Jump to ratings and reviews
Rate this book

Pemetik Bintang

Rate this book
Rifat melewatkan hari-harinya berdua saja dengan Bapak, sejak dulu. Dalam kesunyiannya, dia bertemu dengan Nina yang sama-sama kesepian. Hubungan mereka kian rekat, sampai suatu hari Nina pergi meninggalkan pertanyaan-pertanyaan yang tidak terjawab.

Dalam kehilangannya, hidup Rifat terus bergulir: berbenturan dengan masa lalu, bertumbukan dengan luka-luka lama, berkenalan dengan nilai-nilai baru. Ketika Nina datang kembali, masih adakah sisa-sisa Rifat yang dulu?

Di tengah pertentangan norma, penemuan kebahagiaan-kebahagiaan kecil, dan keresahan akan hidup yang serbatanggung, Rifat dan Nina bersepakat untuk terus berpegangan tangan. Ini cerita tentang upaya menyatukan dua jiwa yang rapuh untuk saling melengkapi.

Saya membaca buku ini dari awal hingga akhir tanpa jeda. Pemetik Bintang berhasil memikat dan mengikat perhatian saya, sesekali bahkan memancing tawa geli. Venerdi Handoyo bertutur dengan kepekaan, kejahilan, serta keindahan, yang menjadikan pengalaman membaca Pemetik Bintang menjadi sungguh mengesankan.
––Dee Lestari, Penulis & Penyanyi/Pencipta Lagu

256 pages, Paperback

First published April 29, 2019

43 people are currently reading
441 people want to read

About the author

Venerdi Handoyo

2 books38 followers

Ratings & Reviews

What do you think?
Rate this book

Friends & Following

Create a free account to discover what your friends think of this book!

Community Reviews

5 stars
75 (15%)
4 stars
181 (38%)
3 stars
194 (41%)
2 stars
19 (4%)
1 star
1 (<1%)
Displaying 1 - 30 of 124 reviews
Profile Image for Ramdani Tonga.
43 reviews4 followers
September 22, 2019
Meski tidak tercatat sebagai pemenang dalam Sayembara Novel DKJ, “Pemetik Bintang” dan beberapa novel lainnya direkomendasikan juri sebagai karya yang layak terbit.

Tidak menang, tapi layak terbit (dengan perbaikan). Menagapa terkesan ada semacam keraguan-raguan?

Berarti Ini penting. Tidak menang tapi tetap dihargai.

Kita bukanlah juri. Kita hanya membaca bukunya sebagai teks kekaryaan sastra. Maka selayaknya kita membacanya sebagai teks yang hidup dan bernyawa sebagai sebuah karya.

Membaca “Pemetik Bintang” layaknya berhadapan dengan segala kekinian. Murakami menjelma sepanjang penceritaan. Tema perkotaan dengan segala macam sentimentalismenya. Ngepop dan sangat enak dibaca.


Ada satu hal yang menarik dari sini. DKJ sebagai lembaga yang berwibawa merekomendasikan tema seperti ini. Ada keinginan dari DKJ untuk merayakan sastra masa kini yang berkembang. Sayembara Novel DKJ yang prestisius pun menangkap gejala yang memang tengah terjadi dalam masyarakat, khususnya dunia sastra. Artinya, DKJ sendiri telah sadar bahwa di luar sana sudah terjadi evolusi dan DKJ telah progres meresepati gelaja itu.

Terlepas dari cara ungkap dalam dialog yang kebarat-baratan, dan tema percintaan, juga rasa Murakami yang terasa menonjol, karya ini sangat menarik. Dan berjasa tentu saja.
Profile Image for fara.
280 reviews42 followers
January 29, 2023
Saya mau review novel bangsat berjudul Pemetik Bintang se-personal-personalnya alias dengan segenap perasaan pribadi yang tersisa setelah menyelesaikannya. Saya ingin memberikan penilaian yang sejujur-jujurnya sekaligus sebias-biasnya. Saya nggak bisa memungkiri alasan saya membaca Pemetik Bintang adalah karena sampulnya yang aduhai, kemudian melirik (lebih ke salah fokus) ke arah titel Karya Layak Terbit dalam Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (tahun 2018). Sebuah capaian yang menjadi tanda tanya, nggak menang tapi masih dalam kategori harapan. Abu-abu. Rancu. Apa daya tariknya? Apa yang dilirik juri sampai-sampai masuk kategori 'layak terbit'? Ternyata keragu-raguan itu melahirkan efek yang besar pada keputusan saya merampungkan Pemetik Bintang tanpa jeda. Sekali duduk. Sekali lahap. Meskipun di awal-tengah cerita rasanya tiba-tiba jadi hambar, kering, kelewat filosofis, ndakik-ndakik, penuh efek amoral, aneh, bahkan cringe

Sejujurnya, bagaimana penulis memilih formula yang berbeda dari kebanyakan kisah cinta menye-menye dan romansa-picisan-dramatis-serba-hambar adalah keputusan yang berani sekaligus cerdas. Rifat, tokoh sentralnya, memang dibuat sebagai lelaki serba biasa-biasa saja. Seluruh aspek dalam kehidupannya standar. Nggak buruk, tapi di sisi lain dia juga bukan individu yang baik—dalam bermacam hal. Saya suka bagaimana narasi Rifat ditulis sebagaimana usianya, Rifat di usia sepuluh tahun, tujuh belas, dan dewasa memiliki pemikiran dan pemilihan kata yang berbeda (seolah tahu bahwa pembaca pasti akan merasa janggal kalau timeline yang loncat-loncat itu cuma tempelan saja). Hubungan Rifat dengan orang tuanya yang serba salah dan mengambang di sisi lain, bikin saya ikut nyesek (dan saya justru baru sadar di tengah cerita, soal pelecehan seksual yang dilakukan oleh ibunya sendiri). Yang jelas, hubungan Rifat dengan Bapak adalah yang paling menarik perhatian dan simpati saya.

Saat aku keluar dari rumah itu, Bapak pindah ke rumah baru di pinggiran Jakarta. Rumah yang lebih kecil dan gampang ia urus sendiri. Rumah lama kami dijual. Rumah tempat dulu aku selalu membukakan pintu garasi setiap malam buat Bapak. Rumah tempat Bapak bercerita tentang Anak yang Memetik Bintang. Masa kecilku kehilangan tempat. Nostalgiaku tidak punya alamat. (halaman 76).

Klimaksnya (yang bikin saya sampai nangis sesegukan bak orang gila) adalah kutipan berikut.

Lalu Bapak menoleh. Matanya memandang bagai prajurit yang kalah perang. Kerut-kerut di wajahnya melukiskan usianya yang sudah lewat lima puluh tahun, bahkan tampak lebih tua lagi. Seluruh rambut di kepalanya bagai memutih dengan tiba-tiba. Suaranya yang lirih terasa begitu renta waktu ia bertanya, "Sanggupkah kamu memaafkan Bapak?"

Sanggupkah aku memaafkan orang yang bahkan dalam diamnya menyampaikan kehangatan? Sanggupkah aku memaafkan ia yang dalam jarak yang terjaga selalu memperhatikan? Ia yang deru mobilnya dari ujung gang membuatku berlari meninggalkan pekerjaan rumah di kamar, menuruni anak-anak tangga sekali dua, supaya tiba tepat waktu di garasi untuk membukakan pintu baginya. Ia yang lalu tidak pernah lupa memberkatiku dengan gumaman terima kasihnya. Setiap berkatnya itu selalu kujawab dengan mengangguk. Setiap tetes keringat yang ia perah untuk sekolah dan makanku, setiap cuti yang ia abaikan demi terus seatap denganku, setiap kehadirannya yang tidak pernah terlambat untuk menemaniku—aku jawab semua itu dengan mengangguk.

Siang itu, di kebun belakangnya, aku pun mengangguk menjawab seorang ayah yang telah menjadi satu-satunya dalam hidupku. Aku mengangguk berkali-kali sampai sekujur wajahku basah.
(halaman 145-146).

Selain itu, saya naksir berat dengan tokoh Lastri. Dibilang alpha women juga gimana, dibilang perempuan independen juga gimana. Manusia paling bebas yang pemikirannya melampaui filsuf (ini sarkasme). Mengesampingkan kompas moralnya yang nggak nentu (dan dipertanyakan manusia awam), saya jadi teringat tokoh Diva dalam Ksatria, Putri, dan Bintang Jatuh-nya Dee Lestari. Sosok perempuan dominan yang punya cara hidupnya sendiri. Saya akui, keseluruhan Pemetik Bintang juga punya 'rasa' yang sama sebagaimana seri Supernova. Rifat yang bucin macam Ferre, Nina yang lugu macam Rana, Lastri yang cerdas macam Diva. Elemen-elemen 'badai', 'petualangan', 'pencarian', dan 'hilang' juga turut hadir. Jangan lupakan fase rentan kayak di film-film coming age Asia, masa remaja yang penuh gejolak dan adegan cabul, mengingatkan saya pada seri Petir dan tokoh Elektra yang ikonik. Agaknya saya jadi cukup menikmati dengan kesamaan vibes ini.

"Jangan salah paham. Aku tidak memperjuangkan kesetaraan gender. Aku tidak menganggap gender itu ada. Silakan para aktivis berargumen dalam makalah-makalah mereka. Tapi di jalanan dan arena pertarungan, mari hajar-hajaran tanpa banyak teori. Peduli setan dengan gender dan jenis kelamin." (halaman 161).

Meski jadi ikut-ikutan pusing dan kalut memikirkan soal revolusi agraria, konsep pernikahan (gara-gara surat kedua Nina perihal nilai isi amplop di acara nikahan Imel), arti cinta, jati diri yang sudah nggak lagi utuh, kehilangan, hingga remeh-temeh nilai-nilai kehidupan, saya pikir Pemetik Bintang juga bukan tipikal novel yang perlu digali dalam-dalam, diadili kebocoran sana-sini yang perlu ditambal, atau menggugat racauan ala orang mabuk Rifat-Nina-Lastri. Sama seperti karya lain yang nggak sempurna. Saya pun kurang puas dengan ending yang dibuat seakan ala kadarnya. Barangkali, pilihan Rifat dan Nina yang nggak bersatu bisa jadi sebuah akhir yang bittersweet, tapi mengakhirinya ketika Rifat tengah dilanda 'gelombang' dalam sekte Felix justru bikin saya kembali mempertanyakan: "Ini sebenarnya daritadi saya muter-muter baca ini untuk apa?'. Meskipun lagi-lagi, saya harus mengakui bahwa secara personal Pemetik Bintang memang berhasil menarik hati saya. Sepenuhnya.

Terutama, ucapan Shakes (William) yang bikin saya nggak berhenti tertawa.

"Kendalikan dirimu, Hyde! Nina mungkin hanya pingsan setelah seharian jadi Pagar Ayu di perkawinan mantan kamu! Dia harus berurusan dengan sepuluh tante dari keluarga mempelai perempuan, dua puluh tante dari keluarga mempelai pria, dan semuanya bicara dengan volume saat dagang daster, kutang, dan cangcut di Mangga Dua." (halaman 170).

Bangsat, beneran. Ini semacam campuran gaya menulis Haruki Murakami, Dee Lestari, dan Lily Yulianti Farid. Terlalu overpower. Om Venerdi Handoyo, kapan-kapan kalau ketemu langsung, saya izin sungkem, ya.
Profile Image for Teguh.
Author 10 books335 followers
May 3, 2019
Saya baru sadar kalau naskah ini adalah naskah yang direkomendasikan juri sayembara novel DKJ tahun 2018--salah satu dari lima naskah yang bukan juara, tapi layak diterbitkan. Sebagai pendatang baru dalam dunia tulis-menulis pernovelan, saya rasa Venedi punya taste sendiri dan gaya bercerita yang cukup unik sekaligus aneh.

Ada gaya detektif, juga ada murakamian dalam novel ini. Saya suka dengan latar Jakarta urban yang tidak menyajikan sekadar romansa semata. Jakarta bisa dipotret sebagai kota suram lewat tokoh-tokoh yang suram dalam novel ini. Gaya detektif terkait teka-teki hilangnya Nani--salah satu tokoh dalam novel.

Kesan murakami ini seketika langsung saya tangkap saat dikisahkan Nani yang suka menghilang setiap hari ulang tahunnya. Sikap "aneh" begini mengingatkan kita pada Murakami. Kemudian pilihan menjadi penjaga toko buku, kafe dan beragam jenis minuman dan piringan hitam. Tetapi kalau boleh saya usul, andai penceritaan tidak menggunakan sudut padang Rifat, yakni sudut pandang orang ketiga, sisi Nani akan lebih tergali luas. Bayangkan kisah Nani saat Ella hilang, kemudian bisikan-bisikan Ella, dll, menurutku menarik untuk digali.

Menarik. Meski kalau pembaca yang terbiasa dengan alur linear, akan bingung dengan gaya berkisah novel ini.
Profile Image for Wahyu Novian.
333 reviews45 followers
August 13, 2019
Alasan kenapa harus baca buku ini:

Kesatu, lihat saja sampulnya. Ah! Sudah lama saya menggemari ilustrasi-ilustrasi @sarkodit dan ingin bisa belajar menggambar seperti itu. Belum adakah kelasnya?

Kedua, buku ini sangat menyenangkan untuk dibaca. Tidak disangka akan sesuka ini. Pertumbuhan dari kepolosan anak-anak, sedikit romansa remaja, hingga sedikit suram orang dewasa, mengalir dengan baik sekali. Adu racau cerdas dan jenaka para karakternya serta sedikit menusuk (bikin ketawa-ketawa sendiri di KRL Tangerang-Duri) yang lompat ke sana kemari, dari kenangan sendu sampai hubungan haru (Bapak yang kuat, ya) diramu dengan porsi yang pas. Meski sepertinya, cara bicara karakternya mirip-mirip.

Karakter yang biasa-biasa saja, terasa segar. Rifat yang tidak membanggakan amat di sekolah tapi tidak bikin malu, yang tidak keberatan dengan rutinitas membaca buku, olah raga, dan menyeruput kopi pagi sebelum bekerja, menikmati bersendiri tapi juga punya pertemanan sosial yang sehat, dan menjaga toko buku di akhir pekan meski gaji utama cukup-cukup saja buat makan enak dan bermain-main, seru juga. Jakarta, meski suram, ya bisa dihidupi.

Yang bikin kesal, saya mengenali versi diri saya di Rifat—syukurnya tanpa trauma dan cerita sedih. Serta tidak senakal itu (saya masih takut masuk neraka.😅)

Kepala saya agak pening menuju akhir. Kenapa saya merasa sedih?

Yang pasti, gaya bercerita @venerdihandoyo yang menyenangkan ini bikin saya (semakin) tidak sabar baca Lusifer! Lusifer!
Profile Image for Ayu.
343 reviews22 followers
July 2, 2020
Saya banyak setuju dengan pendapat yang dilontarkan oleh tokoh-tokoh dalam buku ini, Lastri kebanyakan melontarkan penilaian yang sangat pahit tapi cukup benar, Nina yang lemah lembut kerap memberikan pendapat yang terkesan membebaskan semua pihak, Imel walaupun muncul sesekali juga memberikan ucapan yang bisa kusetujui. Beberapa mengatakan bahwa buku ini memiliki gaya bercerita seperti Murakami, entahlah saya baru membaca 1 buku Murakami sehingga tidak bisa memvalidasi pernyataan tersebut, endingnya sendiri mengingatkan saya kepada buku Di Tanah Lada (Ziggy Zessyazeovinazabriskie), gaya penutup yang sesungguhnya saya sukai, memberiku tanda tanya besar, penuh metafora, dan memberi pembaca kuasa penuh untuk melanjutkan kisahnya Rifat. Tapi buku ini rupanya tidak termasuk cup of tea-ku, mengisahkan perjalanan tokoh utama, yang sebenarnya punya banyak konflik tapi dia selalu move on, sehingga aku terus bertanya-tanya 'lalu apa masalahnya?' jadi di tengah-tengah ia kayak jalan terus tanpa ada konflik karena ia udah membiasakan diri dengan masalahnya yang kemarin-kemarin.
Profile Image for Happy Dwi Wardhana.
244 reviews38 followers
June 4, 2019
Sangat jarang sekali saya menyukai novel dengan konflik murni cinta-cintaan seperti ini. Narasinya mengalir, enak untuk dinikmati. Banyak kutipan-kutipan seru sepanjang buku. Meskipun kadang argumennya ngawur, tapi karena disampaikan dalam konteks dan karakter yang tepat, kalimat tersebut bisa direnungkan.

Saya tahu Ve sebagai seorang selebtwit beberapa tahun silam. Lalu setelah popularitas twitter tergerus Instagram, saya kehilangan jejaknya. Membaca Pemetik Bintang seperti membawa saya sepuluh tahun silam dimana Ve dengan twit-twitnya membahas bebas isu-isu tabu seperti yang ada di novel ini.

Kalau seorang selebtwit bisa melahirkan karya sebagus ini, kira-kira karya seperti apa ya yang dihasilkan selebgram?
Profile Image for hereliveche.
2 reviews
June 6, 2022
somehow aku bacanya berasa novel filsafat?? ada sedikit bumbu filsafat di dalemnya. di awal emang agak kesulitan memahami ceritanya karena banyak teka-teki diantara teka-teki, pusing gak lo?? samaaa, kek pembaca tuh disuruh mikir problem nya apa yang baru aja terjadi sama semua karakter. penyampaian konflik nya tersirat bgt kalo gak baca ulang gue bakal tetep ngang ngong ngang ngong sihh.

tapiii setelah selesai baca bukunya trs duduk sambil tarik napas dalem tiba-tiba gue nangis, literally beneran nangis keinget problem yang mereka hadapi, seberapa gede effort nya buat sembuh dari kejadian traumatis nya mereka masing-masing itu nyentuh hati gue banget sih.

saran: kalo mau baca plis jangan pas lo lagi mau nyegerin pikiran karena ini buku bakal nambahin pikiran lo

ok thanks happy reading!!
Profile Image for Aida.
15 reviews5 followers
May 25, 2019
Gaya bercerita yang menarik. Tiba-tiba menyisipkan 2 chapter dari "novel lain" membuat saya kaget dan merasa aneh sendiri. Namun saya menikmati misteri dan kejutan-kejutan yang dihadirkan Ve dalam alur cerita yang tidak linear.
Profile Image for Jess.
609 reviews141 followers
July 25, 2023
“Apa pun yang kita kubur akan disirami hujan, lalu tumbuh menjadi sesuatu. Semakin lama terkubur, semakin kuat ia berakar. Kita sama-sama sudah menguburnya Rifat. Jangan sampai mayat itu jadi pohon beraroma bangkai. Semua orang akan mengendusnya.”


Buku ini lebih berfokus kepada karakter daripada plot, dengan tulisan dan diksi yang cantik dan mengandung banyak arti. Walaupun terdengar ringan karna membahas hubungan antara Rifat dan Nina dalam jangka waktu SMA-Dewasa. Tapi, buku ini lebih gelap dan dalam daripada itu.

Cerita di dalamnya seakan menguak sisi kelam manusia yang tercermin di setiap karakternya. Tentang trauma masa kecil yang lukanya terus ada dan membekas sampai dewasa. Yang kalau tidak segera dihilangkan dan disembuhkan bisa membuat kita menghilang dan terpuruk.

Buku ini berputar tentang pertanyaan akan hidup, seberapa penting kah itu? Dan apa yang kita perlukan untuk merasakan kebahagiaan dalam hidup.

Saat masa-masa gelap datang, Rifat berharap kepada yang mustahil namun menenangkan. Seperti dan segampang memetik bintang pada malam hari dan menaruhnya dalam kotak pensil.

Buku ini berkali-kali buat aku shock, ketakutan, sakit, tidak percaya. Sungguh, sebuah karya fiksi yang layak di diskusikan lebih dalam dan dibicarakan lebih banyak lagi.
Profile Image for Ipeh Alena.
543 reviews21 followers
June 13, 2019
Satu bintang buat rasa penasaran yang terus diombang ambing dari awal cerita sampai akhir tentang Pemetik Bintang.

Satu bintang lagi untuk kisah khusus Nina dan rekomendasi buku yang dibaca para tokohnya.

Dan satu bintang untuk obrolan random yang menyangkut banyak hal. Mengenai banyak hal.

Tapi...tak kuberikan satu lagi karena saya kesal bukan main dengan sikap Rifat yang terlalu Playing Victim. Juga pada bab - bab saat Rifat terlalu asik bermain-main seolah dia makhluk lemah yang butuh rasa kasihan.
Profile Image for N.  Jay.
241 reviews9 followers
December 28, 2019
Wah, saya nggak menyangka bakal membaca kisah cinta (lagi) tapi dalam pengolahan yg jauh lebih mengesankan dari kebanyakan formula pasaran yg ada. Meski tentu saja ada rasa asing terhadap gaya penulisan maupun narasinya yg bisa dipastikan adalah yg mempengaruhi penulis dalam menuliskannya.

Sedari awal membaca saya bertanya-tanya maksud dari bintang yg dipetik itu dan tebakan awal saya adalah sesuatu yg didambakan manusia sebagai pengisi dalam dirinya, itu pun terlihat dari masing-masing karakter yg kehilangan sesuatu dari dirinya (tidak utuh).

Bahkan mereka sampai mencari pada yg lain meski itu hanya berakhir memudar dan menjadi serpihan musnah. Hanya satu yg tidak saya suka di sini, bagian bab Karen Albright dari novel pusaran.

Selebihnya, saya suka referensi musisi maupun penyanyi era 50annya, yg saya telusuri ternyata beraliran jazz dan blues sepertinya hingga saya harus mengubek-ubek spotify dan menyimak salah satu lagu dari setiap nama di buku ini, ternyata ada yg menarik meski tidak membuat saya suka sepenuhnya.
Profile Image for Angelina Puspita.
50 reviews4 followers
June 18, 2019
Biasanya saya membaca tulisan Ve di kolom media cetak atau jurnal perjalanan, dan pemikirannya yang nyinyir selalu menjadi favorit. Sebagai pencerita fiksi, Ve ini penulis yang unik. Tanpa bermaksud menuduh mirip apalagi meniru, sedikit banyak gaya cerita Pemetik Bintang terpengaruh sekali oleh Murakami. Dia penulis yang pintar. Tampak isi kepalanya banyak ide kreatif yang dirangkum dalam narasi Rifat dan Nina, serta tokoh-tokoh lain yang ada. Ada saja pengetahuan baru yang bisa diambil dari cerita ini. Salah satu buku yang saya nantikan sekian lama, but of course it’s such a page turner.
Profile Image for Alvina.
732 reviews122 followers
May 18, 2019
Segala teori tentang berdamai dengan diri sendiri adalah omong kosong. Tidak ada luka yang bisa disembuhkan. Tidak ada goresan yang tidak meninggalkan bekas.
Maaf pun hanya peredam nyeri. Maaf tidak menyelesaikan masalah. Maaf tidak melenyapkan trauma.
Maaf adalah janji kosong
Profile Image for Faridilla.
66 reviews
April 9, 2020
Sampulnya bagi saya sudah menandakan isi bukunya. Ruwet dan tak mudah untuk ditebak.

Layaknya hidup seperti sebuah perjalanan, buku ini menceritakan perjalanan dan kehidupan Rifat sedari kecil yang percaya bahwa ia adalah pemetik bintang. Rifat mencari Nina, seseorang yang dikenalnya saat sekolah dan tak pernah melupakannya.
Profile Image for Anna Valerie.
186 reviews4 followers
December 16, 2020
Awal tertarik baca buku biasanya karena sinopsis atau direkomendasikan teman. Tapi, aku tertarik baca buku ini karena kovernya cantik. Pake banget. Aku ingin membuktikan pepatah "don't judge a book its cover" juga sebenarnya. Kovernya secantik ini apakah ceritanya cantik juga?

Dan ternyata iya. Aku seperti nggak sadar kalau sebenarnya inti cerita ini berpusat pada Rifat dan Nina karena ada banyak tokoh yang tak kalah penting. Ada kisah Bapak, Ibu, Shakes, Lastri, Felix dan sektenya yang sampai sekarang tidak kumengerti hanya metafora atau betul-betul sekte, Nyonya yang tukang ngomel, Imel, dan masih banyak lagi.

Aku betah berlama-lama menghabiskan waktuku mencerna 260 halaman ini dengan penuh perhatian. Membaca setiap deskripsinya yang tidak membosankan, pesan bijaknya yang membuatku tertampar (tamparannya keras seperti buku Almond untukku secara pribadi) dan aku suka cara cerita ini ditutup walaupun agak bingung, sih.

Buku ini seperti apa ya? Kalau diumpamakan, mungkin vibes-nya gelap-terang-gelap-agak terang-mendung-gelap gulita-senja. Pembaca bebas berinterpretasi secara terarah. Aku seneng banget bisa ketemu buku ini. Buku ini adalah salah satu bacaan terbaikku di 2020.

N. B. Ini menurutku saja, sih, tapi Nina mengidap skizofrenia ya?
Profile Image for The Eod.
134 reviews6 followers
September 2, 2020
Actual rating: 3,5

Wah buset aku selama baca buku ini beneran bernuansa serba abu-abu. Buku ini bikin nggak bisa berspekulasi yang mana hitam dan mana yang putih. Semuanya punya porsi dan agenda masing-masing. Termasuk karakter utamanya, Nina dan Rifat.

Karena pakai POV1. Aku diajak menyelami pemikiran Rifat yang abu-abu di dalam abu-abunya dunia. Rifat ini campuran idealis dan realistis. Hidup bebas yang benar-benar bebas, aku tak heran dia bisa satu frekuensi dengan Nina (yang mana menurutku) dia punya penyakit psikis, antara bipolar atau skizo. Konfliknya di sini adalah pergulatan batin Rifat dan Nina vs Society. Alurnya sih termasuk campur, ada kilas bailik dan maju.

Justru di sini aku malah suka Lastri, sedikit mengingatkanku pada karakter Diva di novel Supernova, tapi lebih realistis dan humble. Lastri ini kesal dengan standar masyarakat dengan cara sinis. Hem, penokohan yang menarik.

Narasinya cenderung telling tapi menarik karena mengalir layaknya showing. Soale setahuku pemikiran cowok itu lebih praktis, jadinya memang tepat.

Hem, aku yang kurang di sini tuh endingnya sih.

Sudah itu aja, lainnya sih sudah bagus kok.
Profile Image for Nourman Yafet Goro.
99 reviews7 followers
June 14, 2020
Alasan saya membaca buku ini pastinya karena cover yang benar-benar menarik. Setiap kali ke Gramedia, pasti selalu penasaran dengan buku ini karena covernya. Akhirnya kesampaian juga buat baca.
Awal baca Pemetik Bintang, saya sebenarnya bingung sama tokoh Rifat yang keliatannya baik-baik saja tapi seperti mempunyai masalah dalam hidupnya. Barulah paham mengenai karakter Rifat setelah membaca halaman-halaman berikutnya. Perkembangan karakter Rifat disini diceritakan dengan sangat baik, saya sangat menyukai bagaimana cara penulis pelan-pelan menceritakan kehidupan Rifat yang sebenarnya tidak keliatan baik-baik saja.
Satu hal lagi yang menarik dari novel ini adalah gaya bercerita penulis, bingung mau deskripsikan gaya tulisannya seperti apa, intinya sangat keren.
Profile Image for Ade.
542 reviews30 followers
June 29, 2020
Surprisingly saya suka sama buku ini, agak nyesal juga baru sekarang bacanya padahal belinya udah cukup lama waktu itu via google play books karena selain kovernya yang bagus banget juga sempat baca komennya banyak yang bilang gaya penceritaannya ke 'Murakami' an atau kalau istilah bahasa orang sastra gaya penceritaan 'magical realism' entah apa deh kalau di bahasa Indonesia kan artinya apa.

Suka banget dengan dialog-dialog yang disampaikan oleh Lastri yang sebenernya cukup ngena juga dilema dan monolog tokoh utama tentang kesendirian / kenyamanan dengan kesendirian itu sendiri. Walaupun endingnya bagi saya cukup gantung jadi ada sedikit rasa tidak puas.

Overall saya tidak nyesal baca buku ini
Profile Image for Nila Pratiwi.
120 reviews6 followers
October 10, 2019
di buku ini bisa dirasakan bagaimana penulis membuka sebuah pemikiran dalam memandang kehidupan melalui perubahan seorang individu yang berusaha berdamai dengan diri sendiri. rifat dan nina membuat pembaca mengikuti perubahan karakter dari seorang anak kecil hingga menjadi seorang dewasa. bagaimana mereka menyikapi sebuah kesamaan kekosongan dan berusaha saling melengkapi yang ternyata sia-sia. lantas, setelah membaca buku ini, seperti ada kesedihan yang mengganjal dan tidak selesai. serupa luka yang tidak bisa diobati dan kekosongan yang tidak bisa diisi.

baca selengkapnya >> https://ohsvgar.blogspot.com/2019/10/...
Profile Image for Wahid Kurniawan.
206 reviews3 followers
May 19, 2020
Akhirnya kebaca juga novel yang pengin kuselami kisahnya sejak setahun yang lalu ini. Dan, sesuai ekspektasi, novel ini memang ngga biasa. Gaya bercerita penulis ini benar-benar aneh, tapi unik, dan itu baru kusadari dimiliki oleh penulis seorang. Yang kusuka selain sampulnya keren abis ini, juga perkembangan narasi si Rifat yang seperti nyesuiain umur dia, juga kerumitan masa lalu tokoh utamanya, juga atmosfer Jakarta yang beeh, suram nian. Overall, novel ini berhasil mengangguku. Kesan setelah membacanya awet banget. Tabik buat penulisnya, deh.
Profile Image for Ares.
24 reviews2 followers
January 8, 2023
"Kamu betul-betul ingin disembuhkan? Atau kamu masih menikmati seluruh derita akibat ditinggalkan, dan mengasihani diri?"
ㅡ Pemetik Bintang.

Rasanya isi kepalaku ikut berantakan saat akhir bab, namun justru itu yang membuatnya memikat.
Profile Image for Jullanar.
23 reviews6 followers
June 11, 2019
I definitely judge some books by the covers. sometimes. salah satunya buku ini. Tertarik melihat desain sampulnya yang tidak biasa dan karena sering melihatnya berseliweran di explore Instagram dan bahkan direkomendasikan oleh Aan Mansyur cukup membuat penasaran mengenai isi buku ini. jadi, begitu tersedia di platform Gramedia Digital aku langsung bergegas membacanya sebelum masa langgananku berakhir.

Harus diakui, cover bukunya sungguh menggambarkan cerita antartokoh yang rumit. membaca buku ini tidak bisa tergesa dan jujur, bahkan setelah sampai di halaman akhirnya pun aku masih bingung dengan apa yang terjadi pada tokoh-tokohnya. karena itu aku berencana untuk membeli buku fisiknya saja untuk dibaca ulang dan lebih memahami cerita yang disampaikan.
Profile Image for wulan.
242 reviews7 followers
October 9, 2023
mungkin buku ini memang bukan seleraku aja. aku akui memang narasinya begitu mengalir didampingi diksi yang indah. character driven, mengupas lapisan demi lapisan kehidupan para tokohnya. sepertinya aku memang lebih suka membaca buku yang plot driven.

ada bagian sekte sesat juga .. (mungkin ini baru kali pertama aku membaca buku yang melibatkan sekte sesat jadi agak kaget dan nggak percaya)

nah, jadi apakah sudah sepatutnya 2 orang yang merasa tidak utuh saling melengkapi satu sama lain? menurutku, hanya diri sendirilah yang berkewajiban untuk menemukan kepingan2 yang hilang itu.
Profile Image for Moon Moon.
1 review
November 20, 2021
This book is so damn good. Yas, ada vibes Murakami digaya penulisannya. Ternyata tidak hanya novel romance biasa. Unpredictable banget ceritanya. Maafkan mereka agar bisa pulih ternyata tidak mudah. Menghantui terus & terus. Endingnya hmm 🤯
Displaying 1 - 30 of 124 reviews

Can't find what you're looking for?

Get help and learn more about the design.