Akhir-akhir ini, kehidupan pelukis Ijen banyak dihadang berbagai macam keanehan. Dimulai dari resepsi pernikahan sahabatnya, Khaled. Sang pengantin wanita, Dewanti, menghilang begitu saja dari pelaminan.
Pencarian Dewanti membawa Ijen ke dalam perjalanan yang membuatnya semakin sesat dalam ketidakpastian. Satu per satu sahabatnya pun turut lenyap tak berbekas.
Sementara itu, Madrim berduka. Suaminya, Bintang Joyokusumo, meninggal karena serangan jantung. Bersama anaknya, Sinta, ia menerima tamu yang hadir melayat. Namun ia tak pernah menduga akan bertemu istri simpanan suaminya.
Kematian suaminya seakan membuka pintu masa lalu Madrim. Satu per satu, rahasia yang selama ini terpendam, mulai mengambang ke permukaan. Dan Madrim tak punya pilihan kecuali menghadapi kebenaran demi kebenaran yang terungkap. Termasuk tentang cinta terlarang yang selama ini tersimpan.
Rahasia tergelap baru terungkap, ketika kehidupan Ijen dan Madrim berhenti di titik putaran takdir yang sama. Sebuah masa lalu saling mengikat dan mengaitkan mereka berdua. Dan akhirnya membawa mereka ke satu kebenaran yang paling hakiki.
Sekar Ayu Asmara lahir di Jakarta, Indonesia. Menghabiskan masa kecil berpindah-pindah di beberapa negara mengikuti karier diplomat ayahnya. Pernah menetap di Afghanistan, Turki, dan Negeri Belanda.
Semua bidang seni yang ditekuni, dipelajari Sekar secara otodidak. Baik itu sebagai sutradara film, pelukis, produser musik, penulis skenario, maupun penulis novel.
Film pertamanya, Biola Tak Berdawai, mendapatkan anugerah The Naguib Mahfouz Prize di Cairo International Film Festival 2003. Penghargaan bergengsi ini diberikan kepada sutradara film pertama. Film ini juga dianugerahi penghargaan Best Actress untuk Ria Irawan di Asia Pacific Film Festival, Shiraz, Iran 2003. Sementara Bali International Film Festival, Indonesia 2003, menganugerahkan penghargaan Best Actor bagi Nicholas Saputra dan Best Music untuk Addie MS.
Film keduanya, Belahan Jiwa, juga memenangkan penghargaan The Best International Feature Film di ajang New York International Independent Video and Film Festival 2007.
Sekar telah menerbitkan tiga novel: Pintu Terlarang, Kembar Keempat, dan Doa Ibu. Film Biola Tak Berdawai dinovelisasikan oleh Seno Gumira Ajidarma. Sementara novel Pintu Terlarang telah diangkat menjadi film layar lebar oleh Joko Anwar. email: xekarayu@gmail.com
Sekar Ayu Asmara selalu bermain-main dengan aborsi. Seperti novel sebelumnya Pintu Terlarang dan Kembar Keempat, di Doa Ibu pun ia mengetengahkan isu aborsi, walaupun agak tersamar sehingga tidak terlihat seperti isu sebenarnya. Cerita yang nampak adalah persahabatan antara sekelompok seniman muda Ijen, Giok Nio, Cepol, Khaled, Rajiv, dengan berbagai karakter yang tinggal bersama dan merencanakan melakukan pameran bersama, dan satu kejadian yang menimpa salah satu dari mereka. Karena saya agak terbiasa dengan isu ini dari SAA, maka saya mulai menebak-nebak bagaimana keterkaitan antar tokoh-tokohnya. Ada Madrim, seorang janda dari pengusaha sukses yang terpukul karena ternyata suaminya memiliki wanita lain semasa hidupnya. Dan Sinta, anak mereka yang go international sejak umur 12 tahun, dengan pemahaman multi modern sebagai wanita yang hidup di jaman global. Cerita ini yang dirangkai oleh SAA menjadi satu keterkaitan yang memiliki akhir mengejutkan, sedikit berbau misteri.. dan ternyata memang misterius. Kehilangan istri Khaled secara misterius di pesta pernikahannya sendiri, disusul dengan menghilangnya mendadak catatan2 tentang siapa dia, bahkan juga sampai klinik tempat ia dilahirkan. Juga munculnya cenayang bernama Ajeng, cinta Ijen pada Giok Nio.. Lalu satu per satu menghilang..
Secara umum, karena saya sudah cukup mengenal karya SAA, saya tidak terkejut dengan ending ini. Sayang sekali cerita yang dibangun tidak sekuat Pintu Terlarang, yang memang isu aborsi menjadi topic yang jelas dikenali dalam cerita. Atau Kembar Keempat, yang juga tertutupi dengan cerita tiga kembar dan dua perempuan menjadi satu cerita menarik yang melanglang buana. Ini juga tampak di film karya SAA, Biola Tak Berdawai tentang penebusan dosa dan Belahan Jiwa yang lebih ke kejiwaan si tokoh yang memiliki empat alter ego.
Tapi jelas di semua cerita SAA, selalu ada tokoh wanita yang melakukan aborsi. Isu inilah yang menjadi salah satu sikap populer yang harus diambil calon pemimpin di Amerika ini, pro choice atau pro life. Di Indonesia sendiri, angka aborsi tidak diketahui dengan pasti karena disini memang tidak dilegalkan selain aborsi karena penyakit yang mengancam keselamatan si ibu pada kehamilan usia muda. Jelas lebih tinggi daripada angka yang sudah pernah dibongkar dan diungkap oleh Depkes. Tapi anehnya, seiring pemahaman masyarakat, aborsi banyak terjadi pada level masyarakat dengan tingkatan pemahaman yang tinggi akan bahaya dan ketidakbahayaannya. Karena jelas biaya aborsi lebih besar daripada melahirkan biasa, karena banyaknya yang dilakukan sembunyi-sembunyi. Ini yang membuat mahal. Atau itu memang jalan pintas untuk menyelamatkan muka dan keluarga?
*** Saya pernah mendampingi dua teman yang terjebak dalam situasi seperti ini.
Teman saya yang pertama, berumur 23 tahun, pacaran baru 6 bulan dan ternyata kemudian terlalu jauh hingga akhirnya hamil. Ia sempat bingung dan tidak menginginkan bayinya ini. Ia menyembunyikan kehamilannya dari orang tuanya selama sebulan. Setiap hari mengeluh dan bertemu kami menangis sampai berpikiran untuk bunuh diri. Ia ingin aborsi. Kami sempat nanya-nanya orang tempat aborsi. Pacarnya takut, kalau aborsi bisa mengancam jiwanya, juga perasaan bersalah berkepanjangan. Akhirnya dengan menahan takut dan malu, mereka mengaku dengan murka orang tua si cewek, mereka menikah sebulan kemudian. Namun pernikahan mendadak, menghilangkan cinta. Lima bulan kemudian, mereka berpisah. Si anak lahir tak ditunggui ayahnya.
Teman saya yang kedua, hamil di umur 24 tahun. Pacaran baru 5 bulan juga. Padahal ia tidak begitu kenal keluarga pacarnya. Tidak berani juga ia mengahadapi ayahnya. Dalam keadaan panik, ia memilih untuk aborsi. Pacarnya tidak terima keputusannya dan memilih meninggalkannya. Ia menjalani tindakan aborsi sendiri, dengan salah satu teman yang diaku sebagai suaminya. Yang penting ada uang, dan tindakan berjalan lancar.
Untuk keduanya, tentu saya menyarankan untuk tidak aborsi. Pendampingan mental yang cukup perlu untuk mereka agar bisa melanjutkan hidup mereka lagi.
*** Mungkin inilah kurangnya sex education di masa sekolah karena dianggap tabu, malu untuk diungkap, terlalu banyak simbol-simbol yang membuat tidak diungkap bahaya dan risikonya secara jelas. Hanya sampai bagian, kalau terlalu jauh, nanti hamil lho.. Tidak pernah dijelaskan bagaimana menghindari pesona rayuan gombal di tempat sepi, atau bagaimana malu luar biasanya yang harus ditanggung keluarga karena si anak perempuan hamil. Yang akan lebih menanggung bebannya kalau ada apa-apa juga wanita. Kurasa SAA juga sedikit banyak ingin menanamkan kesadaran ini pada wanita tentang perasaan yang dialami. Pergulatan emosi, percekcokan jiwa, yang dialami antara keinginan menjadi seorang ibu, atau keegoisan menjadi dirinya sendiri, membuat keputusan itu yang diambil. Tapi kuncinya ada di kita, para wanita, di sinilah kita harus bisa membentengi diri dengan iman dan harga diri, agar tidak terjebak dalam rayuan setan.
bagai bermain biduk (Rayani Sriwidodo)
angin memberinya kelincahan ombak meminta darinya perhatian bintang menguakkan baginya kegelapan . . . 'aku berat melepas mendiang' bah, itu paradok yang hidup atas bayangan sementara menggenggam saputangan penghapus air mata kabung simbol ungkapan arif : 'cuma cacing tanah yang punya banyak waktu untuk orang-orang yang sudah mati'
demikianlah kilat tikaman lingga di malam peluh erang maut disusul sekian tubuh terperosok ke dunia di sekian bilik bersalin daratan lepas tepi berpaling
*** protect yourself, girls! sebelum terjadi, andalah remnya.
Masih karena efek Pintu Terlarang, meskipun ada kekurangan di sana-sini, tulisan Sekar Ayu Asmara sepertinya punya daya tarik tersendiri.
Mengisahkan dua kehidupan berbeda antara seorang pelukis bernama Ijen dengan seorang wanita yang baru saja berduka bernama Madrim. Keduanya memiliki kisah serupa: ditinggal "pergi". Madrim kehilangan suaminya dalam sebuah kematian, sedangkan Ijen kehilangan teman dan sahabatnya melalui kejadian yang tidak lazim.
Doa Ibu memiliki jalan cerita yang lebih sederhana ketimbang Pintu Terlarang. Di sini, hanya ada dua cerita yang jelas paralel: Ijen dan Madrim. Pola penyajiannya juga masih sama dengan Pintu Terlarang, disuguhkan secara bergantian yang nantinya akan semakin mengerucut, memberikan satu saja penjelasan besar akan apa yang terjadi dalam hidup para tokohnya.
Tulisan Sekar Ayu Asmara memang memiliki kekuatan magis. Meskipun sempat merasa jengah dengan penggunaan kata dan hal lain (penjelasan insignifikan tentang tokoh, tempat, pokoknya semua hal pasti diberi nama oleh penulis), ceritanya membuat pembaca penasaran dan ingin meneruskan hingga akhir. Pembaca akan bertaruh pada tebakannya sendiri atau malah kalah telak dari tulisan Sekar Ayu Asmara.
Ada yang mengatakan kalau topik antara Pintu Terlarang dengan Doa Ibu masih satu garis: kepemilikan rahim perempuan. Bahkan Sekar Ayu Asmara menuliskan kalimat yang sama baik di Pintu Terlarang maupun di Doa Ibu. Namun, konteks yang ditampilkan berbeda 180 derajat (baca Pintu Terlarang untuk tahu perbedaan konteksnya).
Mengapa hanya dua bintang? Ya seperti Pintu Terlarang, Sekar Ayu Asmara tampaknya punya kebiasaan untuk memberikan nama lengkap plus sejarah semua tokohnya dengan cukup mendetil. Belum lagi nama-nama tempat latar cerita. Bagiku pribadi, hal tersebut cukup mengganggu kenyamanan membaca.
Secara keseluruhan, Doa Ibu bisa dinikmati. Terutama jika paham dengan konteks dan pesan yang ingin disampaikan oleh penulisnya.
Sudah punya sejak lama, baru selesai dibaca beberapa tahun kemudian (karena bukunya sempat hilang tapi ketemu lagi), dan baru sekarang ada keinginan untuk menulis resensinya.
Saya beli buku ini setelah beli, baca, dan suka dengan buku Pintu Terlarang (buku itu pun saya beli setelah suka dengan filmnya). Saya suka dengan cara bercerita Sekar Ayu Asmara di Pintu Terlarang, terutama twist-nya yang apik, sehingga harapan saya untuk buku ini pun cukup tinggi.
Buku ini memiliki dua cerita yang berjalan secara pararel, bersisian, dan baru bertemu di endingnya. Cerita pertama tentang Ijen dan kawan-kawan pelukis muda lainnya. Mereka menghadiri pesta pernikahan kawan mereka, Khaled. Namun, saat mati lampu, Dewanti sang pengantin wanita lenyap begitu saja. Hal ini membuat Khaled frustrasi dan akhirnya mencoba bunuh diri. Nyawanya berhasil diselamatkan tapi ia koma. Ijen dkk pun mencoba mencari Dewanti, tapi mereka justru menghadapi kasus misterius, karean Dewanti diduga tak pernah lahir ke dunia ini.
Cerita kedua tentang Madrim yang ditinggal mati oleh suaminya. Anak semata wayang mereka, Sinta, adalah anak yang hebat dan sukses (sekolah di singapura, kuliah di AS, tunangan dengan cowok Dubai). Tapi, pernikahan mereka yang selama ini dianggap bahagia menyimpan rahasia. Bintang, suami Madrim, ternyata punya istri muda. Hal ini mengagetkan Sinta sehingga mencoba untuk mencari tahu lebih dalam tentang pernikahan kedua ayahnya itu. Dan, Sinta juga curiga ibunya yang kaku pun memiliki rahasia yang tak kalah kelamnya.
SAA rupanya suka dengan kisah-kisah misteri/horor/thriller/psikologis yang sureal dan absurd, di mana ia senang bermain-main dengan tema yang berkaitan dengan perempuan, seni, budaya. Dunia di novel SAA adalah dunia yang ideal bagi tokoh-tokohnya, di mana mereka punya dunia yang sempurna. Kaya semua, punya link luas, gampang melakukan ini itu, bolak-balik ke luar negeri kayak ke luar kota. Ada saatnya dunia yang sempurna itu bikin pembaca lelah (karena sirik, dunia mereka nggak sempurna kayak dunia para tokoh novel ini). Tapi, rupanya di balik dunia yang sempurna itu ada ketidaksempurnaan yang penuh borok bahkan mengerikan, sehingga pembaca bisa memaafkan "kesempurnaan" dunia para tokoh di buku ini.
Sebenarnya ada beberapa hal yang mengganjal di hati saya sewaktu membaca novel ini. Yang paling kentara adalah twist-nya yang agak terlalu mendadak, sehingga saya merasa korelasi antara kedua cerita tersebut jadi kurang kuat. Bayangkan, dari 45 bab (CMIIW), misteri belum juga terkuak padahal sudah sampai ke bab 35-an. Tidak ada petunjuk-petunjuk yang disembunyikan di bab-bab sebelumnya. Mungkin SAA khawatir twist-nya bisa ditebak dengan mudah. Tapi, ini juga membuat SAA seperti takut-takut dan tak pandai menyembunyikan petunjuk. Yang ada justru "jebakan-jebakan" yang diharapkan membuat pembaca terkecoh, seperti fungsi Ajeng yang rasanya tak berarti terhadap cerita, padahal jebakan-jebakan itu kurang ampuh. Juga, "misteri" tentang identitas Sinta malah baru dibuka di bab terakhir, tanpa penjelasan yang cukup, dan cerita kemudian selesai.
Untuk twist-nya sendiri, menurut saya Pintu Terlarang lebih pintar. Twist di Doa Ibu lebih "fantasiah" tapi karena premisnya unik, saya senang-senang saja dan tidak mempermasalahkannya, meski tidak juga mendapatkan moment my mind has been blown away. It's okay, twistnya kena, tapi tidak dahsyat, IMO.
Secara keseluruhan saya cukup puas dengan buku ini. 3,5/5
Saya membaca novel ini jauh setelah saya membaca dan menonton Pintu Terlarang, oleh karena itu sulit untuk tidak membandingkan kedua novel tersebut. Sepertinya, Sekar Ayu Asmara memiliki formulanya sendiri dalam membuat cerita misteri/horor psikologis semacam ini. Ia membuat dua buah plot yang berjalan secara paralel dan ditampilkan secara bergantian, membuat pembaca terus mempertanyakan hubungan dari dua cerita itu. Pada bagian awal, inti cerita masih sangat kabur, namun menimbulkan rasa penasaran dengan adanya sebuah konflik besar: orang yang tiba-tiba lenyap begitu saja di pesta pernikahannya. Pembaca yang telah membaca Pintu Terlarang pasti paham bahwa kita tidak bisa begitu saja percaya pada "realitas" yang ditampilkan dalam latar novel Sekar. Ia senang sekali bermain-main dengan delusi, mimpi, dunia surealis, dan psikoanalisis, tidak terkecuali dengan novel ini.
Semakin lama, cerita menjadi semakin absurd dan skala kengeriannya menjadi semakin luas. Hubungan antara kedua plot menjadi semakin jelas, meski pembongkaran misteri hubungan kedua plot itu terasa agak mendadak. Banyak hal-hal yang muncul begitu saja seolah baru ditambahkan secara terburu-buru, juga latar dunia yang banyak menyisakan pertanyaan.
Seperti rapalan kalimat "I love you more" dan "perfection" di Pintu Terlarang, dalam novel ini pun Sekar mengulang berbagai perumpamaan mengenai warna di setiap awal babnya. Awalnya ciri khas itu terasa menarik, sebab bisa menggambarkan profesi seniman/pelukis yang dilakoni para tokohnya, meski agak menyebalkan juga dijejali terminologi nama-nama warna seperti itu. Setelah beberapa bab, mata saya cenderung melewati paragraf tentang warna tersebut karena sudah "kebal".
Dialog dan narasi dalam novel ini sangat ringan dan mudah dipahami. Sejak awal saya tidak mengharapkan kata-kata yang puitis atau witty karena tampaknya itu memang bukan gaya Sekar. Sayangnya, beberapa komentar masalah sosial dan agama yang disusupkan dalam dialognya terasa agak dipaksakan.
Novel ini mengasyikkan dan bisa membuat saya penasaran. Hal yang paling saya sukai dari novel ini adalah bagaimana Sekar mempermainkan plot cerita.
Cerita dimulai dari seorang seniman muda bernama Ijen yang menghadiri pernikahan sahabatnya. Di tengah-tengah prosesi, sang mempelai wanita hilang begitu saja. Tak berbekas. Selanjutnya kita dikenalkan tokoh lainnya bernama Madrim yang tengah berduka karena suaminya meninggal dan Sinta putri tunggal Madrim. Selama beberapa bab, kita disuruh menebak-nebak apa coba hubungannya si Ijen yang sedang berusaha menemukan temannya yang hilang itu dan Madrim yang ditinggal suaminya?
Menurutku Doa Ibu punya latar, tokoh, dan alur yang tak jauh beda dengan Pintu Terlarang dan Kembar Keempat. Ketiganya sama-sama memiliki nuansa cerita yang mistis dan berhubungan dengan hal ghaib gitu, sama-sama melibatkan wanita yang hamil lalu mengalami keguguran, dan cerita antar tokoh yang aneh, complicated, tapi berhubungan walaupun awalnya pembaca bingung apa hubungannya si ini sama si itu, kan ini masalahnya berbeda. Dan bagiku, aku gak akan tahu hubungan antar tokoh tersebut kalau tidak menyelesaikan sampai halaman terakhir.
At some point, buku ini ngingetin aku sama novel dengan genre sci-fi tapi tanpa teknologi-teknologi mutakhir yang konyol. Not gonna tell you why.
Setiap kameranya ganti menyorot Ijen, paragraf pembukanya kadang bikin saya kesal karena ia menjabarkan suatu kondisi dengan warna yang agak spesifik gitu (cerulean blue, oak brown, yada yada). Mungkin untuk menegaskan betapa memahaminya Ijen sebagai seniman dalam memilih warna, tapi buat aku hal tersebut bikin aku kesel.
Another point is, yang aku yakin non-sense abis (tapi ya, ini pendapatku, sih), somehow ketika narator deskripsiin tokoh aku jadi keinget tokoh-tokoh di bukunya IN. Kalau kita hafal tokoh-tokoh di bukunya IN selalu digambarkan sebagai perempuan bankir, tinggal di apartemen, ayahnya pensiunan militer, di buku ini tuh tokoh-tokohnya kayak harus ada darah luar Indonesia gitu lo (tokoh A keturunan Sunda-Minang dan Manado-Inggris, tokoh B keturunan Padang Yunani). Jadi begitulah.
"Ada satu unsur yang sanggup menghentikan langkah manusia menuju masa depan. Saat di mana langkah harus sejenak dialihkan. Masa depan harus sejenak diunda. Dan itu terjadi pada Sinta. Unsur itu adalah cinta." (Hal. 25) ---- Ijen adalah seorang pelukis yang suka mengidentikkan sesuatu dengan warna-warna. Suatu hari, di pesta pernikahan sahabatnya, Khaled, terjadi peristiwa mengemparkan. Dewanti, istri Khaled tiba-tiba lenyap setelah mati lampu. Hal ini membuat Khaled frustasi dan melakukan bunuh diri. Untung ia selamat, walaupun koma. ---- Tak berselang lama, Khaled yang belum sembuh juga lenyap. Disusul dengan menghilangnya teman-teman Ijen yang lain. ---- Berlainan dengan Ijen, ada Madrim yang baru saja menjadi janda karena suaminya meninggal. Madrim mengetahui kenyataan pahit saat mengetahui suaminya ternyata memiliki istri simpanan. ---- Ini buku kedua Sekar Ayu Asmara yang kubaca setelah Pintu Terlarang. Karena itu aku tahu, meskipun judulnya Doa Ibu, novel ini tak akan bercerita tentang kisah haru menye-menye seperti judulnya. Tapi merupakan sebuah thriller absurd seperti Pintu Terlarang. ---- Selama 35 bab lebih aku masih belum bisa menebak apa hubungan Ijen dan Madrim. Aku baru tahu kenyataan sesungguhnya saat penulis sendiri yang membeberkan kebenarannya, yaitu saat akhirnya Ijen dan Madrim dan bertemu. Tadinya aku masih berpikir cerita ini adalah murni thriller psikologis seperti Pintu Terlarang. Tapi ternyata ada unsur fantasinya. ---- Btw, aku suka sensasi penasaran yang kudapatkan saat membaca buku ini. Recommended.
Doa Ibu menggunakan metode yang sama dengan buku Mbak Sekar Pintu Terlarang. Dua kehidupan yang berdiri sendiri, tapi ditumbukkan di satu titik di akhir-akhir bab, sehingga mengguncangkan pembaca dengan apa yang diyakininya dari awal.
Tepat, saat membaca novel ini saya terus penasaran. Hubungan antara hidup Ijen dan Madrim apa sih? Seperti dua tokoh tidak bersinggungan yang punya kehidupan sendiri-sendiri. Penasaran itu terus meruncing sampai titik itu membongkar semuanya. Mengejutkan? Iya. Namun, saya kurang puas.
Isu psikologi atau sakit jiwa sedikit disinggung. Keanehan dan absurditas tersebar di mana-mana. Tentu, saya menebak si Ijen ini punya alter banyak. Atau salah satu dari mereka adalah orang 'sakit' dan pembaca digiring dalam persepsi itu. Eh ternyata, oh ternyata....
Ya, saya salah tebak!
Seperti biasa, Mbak Sekar jago banget dalam menulis detail. Sangat meyakinkan pembaca. Pretelan-pretelan kecil informasi diberikan. Membuat buku ini mengenyangkan. Namun, masih banyak pertanyaan yang perlu jawaban meski sudah menutup buku ini. Kabar teman-teman Ijen gimana yak? Dewanti? Giok? Ah, semuanya yang ditulis sangat detail di awal, mendadak hilang dan tak terkuak di akhir cerita. Sangat disayangkan.
Terus, saya masih bertanya-tanya. Ijen kan ingat menamai dirinya sendiri, lalu kenapa lupa terkait sejarah hidupnya sendiri? Terkahir, saya jadi ingat adegan di Infinity War, ketika Avangers satu per satu menghilang. Persis banget dengan adegan bab-bab akhir yang saya bayangkan. Hahaha...
Ketika ilusi menyadarkan akan karma dalam bentuk cerita. Secara keseluruhan, novel ini bagus sekali. Sungguh, mengangkat aborsi sebagai tema besarnya. Sekar mampu memainkan perasaan untuk mengaduk emosi para pembaca. Berkisah tentang Ijen yang mencari Dewanti, kekasih Khaled (Teman Ijen). Kisah Ijen yang kemudian diiringi dengan kisah paralel lainnya yaitu Kisah Madrim. Ketika semua telah terhubung menjadi satu rangkaian yang utuh atas serangkaian peristiwa yang dialami oleh Ijen dan Madrim. Madrim yang menanggung malu atas kedatangan perempuan dan anak lain di tengah kematian suaminya, Bintang Joyokusumo. Bahwa selama ini Madrim tak pernah merasa sakit atas pengkhianatan yang dilakukan oleh suaminya, ia hanya merasa malu harus ditatap oleh para tetangga yang datang untuk melayat saat perempuan itu datang bersama anaknya. Hal yang dipikirkan oleh Madrim hanyalah harga dirinya sebagai seorang istri sah. . . "Supaya hati bisa terluka, hati harus cinta." Hal. 232
"Rahim milik perempuan. Perempuan harus bertanggung jawab atas rahimnya." Hal. 231
. . Jujur suka banget sama penggambaran atas doa ibu yang merasa bersalah atas jiwa lain yang pernah ia buang. Psikologis Madrim yang terganggu selama bertahun-tahun harus berpura-pura mencintai laki-laki yang menjadi suaminya. Bayang-bayang masa lalu. Serta doa-doa keputusasaan dan rasa bersalah Madrim benar-benar digambarkan secara nyata. Cerita ini benar-benar menyadarkan kita untuk selalu berhati-hati dalam melakukan suatu hubungan. Apalagi hubungan yang dapat menghadirkan jiwa lain. . . . 4/5
Buku ini udah lama saya punya, tapi baru beres dibaca weekend kemarin, selama dua hari. Plot twist nya seru. Sejak awal sampai beberapa halaman akhir buku, saya dibikin penasaran tentang kaitan antara kisah Ijen dan Madrim. Sempet kesel juga dengan ketidaklogisan kisah yang ternyata di akhir terjawab. So, sabarlah dan baca sampai akhir.
Yang menarik dari buku ini, tiap bab nggak panjang. Rata-rata sekitar 3 halaman. Dan di akhir tiap bab, berkaitan dengan bahasan awal bab berikutnya. Misalnya di satu bab diakhiri tentang adegan membuka pintu tokoh di kisah Ijen. Di bab berikutnya, di kisah Madrim, diawali adegan membuka lemari. Kisah Madrim juga memberi sensasi sinestesia: kesedihan biasanya berwarna navy blue (atau semacamnya. Saya nggak ingat nama warna yg disebut di bukunya. Haha. Spesifik banget soalnya istilahnya).
Cuma yang mengganjal, ada istilah yang salah digunakan. Penulis menceritakan profesi seorang tokoh sebagai ahli antropologi. Tapi di penjelasan berikutnya menjelaskan bahwa dia punya proyek ekskavasi candi di jawa tengah. Tanpa menjelaskan bahwa yang diamati kehidupan sosial di sekitar candi, saya berkesimpulan bahwa yang dia maksud sebenarnya: ahli arkeologi. Meski begitu, secara keseluruhan kisah Doa Ibu tetap menarik. Membuat kita berempati dengan fenomena aborsi. []
Kemana perginya nyawa-nyawa janin yang telah digugurkan oleh orang tuanya? Apakah dia sudah tidak lagi menjalani kehidupan atau ada dunia disana yang memang ditempatkan bagi para janin yang sengaja digugurkan? Buku terbitan tahun 2009 ini memiliki pandangan penulis yang aku kontra. Soal golput pemilu, soal konflik palestina-israel, dan fatwa merokok. Sampai dengan tiga bab menjelang berakhir pembaca baru sadar mengapa buku ini diberi judul "Doa Ibu". Secara pribadi aku lebih suka Pintu Terlarang.
identitas. saya baru tahu gaya dan ide menulis sekar ayu, jadi plot twist tentang... (spoiler alert)... mereka semua ternyata bayi aborsi yg hidup di dunia paralel, dst. merupakan hal baru. buat saya yg baru baca karyanya, sih ini bagus banget. tapi melihat tanggapan pembaca setia sekar, ternyata ini bukan sesuatu yg baru. terlepas dari ini sekar atau bukan sekar, cerita ini disampaikan dengan baik dan penuh emosi.
Gemes emang sama hubungan Ijen & Giok Nio! Ah ternyata.. Belajar dunia pararel lagi.. Ternyata itu hubungan mereka pantas ketemunya lama. Keren sih. Udah dikasih beberapa clue dan overthinking ternyata2 tetap kaget sama plot twist nya! Gila suka!
bahasanya mudah dipahami sih menurutku, ga bikin pusing, seru juga di bagian perjalanan mencari dewanti dan apa yang terjadi sebenernya sama keluarga madrim. Endingnya mindblowing banget ehehehehehehe
Thanks to my uncle, who brought this book from his university library and never returned it, I still have the book with its old cover. I was 10, and it was life-changing.
Saya baru menyelesaikan novel ini dalam waktu yang cukup cepat menurut standar kecepatan membaca pribadi. Bab demi bab mengalirkan dua cerita yang seolah-olah tidak berkaitan (tapi kita tahu pada akhirnya kedua cerita ini akan bertemu). Saya suka dengan cara bertutur dan tema yang dibawakan dalam novel ini, saya suka efek bergidik yang saya dapatkan dalam setiap selubung cerita yang dibuka oleh penulis.
Saya masih ingat ketika menemukan novel ini di tumpukan buku murah diskonan gramedia dan cukup lama hanya tertinggal menumpuk di rak buku saya. Ternyata saya terlambat membaca karya di luar mainstream ini.
Nama penulis memang tidak familiar di telinga saya, mengetahui bahwa beliaulah penulis skenario film Ca Bau Kan dan Biola Tak Berdawai membuat saya kaget. Dan novel ini sungguh melebihi ekspektasi saya. Ada drama dibalut horor yang dikemas baik di sini. Betapa dunia manusia paralel dengan dunia roh dari hasil aborsi.
Ini kedua kalinya saya baca buku karya Sekar Ayu Asmara. Dan keduanya, saya mau memberikan genre yang saya tentukan sendiri, Misteri-triler! Mungkin pada buku Pintu Terlarang lebih terasa psychological-thriler, tetapi di buku ini saya merasakan sekali unsur misteri-triler di dalamnya. Walaupun kesan sadis nggak akan kita temui, tapi kesan mendebar-debarnya tetap ada.
Kisah ini berpusat pada dua tokoh central, yakni Ijen dan Madrim. Ijen adalah seorang pemuda sekitar 25 tahun yang merupakan seorang pelukis dan tinggal bersama keempat temannya yang juga pelukis. Sedangkan Madrim adalah seorang istri orang ternama dan terpandang, memiliki satu anak yang sedang menapaki karirnya. Awalnya kedua tokoh central ini sama-sama memiliki kehidupan yang sempurna dan bahagia. Tetapi setelah satu kejadian, pelan-pelan hidup mereka yang sebenarnya mulai terungkap.
Dimulai dengan pernikahan sahabat Ijen yang bernama Khaled dengan Dewanti. Ketika prosesi resepsi belum juga rampung, tiba-tiba lampu ruangan padam dan saat itu istri sahabatnya Khaled yang baru saja dinikahinya tiba-tiba menghilang di depan ratusan pasang mata. Lalu di sisi Madrim, ketika semua berjalan dalam kendalinya, tiba-tiba suaminya yang ia nikahi selama 20 tahun pergi meninggalkannya untuk selamanya. Di hari pemakaman suaminya, tiba-tiba pula datang seorang wanita dan anak yang menyebut suaminya dengan sebutan "Ayah".
Ijen mencari kehilangan Dewanti yang berakibat bunuuh diri pada sahabatnya, Khaled. Dari pencariannya itu justru menimbulkan pertanyaan-pertanyaan serta misteri-misteri baru baginya. Bukan menghasilkan, justru semakin kehilangan, terlebih satu-persatu sahabatnya ikut raib. Sedangkan, Madrim sebaliknya. Semakin ia mencari kebenaran yang hakiki dari kebohongan suaminya selama sepuluh tahun, ia semakin menemukan makna yang sebenarnya dibalik itu semua, dibalik kematian suaminya dan dibalik kesedihan putri semata wayangnya, Sinta. Yang paling menibulkan misteri di antara semuanya, hanya Ijen yang bisa mendengar suara "ruh" yang ia tidak tau datang dari manam sampai suatu kejadian menimpanya dan menjelaskan semuanya.
Alur dalam buku ini dijaga banget oleh penulisnya, dari awal sampai akhir ketegangan terus diberikan intensitas yang semakin menanjak. Banyak diberikan "bumbu" misteri yang akan dipertanyakan pembaca. Ketika intensitas semakin tinggi, kita akan sulit melepas kisahnya. Mungkin awalnya, kita akan terkesan membaca kisah horor, saat membaca dipertengahan. Tapi justru itu salah satu "bumbu" misteri yang bersatu padu dengan intrik triler di dalamnya, sehingga menghasilka ketegangan dan pertanyaan, tanpa adanya darah dan pembunuhan.
Penulis juga sangat piawai menyimpan jawaban. Setiap pertanyaan kecil atau selintaspun, ia tidak akan memanjakan pembaca dengan jawaban. Ia membebaskan pembaca dengan imajinasi dan pemikirannya, sebelum akhirnya ia berikan jawabannya. Menarik. Selain itu, dari kedua bukunya, terlihat juga ciri khas penulis. Sekar Ayu Asmara sering membahas jurnalis, humanis, kemewahan, simple, rahim wanita yang merupakan tanggung jawab wanita sebagai pemiliknya, seniman, dan kehidupan dalam dunia imajinasi atau angan-angan. Kesimpulannya, buku ini patut dibaca, menghibur dan menantang pembaca sekaligus. Dan tentunya membantu mengeluarkan gaung karya sastra Indonesia yang nggak kalah keren dengan penulis luar manapun.
Ijen selalu mengidentikkan suasana di sekitarnya dengan warna. Bahagia mungkin berwarna rose madder deep, cemburu sebagai venetian red, atau keterkejutan dengan cadmium yellow deep. Maklumlah, Ijen adalah seorang pelukis. Sebagai seniman dia akrab dengan berbagai macam warna di sepanjang hidupnya. Kali ini Ijen bertugas melakukan dekorasi pelaminan untuk sahabatnya Khaled dan Dewanti. Ijen memilih warna sebaik mungkin. Prosesi pernikahan berjalan dengan lancar, hingga pada saat Khaled dan Dewanti tiba di pelaminan, Dewanti hilang tanpa jejak.
Hilangnya Dewanti membuat Khaled putus asa, dan melakukan usaha bunuh diri. Dengan melukai tangannya, Khaled akhirnya terbaring koma di rumah sakit. Ijen, Rajiv, Giok Nio dan Cepol sebagai sahabat Khaled dan teman serumahnya, bergantian menjaga Khaled. Ijen sendiri bertekad untuk menemukan Dewanti. Ijen menyusuri kembali masa lalu Dewanti, bertemu dengan seorang paranormal bernama Ajeng, hanya untuk menemukan bahwa Dewanti tidak pernah ada. Ijen menolak untuk percaya.
Selain konflik hilangnya Dewanti, Ijen juga mengalami dilema pada kisah cintanya. Dia ternyata menyimpan rasa pada Giok Nio, sahabatnya. Sayangnya Ijen selalu ragu mengambil kesempatan untuk mengungkapkan perasaannya. Ketika akhirnya satu per satu sahabatnya ikut menghilang, dia baru tergerak untuk membuka isi hatinya pada Giok Nio. Sayangnya sebelum Giok Nio menjawab, Ijen ikut menghilang.
Sementara itu di tempat lain, seorang wanita bernama Madrim baru saja menjadi janda ditinggal mati oleh suaminya, Bintang. Sinta, anak semata wayang mereka baru saja tiba dari Singapura. Alangkah terkejutnya Madrim dan Sinta ketika tiba-tiba datang seorang perempuan membawa anak kecil yang menangis bersimpuh di depan jenasah Bintang. Wanita itu ternyata istri simpanan Bintang, dan anak kecil itu tentu saja anak mereka.
Madrim terluka karena selama ini dia merasa dikelabui oleh Bintang. Sedikit demi sedikit terkuak banyak hal tentang Bintang yang tidak diketahui oleh Madrim dan Sinta. Sinta mengaku ayahnya sempat berpesan sebelum meninggal bahwa dia akan mengatakan rahasia padanya. Apakah ini rahasia dari ayahnya? Madrim sendiri seperti menyimpan rahasia juga.
Kisah Ijen dan Madrim diceritakan dalam bab yang berbeda secara bergantian. Pembaca akan digiring untuk bertanya-tanya mengapa ada dua kisah yang berbeda? Saya yang sudah pernah membaca dua karya Sekar Ayu Asmara sebelumnya, sudah yakin ada hubungan antara dua kisah ini. Tapi apa hubungannya baru akan terjawab dengan twist di akhir cerita. Sayangnya tidak begitu menggemparkan seperti saat saya membaca Pintu Terlarang. Dalam novel ini sekali lagi Sekar Ayu Asmara mengangkat tema aborsi, meski tidak sejelas pada Pintu Terlarang atau Kembar Keempat. Duh… membaca novel ini saat saya sedang hamil muda membuat saya mengelus perut berkali-kali.
Lantas kemana perginya para tokoh yang menghilang itu? Di sinilah kunci utama dari novel misteri ini. Yah walaupun berbau supernatural, Sekar Ayu Asmara bisa mendeskripsikannya dengan baik. Saya jadi bertanya-tanya apakah di dunia nyata ini ada kejadian seperti itu? Entahlah… saya belum pernah (dan semoga tidak) mengalaminya.
Category: Books Genre: Mystery & Thrillers Author: Sekar Ayu Asmara Buku ini menceritakan tentang Ijen dan Madrim. Ijen adalah seorang pelukis yang sedang mencari tahu keberadaan Dewanti, yaitu mempelai wanita sahabatnya yang menghilang dari pelaminan tanpa bekas. Sedangkan Madrim adalah seorang istri yang baru saja ditinggal mati suaminya. Madrim begitu kaget ketika di pemakaman suaminya muncul seorang wanita beserta anak kecil yang ikut menangis meraung-raung dan memanggil suaminya dengan sebutan ayah. Sepertinya kehidupan kedua orang ini sepertinya tidak ada hubungannya sama sekali. Tapi apakah benar begitu?
Ini buku Sekar Ayu Asmara kedua yang gw baca. Dan gw secara resmi mengatakan kalau gw menjadi fans dari karya-karya beliau.
Kalau di buku Pintu Terlarang sang penulis bisa banget menjabarkan pola pikir dan emosi manusia, nah kalau di buku ini sang penulis bisa banget menjabarkan perbedaan dunia dari kedua tokoh.
Mengapa buku ini hanya gw kasih 3 bintang? Soalnya di buku ini gw udah mulai bisa membaca pola sang penulis. Walaupun begitu beberapa bagian cerita yang menegangkan tetap berhasil membuat gw agak merinding ngeri.
Sekar Ayu Asmara dan pemikiran absurdnya memang memikat. Menceritakan tentang kehidupan seorang pemuda dan seorang wanita tua yang baru saja kehilangan suaminya. Tidak ada kesinambungan dalam kedua kehidupan tersebut sampai di suatu titik yang akhirnya menjelaskan segala peristiwa yang terjadi.
Keunikan dalam buku ini (seperti Pintu Terlarang juga) adalah prolog dalam setiap bab yang menggambarkan suasana hati dengan warna. Dari dua buku Sekar Ayu Asmara yang Saya baca, selalu ada penggabungan sisi klenik dan artistik dalam penceritaannya. Total absurd dengan ending yang twisting.
Menarik untuk dibaca bagi orang yang menyukai cerita surealis. Tingkat surealismenya berbeda tipis dengan "One Hundred Years of Solitude" dari Gabriel Garcia Marquez, tentunya dengan tema surealisme yang berbeda.
sudah dua buku Sekar Ayu Asmara saya lahap, dan saya telah yakin untuk menobatkan Sekar menjadi penulis thriller Indonesia favorit saya. gaya bertuturnya yang menceritakan setting dengan halus membuat saya banyak belajar. tidak perlu terlalu detail menceritakan suatu tempat, karakter yang kokoh akan menguatkan dengan sendirinya.
novel ini juga memiliki twist yang luar biasa. benar-benar harus mencapai ending untuk mengetahui siapa sebenarnya Ijen, apa yang terjadi padanya dan Madrim. meski twist semacam ini membuat saya kesal (biasanya), karena tidak nyata dan 'yah, ternyata begini aja', tetapi tidak berlaku untuk novel Sekar yang satu ini. karena eksekusinya begitu mulus. bintang lima!
Dari segi gaya menulis, kalimat dan dialog, novel ini mudah dicerna. Tapi permainan alur cerita yang penuh dengan teka-teki merupakan nilai tambah tersendiri. Saya dibuat penasaran untuk terus membuka tiap halaman di novel ini untuk menemukan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang semakin lama semakin banyak. Teka-teki dan misteri bermunculan, menggoda saya untuk tidak berhenti membaca novel ini sampai tuntas. Dan, memang beginilah gaya seorang Sekar Ayu Asmara. Salah satu penulis spesialis thriller psikologis favorit saya di negeri ini.
hmm..entah kenapa tiap mau baca bukunya sekar ayu asmara, saya selalu merinding duluan. dari yg pintu terlarang, kembar keempat, dan yg satu ini. belum2 dibikin shock dengan hilangnya mempelai perempuan di sebuah resepsi, hanya dalam hitungan detik. jiaahhh! pasti ada yg ga beres nih.
hmm..sementara einstein girl dan buddha duduk manis dulu ya, saya mau sport jantung dengan mbak ayu :)
will write a longer review later but i just wanna say that sekar ayu asmara's three books pintu terlarang kembar keempat and doa ibu are the true heirs to abdullah harahaps 80s horror stories not kumpulan budak setan. doa ibu is another page turner gothic psycho-thriller with the usual smatterings of cliche sentences that you soon forgive coz the story is just so good and the emotions are true.