Dalam sekali pukul pembacaan, kita akan menemukan sedikit ciri yang menandai sebagian besar cerpen (di buku ini). Pertama adalah pilihan bentuk dan gaya, atau cara penceritaan yang secara dominan dipenuhi oleh kecenderungan yang mistik, lalu mengarahkan cerita pada simpulan atau akhir yang supranatural dan surealistik. Tak kurang dari 50% (11 cerpen) yang memiliki kecenderungan semacam ini, mulai dari "Wiro Seledri" karya GM Sudarta, "Biografi Kunang-kunang" (Sunggung Raga), "Burung Api Siti" (Triyanto Triwikromo), hingga "Malam di Kota Merah" (Toni Lesmana), "Batas Tidur" (Gede Aryantha Soethama). Dua cerpen yang terpilih sebagai "terbaik" pun "Salawat Dedaunan" (Yanusa Nugroho) dan "Kunang-kunang di Langit Jakarta" (Agus Noor) memiliki sub-genre yang sama.
Dalam kumpulan ini, ketujuh cerpen terpilih tetap dalam tegangan itu, saat mereka menjumput kembali khazanah cerita lokal, hingga logika, mitologi, dan mistisisme lokalnya. Katakanlah karya-karya mulai dari "Orang-orang Larenjang" (Damhuri Muhammad), "Pakiah dari Pariangan" (Gus tf Sakai), "Mar Beranak di Limas Isa" (Guntur Alam), "Ikan Kaleng" (Eko Triono), dan lainnya.
Cerpen "Salawat Dedaunan" dibungkus dalam alur sederhana dan bahasa yang mudah diikuti, tetapi memancing imajinasi yang tinggi. Kemuraman religiositas masyarakat disikapi dengan cara-cara yang amat "nglakoni". Berbuat adalah cara paling baik untuk mendorong sebuah perubahan sikap. Kendati perubahan sikap masyarakat kemudian terjadi karena alasan berbeda, dorongan untuk berubah itu dipicu oleh tindakan tak kenal menyerah. "Kurang-kurang di Langit Jakarta" mengunyah simbolisasi itu menjadi jiwa-jiwa yang melayang di setiap gedung, yang dulu menjadi situs pemerkosaan serta kemalangan yang terjadi saat kerusuhan Mei 1998 di Jakarta. Cerpen ini melukiskan realitas tragedi dengan cara-cara yang romantik, tetapi menggugah.
Menulis apa saja yang ada di benaknya dan tak segan menembus batas nilai-nilai yang dapat membelenggunya dari kreativitas. Itulah gaya penulisan Yanusa Nugroho. Karya-karya cerpen peraih Anugerah Kebudayaan 2006 dari Menteri Kebudayaan dan Pariwisata ini sudah menghiasi halaman media massa sejak tahun 80-an.
Cerpen kesukaan saya di buku ini adalah Ikan Kaleng dari Eko Triono. Cerpen dengan pesan sangat kuat yang membuat saya terdiam lama setelah selesai membacanya, betapa kita sudah begitu tersesat.
Completely ada di Kumpulan Cerpen Pilihan Kompas ini. Seperti sangat adil membagi satu kisah agama yang berbeda dalam cerpen-cerpennya. Ide-idenya matang dan pastinya unik.
"Adakah yang lebih melelahkan daripada menanggung dosa?" ujar si nenek dalam 'Salawat Dedaunan.' Karya Yanusa Nugrono ini mendadak bikin gw merasa penuh dosa gitu. :( Pesan moral yang dibawa nenek bersifat religius bahwa jangan meninggalkan rumah ibadah. Awalnya si nenek datang untuk memungut seluruh sampah yang hanya harus dilakukan oleh dirinya sendiri, sebagai penebus dosa-dosanya. Anehnya, kenapa penulis hanya memfokuskan hal itu untuk menebus dosa-dosa si nenek tanpa melakukan apa yang seharusnya dilakukan di mesjid, yaitu salat.
Berlatar kerusuhan Mei 1998. Bahwa konon, kunang-kunang adalah jelmaan dari roh perempuan-perempuan yang diperkosa. "Kunang-kunang di Langit Jakarta" tak akan pernah dilupakan Jane. Peter, seorang zoologist yang tertarik dengan dunia hewan, plus Jane yang terpesona dengan kunang-kunang sejak masa kanak-kanaknya memiliki sebuah kenangan di langit Jakarta yang dipenuhi kunang-kunang. Kepergian Peter dan kunang-kunang menjadikan Jakarta sebagai tempat kembali Jane. Pangeran Kunang-kunang itu pastaslah dinobatkan pada Agus Noor seorang.
Tentang ketidaksetiaan yang bersanding erat dengan kesetiaan. Ironi. "Ibu Pulang" setelah beberapa waktu yang cukup lama pergi karena merasa tidak bisa memaafkan dirinya sendiri. Anaknya adalah replika kesalahannya. Nenek, malam Natal, dan sebuah album foto meluruskan segalanya. Karya Dewi Ria Utari ini bikin sedih sekaligus speechless.
Ilmiah. Cerpen ini mengingatkan saya akan cerpen Kucing Kiyoko. Tentang seorang perempuan bisa begitu dingin dengan tindakannya membunuh dengan keji seekor kucing yang telah merusak daun-daunnya. "Kak Ros" adalah cerpen yang ditulis oleh Gus Tf Sakai, ingin sekali bertemu dengan beliau.
"Perempuan Tua dalam Kepala" menurutku adalah 'gerakan hati yang lain' yang dimanifestasikan dalam sebentuk sosok perempuan jahat. Dia dan hati (dalam pengertian perasaan) hidup seperti sisian dua ujung jembatan yang tak kan pernah bersatu. Dilatari oleh cinta sejenis dan broken home. Begitulah khas Avianti.
Sebuah momen yang selalu menjadi tradisi dan ditunggu-tunggu. Ibu dan kenangan-kenangannya tersusun rapi dalam lemari. Lemari yang selalu menyimpan sejarah hidupnya: manis dan pahit. Sampai kematian Bapak mengubah segalanya dan potongan-potongan itu sekarang menjadi "Kain Perca Ibu." Karya Andrei Aksana pertama yang kubaca dan suka.
Kehidupan mama berbanding lurus dengan pohon cincau. Senyawa. Seiya sekata. Pohon cincau yang semakin keropos karena dimakan usia dan sering diambil oleh anak-anak kampung, pun Mama yang perlahan tapi pasti dihunus kesepian dan kenangan pahit: tidak lagi didatangi oleh anak-anaknya yang seolah lupa karena kesibukan masing-masing. Ketika usaha pamungkas Mama dalam menyelamatkan daun-daun terakhir dari pohon cincau, Mama terjatuh dan hidupnya pun berakhir. Doni Jaya, hujan (yang banyak mengambil perannya dalam kumpulan cerpen terbaik Kompas ini), dan Juni (bulan penerbitan sekaligus bulan saya membacanya) mengingatkan saya akan SDD.
"Laron" pun jika ia tahu umurnya bakal tak lama akan lebih memilih tetap menjadi rayap. Begitu juga seorang manusia, tak akan mau diciptakan tidak sempurna, cacat. Tapi si ayah tak sabar, meneriaki nasibnya sendiri yang memiliki seorang anak yang lemah dan pencinta hewan bersayap itu, sayap yang dikiranya sayap peri.
"Malam di Kota Merah" sangat absurd dan kelam. Seperti sebuah sindiran di mana terdapat repetisi dalam pengungkapan ingin bertemu Tuhan sebelum kematian.
"Mar Beranak di Limas Isa" untuk belasan kalinya. Kodrat yang seperti tak boleh ditinggalkan oleh orang-orang Tanah Abang: memiliki anak bujang. Anak bujang yang akan menegakkan dan meneruskan limas keluarga. Setelah empat belas kali mengandung dan melahirkan anak perempuan, akhirnya Bi Mar diberi sebuah 'syarat' oleh Kajut Muya.
"Tradisi Telur Merah" dalam perayaan Bibi yang baru saja dikarunia seorang anak. Seperti mengulang kisah yang sama pada masa silam. Sebuah kelahiran yang dipaksakan jalan takdirnya. Ketika nyawa harus dibayar dengan nyawa. Sedih.
"Orang-orang Larenjang" yang telah termaktub sedemikian rupa bahwa tidak boleh melanggar pantang dan larang, yaitu kawin sesuku. Tentang Julfahri, selain melanggar ketentuan adat, dia juga telah melecehkan Pangulunya, orang yang dituakan di kampung, orang yang telah mengangkat derajat Julfahri. Lalu rentetan demi rentetan terjadi mengubah hidupnya. Beberapa kali membaca karya Damhuri Muhammad dan kekentalan akan budaya di karyanya membuat saya naksir.
"Nenek" yang selalu dikisahkan baik, suka mendongeng, atau sering memberi uang jajan tidak ditemukan dalam cerita ini. Semua adalah sebaliknya; suka merokok, berkata kasar, dan mungkin juga semua terjadi karena jalan hidup nenek yang ditinggalkan orang terkasihnya. Manusia memang tidak bisa di-generalisasi. :)
Suka. Dua kali membacanya. Merinding membaca akhir ceritanya. Tentang sekolah pemerintah vs sekolah kehidupan. Ya, sekolah kehidupan di laut karena mereka orang laut. Sekolah pemerintah yang tidak bisa menjawab bagaimana menjelaskan arah angin, membaca rasi bintang, membelah ombak, atau pun mengarah tombak, hingga bagaimana cara membuat "Ikan Kaleng." Ikan yang diambil dari laut mereka, tapi dibuat oleh orang lain (di sini disebut Banyuwangi) lalu dijual mahal sekali. Ada bahasa daerah, setting cerita begitu kental Indonesia-nya. Bintang lima untuk cerpen ini.
Selalu ada kemewahan di setiap cerpen SGA. Dan juga senja (ada apa dengan senja dan SGA, ya?) Kali ini "Pring Re-Ke-Teg Gunung Gamping Ambrol" telah benar-benar diambrolkan oleh sederet prasangka terhadap kampung candala yang mereka-orang-orang baik itu- tuduhkan sebagai kampung perampok, pencuri, pelacur, dan pembunuh. Kampung candala, kampung yang berubah status sosialnya sejak pembangunan jalan aspal dan bukit kapur seperti dicemburui oleh kampung yang didiami oleh orang-orang baik. Kampung candala dengan penduduk tidak sampai seratus orang akhirnya diserang karena Mirah yang telah diperkosa. Dia dalam diamnya telah mengatakan bahwa pelaku adalah anak Pak Lurah sendiri, orang yang begitu keras memerintahkan melakukan penyerbuan.
"Biografi Kunang-kunang" ternyata adalah perubahan wujud dari seorang ibu yang telah pergi baik meninggal ataupun minggat, khusus bagi mereka yang berasal dari kampung di tepi Sungai Logawa. Tapi kemudian seekor kunang-kunang ditemukannya lalu mengiringnya hingga ke mimpi dan masa lalunya terkuak. Nalea. Dia bertemu dengan ibunya walau hanya dalam mimpi.
Kata Kakek Wiro, dalam kegelapan mata terpejam kita bisa lebih banyak melihat. Panggilannya "Wiro Seledri" karena dia hidup dari menjual seledri yang ditanam di dekat gubugnya. Si kakek sering menghadiri takziah terkait dengan angan-angannya yang telah memuncak. Eks tapol ini merindukan sebuah ketenangan abadi, beberapa kali bertemu dengan Malaikat Izroil sebelum suatu pagi permintaannya benar-benar dikabulkan.
Membaca "Pakiah dari Pariangan" saya merasa tergelitik. Sebuah fenomena sosial yang 'cadiak buruak.' Cerdik yang buruk, tidak baik. Pakiah adalah remajanya pendekar yang 'dikurikulum' untuk turun ke masyarakat: meminta namun bukan mengemis, adalah untuk mendidik sifat rendah hati dan papa. Dulu, pakiah ini begitu terkenal hingga sebuah masa menjadikannya label sebuah seni pertunjukan. Belakangan, Inyiak Pakiah Babanso hadir lagi dalam bentuk dunia pesantren. Pakiah kembali marak terlebih karena telah memenangkan 'duel' dengan preman pasar. Masyarakat senang, mereka rela memberi apa saja kepada pakiah. Lalu para cadiak buruak itu datang. Nek Minah seperti saksi hidup yang tahu pakiah mana yang asli dan yang palsu. Satu-satunya penulis yang dua cerpennya masuk dalam kumpulan cerpen terbaik Kompas. Salute!
"Batas Tidur" bernuansakan sebuah religi yang kental. Jika seseorang bisa meraih detik ketika ia tertidur, maka ia akan terjaga, rohnya bisa melihat raga sendiri. Niscaya ia pun bisa memilih kematiannya sendiri. Guru Tung dan pedukuhan Astungkara kian populer dan sebaliknya wisata rohaniawan lain seperti yoga pun ditinggalkan peminatnya. Mereka yang mengendus bahwa telah terjadi sebuah kematian napi yang akan dieksekusi membuat mereka menyerang pedukuhan itu.
"Burung Api Siti" menceritakan kisah kelam September 1965. Alam mempunyai cara sendiri untuk melindungi anak-anak untuk tidak melihat kebringasan manusia dewasa. Ayah Siti yang akan diserang karena tidak ingin bergabung dengan kelompok mereka (lagi-lagi, mengatasnamakan orang baik dan berlindung di balik agama). Kisah kebaikan hati alam, burung, dan semesta yang juga mengingatkan kita akan kisah Burung Ababil di zaman Nabi.
Namanya "Kimpul" seorang tukang pangkas yang di usia enam puluh lima-an masih menggantungkan hidup dari rupiah-rupiah yang begitu kecil, namun lihatlah kebesaran hatinya dan kejujurannya, begitu dalam. Dia tidak serta merta menerima uang yang diberi oleh seseorang yang juga dengan kebaikan hati berhutang setelah lima tahun. Memang tidak jelas apakah dengan begitu hutangnya lunas atau tidak, tapi mereka berdua memiliki sesuatu yang sudah jarang ditemui akhir-akhir ini.
"Tart di Bulan Hujan" menjadi lebih manis. Tersentuh sekali bagaimana seorang dhuafa berusaha keras selama dua tahun menabung dalam usahanya untuk membahagiakan anak-anak panti asuhan. Dua tahun, waktu yang sangat lama bagi kita hanya untuk membeli kue seharga empat ratus ribu kurang. Ber-setting cerita di malam Natal.
Hanya masalah selera: tidak semua atau tidak banyak cerpen yang menempel di kepala saya dari kumpulan cerpen di buku ini. Tapi, beberapa cerpen memang sangat manis dan membekas. Tiga favorit adalah Salawat Dedaunan, Kak Ros, dan cerpen penutup di buku ini yang begitu manis: Tart di Bulan Hujan.
Saya membaca kumpulan cerpen ini dalam rangka mengerjakan tugas resensi bahasa indonesia. Setelah baca semua cerpen yang ada, menurut saya cerpen yang menang (Salawat Dedaunan dan Kunang-kunang di Langit Jakarta) cara menceritakannya bagus, ceritanya berbau mistis dan endingnya nggak terduga. Tapi saya pribadi lebih suka dengan Kain Perca Ibu dan Ikan Kaleng. Bahasa yang digunakan mudah diikuti tapi tetap 'nyastra'.
Sinopsis beberapa Cerpen : “Salawat Dedaunan” karya Yanusa Nugroho Berawal dari kemunculan tiba-tiba seorang nenek tua di sebuah masjid kecil yang jarang dikunjungi warga. Nenek itu hanya memunguti dedaunan rontok di halaman masjid sambil terus bersalawat dan meminta ampunan kepada sang Khalik sepanjang hari. Kemisteriusan tindakannya itu yang justru mengundang kedatangan banyak warga. Setelah kematiannya, halaman Masjid menjadi bersih seakan daun yang semula terus berguguran ditahan jaring raksasa hingga tak mencapai tanah. Ini menunjukkan bahwa berbuat adalah cara terbaik untuk mendorong perubahan sikap. Kendati perubahan sikap masyarakat itu terjadi karena alasan berbeda, tetapi dorongan untuk berubah tersebut dipicu oleh tindakan tak kenal menyerah seperti yang dilakukan nenek tua itu dalam mengentaskan kemuraman religiusitas warga.
“Kunang-kunang di Langit Jakarta” karya Agus Noor Menceritakan tentang zoologist bernama Peter yang sangat percaya bahwa dari gedung-gedung gosong lahir ribuan kunang-kunang yang hadir sebagai jelmaan roh-roh perempuan korban kerusuhan Mei 1998 di Jakarta. Ia berusaha meyakinkan kekasihnya Jane tentang hal itu. Jane yang semula tidak menyukai Jakarta akhirnya sering kembali menengok kenangan setelah kesaksian beberapa orang yang melihat Peter terjun dari puncak ketinggian gedung dan berubah menjadi ribuan kunang-kunang. Disetiap kunjungannya itu ia selalu berharap dapat melihat Peter diantara kerumunan kunang-kunang yang setiap malam memenuhi langit kota Jakarta.
“Kain Perca Ibu” karya Andrei Aksana Menceritakan tentang seorang Ibu yang mulanya gemar menyimpan pakaian-pakaian yang memilikisejarah, berubah setelah kematian suaminya. Ia melarang anak-anaknya untuk mengikuti jejaknya yang tak bisa melepaskan kenangan dengan menggunting semua pakaian bersejarah yang mereka simpan menjadi potongan-potongan kain perca lalu menjadikannya benda-benda baru yang lebih bermanfaat. Sesudah Ibu itu meninggal, baru diketahui bahwa pakaian almarhum suaminya justru terlipat rapi di almari dan tidak tergunting menjadi kain perca.
“Ikan Kaleng” karya Eko Triono Berkisah tentang Sam, guru ikatan dinas dari Jawa yang ditugaskan mengajar di Jayapura. Rupanya sekolah tempatnya mengajarkan beragam ilmu pengetahuan sesuai dengan kurikulum itu memiliki saingan, yaitu sekolah yang didirikan oleh kepala suku Lat. Sekolah itu mengajarkan bagaimana menjadi pelaut. Belakangan orang tua murid bahkan hanya meminta agar anak-anaknya diajari cara mengalengkan ikan, agar tak rugi setelah dapat menjaring banyak ikan.
Kekurangan : - ada cerpen yang menyisipkan beberapa percakapan dalam bahasa daerah tanpa tambahan keterangan maknanya diakhir cerita. - ada cerpen yang agak membingungkan dan dibagian akhirnya menceritakan adegan vulgar
overall, menarik dan cocok untuk bahan bacaan. "liked it !" (bintang 3):)
Sebagian cerpen di buku ini sudah pernah saya baca di koran, namun karena terdapat 22 cerpen (sangat banyak) jadi buku ini tetap bisa saya nikmati. Banyaknya jumlah cerpen bukan berarti lamanya waktu membaca. Maklum, cerpen koran memang singkat-singkat, kadang malah terasa terlalu singkat. Jadi pembaca yang memiliki waktu luang yang sempit tidak perlu khawatir. Cerpen-cerpen dalam buku ini bisa selesai dibaca dalam satu kali duduk ... atau jongkok, kalau dibaca di toilet.
Cerpen di buku ini masih berputar di sekitar realisme magis dan surealisme, dibalut dengan nuansa lokalitas dan tradisional. Cerita-cerita bernuansa mistis yang suram dengan akhir cerita yang "sayup-sayup" (tidak menghentak) seperti sudah menjadi norma. Memang, ada beberapa pengecualian, seperti "Tart di Bulan Hujan" yang cenderung optimis dan menghadirkan "twist" positif di akhir ceritanya.
Kekurangannya, kadang saya merasa cerpen-cerpen di dalam buku ini seperti memiliki satu suara yang sama. Tidak ada nuansa yang kontras antara satu cerpen dengan cerpen yang lain, padahal ditulis oleh pengarang yang berbeda-beda, baik generasi maupun latar belakangnya. Mungkinkah cerpen "nyastra" Kompas ini memang mengikuti suatu pakem gaya tertentu? Sastra sebagai sebuah genre fiksi?
Buat saya, kumpulan cerpen kompas kali ini lebih bagus ketimbang tahun 2011 (maaf, membandingkannya dengan 2 tahun yang lalu karena memang punyanya itu:))
Beberapa cerpen yang menjadi favorit saya adalah cerpen Salawat Dedaunan karya Yanusa Nugroho(meski secara konsep cerita ada kemiripan dengan cerpen Pak Gageh karya Melvi Yendra yang terdapat dalam kumcer berjudul Menjemput Kenangan terbit tahun 2004 oleh FLP). Sederhana namun memberikan kesan yang dalam. Selain itu, cerpen Ikan Kaleng karya Eko Triono juga menarik. Mengharukan lebih tepatnya. Kisah tentang tenaga pengajar yang membaktikan dirinya di Papua. Sementara cerpen Kak Ros dan Perempuan Tua dalam Kepala masing-masing karya Gus TF Sakai dan Avianti Arman menurut saya adalah yang paling matang secara ide dan pemilihan diksi.
Satu ciri khusus di kumpulan cerpen ini adalah banyaknya cerita yang mengisahkan tentang kunang-kunang sebagai perlambang yang melatarbelakangi beragam peristiwa.
Secara keseluruhan, kumpulan cerpen kompas kali ini tidaklah mengecewakan.
Menurut saya,kumpulan cerpen terbaik kompas ini lebih baik daripada Kumpulan cerpen tahun sebelumnya (entahlah saya hanya menyukai dodolit dodolibret).
Begitu banyak cerpen yang mampu membuat saya tersekat, tapi anehnya ada sebuah keseragaman dari kumpulan cerpen yang satu ini. Melankolis nan Gelap. Seperti Cerpen Kunag-Kunang di Langit Jakarta oleh Agus Noor ataupun Nenek yang ditulis oleh Lie Charlie. Sebuah keseragaman di dalam kumcer ini menurut saya bukan suatu kebetulan (ataukah saya yang terlalu banyak menyangka?)
Dan anehnya lagi,pemenang cerpen untuk tahun 2011 malah tidak jatuh ke dalam cerpen favorit saya. Saya lebih memilih Laron oleh Mashdar Zainal atau Perempuan Tua Dalam Kepala Oleh Avianti Armand.
Saya paling suka Tart di Bulan Hujan buatan Bakdi Soemanto. Ada perasaan haru yang membuncah ketika Sum yang gajinya 250.000 sebulan ingin membahagiakan hati anak-anak di gereja dekat tempat tinggalnya. Setelah menabung 15000 setiap bulan selama dua tahun, uang 360.000 ternyata tidak lagi cukup untuk membeli kue yang diidam-idamkan sejak dua tahun silam. Tapi toh Tuhan maha tahu dan maha pemurah. Niat baik akan sampai juga di tujuan setelah suami istri tempat Sum biasa mencuci kemudian memberikan bantuan,kebutuhan dana pun tercukupkan. Yang lebih mengharukan adalah adegan ketika Uncok, suami Sum ternyata bekerja sama dengan pastor di gereja untuk merias ruangan sebelum perayaan dilaksanakan.
Selesai membaca "Dari Salawat Dedaunan sampai Kunang-Kunang di Langit Jakarta" 20 Tahun Cerpen Pilihan Kompas. Dua cerpen yang jadi pemenang malah menurut saya biasa saja. Ada dua-tiga cerpen lain di dalam buku ini yang rasanya lebih oke. Kumpulan cerpen pilihan Kompas yang kali ini tidak lebih keren dari kumpulan cerpen pilihan Kompas tahun-tahun sebelumnya. Rasanya lebih bagus dan lebih banyak yang bagus kumpulan cerpen pilihan Kompas tahun-tahun lama. Tapi yang cukup menggembirakan adalah kehadiran nama-nama baru dan nama-nama muda, meski hanya terselip di antara nama-nama lama dan nama-nama tua.
Sedikit kecewa karena ternyata cerpen-cerpen di dalamnya tidak cukup "menarik" seperti kumpulan cerpen di tahun-tahun sebelumnya. Sebagian besar cerpen ini mengangkat tema yang sederhana, beberapa bahkan menggunakan tema yang sudah banyak orang memakainya. Gaya berceritalah yang membuat buku ini istimewa. Seringkali alurnya tidak mudah ditebak. Pun ada pula yang sudah ditebak --tapi kita tetap hanyut dalam ceritanya. Saya belajar banyak dari buku ini, semakin bersemangat membaca karya-karya sastra yang lain.
sebenernya mengharapkan lebih sih. beberapa cerita saya nggak gitu ngerti karena muatan lokalnya yang kental banget. banyak bahasa daerah atau cerita terlalu banyak tentang budaya yang saya nggak terlalu ngerti. favorit saya: Perempuan Tua dalam Kepala, Laron, dan Tart di Bulan Hujan. will review more in my blog.
Aku kasih 3.5 bintang. Wah, kayaknya kumcer Kompas yang ini lebih suram daripada kumcer sebelumnya yang aku baca, Dodolitdodolitdodolibret. Menurutku sih, ceritanya lebih banyak yang sedih dan pedih gitu. Dan aku paling suka cerpen terakhir karangan Bakdi Soemanto, Tart di Bulan Hujan. Manis banget, semanis kue tart :D
Memang hasil seleksi Kompas gak bisa dipandang sebelah mata. 20 karya anak bangsa dalam format cerpen ini memang beragam temanya. Mulai yang mistik, spiritual hingga ketimpangan budaya di masyarakat kita.
Karya-karya djempolans. Patut dijadikan koleksi :)
ada beberapa cerpen yang terlalu sadis dan gelap.. tapi ada juga beberapa yang manis dan penuh kehangatan. Yang paling saya suka cerpen Kain Perca Ibu karya Andrei Aksana. Saya kasih bintang 3 lah ya...