Jump to ratings and reviews
Rate this book

Sumatera Tempo Doeloe: Dari Marco Polo sampai Tan Malaka

Rate this book
Buku ini berisi dokumen vital bagi rekonstruksi sejarah Sumatera. Dipilih dan disusun oleh pakar sejarah Sumatera paling terkemuka, Anthony Reid, membuat kumpulan catatan perjalanan para penjelajah yang pernah menginjakkan kaki langsung ke tanah Sumatera ini menjadi sebuah perkisahan memukau tentang periode panjang sejarah Sumatera dari abad ke-9 sampai ke-20.

Meskipun tidak menceritakan sejarah Sumatera secara runtun, buku ini mengelompokkan catatan-catatan perjalanan tersebut dalam topik-topik tertentu sehingga dapat diperoleh gambaran umum tentang perubahan sosial, budaya, agama maupun politik di Sumatera. Sebab itu buku dapat menjadi sejenis ‘pengantar’ yang dapat dipakai sebagai media paling cepat untuk memasuki ruh Sumatera.

Namun, buku ini tidak hanya berisi uraian umum perihal kondisi Sumatera. Dimasukkan juga pengamatan atas seluk-beluk daerah yang dikunjungi maupun tingkah-polah masyarakatnya, sehingga memberikan warna tersendiri. Tak ayal pembaca buku ini akan menemukan banyak uraian yang tidak muncul dalam tulisan-tulisan sejarah yang sifatnya resmi, misalnya penggambaran Marco Polo yang menyangka menemukan unicorn di Sumatera. Lain lagi John Davis, petualang Inggris yang menggambarkan Sultan Alau’ddin Ri’ayat Syah dengan sangat karikatural sebagai sultan Aceh yang “Tidak melakukan apa pun sepanjang hari selain makan dan minum”. Atau kesaksian-kesaksian yang bikin ketawa, seperti ketika Friedrich Schnitger menggambarkan permusuhannya dengan raja lokal gara-gara kesal profesinya sebagai antropolog dicemooh dengan julukan ‘dokter batu’.

Catatan yang dibuat Reid pada setiap kesaksian yang dipilih, bukan saja akan memudahkan setiap pembaca mengenali sosok si pemberi kesaksian, memahami konteks zaman ketika kesaksian dibuat, tetapi juga bagaimana menafsirkan ulang dan mencermati secara kritis kesaksian yang diberikan, sehingga pembaca tidak sekadar hanya bernostalgia ke Sumatera Tempo Doeloe.

448 pages, Paperback

First published December 1, 1995

25 people are currently reading
341 people want to read

About the author

Anthony Reid

44 books50 followers
Anthony Reid was a New Zealand-born historian of Southeast Asia. His doctoral work at Cambridge University examined the contest for power in northern Sumatra, Indonesia in the late 19th century, and he extended this study into a book The Blood of the People on the national and social revolutions in that region 1945–49. He is most well known for his two volume book "Southeast Asia in the Age of Commerce", developed during his time at the Research School of Pacific (and Asian) Studies, Australian National University in Canberra. His later work includes a return to Sumatra where he explored the historical basis for the separate identity of Aceh; interests in nationalism, Chinese diaspora and economic history, and latterly the relation between geology and deep history.
Professor Reid taught Southeast Asian history at University of Malaya (1965–1970) and Australian National University (1970–1999). He became the founding director of the Southeast Asia Center, University of California, Los Angeles, 1999–2002, and then the founding director of Asia Research Institute (ARI) at the National University of Singapore (NUS), 2002–2007. He retired from NUS in 2009. Thereafter he was based in Canberra as Professor (Emeritus) at the Australian National University.
As a writer of fiction he styled himself Tony Reid. He was the son of John S. Reid, a New Zealand diplomat who held postings in Indonesia, Japan and Canada in the 1950s and 1960s.

Ratings & Reviews

What do you think?
Rate this book

Friends & Following

Create a free account to discover what your friends think of this book!

Community Reviews

5 stars
49 (40%)
4 stars
44 (36%)
3 stars
14 (11%)
2 stars
5 (4%)
1 star
8 (6%)
Displaying 1 - 22 of 22 reviews
Profile Image for Helvry Sinaga.
103 reviews31 followers
March 23, 2011
Judul: Sumatera Tempo Doeloe: Dari Marco Polo sampai Tan Malaka
Judul Asli: Witnesses to Sumatra: A Travellers' Anthology
Penyusun: Anthony Reid
Penyunting: Dewi Anggraeni
ISBN13: 9789793731940
xxiv+ 424 hlm
Penerbit: Komunitas Bambu, 2010

Buku ini merupakan kumpulan tulisan dari orang-orang yang pernah tinggal di Sumatra. Berbagai laporan, kesan serta kenangan ditulis sebagai warisan yang berharga bagi kita. Ditulis oleh 39 orang dengan latar belakang yang berbeda-beda. Penulis terbanyak berasal dari Inggris, yaitu 11 orang. Posisi kedua terbanyak yang berasal dari Portugis dan Belanda masing-masing 5 orang. Posisi ketiga berasal dari Amerika dan Italia, masing-masing 3 orang. Dan dari dalam negeri sendiri, tulisan Tan Malaka serta Muhammad Radjab turut memperkaya kupasan tentang Deli pada awal abad 20. Profesi para penulis ini bermacam-macam. Yang paling banyak adalah sebagai pedagang. Profesi lainnya adalah sebagai wartawan, arkeolog, misionaris, masinis kapal, seniman, pegawai VOC, pegawai EIC, wakil gubernur, pembuat layar kapal, pelancong, ahli bedah, sejarawan, utusan Raja,petualang, penulis, dan sebagainya.

Periode penulisan catatan ini juga berbeda-beda. Tulisan paling awal adalah Sulayman, seorang pedagang Arab yang menceritakan tentang Kerajaan Sriwijaya pada Tahun 851. Periode Abad 13-14 ditulis oleh Marco Polo dan Ibn. Batutta. Abad ke 15 ditulis oleh 5 orang. Abad 17 ditulis 10 orang. Abad 18 oleh 3 orang, abad 19 oleh 10 orang, serta periode abad 20 ditulis oleh 8 orang.

Anthony Reid menyusun tulisan-tulisan tersebut dalam 7 bagian. Bagian Pertama dimulai dengan pendaratan pertama di Asia Tenggara dan diakhiri Bagian Tujuh yaitu Sumatera sebagai Tanah Jajahan dan Keruntuhannya. Jika kita memilah-milah Sumatra dengan provinsi yang ada sekarang, maka provinsi Nanggroe Aceh Darusallam-lah yang paling banyak diceritakan, yaitu 17 tulisan. Selanjutnya Provinsi Sumatra Utara, 11 tulisan, Provinsi Sumatra Barat, 4 tulisan, Provinsi Sumatra Selatan 3 tulisan, Provinsi Bengkulu dan Riau masing-masing 2 tulisan.

Bagaimana orang menyebut Sumatra mula-mula?
Pulau Sumatera disebut dengan nama Sansekerta: Suwarnadwipa (“pulau emas”) atau Suwarnabhumi (“tanah emas”). Musafir Arab menyebut pulau Sumatera dengan nama Serendib (tepatnya: Suwarandib). Di kalangan bangsa Yunani purba, Pulau Sumatra sudah dikenal dengan nama Taprobana. Nama Taprobana Insula telah dipakai oleh Klaudios Ptolemaios, ahli geografi Yunani abad kedua Masehi, tepatnya tahun 165, ketika dia menguraikan daerah Asia Tenggara dalam karyanya Geographike Hyphegesis. Ptolemaios menulis bahwa di pulau Taprobana terdapat negeri Barousai (Barus).

Pertanyaan utama ialah, apa yang menarik bagi para orang zaman dulu datang ke Sumatra? Jawabannya: Karena emas. Selain itu, selama abad 16 dan 17, Sumatra menjadi penghasil lada terbesar di pasar internasional. Tidak diketahui bagaimana lada bisa menjadi komoditi utama, namun diduga pedagang dari India yang membawa lada ke Sumatra untuk ditanam sebab sebelumnya sudah berhasil ditanam di Malabar. Selanjutnya Sumatra menjadi koloni yang menguntungkan bagi Belanda karena hasil tanahnya yang diolah dalam perkebunan karet, kelapa sawit, teh, coklat, dan tembakau menjadi komoditas dagang yang paling populer.

Catatan Perjalanan
Dalam buku ini, Orang Eropa yang pertama kali mengunjungi Sumatra adalah Marco Polo. Karena tulisannyalah, akhirnya menyebabkan banyak orang Eropa mendatangi Pulau yang tersohor karena emas dan keindahan alamnya ini. Diperkirakan ia mengunjungi Sumatra pada Tahun 1290an. Selanjutnya diikuti oleh Cornelis de Houtman dari Belanda pada tahun 1596 di Malaka. Pada awalnya orang-orang dari Eropa datang ke Sumatra tujuannya adalah berdagang. Namun tidak hanya perdagangan yang dibawa oleh orang-orang itu, namun juga agama dan budaya. Baik Portugis, Belanda, maupun Inggris tidak ada yang berani menguasai kerajaan-kerajaan (Islam) yang ada di Sumatera. Inggris membuat pangkalan dagang di Bencoleen (Bengkulu) sejak 1700, dan Belanda membuat pangkalan dagang di Padang (sejak 1660an), sedangkan Inggris mendapat keistimewaan berdagang dengan Aceh. Pelayaran berbulan-bulan di laut, masuk dan keluar pelabuhan, kesan pada alam dan orang di daerah baru, membuat salah seorang dari rombongan untuk membuat tulisan perjalanan.

Jalur perdagangan untuk mencapai Sumatra terdiri dari tiga jalur, lewat Selat Malaka, Selat Sunda, atau melewati Semenanjung Malaya. Jalur Selat Malaka menjadi favorit sebab lautnya tidak seganas barat sumatra, komoditas yang diperdagangkan lebih bervariasi seperti lada, kapur barus, kain sutra, emas.

Emas yang disebut-sebut di Sumatra diincar oleh pendatang yang datang ke Minangkabau. Tempat yang diduga banyak mengandung emas ada di daerah Tanah Datar. Thomas Dias, utusan VOC, merasa perlu menjalin hubungan dengan raja di Pagaruyung agar memperoleh akses dagang dengan penambang emas di sana. William Damper (Inggris) mencatat bahwa di Aceh karena tambang emas dan seringnya orang asing datang, orang Aceh jadi hidup kaya dan berlimpah (h.133). Dampier mengatakan bahwa emas di Aceh dari gunung yang letaknya jauh dari Aceh,letaknya lebih dekat ke pantai barat daripada Selat Malaka (h.134).

Kejayaan Sriwijaya yang pernah gemilang juga memikat Sir Thomas Stanford Rafless mengunjungi Minangkabau untuk mencari sisa-sisa peradaban kuno tersebut. Kunjungannya ke kerajaan Pagaruyung untuk mendapat sekutu dari raja-raja disana, ia tuliskan dalam laporannya ke Inggris pada 1818.

Penelitian mencari reruntuhan kerajaan tersebut digeluti oleh Friedrich Schnitger, arkeolog asal Belanda yang menyusuri sungai Barumun di Padang Lawas. Ia menemukan candi yang dinamakan Candi Sangkilon, yang menyimpulkan bahwa pengaruh Hindu dan Budha terdapat wilayah Batak bagian selatan. Schnitger melanjutkan penelitian dua orang geolog sebelumnya yaitu Junghuhn (1847), Von Rosenberg (1878), dan P.V. van Stein Callenfels yang mengunjungi area ini pada 1920.

Populernya tanaman perkebunan karet dan tembakau di awal abad 20, menyebabkan Belanda mendirikan perkebunan di tanah Deli. Manajemen perkebunan yang mendatangkan kuli kontrak dari Jawa dan kehidupan para administrateur perkebunan ditulis oleh suami istri Laslo Szekeley dan Madelon Szekely Lulofs serta Tan Malaka.

Prasangka
Francois Bernier (1620-1688) pernah menyarankan di majalah ilmiah Journal des Scavants agar manusia dikategorikan menurut warna kulit, postur dan bentuk muka.Bangsa Eropa merasa bahwa peradaban mereka lebih tinggi dan ras kulit putih lebih unggul dari ras kulit berwarna. Dan sepertinya pengaruh Belanda di nusantara membawa dampak sosial yang tidak sedikit.Pembedaan kelas masyarakat karena status sosial menjadi warisan hingga sekarang ini. Orang Sumatra dalam tulisan orang yang berkunjung ke sini digambarkan dalam stereotipe negatif. Umumnya mereka menggambarkan bahwa orang sumatra adalah bangsa kanibal.

Marco Polo mencatat bahwa penduduk Sumatra adalah penyembah berhala dan pemakan orang. Jika ada yang sakit, maka mereka akan memanggil penyihir (h.10) dan jika yang sakit itu mati, mereka akan menyantap tubuh yang mati hingga ke sumsum dan tulang-tulang orang itu (h.11). Emilio Modigliani, seorang ilmuwan penjelajah asal Italia, menyelidiki Tanah Toba dan mempelajari bagaimana air danau Toba dapat keluar. Ia mendapat kesulitan karena daerah yang berdekatan sedang terjadi perang. Ia bertemu dengan Guru Somalaing, Modigliani tidak dibunuh karena ia dianggap utusan Raja Rum (Roma, Italia) yang dipercaya orang Batak sebagai bangsa yang mengusir Belanda. Modigliani mencatat bahwa pada umumnya, Orang Batak sangat curiga dengan pendatang asing dan tidak segan-segan membunuhnya, namun jika orang Batak sudah mengenal Anda dan persaudaraan sudah terjalin, maka ia rela membela anda dengan nyawanya. (h.252)

Memang ada anggapan di benak orang Eropa bahwa orang batak terkenal kanibal, namun pengalaman Burton mencatat bahwa yang dialaminya justru sebaliknya. Orang Batak di lembah Silindung sangat cinta damai. sampai pada suatu kesimpulan,Richard Burton misionaris yang bertugas di Tanah Toba mencatat bahwa perilaku orang batak yang cinta damai kemungkinan adalah wujud ketakutan dan pengaruh takhyul jahat yang mengekang.(h.221). Selain itu Burton berkesimpulan mengapa Orang Batak tidak penakut, karena dalam konsep berpikir Orang Batak tidak ada pahala dan hukuman di masa depan, mereka membayangkan akan semakin kuat jika roh berpisah dari raga (h.228).

Dampier juga mencatat perilaku orang Cina di Aceh. Jika aktivitas dagang sedang susah, maka aktivitas judi yang meningkat. Orang Cina suka dan pandai berjudi, diibaratkan Hidup tanpa judi sama dengan hidup tanpa makan (h.137).

Inferior
Sekalipun bangsa Eropa beranggapan bahwa ras mereka adalah ras yang unggul dibanding ras lain, namun untuk alasan tertentu mereka harus mengikuti aturan dimana mereka berpijak. Beberapa Penulis kisah perjalanan ini menuliskan betapa wibawa raja di Sumatra diterima dengan takut dan hormat oleh para pedagang yang hendak berniaga di sana. Ini menunjukkan bahwa budaya timur tidak inferior pada budaya barat yang (katanya) maju.

Francois Martin (Prancis) mencatat pada Tahun 1602 di Aceh, setelah memberikan barang pecah belah dan hadiah pada raja, raja menghadiahkan pakaian khas daerah Aceh kepada Jenderal kapal Monsieur de la Berdelieredan meminta supaya dikenakan di hadapan raja (h.73). Senada dengan hal itu, Thomas Bowrey (Inggris) mencatat pada tahun 1678, pada masa pemerintahan ratu Aceh, mereka menghadap sang ratu. Setelah memberi hadiah pada Ratu, Ratu juga menghadiahkan pakaian dan sorban kepada komandan kapal Inggris. Para pejabat istana akan membantu komandan kapal mengenakan pakaian hadiah tersebut karena ia harus mengenakannya saat itu juga (h.126). Thomas Forrest (Inggris) mencatat ketika ia menghadap raja Aceh, ia duduk dalam keadaan telanjang kaki lalu bersila dengan menekuk kaki dalam-dalam. menurut saya pose duduk seperti ini melelahkan (h.273). Walter Murray Gibson, petualang dari Amerika mencatat ketika ia menerima jamuan dari raja Palembang, ia mencicipi hidangan sarang burung walet. Bayangkan, wadah untuk meletakkan dan menetaskan telur, dan tempat bagi anak-anak burung membuang kotoran beberapa hari sebelumnya, kini disajikan kepada perut saya yang beradab sebagai wujud kemewahan dari perjamuan ala Timur! (h.296).

Nasib Buruh Kebun Deli
Dua penulis Indonesia ini awalnya tidak masuk dalam daftar para penulis buku ini. Namun, Anthony Reid mengusulkan kepada Oxford University Press supaya memasukkan tulisan Tan Malaka dan Muhammad Radjab ke dalam buku ini. Kedua penulis ini sama-sama menyoroti perlakuan yang tidak fair para pelaku bisnis perkebunan kepada para kuli kontrak. Apa yang dituliskan (walaupun fiksi) oleh suami istri Lulofs, tidak jauh berbeda dengan tulisan Tan Malaka dan Radjab. Tan Malaka sempat menjadi asisten inspektur sekolah khusus buruh Indonesia di perkebunan Senembah Company, sedangkan Rajab menulis laporan perjalanannya untuk tempat kerjanya, Kantor Berita Antara.

Tema yang diangkat kedua penulis ini mengenai perkebunan Deli adalah kemiskinan kaum buruh. Rajab mencatat bahwa kemiskinan disebabkan bukan karena produksi perkebunan yang kurang, tapi keserakahan para pemilik kebun pribumi yang tidak kenal belas kasihan memeras tenaga buruh untuk kekayaan pribadi (h.374). Sementara Tan Malaka menyoroti gaji buruh pribumi yang rendah. Gaji yang rendah menyebabkan si buruh berutang, dan utang menyebabkan si buruh berjudi, dan akibat kalah judi, si buruh harus mengikat kontrak lagi. Malaka menambahkan 90% dari buruh tersebut tak punya harapan untuk naik pangkat (h.334).

Kritis
Satu hal telah terbukti dengan membaca kisah tulisan ini bahwa ungkapan yang dikatakan Bung Karno bahwa Belanda telah menjajah Indonesia selama 3,5 abad adalah tidak benar. Kolonialisme baru terjadi pada abad 18. Selain itu, dulu belum ada konsep negara kesatuan Indonesia, Yang terjadi sesungguhnya adalah Belanda dibuat pusing dengan perlawanan rakyat (Sumatra) yang dahsyat, sebut saja Perang Aceh (1873-1904) dan Perang Padri (1821-1837).

[image error]
Pohon geulumpang atau kelumpang (Sterculia foetida, LINN), yang tumbuh di halaman Mesjid Raya, oleh pihak Belanda dinamakan Kohlerboom (pohon Kohler) karena tak jauh dari situ Jenderal Kohler tewas pada tanggal 14 April 1873.


Kehadiran terjemahan buku ini cukup menambah perbendaharaan buku-buku sejarah yang sudah ada, Walau disusun untuk para pembaca Eropa, buku ini tidak kalah menarik, sebab kita membaca dari tulisan orang pertama yang menyaksikan dan yang berkunjung langsung ke Sumatra, walaupun akan ada perbedaan konteks karena jarak penulisan yang cukup jauh dengan zaman sekarang dan mungkin terjadi perbedaan makna karena telah melalui proses penerjemahan dari bahasa asli ke bahasa inggris baru ke bahasa indonesia. Masih banyak misteri yang belum terungkap pada Sumatra. Tugas kita selaku pembaca (generasi) sekarang adalah mengkritisi dan mempersempit jarak, Mengkritisinya dengan cara membaca sumber-sumber lain, mendiskusikan, serta merekonstruksi Sumatra menjadi suatu pemahaman yang utuh. Sebab Sumatra juga adalah kekayaan Indonesia.

@hws22032011


Profile Image for htanzil.
379 reviews149 followers
Currently reading
December 16, 2010
baru beli buku ini, aku baru baca sekilas-sekilas, isinya keren banget!!
isinya catatan perjalanan dari para penjelajah dunia waktu mampir ke sumatera dari abad ke 9 sampai abad ke 20.

Kisahnya ada yang unik dan lucu. Masa Marco Polo bilang di Sumatera ada Unicorn yg bentuknya juelek banget. Tanduknya hitam di kening, kakinya seperti gajah, lidahnya berduri dan suka berkubang di lumpur...hehehe.

ada ilustrasi2nya juga, baik itu sketsa maupun foto...

Pokoknya keren banget! yg suka sejarah dan suka nulis catatan perjalanan kudu punya buku ini. Penyusunnya juga Prod Anthony Reid yang sohor itu.

Pokoknya You Must Read lah... :D

Profile Image for Ayu Ratna Angela.
215 reviews8 followers
December 20, 2021
Membaca buku sejarah seperti ini menyenangkan sekali. Buku ini, yang disusun oleh Anthony Reid, memuat kumpulan kisah perjalanan para penjelajah, sebagian besarnya orang asing, di sumatera. Karena bentuknya adalah catatan perjalanan maka membacanya seperti layaknya sedang mendengarkan cerita atau dongeng, sehingga sama sekali tidak membosankan.

Catatan-catatan perjalanan ini ternyata lebih dapat menggambarkan kondisi sosial masyarakat di sumatera, situasi politik, agama, mata pencaharian dan kebiasaan-kebiasaan setempat. Reid juga melengkapi kisah-kisahnya dengan banyak sekali foto-foto dan gambar-gambar sumatera jaman dulu.

Semua cerita di buku ini sangat menarik, namun ada beberapa cerita yang menurut saya menonjol.

1. Reruntuhan Kerajaan Tak Bernama - Friedrich Schnitger

Dalam penggaliannya di reruntuhan candi di Padang Lawas, Schnitger menemukan candi, artefak dan arca. Salah satunya adalah patung perempuan dengan kedua tanggannya yang terlipat dalam posisi berdoa, dihiasi kalung, gelang, anting-anting besar, dan mahkota, serta dikelilingi patung berbentuk api yang sedang berkobar. Matanya terbuka lebar dan sepasang taring menyembul dari bibir atasnya. Tidak diragukan lagi, patung ini adalah patung pendiri candi tempatnya ditemukan, Ratu Panei yang cantik yang digambarkan dalam wujud iblis sebagai bukti bahwa ia berasal dari Sekte Bhairawa.

Kaum Bhairawa atau 'Orang-Orang yang Menakutkan' memuja dewa-dewa mereka dengan kesungguhan yang sangat mengerikan. Biasanya mereka mengadakan acara pemujaan pada malam hari di pekuburan. Dalam upacara ini mereka mempersembahkan tumpukan mayat manusia yang dibakar kepada para dewa. Semakin menyengat bau mayat-mayat itu semakin mereka senang. Karena bau tersebut-dalam prasasti disetarakan dengan wangi sepuluh ribu bunga-akan membawa keselamatan bagi mereka.

2. Memasuki Negeri Batak Toba, 1824 - Richard Burton dan Nathaniel Ward

Burton dan Ward berangkat dari Sibolga menuju dataran tinggi batak dengan harapan bisa mencapai danau toba yang legendaris. Mereka menyajikan catatan yang sangat terperinci terkait asal usul, populasi, penampilan fisik, pakaian adat, makanan, watak umum, kepercayaan, perdukunan, persembahan kurban, sumpah, pengaruh kepercayaan, utang piutang, perbudakan, dan Hukum Adat dan Kanibalisme orang Batak Toba pada masa itu.

Berikut cuplikan catatan Burton dan Ward tentang praktek kanibalisme orang Batak Toba.
"Orang yang tertangkap basah ketika sedang mencuri atau merampok dieksekusi dengan pisau atau senapan lontak di muka umum dan langsung dimakan; uang sekalipun tidak mampu menyelamatkan nyawanya. Namun jika si pelaku cukup beruntung sehingga bisa lolos dari penangkapan, ia hanya akan dikenakan denda. Orang yang tertangkap berzina juga akan langsung dimakan; ia akan dimakan sedikit demi sedikit tanpa dibunuh terlebih dulu. Jasad korban perang atau tawanan perang besar juga dimakan bersama-sama, tetapi jika hanya dua desa yang berperang, hal tersebut dilarang."
-hal 229

3. Di Deli - Tan Malaka

Catatan pribadi Tan Malaka ini yang juga merupakan bagian dari bukunya yang berjudul Dari Penjara ke Penjara Bagian I menceritakan pengalaman Tan Malaka saat menjadi Asisten Inspektur di sekolah-sekolah untuk anak-anak buruh Indonesia yang dikelola oleh Senembah Company, perkebunan besar milik Belanda yang sangat maju di Sumatera Timur.

4. Jatuhnya Pemberontakan Sumatera - James Mossman

"Kita tidak boleh lagi berkompromi dengan Sukarno, 'katanya. " Dia adalah orang jahat dan tidak bertuhan. Dia harus disingkirkan, dibuang. Inilah tugas suci kami bagi Indonesia. Orang jahat itu harus disingkirkan, dijatuhkan. Inilah misi kami. Negara kami tidak akan damai dan sejahtera sampai dia dijatuhkan. " Ketika Sjafruddin berbicara, air liur menyebul di sudut-sudut mulutnya.
- hal 394

James Mossman, seorang wartawan Inggris yang dilatih di Cambride, meliput situasi di Sumatera yang meliputi Padang, Bukit Tinggi, Tapanuli dan Medan saat pecahnya perang saudara akibat pendeklarasian Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) pada 15 Februari 1958 oleh para kolonel yang memimpin daerah-daerah militer utana-Simbolon di Sumatera Utara, Djamil Djambek di Sumatera Barat, dan Barlian di Sumatera Selatan. Mereka kesal dengan pengaruh Sukarno dan kaum komunis yang berkembang pada 1950-an. Mereka menyesalkan sikap Sukarno yang megalomaniak dan antibarat serta ekonominya yang salah urus. Mereka gentar dengan kaum komunis yang tidak bertuhan, militan, dan 'kejawa-jawaan', tetapi juga menolak upaya Jenderal Nasution untuk memusatkan struktur kemiliteran dan menjauhkan mereka dari wilayah kekuasaan mereka. Mereka juga membenci usaha pemerintah pusat untuk memperoleh bagian yang lebih besar dari kekayaan Sumatera dalam hal produk ekspor.

Membaca buku ini membuat saya ingin membaca lebih lanjut tentang sejarah-sejarah Sumatera lainnya dan juga membuat saya ingin membaca Novel Kuli yang ditulis oleh Madelon Szekely-Lulofs yang sudah diterjemahkan dan diterbitkan oleh Penerbit Umbara. Tulisan Madelon Lulofs dan suaminya Laszlo Szekely tentang kawasan perkebunan di Sumatera Timur juga ditampilkan dalam buku ini.
Profile Image for winda.
357 reviews14 followers
November 16, 2014
Baca buku ini dalam rangka ikutan baca buku bareng. yang lain udh beres dan bahkan mereview dengan kerennya, beberapa tahun lalu *lirik reviewannya Bang Helvry. sementara saya terseok-seok menyelesaikannya. Bukan berarti ga bagus bukunya, bagus banget buat yang suka sejarah, seperti dongeng dari orang-orang yang telah menjelajah pulau Sumatera. Jadi kebayang jaman dulunya sumatera sampai masa revolusi, banyak hal-hal yang baru saya tau.
Yang bikin saya berlambat-lambat karena buku ini dibagi per bab dari penutur yang berbeda-beda. Jadi abis se bab, bisa ditinggal, mulai bab lainnya, tinggal lagii.. begitulah.. (kata halus dari masih berusaha menyukai buku-buku sejarah). Dan setiap bab menceritakan kisah baru..
ga kapok baca buku-buku semisal ini, meski dengan kecepatan yang super duper lambat :D
Profile Image for Alif Dzikri.
12 reviews
April 9, 2025
Sebuah rangkuman dari berbagai tulisan mengenai hal-hal yang para penulis itu temui. Dimulai catatan mengenai kerajaan sriwijaya, hingga gerakan PRRI tertuang di buku ini secara runtut.

mungkin akan menemui bab-bab yang cenderung membosankan yg bercerita tentang sosial-politik masyarakat di Sumatera. Namun, ada banyak informasi-informasi yg jarang kita temui di buku-buku sejarah sekolah.
32 reviews
March 8, 2024
Its a bundle of writings collection about the history of Sumatera from Marco Polo to Tan Malaka. I was looking for M.H Szekely-lulofs and his husband writings about Deli plantation, and I found it in here.
Profile Image for Azia.
243 reviews11 followers
Currently reading
January 26, 2011
Buku ini berisi catatan-catatan perjalanan orang-orang asing yang pernah singgah ke Sumatera. Hanya ada dua catatan yang berasal dari orang Indonesia yaitu Tan Malaka dan Muhammad Rajab. Mulai dari pendaratan pertama, masa kolonial, hingga zaman revolusi. Tak ada selain karena sumber daya alam tanah Sumatera yang menjadi satu-satunya faktor yang menarik perhatian pendatang-pendatang dari Arab, Turki,India, Inggris,hingga Belanda.Sekitar tahun 1600-an, Ada beberapa kerajaan yang memerintah di Sumatera seperti kerajaan Samudera Pasai, kerajaan Pidir, kerajaan Batak, kerajaan Pagarruyung. Tak jarang pedagang-pedagang asing ikut masuk kedalam politik kerajaan dan ikut berperang bersama Raja.

Ketika membaca buku ini,agak terkejut dengan beberapa kisah yang tidak diungkapkan waktu pelajaran Sejarah dulu. Misalnya, Marcopolo yang menggambarkan Sultan Allaudin sebagai tirani. Awalnya dia hanya seorang nelayan biasa karena keberaniannya mendampingi Raja Aceh. ia menjadi orang kepercayaan Raja. Raja mempunyai seorang putri yang menikah dengan pangeran Kerajaan Johor. Ketika Raja Mangkat, Allaudin mengangkat dirinya sebagai Raja, membunuh cucu Raja sehingga bertahun-tahun kemudian Kerajaan Aceh selalu cekcok dengan Kerajaan Johor. Ia juga membunuh bangsawan-bangsawan yang tidak menuruti perintahnya. Di paragraf lain, ia menceritakan suku kanibal yang hidup di pegunungan-pegunungan. Mengenai kanibalisme,cerita marco polo ini agak disangsikan.

Yang terasa beda adalah tulisan Tan Malaka. Kalau orang-orang asingnya hanya melihat dari segi perdagangan, kepentingan mereka sendiri. Di salah satu catatan yaitu perjalanan Stamford Raffles yang ingin menuju Kerajaan Pagar Ruyung. Raffles menjumpai penduduk yang kegiatan bercocoktanamnya lebih intesif dari daerah-daerah lain. Yang bikin penasaran,Ia menyebutkan kota Solo Solaya, mungkinkah itu nama tempo doeloenya Selayo?

*bersambung*
Profile Image for Ariefmai Rakhman.
143 reviews25 followers
April 28, 2011
Sebagai seorang jawa kelahiran sumatera yang kakeknya merupakan korban kebijakan kuli kontrak perkebunan tembakau sepertinya wajar kalau aku menyukai buku ini, ditambah lagi ke-sumateraan ku yang sangat kuat bahkan hanya menyisakan sedikit saja jawa dalam diriku, dan terbukti buku ini begitu menarik bagi rasa lapar keingin tahuanku.

Kisah-kisahnya luar biasa, seolah masa dulu itu hidup kembali.
Bagaimana seorang TAN MALAKA menceritakan kehidupan di Tanjung Morawa, sebuah tempat yang hanya berjarak 30menit dari rumahku namun terpisah jarak berpuluh tahun akan tetapi sangat terasa dekat, karena sejatinya budaya kolonialisme tuan kompeni itu masih mendarah daging di pengusa perkebunan sekarang.

Kisah Medan dan kesawan pada masa pendudukan sekutu juga luarbiasa... aku bisa membayangkan Tip TOP rumah Chong Afie di masa dulu dan sekrang yang perubahannya sedikit sekali yang waktu seolah tak berjalan disana.

Berharap membaca buku-buku tentang MEDAN, PERKEBUNAN DELI di masa yang akan datang.
Profile Image for Niken.
35 reviews1 follower
May 30, 2011
Harus baca deh buku ini. Isinya catatan perjalanan penjelajah seperti Marco Polo maupun Ibnu Batutah, cukilan autobiografi Tan Malaka, dan juga novel yang menggambarkan kehidupan perkebunan di Sumatera.

Yang konyol adalah ilustrasi Marco Polo. Kira-kira, "Unicorn itu seperti kerbau, tanduknya hitam, dan hobinya berkubang di lumpur." Padahal yang dimaksud badak kali ya.

Ada juga kesaksian seorang arkeolog yang menyelidiki reruntuhan kerajaan kuno, tetapi raja yang berkuasa di tempat itu tidak mendukung usahanya sama sekali. Malahan sang raja bilang, "Kakek saya menemukan artefak-artefak emas, lalu meleburnya menjadi rantai jam." Apakah budaya tidak menghargai sejarah sudah melekat dari dahulu kala?
Profile Image for Dion Yulianto.
Author 24 books196 followers
Want to read
July 20, 2012
Akhirnya beli juga, tapi entah kapan bacanya, yg Sejarah Rempah saja saya baru mulai baca, oh tidak bisa, jangan sampai buku sebagus ini dianggurin saja, kudu sempetin waktu buat baca, harganya juga mahal gila, tapi isinya sungguh sangat menawan mata, mari lanjut baca hahaha
Profile Image for Kahfi.
140 reviews15 followers
March 30, 2016
Buku ini ringan dibaca dan sangat berbobot, pembabakan mengenai Sumatra dijelaskan secara rinci dan dapat dipahami dibeberapa bab awal. Selain itu, buku ini sangat sistematis dengan ditunjukkan oleh pemilihan bab yang mengacu pada pusat peradaban di Sumatera sejak masa Sriwijaya hingga Kolonial.
This entire review has been hidden because of spoilers.
Profile Image for Giyanto.
22 reviews14 followers
July 29, 2011
Walaupun memaparkan sejarah tanpa kronologis, artikel2 di dalamnya memberi wawasan yang luas mengenai persepsi orang asing terhadap Sumatera:D
Profile Image for Mona.
22 reviews
June 5, 2012
Always love his work. Its detail even sometime the language is too technical. But its research, so its supposed to be like that. I enjoyed so much.
Displaying 1 - 22 of 22 reviews

Can't find what you're looking for?

Get help and learn more about the design.