Kedua cerpen ini sama sama pendek, punya diksi menarik di judul, dan memang memancing interpretasi yg beragam bagi setiap yang baca.

Seperti menyimak puisi, Sapardi ibarat mengajak pembaca menebak-nebak dan menyimpulkan sendiri akhir cerita atau amanat dari setiap cerpen di buku ini.

Buku yg bagus.
Profile Image for Stebby Julionatan.
Author 16 books55 followers
July 18, 2013
kukira SDD hanya mampu berpuisi, ternyata dongeng-dongengnya... wow... menakjubkan. hahahaha.... entah kenapa meskipun aku sudah mencet-mencet menu currently reading dalam akun ini kok yang muncul bukan halaman catatan membaca seperti biasanya? ya... mungkin karena ini buku hibrida. buku bolak balik. dua buku yang digabungin jadi satu.

intinya, aku sudah selesai membaca "bagian pertama" alias Pada Suatu Hari Nanti. dan menurutku..... gileh! gila benar! kau harus mempunyai pakem dongeng yang kuat sebelum membaca dongeng-dongeng gila ala SDD si buku ini! salut buat Pak SDD yang telah membuat Nawang Wulan jadi pegawai kantor pos, Si Kancil benar-benar menunggu maut karena segala kebohongannya selama ini -plus Juru Dongeng yang tak mau bertanggung jawab untuk menyelamatkannya, Sampek yang jadi penjual ketan dan si Malin yang tidak bisa menemukan ibunya, termasuk Ken Arok karya Pram yang disulapnya jadi seperti kisah Sangkuriang. benar-benar mencengangkan. membingungkan! hehehehe...

tapi aku kurang suka, kurang menikmati kisah terakhir, Ditunggu Dogot. aku nggak tau maksudnya. dan kurang paham sandarang dongeng SDD kali ini. kira-kira diambil dari dongeng apa itu ya? pelesetan dari dongeng mana? #perlu belajar lagi nih kayaknya.... :(

di buku kedua a.k.a "bagian kedua" Malam Wabah, SDD lebih cerewet. astaga... nggak mengira aku kalau dia ini secerewet itu ternyata. seperti janjinya, benda-benda mati diberi nyawa, dimainkan dan berbicara. informasi pun berlompatan tak terkendali. berjejalan, benar-benar mirip wabah. random. acak. dan berpotensi menimbulkan kebosanan.

tapi ada yang menarik. sejauh ini, di "bagian kedua" ini, aku suka Rumah-Rumah dan Ketika Gerimis Jatuh.

selebihnya... hoaaaaammmm.... mending tidur. zzzzzzzzZZZZZzzzzz... :)

*****

20.45 WIB. akhirnya selesai juga bacanya. lumayan... bab-bab akhir tidak mengecewakan. SDD menutupnya dengan sip markosip. Kisah Jemputan Lebaran, Suatu Hari di Bulan Desember 2002, Membimbing Anak Buta dan Membaca Konsultasi Psikologi hadir dengan hentakannya yang aduhay. :)

tapi maaf ya, berhubung tadi karena di pertengahan bab saya sempat dibuat bosan, maka saya kasih bintang tiga saja, pak. it was OK. lumayan toh. hehehehehehe... ‪#‎kaboer‬
Profile Image for hans.
1,158 reviews152 followers
July 26, 2013
Dua buku digabung jadi satu. Tulisan pertama daripada Sapardi yang aku baca (belum pernah baca buku puisinya).

Aku suka dengan kumpulan cerita di Malam Wabah. Dongeng-dongeng ceritanya seakan misterius, bagi aku. Semacam ada makna tersirat yang kelam tentang hidup yang cuba disingkap/ dijelaskan. Tidak ada yang membosankan walaupun jalan ceritanya seakan antiklimaks, tidak bertujuan penting- yang begitu-begitu saja atau simple malah kadang bikin kecewa kerana enak melayan tiba-tiba.. eh habis?

Ooookay.

Ada beberapa dongeng cerita yang aku suka, antaranya: Rumah-Rumah, Sepasang Sepatu Tua, Membunuh Orang Gila, Bingkisan Lebaran dan Gadis Berjilbab Dalam Angkot.

Di Pada Suatu Hari Nanti yang berkonsep cerita rakyat, namun diceriterakan dengan gaya 'what if' sungguh menghiburkan. Paling aku suka cerita Pada Suatu Hari Nanti, Dongeng Kancil dan kisah tentang Malin Kundang (judul betulnya agak panjang, aku lupa).

Sisi Sapardi yang baru aku kenali. Gaya bahasanya sungguh sederhana dan mengalir cantik. Lepas ini aku cuba baca buku puisinya pula.
Profile Image for fayza R.
227 reviews56 followers
July 15, 2013
memukau dengan kesederhanaannya.
khasnya Sapardi Djoko Damono banget, sederhana penuh makna.
you know what ? i think this is one of example to not kill our child ability , to imagine as wide as world. Justru hal-hal yang menurut kita 'ih naon sih, ih apasih' , jadi sangat spesial + penuh makna di tangan SDD ini. Pelajaran, jangan membunuh kreativitas, jangan membunuh imajinasi masa kecil kita (lagi). So, starting now, lepaskan imajinasi kita, such as bicara dengan benda mati. Memperhatikan lemari yang tidak pernah bosan bertengger disebelah tembok walaupun bertahun-tahun tak pernah dipindahkan, atau mencoba berimajinasi dengan lampu ruang tamu yang menjadi saksi mati banyak perjanjian anak manusia dilakukan di ruang tamu. Iya, sesederhana itu, gausah susah2 ternyata ya.
Thx om SDD , this idea is priceless, indeed.
Profile Image for Ipeh Alena.
543 reviews21 followers
December 9, 2013
Bagus!!
Terutama perumpamaan cerpen Rumah. Kita sering memilih rumah, tapi Rumah tidak bisa memilih kita.
Banyak berisi cerpen-cerpen yang terkadang membuat kita merenung sejenak sebelum menikmati setiap untaian kata-kata yang khas ala Penyair.

Belum lagi cerpen yang mengangkat cerita wayang, beberapa justru seperti banting stir dari cerita asli.

Meskipun saya masih belum mengerti beberapa cerpen. Tapi sejauh ini, buku ini favorit saya.
Profile Image for Wiwid Nurwidayati.
29 reviews2 followers
December 18, 2018
Malam Wabah dan Pada Suatu Hari Nanti

Judul Buku : Malam Wabah dan Pada Suatu Hari Nanti
Penulis : Sapardi Djoko Darmono
Penerbit : Penerbit Bentang Pustaka
Cetakan : Cetakan Pertama, Juni 2013
Halaman : vi+88 hal, 20,5 cm
ISBN : 978-602-7888-40-1
Baca via : @ipusnas.id .
.
Siapa yang tak kenal karya eyang Sapardi Djoko Darmono. Tulisan eyang yang selalu membumi, menggelitik nurani dan selalu menyuarakan rakyat kebanyakan.
.
.
Kumcer Malam Wabah dan Pada Suatu Hari Nanti berisi 13 cerpen yang disajikan dengan bahasa mengalir. Saya merasa seolah olah Eyang Sapardi bercerita di depan saya.
.
.
Kumcer ini disambut dengan cerpen yang berjudul Rumah-Rumah. Cerita dengan sudut pandang 3 rumah, rumah no 11, rumah no 13, dan rumah no 15. Saling menceritakan satu sama lain. Saya bisa ikut larut dengan emosi masing-masing rumah. Bagus banget gaya penceritaanya.
.
.
Ada lagi cerpen yang berjudul Membunuh Orang Gila, cerpen ini jenis cerpen satire tetapi halus banget gaya penuturannya, tidak dengan bahasa sarkas.
.
.
Cerpen bagus lainnya yang saya suka berjudul Membaca Konsultasi Psikologi. Bahasa yang digunakan mirip sekali jika kita membaca bahasa konsultasi-konsultasi di majalah atau media online lainnya. Tapi tulisan eyang Sapardi terasa renyah sekaligus nylekit.
.
Malam Wabah sendiri sebagai judul utama buku ini menceritakan tentang pagebluk yang melanda sebuah desa. Dan kepercayaan tetua desa itu untuk menghilangkan wabah penyakit yang sednag melanda desa adalah dengan sebuah ritual, ritual yang membuat Hadi, ABG desa itu enggan mengikutinya karena merasa malu dengan gadis kecil sahabatnya, tentu saja, karena ritual itu mengharuskannya telanjang bulat mengelilingi desa.
.
.
Masih ada beberapa cerpen lain dan kesemua cerpen itu di ceritakan dengan gaya bahasa yang mengalir, pembaca akan diajak untuk melihat sesuatu yang mungkin selama ini diabaikan. Dekat di kehidupan kita namun disajikan dengan unik. Pembaca disuruh sendiri mengembara dengan plot cerita yang terkadang terasa absurd. Recomended untuk dibaca.
.
Profile Image for Aldila Sakinah Putri.
83 reviews
February 9, 2022
Pertama kali membeli buku ini karena nama besar Pak Sapardi ditambah pula penasaran dengan tampilan satu buku yang memuat dua judul di depan buku dan belakang buku, dengan arah berkebalikan.⁣

Pada Suatu Hari Nanti merupakan sembilan cerita pendek dari dongeng-dongeng klasik Indonesia seperti Rama Shinta dan Malin Kundang, namun cerita dibuat berbeda dari karangan aslinya. Bagaimana jika Malin Kundang sebenarnya tidak durhaka? Bagaimana jika Shinta meninggalkan Rama dan memilih Rahwana sebagai pendamping hidupnya? Sangat menarik bukan 😉⁣

Sedangkan Malam Wabah adalah tiga belas cerita pendek sederhana khas kepenulisan Pak Sapardi. Beliau menceritakan tentang rumah yang membicarakan penghuninya, tentang pria yang dapat mendengar obrolan sepasang sepatu, tentang seseorang yang menabrak orang gila.⁣

Favorit pertamaku tentu saja di halaman pertama, judulnya Rumah-Rumah. Lucu juga membayangkan bagaimana rumah satu dengan yang lain saling membicarakan dirinya sendiri dan membandingkan dengan rumah lain. Rumah yang berpenghuni namun penghuninya sering bertengkar, rumah yang bagus namun disewakan dan tak kunjung mendapat penghuni baru, lalu juga ada rumah hantu yang tak benar-benar berhantu. Aku jadi membayangkan betapa senangnya rumahku ini karena mendapat penghuni seperti aku. Nah kan, padahal Pak Sapardi hanya menceritakan kisah fiksi namun entah mengapa dapat kupercayai.⁣

Hal menarik yang didapat dari buku ini adalah Pak Sapardi mengambil ide cerita fiksi dari hal-hal yang sangat sederhana. Beliau juga mampu membelokkan pandangan kita terhadap dongeng-dongeng klasik yang telah mendarah daging di ingatan dengan cerita baru yang lebih berbumbu.⁣
Profile Image for Sandra Frans.
208 reviews4 followers
April 8, 2021
Membaca ulang buku kumpulan cerita Pada Suatu Hari Nanti karya Sapardi Djoko Damono.

Buku ini saya baca 8 tahun yang lalu, walau ada banyak cerita yang sudah saya lupa, tetap saja perasaan familiar itu ada. Saya membaca ini tidak dengan motif tertentu atau maksud untuk menelaah kata per kata atau makna tersembunyi lainnya. Murni hanya karena rindu membaca kembali buku lama.

Namun saya senang ketika di akhir cerita saya menyadari bahwa beberapa tokoh perempuan di buku ini , walaupun di awal dideskripsikan sebagai tokoh cantik, bijaksana, maupun punya betis yang elok, namun di akhir cerita mereka punya kendali di sini. Seperti Sita dan Ken Dedes.
Profile Image for fatru.
211 reviews
June 29, 2022
Eyang memang suka menuliskan sesuatu dari hal-hal dan sudut pandang yang sederhana; ya sepatu-lah, ya daun yang jatuh-lah, tapi ini tidak membuat cerita-ceritanya menjadi kurang makna. Pada Suatu Hari Nanti berisi kisah-kisah semacam retelling dongeng-dongeng Indonesia, dan satu kisah, mengenai Malin Kundang ("Mana ada anak yang durhaka kepada Ibunya?") jadi satu kisah yang bercokol di benak saya begitu lama. Di Malam Wabah, kisah mengenai selembar daun yang menolak jatuh ke tanah jadi kisah yang menancap di ingatan saya. Barangkali karena paralel dengan puisi 'Hatiku Selembar Daun'.

Indah. Ringkas, tapi indah.
Profile Image for MAILA.
481 reviews121 followers
July 19, 2017
Terdiri dari 13 cerita pendek. Favorit saya rumah-rumah dan gadis berjilbab dalam angkot.

Cerita-cerita di buku ini lebih cocok dibaca pada hari minggu siang-siang yang panas dan terik.

Cerita di dalamnya adem. Dan saya yakin bila kamu membacanya di suatu siang pada hari minggu yang panas, imajinasimu akan menggila atau bahkan kamu bisa merasakan dan mendengar pak Sapardi yang membacakan cerita2 di buku ini padamu.
Profile Image for Nike Andaru.
1,637 reviews111 followers
March 14, 2019
62 - 2019

Kali ini baca kumpulan cerpen eyang SDD.
Ini benar-benar cerita pendek yang menarik, beberapa menyentil dan menyindir banyak hal seperti hubungan suami istri, anak dan orangtua, hubungan tetangga.

Menariknya hal-hal kecil bisa jadi cerita yang menarik ditangan SDD. Seperti melihat SDD ngomong sama sepatu, rumah dan rintik hujan.

Cerita favorit saya sih Membimbing Anak Buta, Bingkisan Lebaran dan Membunuh Orang Gila.
Profile Image for Nura.
1,056 reviews30 followers
February 28, 2018
Membaca cerpen Sapardi seperti membaca kisah yang pernah kita alami di kehidupan kita sendiri. Mulai baca cerpen karena tugas, dan menemukan cerita-cerita menarik karenanya. Beberapa cerita diceritakan dengan gamblang, beberapa bikin mengerutkan dahi. Sebagian besar bertema kesendirian dan pergulatan diri sendiri. Cerita favorit gw "Ketika Gerimis Jatuh".
Profile Image for Dhilaah.
69 reviews9 followers
August 15, 2020
Buku pertama (Alm) Eyang Sapardi yang saya baca. Ceritanya ringan dan unik, peran yg diceritakan ga cuma manusia, tp sendal dan rumah pun kebagian peran di kumpulan cerita ini.
Trus cerita legenda spt Malin Kundang, Ken Arok Ken Dedes dan Si Kancil yang kita kenal ceritanya dimodifikasi jadi cerita yang berbeda.
Profile Image for Fhia.
497 reviews18 followers
January 26, 2025
Membaca buku ini karena 2 hal; tipis (<100 halaman) dan nama besar Eyang Sapardi.
Bebas. Begitu rasanya tiap selesai membaca masing-masing cerpennya. Pembaca dipersilakan menginterpretasikan dan menebak kesimpulan sendiri.
Favoritku adalah Ketika Gerimis Jatuh. Seketika terngiang-ngiang musikalisasi puisi Eyang Sapardi berjudul 'Gadis Kecil' dalam hati.
Profile Image for Rafika ws.
182 reviews
May 26, 2017
Berisi kumpulan cerita pendek dari sudut pandang 'benda-benda mati' di sekitar kita. Beberapa cerita, saya agak kurang paham tapi cara penyampaian ceritanya saya suka.
Profile Image for Tyas Arini.
13 reviews
March 1, 2019
Suka sama kumpulan cerpen dari Sapardi yg ini. Beberapa ceritanya bikin 'nyess' di hati. Dan kata² nya maha membolak-balik hati :')
Profile Image for heri.
287 reviews
August 2, 2020
menarik, campuran antara imajinasi dan realita yang diramu dengan bebasnya oleh mbah sapardi.
Profile Image for Atria Dewi Sartika.
115 reviews10 followers
September 11, 2013
Buku ini didesain dengan sistem ‘Side A-Side B”. Saya gak yakin yang mana side A dan mana yang B. Tapi saya pribadi lebih suka menganggap bahwa “Pada Suatu Hari Nanti” sebagai Side A. Alasannya?? Subyektif sih. Lebih karena saya selalu merasa bahwa aktivitas selalu dimulai di siang hari, saat sinar matahari masih menyapa.

‘Pada Suatu Hari Nanti” berisi kumpulan cerita yang dibuat berdasarkan sejumlah dongeng ataupun cerita rakyat yang sudah sangat wellknown di masyarakat (khususnya yang memang senang membaca). Namun cerita ini kemudian dikembangkan dengan sudut pandang yang unik dan bahkan jadi berbeda dari yang aslinya.

Lihatlah kisah Rama-Shinta yang kemudian “dipelesetkan” dengan sangat anggun oleh penulis. Beliau mengajak kita berimajinasi tentang bagaimana kalau pertikaian antara Rahwana dan Rama diubah menjadi perang kecerdasan. Maka seperti yang bisa dibaca dalam buku ini, hasilnya akan menjadi tidak terduga-duga (^_^)v

Atau kisah Sampek – Engtay yang dimodifikasi dengan setting ke kinian. Dengan mengubah endingnya yang tidak lagi menjadi sepasang kupu-kupu melainkan seekor kupu-kupu dan seekor tikus got. Benar-benar kreatif. Ada pula kisah tentang si Kancil, sang penipu ulung yang kemudian akhirnya diceritakan berkali-kali gagal menipu karena adanya saingan yakni Juru Dongeng yang membuat semau calon korbannya bisa menebak tipu muslihatnya.

Namun dari semua kisah yang ada saya paling suka kisah Malin Kundang yang mencoba menghindar dari takdirnya. Ia yang berusaha menemui ibunya namun lupa bagaimana wajah ibunya. Akhirnya ia pun meminta maaf pada semua ibu-ibu yang ia temui dengan berkata,” Ibu, saya anak yang telah mendurhakai Ibu. Saya minta maaf atas dosa yang tidak bisa ditakar itu, Ibu.” Namun semua ibu-ibu itu menjawab,” Lho, Nak, mana ada anak yang durhaka kepada ibunya!”. Nah jika semua ibu-ibu itu menjawab seperti itu, maka akankah pencarian Malin Kundang berakhir? Berhasilkah ia mengelakkan diri dari takdirnya?

Saya pun akhirnya menamatkan bagian “Pada Suatu Hari Nanti” dengan selamat meski kebingungan dengan cerita terakhir yang berjudul “Ditunggu Doget” karena berisia perdebatan tentang hal-hal yang berpasang-pasangan. Logika sebab akibat. Atau sejenisnya yang telah diniscayakan manusia dalam berbahasa.

Saya pun membalik buku dan memulai dari sisi yang berlawan untuk membaca Side “Malam Wabah”. Sejujurnya sisi inilah yang membuat saya tertarik membeli buku ini. Saya suka dengan cara penulis menceritakan dialog di antara benda-benda mati. Benda-benda yang oleh kita diyakini tidak berbicara dan tidak berfikir. Lantas kita disuguhi cerita ini dan diizinkan berimajinasi tentang benda-benda ini jika mereka diberi kesempatan untuk berbicara.

Yang menjadi favorit saya adalah kisah pertama yang berjudul “Rumah-Rumah”. Dalam cerpen ini diceritakan curhatan dua rumah yang bertetangga. Mereka bercerita tentang harapan mereka sebagai sebuah hunian. Tentanng nasib mereka dan tentang orang-orang yang mereka harapkan akan mengisi mereka. Mereka pun saling berkomentar tentang kondisi satu sama lain.

Sisa cerita yang lain pun menarik untuk diikuti seperti cerita tentang sepasang sepatu tua. Ada pula cerita yang saya yakin ditulis penulis berdasarkan kondisi kota Jakarta. Cerpen itu berjudul “Membimbing Anak Buta”. Diceritakan bahwa sang ibu membawa anaknya berjalan-jalan di sebuah kota sambil mendeskripsikan carut marutnya kota tersebut. Mulai dengan macet, pengemis, pedagang kaki lima dan banjir. Ini benar-benar ide yang menarik. Cerita-cerita di Side “Malam Wabah” jauh lebih terasa realistis dan mudah dipahami karena ide ceritanya jauh lebih real dan dekat dengan kehidupan pembaca. Berbeda dengan Side “Pada Suatu Hari Nanti” yang merupakan adaptasi dari sejumlah dongeng yang mungkin tidak semua orang mengetahuinya.

Nah, jika harus memberi nilai pada buku ini maka saya memberinya 9 karena cover bukunya sangat menarik dan ide-ide cerita di dalamnya sangat unik (^_^)v
Profile Image for Imam Rahmanto.
149 reviews8 followers
October 16, 2013
“Tepat ketika ibunya megucapkan kutukan, Malin Kundang meloncat ke laut. Ia rupanya mendadak melihat kelebat firasat buruk tentang nasib malang yang akan mengabadikannya dalam sebongkah batu di lepas pantai dan memutuskan untuk habis-habisan melawan takdir...”

Sepenggal kisah itu bukanlah kisah Malin Kundang yag diparodikan. Melainkan kutipan tersebut adalah salah satu kutipan cerita dalam buku Malam Wabah dan Pada Suatu Hari Nanti, karangan dari Sapardi Djoko Damono. Di usianya yang sudah mencapai kepala tujuh ini, ia masih aktif untuk menelurkan karya-karyanya agar dibaca orang banyak.

Sejumlah cerita yang dikumpulkan dalam buku ini, 22 cerita pendek (cerpen), dibagi dalam dua bagian, dan berdiri sendiri sebagai dua buku yang terpisah. Malam Wabah, yang bercerita tentang kehidupan nyata mausia dalam kesehariannya dan Pada Suatu Hari Nanti, yang lebih banyak bercerita tentang dongeng-dongeng yang keluar dari pakemnya. Yah, dongeng-dongeng itu dibuat berbeda dan tentu saja membat pembaca akan semakin bertanya-tanya perihal kebenaran isi cerita yang “out of the box” dari cerita aslinya.

Kumpulan cerita ini merupakan carangan, “cabang dan ranting”, yang merupakan tanggapan atas pakemyang sudah ada dengan memelintir dongeng-dongeng itu – terutama yang menyangkut penokohan dan alur. “Demikian, maka Ken Arok, Nawangwulan, Kancil, Rama, dan tokoh-tokoh dongeng lain berniat keluar dari pakem agar bisa menjalani hidup yangbaru,” tutur penulis lewat Pengantarnya dalam buku.

Semisal kisah Malin Kundang, yang seharusnya menjadi pengetahuan umum bahwa ia dikutuk ibunya menjadi batu. Akan tetapi, SDD, sapaan akrabnya, mengubah “jalur” ceritanya. Si Malin Kundang selamat dari kutukan yang menimpa awak kapalnya beserta istrinya, dan memutuskan berenang ke tepian pantai untuk bertemu dengan ibunya, bersujud bersimpuh meminta maaf. Bukannya menemukan ibunya, ia malah bertemu dengan “rupa-rupa” ibunya yang mengaku tidak memiliki anak bernama Malin Kundang.

Meskipun demikian, karena merupakan kumpulan cerpen, maka pembaca akan dipaksa untuk memahami setiap kisah yang diceritakan hanya dalam beberapa lembar saja. Bahkan, beberapa kisah selesai dibaca hanya dalam satu lembaran buku saja. Oleh karena itu, seperti memahami sebuah makna yang tersirat, pembaca harus mampu menelaah makna setiap kisahnya dengan pengetahuan seadanya sendiri. Mungkin, karena penulis merupakan “angkatan tua” dalam dunia kepenulisan, maka bahasa-bahasa yang digunakan pun cenderung lebih surealis.

Bagi penggemar “bahasa-bahasa puisi”, memang cocok membaca buku timbal-balik ini. Apalagi dengan prestasi penulis yang sudah banyak dikenal lewat buku kumpulan puisinya, Hujan Bulan Juni (1994). (*)

"Gadis keci itu berpikir begini, Nanti kalau Ayah pulang kehujanan, kasihan. Tadi lupa bawa payung. Ia sendirian di rumah, seperti biasa. Pembantu hanya bertugas mencuci dan menyeterika, selesai itu pulang – sesudah, tentu saja, menyiapkan makanan untuknya. Gadis kecil itu biasa dipanggil Rini. Lengkapnya, Syatrini Endah Kurnianingrum..."


*Imam Rahmanto
Profile Image for Zahidah Zahra.
14 reviews5 followers
July 10, 2013
Saya tahu Sapardi Djoko Damono dari puisinya yang berjudul Aku Ingin dan Hujan Bulan Juni. Ketika mendengar kabar buku kumpulan cerpen Sapardi akan diterbitkan, saya senang sekali. Selama ini yang saya tahu, Sapardi itu hanya seorang penulis puisi, dan saya sangat penasaran dengan kumpulan cerpen ini.
Di buku ini, ada dua kumpulan cerpen; Pada Suatu Hari Nanti dan Malam Wabah. Ketika saya melihat daftar isi kedua kumpulan cerpen ini, saya tertarik untuk membaca cerpen Rumah-rumah di Malam Wabah. Saat saya baca tiga kalimat di paragraf pertama,
"Seandainya saya boleh memilih saya tidak mau menjadi rumah. Orang boleh memilih rumah tetapi rumah tak berhak memilih penghuninya. Saya berusaha sebaik-baiknya untuk menyayangi keluarga yang menghuni saya, siapapun orangnya dan apa pun wataknya."
Saya seolah tercekik dengan kalimat itu selang beberapa detik dan kemudian melanjutkan membacanya.

Dalam kumpulan cerpen Malam Wabah, ada beberapa cerpen yang membuat saya bingung dengan endingnya. Rasanya seperti terlalu terburu-buru. Seperti cerpen Rel dan Malam Wabah. Entah, apa karena saya yang kurang cerdas kali, ya.

Dalam kumpulan cerpen Pada Suatu Hari Nanti, saya menemukan banyak kumpulan dongeng yang didaur ulang oleh Sapardi dengan gaya bahasanya dan konfliknya yang berbeda dengan dongeng asli. Seperti yang pernah di katakan Sapardi, dalam kuliah umum pada event Makassar International Writers Festival 2013 (MIWF),
"Dongeng selalu tumbuh terus menerus, berloncat-loncat seiring berkembangnya zaman."

Tulisan-tulisan Sapardi di kumpulan cerpennya ini gaya bahasanya begitu sederhana dan mengalir, sama seperti saat pertama kali saya melihat wajah beliau secara langsung di event MIWF dan mendengar beliau memaparkan kuliah umum tentang sastra.
Entah kenapa, saya jatuh cinta dengan kesederhanaan beliau dalam bercerita.

Bagi yang suka dongeng, this book highly recommended. ^^
Profile Image for Alvina.
732 reviews118 followers
August 25, 2014
Setelah membaca beberapa review teman yang tampaknya suka dengan keabsurdan buku ini, saya pun tergoda membaca bukunya. Desainnya yang unik (mengingatkan saya akan novelnya Andrea Hirata) dan bukunya yang tipis membuat saya makin penasaran. Okelah, cerita cerita di bagian Pada Suatu Hari Nanti, konyol konyol unik. Isinya ada 9 cerita pendek, sebagian besar merupakan dongeng yang sering kita dengar dengan penceritaan, alur serta latar yang berbeda. Judul kisah pertamanya adalah Dongeng Rama-Sita, Tentang cinta segitiga Sita, Rama dan Rahwana yang dikemas modern, gaya cerita asal njeplak dan endingnya berbeda sekaligus bikin ketawa miris. Ada juga tentang Nawang, Bidadari yang berkerja di kantor pos, yang selalu menunggu surat untuk dirinya. Ada Malin Kundang yang mencari cari ibunya, Kancil yang tidak lagi cerdik dan beberapa dongeng lainnya.

Sedangkan di bagian Malam Wabah, kita akan menjumpai cerita cerita yang baru. Beberapa absurd dan sebagian besar memiliki akhir kisah yang menggantung, seakan akan membiarkan pembaca ikut menentukan sendiri bagaimana akhir cerita tersebut. Tokoh tokohnya juga umum, malah mungkin mengingatkan kita akan orang orang yang ada di sekitar kita. Seperti seorang lelaki tua yang biasa biasa saja, anak laki laki yang suka dengan seorang anak perempuan di sekolahnya, atau anak perempuan yang tinggal berdua dengan ibunya saja.

Cerita favorit saya adalah Dongeng Rama-Sita, serta Bingkisan Lebaran. Mungkin saya lagi nggak mood juga membaca buku ini,jadi ada beberapa judul yang malah bikin saya bengong karena belum nemuin apa maksud penulis menceritakan kisah pendek tersebut. Barangkali, ada baiknya kalau dibaca lebih dari sekali. Namun bisa jadi penulis hanya ingin pembacanya mendapatkan sebuah kisah baru yang sederhana, nggak perlu mikir mikir gimana pesan moralnya.

Yah, selamat mencoba membaca buku ini. Sebab siapa tahu kamu bakal suka sama keseluruhan kisahnya ;)
Profile Image for Julie Septy.
16 reviews2 followers
June 19, 2015
Satu lagi buku beliau yang aku suka. Buku ini unik. Ada dua bagian. Bagian pertama berjudul Pada suatu Hari Nanti. Sedangkan bagian kedua, dibelakangnya, berjudul malam wabah. Seperti halnya sajak beliau, aku pun punya cerita favorit dalam buku ini.

Yang pertama, Dongeng Rama-Sita.
Sebelum membacanya, aku membayangkan Rama-Sita versi entah siapa yang selalu memunculkan adegan Sita dalam lingkaran yang dibuat Rama agar dia aman dari Rahwana. Tapi ternyata aku salah.
Rahwana dengan berani meminta Sita pada Rama. Man to Man. Dan, yang bikin surprise, Rama memberikannya. Pikirku, mungkin karena Rama punya strategi. Karena Sita adalah istri yang taat pada suami, dia menurut saja. Namun Rama meminta satu syarat yang harus dipenuhi oleh Rahwana.
Pada akhirnya, Sita kembali kepada Rama. Rahwana harus menelan kecewa. Dan aku pun lega. Endingnya tidak sengeri yang kubayangkan ternyata. Hehehe...

Kedua, Hikayat Ken Arok.
Seperti judulnya, cerita ini berkisah tentang pemuda bernama Ken Arok yang hidup hanya dengan bapaknya yang pemabuk. Dia jatuh cinta pada betis Ken Dedes, istri Pak Bupati. Betis? Iya, betis.
Betis Ken Dedes itulah yang akhirnya menjadi pemicu Ken Arok untuk belajar membuat keris pada Empu Gandring. Keris yang akhirnya membunuh Sang Empu dan membawa Ken Arok pada Ken Dedes.
Endingnya? Aku selalu menyimpan endingnya. Biar yang membaca tulisan ini penasaran. Jahat ya? Hahaha...

Selain kedua kisah tersebut, masih banyak kisah yang bisa dinikmati dalam buku kumpulan cerita itu. Aku menyadari satu hal, bahwa aku tidak menyesal membelinya. Iyalah. Kan sudah aku bilang, aku suka Pak SDD. ^_^
Profile Image for Denna.
70 reviews28 followers
March 25, 2014
Beli buku ini sebenarnya sudah hampir setahun yang lalu, tapi baru mulai baca baru-baru ini. Dieman-eman, soalnya buku karya penyair favorit hehehehe.

Tentu saja membaca karya-karya Pak Sapardi akan memberikan suatu pengalaman tersendiri pada setiap pembacanya. Aku pribadi merasa menjadi lakon utama dalam setiap cerita yang beliau tuturkan. Kekhasan beliau dalam menulis sajak dan puisi pun sedikit banyak mempengaruhi gaya becerita dalam cerpen-cerpen di buku ini. Cerita-cerita yang mungkin secara sekilas akan kita anggap biasa saja, ternyata memberikan tafsir yang bermacam-macam, tergantung dari sudut mana kita memilih untuk membacanya (atau dalam konteks ini lebih ke 'mengalaminya' :) ). Satu-satunya hal yang aku sayangkan adalah, 12 cerpen dari seluruh isi buku ini (berisi 22 cerpen) telah dimuat dalam kumpulan cerpen beliau yang lain Membunuh Orang Gila: Kumpulan Cerpen. Aku yang sudah membaca kumcer tersebut, jujur merasa sedikit kecewa, karena waktu beli kumcer ini harapannya bisa baca cerpen-cerpen barunya beliau. Tapi ya ngga apa-apa juga, soalnya kumcer Membunuh Orang Gila itu toh dapet minjem di perpus, hehehe, jadi paling enggak bisa punya sedikit bagian dari kumcer itu laaah...

Hmmm, overall, Pak Sapardi akan selalu bisa memikatku dengan apapun bentuk karya beliau. Semoga aku bisa ketemu dan bertatap muka (syukur-syukur ngobrol) dengan beliau pada suatu hari nanti!
Displaying 1 - 30 of 66 reviews

Can't find what you're looking for?

Get help and learn more about the design.