Jump to ratings and reviews
Rate this book

Maryam

Rate this book
Tentang mereka yang terusir karena iman di negeri yang penuh keindahan.

Lombok, Januari 2011

Kami hanya ingin pulang. Ke rumah kami sendiri. Rumah yang kami beli dengan uang kami sendiri. Rumah yang berhasil kami miliki lagi dengan susah payah, setelah dulu pernah diusir dari kampung-kampung kami. Rumah itu masih ada di sana. Sebagian ada yang hancur. Bekas terbakar di mana-mana. Genteng dan tembok yang tak lagi utuh. Tapi tidak apa-apa. Kami mau menerimanya apa adanya. Kami akan memperbaiki sendiri, dengan uang dan tenaga kami sendiri. Kami hanya ingin bisa pulang dan segera tinggal di rumah kami sendiri. Hidup aman. Tak ada lagi yang menyerang. Biarlah yang dulu kami lupakan. Tak ada dendam pada orang-orang yang pernah mengusir dan menyakiti kami. Yang penting bagi kami, hari-hari ke depan kami bisa hidup aman dan tenteram.

Kami mohon keadilan. Sampai kapan lagi kami harus menunggu?

Maryam Hayati



== Pengarang 5 Besar Khatulistiwa Literary Award 2011 ==

275 pages, Mass Market Paperback

First published February 23, 2012

72 people are currently reading
855 people want to read

About the author

Okky Madasari

23 books440 followers
Okky Madasari is an Indonesian novelist. She is well-known for her social criticism with her fiction highlighting social issues, such as injustice and discrimination, and above all, about humanity. In academic field, her main interest is on literature, censorship and freedom of expression, and sociology of knowledge.

Since 2010 Okky has published 10 books, comprising of five novels, one short-story collection, three children’s novels and one non-fiction book. Her newest book (2019) is Genealogi Sastra Indonesia: Kapitalisme, Islam dan Sastra Perlawanan or “Genealogy of Indonesian Literature: Capitalism, Islam and Critical Literature”, which is published online and can be freely downloaded from her website www.okkymadasari.net. Okky’s novels have been translated into English, Germany and Arabic.

Ratings & Reviews

What do you think?
Rate this book

Friends & Following

Create a free account to discover what your friends think of this book!

Community Reviews

5 stars
270 (21%)
4 stars
499 (39%)
3 stars
383 (30%)
2 stars
87 (6%)
1 star
37 (2%)
Displaying 1 - 30 of 267 reviews
Profile Image for Nisa Rahmah.
Author 3 books105 followers
January 21, 2016
Dari awal membaca buku ini, saya sudah berupaya memosisikan diri saya sebagai pembaca netral, yang tidak mengunci pandangan saya pribadi terhadap apa yang dikemukakan penulis dan menjadi tema besar dalam penulisan novelnya: tentang Ahmadiyah. Dengan posisi seperti itu, harapan saya adalah tentu saya akan memiliki paradigma baru atau setidaknya, mampu mencerna sudut pandang lain dari yang semula saya miliki.

Maryam berkisah tentang seorang wanita bernama Maryam, lahir dan besar oleh orangtua pengikut aliran Ahmadiyah. Hidup dalam posisi "berbeda" dengan masyarakat pada umumnya. Pak Khairuddin adalah sesepuh kampung, ikut bergotong-royong bersama, anak-anak mereka pun hidup berdampingan dengan anak-anak lainnya. Selain perkara akidah, mereka adalah bagian dari masyarakat yang sama. Namun, ibu dan bapak Maryam sempat khawatir saat melepas Maryam untuk bersekolah di luar Lombok. Maryam tetap menempuh pendidikannya di Surabaya dan tinggal dengan keluarga Ahmadi kenalan mereka di sana. Tidak ada bedanya kehidupan mereka dengan masyarakat lainnya.

Akan tetapi dalam urusan jodoh anaknya, muncul besar harapan agar anaknya menikah dengan orang yang sama dengan mereka, sesama Ahmadi. Untungnya selama di Surabaya, Maryam kenal dengan seorang pemuda dari kalangan mereka bernama Gamal. Namun sayang sekali, dalam satu peristiwa Gamal tidak lagi sepaham dengan akidah orangtuanya. Gamal keluar dari komunitas Ahmadiyah, tidak hanya mengecewakan kedua orangtuanya melainkan juga Maryam dan keluarga. Setelah patah hati dengan lelaki itu, saat Maryam bekerja di Jakarta, ia berkenalan dengan Alam. Dengan Alam, ia membuka kembali lembaran kisah cintanya yang sempat karam dengan Gamal. Maryam dibutakan oleh cinta, sehingga lebih memilih untuk menikah dengan Alam dan menjauhi keluarganya. Orangtua Maryam pun kecewa, tidak lagi menganggap Maryam sebagai bagian dari keluarganya. Hubungan Maryam selama beberapa tahun putus sama sekali dengan keluarganya maupun komunitas Ahmadiyahnya.

Setelah menikah beberapa lama, kebahagiaan yang diharapkan Maryam rupanya tidak datang jua. Hidup dengan ibu mertua yang tidak mau menerima ia apa adanya, selalu menempatkan Maryam sebagai seorang pendosa, orang sesat, membuat kehidupan pernikahan itu tidak harmonis. Terlebih lagi mereka belum juga dikaruiniai anak. Akhirnya keputusan perceraian dibuat.

Maryam mencoba untuk kembali pulang, setelah beberapa tahun meninggalkan keluarganya. Namun yang didapatkan saat kembali ke tanah kelahirannya tidaklah sesuai dengan yang diharapkan. Saat kembali, bukannya ia bertemu dengan ayah dan ibunya, namun ia hanya mendapatkan cerita dari penjaga rumahnya bahwa orangtuanya diusir oleh orang kampung hanya karena mereka seorang Ahmadiyah. Pada perjalanan selanjutnya, ia mencoba mencari jejak-jejak keberadaan orangtuanya dan bertanya mengapa mereka diusir dari tanah dan rumah yang mereka bangun sendiri. Mengapa orang-orang itu merampas kenangan masa kecilnya di tanah kelahirannya.

Ehm, itu dia sebagian alur dan cerita dari novel ini. Tema yang diangkat adalah seputar Ahmadiyah, seperti yang sudah saya singgung di paragraf awal. Dari membaca novel ini, saya merasa adanya informasi yang tidak berimbang dan terkesan bahwa penulisnya kurang netral dalam memilih jalan ceritanya. Entah ini pikiran saya saja (padahal saya sudah berupaya senetral mungkin memosisikan diri saat membaca novel ini), atau memang beginilah adanya, bahwa yang dipaparkan dalam novel ini memunculkan stereotip bahwa: tokoh-tokoh Ahmadi-nya tak bercela sementara yang beragama Islamnya digambarkan dengan kurang baik. Saya cukup memaklumi bahwa titik poin dalam novel ini yang mau diangkat adalah tentang sisi kemanusiaan yang ternoda hanya karena kelompok minoritasnya berbeda. Tapi, dalam urusan karakter dan laku, ada ketidakseimbangan di sini. Misalnya, Pak Khairuddin yang seorang Ahmadi, berperilaku santun, sabar, penuh kasih sayang dengan keluarga dan rajin membantu sesamanya. Lalu muncul ibu mertua Maryam yang ikut mencampuri urusan rumah tangga anaknya, suka menyinggung menantunya dengan menyatakan secara tersirat bahwa dulunya dia sesat, dan lain sebagainya. Tokoh Guru Agama Maryam, lalu Pak RT, Pak Haji, Kiyai yang ceramah, dikemas dengan kemasan negatif. Dan mau tidak mau, pembaca juga digiring untuk memberikan statement bahwa pelaku penyerangan (yang notabene adalah Islam) adalah kurang baik. Saya paham bahwa yang diangkat adalah tema yang memang sudah terjadi di masyarakat ini. Tapi, dengan ketidakseimbangan penokohan itu membuat pembaca (terutama saya) agak kurang sepakat dengan penggiringan persepsi tersebut. Saya mahfum, kisah ini akan kurang dramatis jika tidak dikemas sedemikian rupa. Tapi tetap saja, dengan berat sebelah membuatnya tidak lagi objektif. Kenapa ini saya soroti? Karena penokohan tentu akan menguatkan jalan cerita dan itu akan menimbulkan persepsi dalam benak pembaca (meskipun barangkali hanya buku yang benar-benar berkesan yang akan meninggalkan jejak dalam ingatan pembaca). Ketika persepsi yang timbul adalah memberikan pembenaran bahwa orang Islam itu anarkis, mempunyai pandangan negatif (dalam tema ini tentang orang-orang yang dianggap sesat) maka saya sungguh sedih sekali.

Kedua, barangkali ini potongan penting yang--entah dengan sengaja atau tidak--dihilangkan, bahwa penjelasan seputar Ahmadiyah tidak didapat saat pembaca menikmati novel ini. Mungkin penulis hanya berfokus pada masalah "kemanusiaan yang diciderai karena agama" tanpa mau repot-repot masuk pada aspek akidah. Tapi bagi saja ini kurang bijak; seolah-olah seperti melemparkan bola tanpa mau memberi tahu kenapa bola itu dilempar. Dari pandangan orang awam, yang barangkali mau membeli novel ini untuk mengetahui lebih banyak tentang Ahmadiyah selain label bahwa ia sesat, tentu akan kecewa. Penjelasan tentang Ahmadiyah hanya terhenti di deskripsi bahwa di rumah Ahmadi, ada foto besar yang menyatakan bahwa itu adalah Mirza Ghulam Ahmad tanpa dijelaskan dia itu siapa dan mengapa sampai diagung-agungkan sedemikian rupa.

Saya berpendapat, seharusnya dengan mengangkat tema besar tentang orang Ahmadiyah yang terusir, setidaknya penulis memberikan informasi tentang apa itu Ahmadiyah, mengapa ia dikatakan sesat. Kenapa? Karena ini yang menjadi dasar permasalahan yang diangkat. Ahmadiyah difatwa sesat oleh Majelis Ulama Indonesia (bukan saya yang bilang sesat, hehe) karena menganggap Mirza Ghulam Ahmad adalah nabi, sementara bagi umat Islam, Rasulullah Muhammad saw adalah nabi dan rasul terakhir. Ini adalah perbedaan mendasar yang kemudian hari memicu percikan-percikan. Tapi..., tentu saja, itu tidak menjadi pembenaran dalam hal memerangi siapapun. Orang yang berlaku anarkis tetap tidak bisa dibenarkan, apalagi mengatasnamakan agama untuk melakukannya.

Terlepas dari apapun motifnya, saya kira saya pun sepaham bahwa kekerasan atas dasar apapun tidak dibenarkan. Dalam Islam perilaku seperti itu tidak dibenarkan pula. Dalam kacamata kemanusiaan apalagi. Kekerasan terhadap minoritas bukan barang baru di dunia ini. Namun amat sangat disayangkan bahwa pemaparannya tidak cukup berimbang. Dari sisi romansa yang dikemas (sehingga buku ini tidak menjadi bosan) memang sukses untuk membuat saya tidak bosan. Dari segi gaya penulisan pun menarik dan mengalir. Hanya saja, atas pemaparan saya yang panjang kali lebar di atas membuat bintang pada novel ini hanya bisa dinyalakan dua.
Profile Image for Stebby Julionatan.
Author 16 books55 followers
January 15, 2018
Kecewa berat sama buku Okky Madasari kali ini. Sebagai salah satu pengarang besar Indonesia saat ini, pennyandang 5 besar Khatulistiwa Literay Award, novel ketiga Okky ini bener-bener njelei. Bener-bener ga tuntas pembahasannya. Terkesan takut-takut. Gamang. Ga tau harus berpihak pada siapa. Padahal dia sendiri yang mengambil Maryam, seorang Ahmadi, sebagai tokoh utama dan diceritakan dengan sudut pandang orang ketiga. Apa karena mungkin yang diceritakannya Ahmadi ya, yang notabene dianggap sesat oleh umat Islam Indonesia. Sehingga kalo Okky membahasnya secara tuntas, takutnya dia sendiri yang dianggap sesat. Dianggap sebagai pengikut Ahmadiyah.

Tapi harusnya penulis tidak boleh seperti itu. #bikinGeregetan

Maryam bercerita tentang seorang Ahmadi yang mengalami penderitaan dan harus terusir dari tanahnya gara-gara apa yang dia yakini sejak kecil dan sudah turun menurun itu dianggap menyimpang oleh orang lain (umat Islam). Tapi sayang, pembahasan mengapa Ahmadi itu menyimpang tidak dijelaskan oleh Okky.

Inilah yang ingin saya tanyakan pada Okky, dimana seharusnya novel, meskipun fiksi, setidaknya juga memberikan gambaran yang gamblang soal Ahmadiyah. Di mana bedanya? Apa yang membuat mereka berbeda? Dan kenapa perbedaan itu membuat mereka dikatakan sesat? Tak termaktup sama sekali dalam novel ini. Hanya dijelaskan secara tersirat lewat sebuah lukisan yang ada di ruang tamu rumah keluarga Maryam.

Lha kalo saya disuruh nyari sendiri, browsing sendiri ke internet lha ngapain juga ada novel ini. tinggal baca berita-berita koran lah. Apalagi saya kan seorang wartawan, pasti pating tidak tahu apa sebenarnya persoalan hakiki kenapa si Ahmadi ini dianggap menyimpang.

Salah seorang teman sempat membela. Menurutnya buku ini ingin mengangkat sisi sosialnya. Lebih menyentuh sisi kemanusiaannya, terlepas dari benar dan salah, hitam dan putih atau apapun penilaian manusia atas sebuah keyakinan. Begitulah pembelaan teman saya itu.

Pembelaan tersebut tidak salah. Saya menghargainya. Penulis yang baik memang tidak berhak untuk menghakimi. Memberikan penilaian bahwa yang ini salah, yang ini benar. Yang ini hitam dan yang ini putih. Tidak. Tidak begitu. Penulis yang baik membiarkan pembaca untuk menilai sendiri. Menggugah dan melibatkan lubuk hati pembaca untuk semakin berpikir dan bertindak bijak. Dan memang itulah fungsi karya sastra, untuk menggugah kesadaran hati manusia. Tapi sekali lagi menurut saya, kenapa saya benar-benar kecewa dengan karya Okky Madasari kali ini dan menempatkannya sebagai buku terburuk yang pernah saya baca, menurut saya, kalau yang dibahas hanya sisi sosialnya, meskipun bukan kaum Ahmadiyah yang diangkat Okky, mengangkat kisah kaum minoritas manapun pun pasti mengalami akan sama sebagaimana nasib Maryam dan keluarganya. Jujur, tulisan ini terkesan cari sensasi. Karena tema ini belum ada yang ngegarap jadi kesannya seperti, "OK. biar gw aja deh yang ngerjain."

#helaNafasbiargasemakinemosi. Hehehehe....

Tapi bagusnya, di buku ini ada CD lagu. Tak banyak lho pengarang yang mengarang sekaligus membuat sendiri backsoud musik yang akan mengiringi pembacanya dalam membaca karya mereka. Sebut saja Andrei Aksana dan Dewi "Dee" Lestari yang sebelumnya membikin karya hibrida seperti itu. Kali ini bertambah satu lagi, yakni Okky Madasari. :)

Sukses selalu dan selamat berkarya. Saya tunggu karya-karya sampean berikutnya, mBak.
Profile Image for Annisa Anggiana.
282 reviews53 followers
June 1, 2012

Tadinya review ini mau diposting bareng Blogger Buku Indonesia kemaren, apa daya saya mesti merecharge diri yang sedang tepar dulu ;) (makanya jangan suka nunda2 bikin review! Hehe). Agak sulit buat saya untuk membuat review buku ini. Kenapa? Karena temanya yang menyentil membuat saya merasa harus belajar banyak dulu sebelum menulis . Salah satunya adalah dengan membaca buku Memahami Negativitas yang sudah saya review duluan.

Di karya ketiganya Okky Mandasari (dengan cukup berani) mengambil tema tentang secuil kisah hidup kaum Ahmadiyah di Indonesia. Tokoh utamanya, Maryam adalah seoarang perempuan yang terlahir di keluarga Ahmadiyah dan tumbuh besar di daerah Gerupuk, Pesisir Selatan Lombok.

Sejak kecil Maryam sudah sadar kalo praktek agama yang dijalani nya sedikit berbeda dengan para tetangga dan teman2 sekolahnya. Mereka sholat di mesjid yang berbeda dan punya kelompok pengajian tersendiri. Beranjak dewasa mulailah Maryam menerima wejangan2 dari kedua orang tuanya agar jangan sampai menjalin hubungan dengan orang di luar kelompok mereka. Kebetulan Maryam pada saat itu sedang dijodoh2kan dengan pemuda sepengajian yang bernama Gamal, Maryam merasa tidak bermasalah dengan wejangan tersebut.

Sampai suatu ketika Gamal harus pergi ke luar daerah untuk waktu yang cukup lama untuk menyusun skripsi. Tiba2 Gamal menghilang, Maryam tidak pernah mendengar kabar darinya lagi. Usut punya usut Gamal telah hengkang dari keluarganya dan menyatakan diri tidak akan pernah kembali. Gamal menyebut segala sesuatu yang orang tuanya yakini adalah sesat. Maryam patah hati.

Setelah lulus Maryam bekerja di Jakarta. Di sana Maryam memperoleh karir yang cukup sukses dan jatuh cinta pada seorang pria bernama Alam yang bukan seorang Ahmadiyah. Maryam mendapatkan tentangan dari kedua orang tuanya. Namun Maryam yang sedang “buta” akhirnya memilih untuk tidak lagi menghubungi anggota keluarganya. Keluarga Alam pun keberatan dengan kenyataan bahwa Maryam adalah seorang Ahmadiyah. Namun Ibunda Alam akhirnya mengizinkan dengan syarat Maryam meninggalkan kepercayaannya. Dengan seorang Wali Nikah akhirnya Maryam dinikahkan dengan Alam.

Kisah bahagia yang diharapkan ternyata tidak terjadi. Maryam tidak pernah sepenuhnya diterima di keluarga Alam. Belum lagi desakan untuk segera memiliki anak yang membuat Maryam tertekan. Ketika suatu ketika terucap perkataan dari Ibu Mertua Maryam bahwa ia tidak juga dikaruniai anak karena masa lalunya yang sesat. Di titik itu Maryam menyerah untuk berjuang, ia merasa Alam telah meninggalkannya sendiri. Maryam pun angkat kaki. Ia dan Alam akhirnya bercerai.

Dengan perasaan gundah Maryam kembali ke kampung halamannya. Apa yang ia temukan? Kenyataan bahwa keluarganya telah terusir dari rumahnya sendiri. Maryam dipenuhi rasa bersalah. Ia segera mencari keberadaan orang tuanya. Ketika mereka berkumpul dan Maryam mulai menyecap kebahagiaan, akankah sejarah terulang? Sampai kapan mereka akan terus terusir?

Dari review yang saya baca, banyak yang menganggap bahwa ceritanya kurang dalam membahas tentang penyebab terusirnya keluarga Maryam. Menurut saya pribadi bukan itu intinya. Buku ini memang tidak membahas tentang perbedaan keyakinan atau yang mana agama yang benar yang mana yang salah. Buku ini membahas tentang ketidakberdayaan kaum minoritas di hadapan kelompok yang lebih besar, lebih kuat dan mentasbihkan bahwa dirinya yang paling benar. Buku ini membahas tentang ketidakberdayaan Hukum Indonesia jika dihadapkan dengan praktek premanisme kelompok yang lebih kuat.

Janganlah Ahmadiyah, kerusuhan antar etnis di banyak daerah, kekerasan terhadap etnis tionghoa tahun 1998, bahkan ribut2 tidak perlu tentang konser Lady Gaga akhir2 ini adalah sebuah bukti nyata bahwa di negara kita tercinta ini hukum masih lemah jika dihadapkan dengan ancaman preman. Tepat adanya Okky Madasari tidak memasuki lahan debat kusir tentang yang mana yang paling benar. Yang disorotinya adalah tunduknya banyak pihak (termasuk aparat hukum dan pemerintahan) pada negativitas kelompok.

Dua jempol untuk pemilihan temanya. Jadi pengen baca bukunya Okky Madasari yang laen :)

Who we are to judge? It’s the negativities that we should eradicate.
Profile Image for Silvia Iskandar.
Author 7 books29 followers
August 31, 2012
Pulang dari merantau di negeri orang, ngebet banget deh makan martabak manis di tukang langganan.. Pas mau beli, dibilangin, “Non, kali ini beli martabaknya mesti sama roti coklat, produk baru Non, lagi promosi.”

What!! Tukan martabak bikin roti? Enak apa?
Tapi karena ngebet makan martabak, tetep juga deh beli, walau sambil menggerutu dan merogoh kocek lebih dalam.

Kira2 begitulah perasaan saya wkt beli Maryam. What?!! 78 ribu untuk buku setipis ini?!! Pasti deh gara2 CD-nya.

Mestinya, dibikin gratis dong, atau dijual terpisah, dengan tanda tangan penulis kek, gimana kek...jangan maksa dong.. BETEEE banget deh… Namanya juga lagi promosi. Penjual sedang meminta kesudian pembeli utk mencoba sesuatu yg sebenernya dia gak niat beli. Kenapa dipaksa beli gini? Ini namanya pemerkosaan hak! (Something yang tottaly opposite of Okky’s message.) Hak memilih bagaimana menggunakan uang saya sendiri, hak itu telah dirampas!

Berkurang deh..1 bintang. Biasanya saya selalu kasih 5 bintang utk karya2 Okky.

Ketidakpuasan kedua, spt review lain di goodreads, kok gak ada penjelasan ttg Ahmadiyah? Sebg org luar Islam, itu adalah salah satu motivasi penting kenapa saya beli buku ini. Pengen tahu, in a fun way. Boleh dong belajar sambil baca novel? Tapi gak ada…yg ada malah saya merasa, ini mah, kalau soal nikah sama pasangan beda keyakinan atau suku, gak usah baca karya Okky, teman2 saya juga banyak yg ceritanya lebih heboh. Banyaaaakk bgt di Maryam dibahasnya mengenai hal ini, Ahmadi-nya manaaa…

Padahal, kekuatan Okky adalah pengetahuannya di seluk beluk masalah. Yg saya duga krn pekerjaannya. Dia gak spt kita org awam, bebas keluar masuk penjara, tanya sana-sini, kan emang kerjanya..jadi dia bisa cerita ttg seluk-beluk potret keadilan di 86. Sementara kita sebagai pembaca dan org awam cuma bisa melongo sambil terkagum-kagum. Di Maryam, seluk beluk, info dalam gitu gak ada…paling sedikit ya..ttg struktur organisasi Ahmadi, atau ttg kehidupan mereka di pengungsian. Tapi ttg kenapa Islam-nya Pak Khairuddin itu beda, gak ada.

Berkurang 1 bintang lagi.

Ketidakpuasan ketiga, kok gaya penulisannya putus-putus stakkato ya..bikin nafas pendek dan jantung berdetak lebih cepat.Spt hal 220:
-Memasuki bulan Oktober, kehamilan Maryam sudah berusia empat bulan.
-Perutnya makin bulat.
-Makin jarang pergi ke mana-mana.
-Ramadan jatuh pada bulan ini.
-Permintaan susu kuda dan madu meningkat.
-Untuk persediaan selama bulan puasa dan persiapan Lebaran.
See what I mean? Ini seperti bullet points di presentasi kolega di kantor. Padahal itu paragraph sebuah prosa.

Kalau gaya ini dipakai utk bagian rusuh yg tegang ya cocok, tapi kalau utk adegan biasa2 aja dibikin gini juga, jadi tegang terus..jadi cape..rasanya spt mau masuk pintu tol, yg ada gundukan-gundukan kecil dalam interval begitu dekat. Sehingga gak ada yg bisa menikmati lajunya mobil..tegang dan terganggu.

Entah mungkin krn Okky lagi eksperimen..tapi ini membuat saya mengurangi 1 bintang lagi..

Saya juga notice kalau dialog tuh minim banget, jadi nih novel 80% ‘tell’ instead of ‘show’. Satu hal yg beda banget dg novel2 sebelumnya. Well..mungkin ini taktik Okky menutupi ketidaktahuanya akan Bahasa Sasak. Padahal ini juga kekuatan Okky, dialog yg membumi. Wkt baca Entrok tuh saya merasa bener2 ada di pasar, nguping wong Jowo berceloteh, krn dialog2nya begitu Jowo dan lugas. Di Maryam dialognya dikiiiitt banget.

No, no, no…saya gak kurangin lagi bintangnya. Gak tega cuma ngasih 1 bintang. Biar gimana pun Okky adalah my favorite writer. Punya potensi tak terbatas, terutama krn latarnya yg jurnalis. Dia banyak tahu yg kita tidak tahu, dan pengen banget saya ketahui. Banyak penulis besar emang latarnya jurnalis, spt Gabriel Garcia Marquez, atau Ben Okri. Mereka yg emang tiap hari di lapangan dan liat kehidupan, plus punya kemampuan menulis. Jadi saya masih kepengen beli buku2 Okky berikutnya.

Ngomong-ngomong..taruh di mana tuh CD-nya ya…pfft…
Profile Image for Yoyovochka.
308 reviews7 followers
January 11, 2023
Jelas kukasih lima karena buku-bukunya bu Okky adalah favoritku selalu. Kali ini kita diajak untuk menyelami karakter tokoh Maryam, perempuan yang terlahir di keluarga dan komunitas Ahmadiyah sekaligus penganut Ahmadiyah. Ini topik sensitif banget, ya, tapi melalui buku ini aku disadarkan betapa banyaknya kasus intoleransi di Indonesia. Satu kaum yang mayoritas dan merasa benar sudah bisa ditebak akan menggencet habis kaum yang minoritas dan dianggap sesat. Mungkin pernyataanku ini kelewat terus terang, tapi jujur aku nggak habis pikir, bisakah orang-orang berhenti mengurusi urusan orang lain. Memang, sih, sekarang lagi musim ya kalimat 'cuma sekadar mengingatkan, cuma sekadar memberi tahu'. Padahal, kalimat begini udah masuk ranah mencampuri urusan orang lain. Tujuannya baik, tapi kadang caranya brutal dan menyinggung. Ini aku lihat di dalam buku Maryam dan sedih rasanya melihat Indonesia yang seharusnya majemuk jadi begini. Memang sih mungkin sesat, tapi....
ah sudahlah...susah rasanya bercerita, pasti aku juga dianggap sesat nantinya wkwkwk
Profile Image for Adham Fusama.
Author 9 books72 followers
May 28, 2015
Surprisingly so-so. Okky (atau penerbitnya) terkesan cari aman--kalau tidak mau dibilang takut-takut--dalam mengangkat kisah tentang Ahmadiyah. Hmmm ... mungkin memang masih tabu, ya, di Indonesia. Oh, well.
Profile Image for Nabila Budayana.
Author 7 books80 followers
January 24, 2016
Gaya berkisah Okky Madasari di mata saya selalu sama. Ia seperti kereta cepat. Terlalu "angkuh" untuk menunggu keterlambatan, selalu bergerak segera tanpa bermain lama-lama dengan rasa dan estetika, meski tak sepenuhnya meninggalkannya. Kemanfaatannya tak bisa diabaikan, enggan terbang tinggi menuju angkasa seperti pesawat, justru mengakar dan menapak bumi seutuhnya. Enggan berbohong tentang angan-angan, ia memilih untuk merasa dan mengikat diri dengan realitas.

Maryam mengandalkan isu dan kritik tentang bagaimana manusia begitu rapuh dengan segala superioritas, tanpa ingin mendengar dan memahami pilihan hidup orang lain. Berlindung di balik tameng keimanan dan kepercayaan, perbuatan yang tak berperikemanusiaan justru dengan mudahnya ditampilkan.

Sepanjang kisah ini, penulis berjalan dalam relnya, tetap menyuarakan fiksi dengan setia, tanpa tendensi ingin menghakimi. Namun, sama seperti kereta cepat, terkadang saya ingin sejenak beristirahat di salah satu pemberhentian, mengobrol basa-basi dengan penjual jajanan, mengamati birunya langit dan merasakan hilir mudik calon penumpang. Kemudian melanjutkan perjalanan dengan merasakan bahwa keindahan selalu bisa didapatkan dari hal-hal kecil yang lambat berjalan, namun dalam menyentuh.
Profile Image for Imas.
515 reviews1 follower
July 16, 2020
Tak sabar ingin membaca buku ini. Melalui buku 86, Okky Madasari telah memikat saya sebelumnya. Begitu melihat buku ini sudah tersedia di toko buku, walaupun agak mahal (hmmmm), buku ini harus langsung dibawa kekasir.

Hanya sehari setelah dibeli, buku ini sudah selesai dibaca dalam 1/2 hari, meski diselingi aktivitas ini dan itu. Okky berkisah tentang perbedaan keimanan, kekerasan terhadap perbedaan, cinta dan pemerintah yang tidak mampu melindungi dan membuat jalan keluar untuk rakyatnya. Saya percaya kekerasan bukanlah jalan keluar, kekerasan tidak layak untuk siapa pun yang berada dipihak yang saling berseberangan. Okky sekali lagi memikat saya.
Profile Image for Rizky.
1,067 reviews88 followers
February 14, 2014
Novel ke-2 penulis yang kubaca dan aku makin suka dengan gaya menulisnya, walau mengangkat isu sosial yang sedang marak di masyarakat, tapi penulis mampu menempatkan dirinya sebagai pencerita yang baik. Kali ini penulis ingin memberikan kita gambaran mengenai jemaah Ahmadiyah, yang pernah sangat marak di pemberitaan baik media cetak maupun elektronik.

Novel ini mengisahkan tentang Maryam, seorang wanita yang sejak lahir telah menjadi Ahmadiyah seperti kedua orangtuanya. Sejak kecil, Maryam tahu bahwa walaupun dia “Islam” tapi kepercayaan yang dianutnya berbeda dengan pemeluk Islam yang lain. Karena mereka punya masjid/musholla sendiri dan komunitas sendiri yang tidak mengizinkan mereka untuk beribadah bersama warga lain diluar komunitas mereka. Dan ini cukup membuat tekanan dari lingkungan, yang menganggap bahwa dia dan keluarganya “sesat”. Hingga ketika dia dewasa pun, tekanan itu pun makin terasa.

Maryam telah mendapatkan nasehat sejak awal untuk mencari pendamping hidup dari warga Ahmadiyah juga, gayung bersambut Maryam pun berkenalan dengan Gamal, sesama Ahmadiyah. Tapi ternyata suatu peristiwa membuat Gamal berubah, akhirnya kisah mereka pun tidak berlanjut. Kemudian, Maryam malah diuji bertemu dengan Alam, pria yang membuatnya jatuh cinta, pria yang bukan Ahmadiyah dan jelas-jelas ditentang keluarganya. Karena cinta yang terlalu besar kepada Alam, Maryam pun tidak menghiraukan nasehat orangtuanya untuk memutuskan hubungannya dengan Alam, malah niatnya untuk menikah semakin besar. Tanpa restu keluarganya, Maryam akhirnya menikah dengan Alam, dengan syarat Maryam tidak lagi menjadi “Ahmadiyah”.

Awalnya Maryam berpikir mertua dan keluarganya akan menerimanya dengan tulus, tapi ternyata tekanan demi tekanan masih terus menderanya dan Alam pun seakan tidak mau tahu menahu dan menyuruhnya untuk bersabar. Apalagi Alam dan Maryam belum juga dikaruniai calon buah hati, hal ini membuat ibu mertuanya makin menekannya. Hingga kesabaran Maryam pun habis, dia memutuskan untuk menggugat cerai Alam.

Maryam pun memutuskan kembali ke kampung halamannya, ke keluarganya. Namun, tidak seperti yang dibayangkannya, keluarganya telah terusir dari rumah dan kampungnya. Mereka pun harus kehilangan harta benda dan menjadi pengungsi. Dan hidup tidaklah lebih mudah ketika Maryam bertemu dengan keluarganya. Baru juga menikmati kebahagiaan, karena akhirnya Maryam bertemu dengan Umar, pria yang pernah dijodohkan dengannya, yang juga sesama Ahmadiyah, takdir pun berkata lain. Keluarganya pun harus mengalami pengusiran untuk kedua kalinya, dan ini jauh lebih parah, bahkan Maryam harus menerima kenyataan ayahnya tercinta pun harus berpulang ke Yang Maha Kuasa.

Bagaimana akhir kisah Maryam? Membaca kisah ini, sebagai pembaca aku larut dengan gambaran penulis mengenai permasalahan Ahmadiyah. Penulis tidak mengarahkan untuk suatu pembenaran/kesalahan mengenai isu ini, dia membiarkan pembaca untuk berimajinasi sendiri, karena memang itulah potret kehidupan sesungguhnya...
Profile Image for Darnia.
769 reviews113 followers
March 20, 2016
Ini kalo gw ngasih rating tinggi, gak dianggap berpihak sama Ahmadiyah kan ya? Enggak? Alhamdulillah, terima kasih :) *cari aman mode: on*

Di luar topik yg diangkat oleh Okky Madasari kali ini, gw suka dengan tulisannya. Buku-buku Okky yg bisa diselesaikan dengan sekali duduk ini selalu dan selalu membawa permasalahan yg kompleks. Gw suka dengan rasa frustasi, kemarahan, ketidakdilan yg sangat terasa di buku ini, silih berganti dengan kebahagiaan dan harapan. Awalnya gw agak skeptis, kok bawa-bawa Ahmadiyah...ini bakalan susah bikin komen yg fair (takutnya ada yg lagi mikir cetek iseng: elu suka buku ini, elu (pro) Ahmadiyah!) *wadeziiigg!!! ....abaikan ke-su'udzonan gw*
Atmosfir yg dibangun Okky (yg bikin emosi gw naik turun gini) mulai dari kisah Maryam yg nekat menikah dengan lelaki di luar Ahmadiyah, kemudian mendapatkan pertentangan dari mana-mana, lalu pelan-pelan kembali menata hidupnya untuk dihempaskan lagi pada keterpurukan.... hedeh...Senin-Kamis dah gudang emosi gw.

Sekali lagi di luar permasalahan Ahmadiyah (yg sampai sekarang sepertinya masih belum ada solusinya *info by seorang teman yg asli Lombok non-Ahmadiyah dan gak pro juga*), kisah Maryam buat gw sangat menarik, dimana diceritakan oleh Okky dengan pace yg sangat cepat. Layaknya mbak Okky ini selalu diganjar KLA. Gw acungi empat jempol untuk keberanian mengangkat topik ini *peace, love and gawl*

*cari aman mode: off*
Profile Image for Bernard Batubara.
Author 26 books818 followers
July 13, 2013
Selesai membaca "Maryam" novel Okky Madasari, yang memenangi KLA 2012. Maryam berkisah tentang pengusiran kaum Ahmadiyah dari tempat tinggal mereka sendiri. Perjuangan Maryam sebagai salah seorang anak keturunan Ahmadi hanya terkisahkan di bagian mendekati akhir novel, sayangnya. Namun konflik-konflik lain (cinta, pernikahan, perjodohan) yang berputar pada isu keyakinan tetap layak diperhatikan dan diikuti. Okky melaporkan dengan baik bagaimana kaum minoritas di Indonesia dihakimi dengan cara tidak menyenangkan oleh mayoritas. Dan betapa wewenang terbesar yang dipegang oleh negara ternyata tidak memberi pengaruh apa-apa terhadap kehidupan mereka yang semakin terhimpit dan tertekan.
Profile Image for Tanti.
83 reviews
August 11, 2016
Bagi saya, buku yang bagus adalah buku yang membuat saya ikut merasa terlibat dengan peristiwa-peristiwa di dalamnya dan meninggalkan kesan mendalam setelah selesai membacanya. Sayangnya penceritaan di buku ini begitu datar, sehingga lebih terasa seperti membaca laporan.
Profile Image for Hib.
45 reviews6 followers
July 21, 2023
Gegerung NTB 2006, ketika sekelompok Ahmadi diusir dari rumahnya sendiri, terlantar di tanahnya sendiri. Berdasarkan peristiwa inilah buku ini berkisah. Cerita yang menarik sekaligus sensitif untuk dibahas. Tentang kelompok aliran Ahmadi yang dianggap sesat dan diskriminasi hingga serangkaian kekerasan yang dialaminya. Namun sayang, tidak banyak penjelasan tentang apa itu Ahmadi? Apa perbedaan Ahmadi dan non-Ahmadi? Dan mengapa Ahmadi selalu dicap dengan kata "sesat". Karena tentu pembaca buku ini ingin ikut merasakan apa yang dialami oleh sosok Maryam, namun menjadi kurang maksimal karena minimnya penjelasan tadi.

Kalau dirunut, buku ini menceritakan sosok Maryam yang ingin "berontak" dari tradisi yang dipeluk orang tuanya sebagai pengikut Ahmadi. Demi cinta, Maryam rela meninggalkan keluarganya. Jujur saja ada beberapa hal yang relate sama aku hahaha. Lahir dan tumbuh dari keluarga yang sangat kental akan tradisi, mengharuskan memilih pasangan dengan latar belakang yang sama. Kalau versiku begini "harus Jawa dan NU" (gapapa kan ya kalo disebut frontal gini?). Generasiku dan Maryam tentu jauh berbeda, namun nyatanya tradisi ini masih tersimpan rapi tak lekang waktu. Gapapa ya jadi curhat hahaha.

Membaca buku ini sampai akhir berharap di lembar-lembar terakhir ada penyeimbang yang dari pihak yang berseberangan, namun ternyata nihil. Rentetan kekerasan yang tiada habisnya dialami kelompok Ahmadi, mulai dari pengusiran dari rumah hingga peristiwa Gegerung tahun 2006 yang menyisakan pedih. Awalnya saya mengira Maryam dan Umar sebagai generasi muda bisa mengubah takdir ini. Namun lagi-lagi nihil. Hingga akhir buku ini tidak ditemukan penyelesaian yang signifikan. Asumsinya karena kejadian serupa seperti ini tidak berhenti di peristiwa itu saja, tapi masih terus berlanjut sampai sekarang. Tak hanya di Lombok, tapi juga di berbagai penjuru Nusantara. Mirisnya lagi, buku ini pertama kali diterbitkan tahun 2012, dan ketika saya membaca buku ini di tahun 2023 lalu mencari tahu lebih lanjut bagaimana nasib pengungsi Ahmadiyah di Transito (berharap ending yang lebih memuaskan), justru saya menemukan kabar bahwa sampai detik ini (berita diupload Januari 2023), masih banyak orang mengungsi di sana. Tangis saya pecah membaca berita itu. Bayangkan, lebih dari 17 tahun???

Terlepas dari benar atau tidak sesatnya Ahmadiyah, tentu hal ini seharusnya tidak boleh terjadi. Terlepas dari fatwa MUI yang menganggap Ahmadiyah sesat, toh mereka juga manusia yang harus dipenuhi hak-haknya oleh negara. Bukankah dzolim bagi yang mengetahuinya tapi tidak berbuat apa-apa?
Profile Image for Matchanillaaa.
88 reviews2 followers
March 28, 2025
Maryam terlahir dari keluarga Ahmadiyah. Label sesat yang diberikan pada ajaran yang sudah diyakini sejak kecil membuat Maryam memberontak. Apalagi Ahmadiyah melarang ia menikahi laki-laki yang dicintainya, karena dia bukan seorang Ahmadi.
Karena merasa terkucilkan, Maryam memilih untuk kawin lari dan meninggalkan ajaran Ahmadi. Sayangnya setelah bertahun-tahun, rumah tangganya kandas. Akhirnya Maryam memilih untuk pulang ke kampung halaman.

Ketakutan untuk pulang ke kampung halaman nyatanya membawa Maryam pada fakta menyakitkan. Bahwa keluarganya telah hilang. Menurut kabar, mereka terusir paksa karena tragedi kericuhan pembubaran Ahmadiyah. Kini Maryam harus mencari keluarganya.

(⁠ ⁠◜⁠‿⁠◝⁠ ⁠)⁠♡

Sinopsis di atas itu baru bab 1 nya aja wkwkwk. Perjalanan Maryam masih panjaaaang. Bagaimana nanti ia bertemu keluarganya, membela ajaran Ahmadiyah demi kelompoknya, menentang diskriminasi kepercayaan, dan menuntut hak nya yang direnggut paksa oleh amukan warga.

Isu di buku ini sangaaaat sensitif. Sayangnya, di buku ini tidak dijelaskan Ahmadiyah itu apa, ajarannya gimana, ciri-ciri penganutnya gimana. Penulis hanya menggambarkan bahwa penganut Ahmadiyah adalah sekelompok orang-orang terusir dan terkucilkan tanpa menjelaskan ajaran apa yang membuat sesat. Jadi pembaca harus ngubek-ngubek sumber lain untuk tahu lebih dalam apa sih Ahmadiyah itu? Asalnya dari mana?

Karena tidak ada penjelasan lebih, maka membacanya juga harus hati-hati. Karena di buku ini rasanya agama Islam terlalu digambarkan anarkis dan kejam. Penulis terkesan ragu-ragu dan membuat sudut pandang orang-orang Ahmadi sebagai sekelompok yang perlu dikasihani.

Tapiiiii aku suka banget sama isu-isu sensitif yang bisa menambah insight. Tapi hanya untuk pengetahuan bukan untuk dipercaya yaa.

Note: Ngasih rating tinggi bukan berarti pro Ahmadiyah ya. Aku sangat berterimakasih karena berkat buku ini, aku mendapat pengetahuan baru.
Profile Image for htanzil.
379 reviews149 followers
December 4, 2012
Setelah tahun lalu masuk sebagai finalis 5 besar Khatulistiwa Literary Award akhirnya di tahun ini Okky Madasari penulis muda asal Magetan berhasil memenangkan anugerah Khatulistiwa Literary Award 2012 dengan novelnya yang berjudul Maryam.

Dewan Juri KLA 2012 memilih Maryam sebagai pemenang dengan pertimbangan sebagai berikut :

Novel ini berhasil mengangkat masalah kekerasan terhadap pengikut Ahmadiyah dari hiruk-pikuk berita media dan kontroversi di sekitarnya ke tingkat yang berbeda. Ia menjadi kritik terhadap penindasan yang dilakukan pihak yang kuat terhadap yang lemah atas nama agama

( Dewan Juri Khatulistiwa Literary Award 2012)

Dalam novel ketiganya ini Okky mengangkat kisah Maryam, seorang perempuan penganut Ahmadiyah asal Lombok dengan kisah cintanya termasuk diskriminasi dan penderitaan yang dialami keluarganya karena terusir dari kampung halamannya sendiri karena berbeda keyakinan

Di novel ini dikisahkan bagaimana sebenarnya pengikut Ahmadiyah yang diwakili oleh keluarga Maryam sebenarnya telah sejak lama berbaur dengan masyarakat, hidup berdampingan dengan kaum muslim lainnya tiba-tiba saja menjadi kaum yang terusir sehingga mereka harus meninggalkan rumah yang telah mereka miliki selama puluhan tahun.

Sejak kecil sebenarnya Maryam mulai menyadari bahwa ada sesuatu yang berbeda antara kepercayaan yang dianut keluarganya dengan kaum muslim umumnya. Ia menyadari bahwa kaumnya memiliki masjid sendiri dan pengajian sendiri yang secara rutin dilakukan oleh kaum Ahmadiyah.

Ketika beranjak dewasa Maryam semakin menyadari keeksklusifan kaumnya setelah ia menerima wejangan bahwa kelak ia harus menikah dengan sesama kaum Ahmadi. Awalnya hal itu bukan masalah bagi Maryam karena ia memang sedang menjalin hubungan dengan Gamal, yang juga penganut Ahmadi, sayangnya kisah cintanya kandas setelah kekasihnya ini berpindah keyakinan dan menyatakan bahwa segala sesuatu yang diyakini oleh keluarga mereka adalah sesat.

Putus dari Gamal tak membuat Maryam terpuruk, ia melanjutkan hidupnya, lulus sekolah ia bekerja di Jakarta dan memiliki karir yang cukup baik. Ia memiliki kekasih yang baru, Alam, yang bukan seorang Ahmadi. Hubungan ini tentu saja tidak direstui oleh kedua orang tuanya. Namun Maryam tidak peduli, ia memilih jalan hidupnya sendiri. Maryam meninggalkan keluarganya. Keluarga Alam sendiri tidak keberatan kalau anaknya menikah dengan Maryam dengan syarat Maryam bersedia menginggalkan keyakinannya.

Maryam akhirnya memilih meninggalkan keyakinannya agar dapat menikah dengan Alam, sayangnya pernikahan ini tidak berjalan mulus. Maryam yang tidak kunjung memiliki anak sering dikait-kaitkan oleh mertuanya yang meganggap itu adalah hukuman akibat kepercayaan yang pernah dianutnya. Maryam akhirnya tidak tahan dan memilih bercerai dan kembali kepada orang tuanya di Lombok.

Sayangnya setiba di kampung halamannya, ia tidak menemukan dimana keluarganya berada karena keluarganya telah diusir oleh penduduk setempat karena keyakinan yang dianutnya. Dimana keluaganya berada? Dengan disertai rasa bersalahnya karena selama ini ia telah meninggalkan keluarganya Maryam bertekad untuk mencari dimana keluarganya berada.

Novel ini merupakan karya ketiga dari Oky Madasari setelah Entrok dan 86. Seperti kedua novel sebelumnya novel ketiga ini mengangkat realitas sosial yang hidup di masyarakat kecil yang tertindas. Dalam Maryam Okky dengan berani mengangkat tema sensitif tentang perbedaan keyakinan yang beberapa tahun belakangan ini menjadi sorotan pemberitaan media yaitu soal kekerasan yang menimpa kaum Ahmadiya.

Untuk menguatkan kisahnya kabarnya penulis melakukan riset mendalam selama 6 bulan di Lombok termasuk mendatangi lokasi pengungsian kaum Ahmadiyah di Gedung Transito dan wawancara dengan orang-orang Ahmadi yang rumahnya dirusak massa.

Berdasarkan risetnya inilah Okky berhasil menulis novel Maryam plus CD yang berisi lagu-lagu karyanya sendiri. Karenanya tak heran novel ini tampak begitu membumi, ditulis dengan kalimat-kalimat sederhana tanpa harus kehilangan esensi dari apa yang hendak diangkat penulisnya. Okky juga berhasil mengetengahkan karakter dan perasaan Maryam secara kuat melalui kisah cintanya, pengorbanannya, dan konflik yang dihadapinya karena perbedaan keyakinan. Sayangnya Okky tampak kurang mendramatisir beberapa peristiwa yang sesungguhnya bisa membuat novel ini lebih dramatik lagi sehingga dapat meninggalkan kesan yang lebih mendalam lagi bagi pembacanya.

Novel ini tidak menjelaskan apa itu Ahmadiyah dengan ajarannya namun ia mengangkat sisi manusiawi dari kaum Ahmadiyah yang meruapakan salah satu kaum yang terpinggirkan dan kerap mengalami aniaya baik secara sosial maupun fisik. Novel yang dibungkus dalam kisah personal tentang cinta dan hubungan Maryam dengan keluarganya ini membuka mata hati kita tentang mereka yang terusir karena iman di negeri yang memiliki lambang burung Garuda yang gagah yang sedang mencengkram semboyan "Bhineka Tunggal Ika"

Sumbangan terbesar novel ini pada kita semua adalah bagaimana melalui novel ini kita dapat melihat sisi manusiawi kaum Ahmadiyah dari sudut pandang para Ahmadi yang walaupun dikucilkan, bahkan dianiaya sedemikian rupa namun mereka tetap memegang teguh kepercayaan mereka.Dengan bijak Okky tidak menyimpulkan benar atau salahnya ajaran ini, novel ini juga bukan novel pembelaan terhadap kaum Ahmadiyah melainkan novel yang yang membuat pembacanya melihat sisi lain dari apa yang sering kita baca dan saksikan di berbagai media tentang Ahmadiyah.

Melalui novel ini Okky seakan hendak menyuarakan kaum yang selama ini tidak mampu bersuara karena dianggap sesat sehingga keadilan bukan hak mereka. Bukan menyuarakan ajaran mereka melainkan menyuarakan ketidakadilan dan derita dari mereka yang tertindas . Tidak hanya bagi kaum ahmadiyah melainkan bagi mereka yang tersisihkan karena perbedaan keyakinan.

Sebagai sebuah novel yang mengangkat tema ketidakadilan novel ini ditutup dengan sebuah surat permohonan yang menggugah yang ditulis Maryam untuk para penguasa



"Kami hanya ingin bisa pulang dan segera tinggal di rumah kami sendiri. Hidup aman. Tak ada lagi yang menyerang. Biarlah yang dulu kami lupakan. Tak ada dendam pada orang-orang yang pernah mengusir dan menyakiti kami. Yang penting bagi kami, hari-hari ke depan kami bisa hidup aman dan tenteram. Kami hanya mohon keadilan. Sampai kapan kami harus menunggu?"

(hlm 274-275)


@htanzil
Profile Image for Qunny.
195 reviews9 followers
May 26, 2020
Endingnya anti-klimaks. Gak bisa kasih rating yang maksimal, but setidaknya, Okky Madasari bisa membuat saya penasaran sampai halaman terakhir untuk kisahnya.
Profile Image for Pauline Destinugrainy.
Author 1 book265 followers
January 10, 2014
Tadinya saya ingin membaca karya Okky Madasari secara berurutan sesuai waktu terbitnya. Jadi setelah saya membaca Entrok, seharusnya saya membaca 86. Tetapi Maryam lebih menggoda untuk dibaca duluan. Tidak mengapa. Lagipula novel 86 sudah ada jatah waktunya untuk dibaca nanti. Dan saya sedikit menyesal sudah menyimpan buku bagus ini sekian lama.

Maryam adalah seorang wanita Lombok yang menganut kepercayaan Ahmadiyah. Dia tidak memilih menjadi Ahmadiyah, sebagaimana lazimnya banyak anak-anak hanya mengikuti apa yang dipercayai oleh orang tuanya. Maryam tumbuh dalam didikan sebagai seorang Ahmadi, mengikuti pengajian rutin, bahkan hingga saat dia kuliah di Surabaya dia masih rajin beribadah. Kedua orang tuanya berharap besar pada anak perempuan pertama ini.

Oleh keluarganya, Maryam dijodohkan dengan seorang pemuda Ahmadi bernama Gamal. Awalnya upaya perjodohan berjalan lancar. Namun keduanya ingin menyelesaikan kuliah terlebih dahulu. Selang beberapa waktu berlalu, Gamal mulai berubah. Hal ini terjadi sejak kepergiannya ke Batam untuk penelitan. Gamal tidak lagi mau ikut pengajian, bahkan mengatakan bahwa Ahamadi itu sesat. Sebenarnya semua warga penganut Ahmadiyah sudah akrab dengan sebutan sesat itu. Hanya saja, selama mereka masih hidup rukun dengan tetangga, mereka tidak mempermasalahkannya.

Maryam kecewa dan patah hati. Cintanya pada Gamal runtuh. Maryam pun menutup hatinya hingga seorang pemuda bernama Amal datang. Amal bukanlah seorang Ahmadi, tapi dia mencintai Maryam sepenuhnya. Keluarga Maryam menolak menikahkan Maryam dengan Amal apabila Amal tidak berpindah keyakinan. Keluarga Amal pun berpendapat demikian. Maryam yang mulai meragukan imannya akhirnya memilih meninggalkan keluarganya untuk menikah dengan Amal, termasuk meninggalkan kepercayaannya sebagai seorang Ahmadi. Kisah cinta Maryam bukanlah topik utama dalam buku ini. Itu hanya salah satu cerita dari sekian banyak peristiwa yang dialami Maryam. Ketika rumah tangganya tidak bisa dipertahankan, Maryam memilih kembali ke desanya. Di sana dia mendapati kenyataan bahwa keluarganya telah diusir dari kampungnya karena dianggap sesat.

Okky Madasari kembali mengangkat realita sosial dari masyarakat minoritas. Tidak ada ajaran Ahmadiyah dalam buku ini. Saya sendiri tidak begitu paham dan peduli dengan kepercayaan itu. Yang menjadi pusat perhatian dalam buku ini adalah bagaimana suara-suara minoritas seringkali tidak didengarkan (dan saya memahami betul bagian itu). Seringkali hukum tidak berlaku jika berhadapan dengan sekelompok masyarakat yang berjumlah besar mengatas namakan keadilan dan berlaku seperti preman. Lewat buku ini sekali lagi saya belajar, sebagai manusia saya tidak punya hak untuk menghakimi sesama manusia.
Profile Image for Zalila Isa.
Author 13 books52 followers
January 15, 2019
Setelah membaca hampir semua karyanya (siri Mata belum selesai), novel Maryam ini adalah novel yang paling sukar saya habiskan kerana ia menuntut kefahaman menyeluruh mengenai Ahmadiyyah yang dibicarakan sebagai ajaran sesat dalam novel ini.

Namun, kekuatan Okky sebagai pencerita yang baik menjadikan cerita lancar tanpa perlu mengganggu pemikiran pembaca. Ia berjaya sebagai sebuah cerita, bukan propaganda.
Walaupun cerita tidak ditamatkan (saya percaya ia sengaja dilakukan dan memang tidak semua cerita punya penamat), tetap ia sebuah novel yang enak dinikmati.

Membawa kesedaran kepada diri, hakikat hidup ini apa sebenarnya? Beragama, bagaimana tingkah lakunya.

Ia bermula dengan watak Maryam yang sejak lahir sudah mewarisi 'Ahmadi' daripada kedua ibu bapanya. Maryam tertanya-tanya, meragui, malah melanggar batas Ahmadiyyah dengan berkahwin dengan 'orang luar'. Bagi Maryam, paling utama ialah beragama seperti orang lain dan 'fahaman' itu tidak mengapa apa sahaja asalkan keharmonian masyarakat terjaga.

Nyata Maryam silap. Masyarakat terlalu 'menggaduhi' kefahaman berbanding menjalani hidup beragama dengan sebaiknya.

Ranjau kehidupan Maryam bermula apabila perkahwinannya dengan Alam tidak direstui kedua ibu bapanya, juga ibu bapa Alam. Mereka berpisah.

Maryam jadi berantakan dalam jiwa sehingga meninggalkan semua yang ada di Jakarta lalu kembali ke kota kelahirannya. Namun, apa yang dihadapi selepas itu lebih mencabar dan menduga.

Selain kisah ranjau Maryam, saya suka bagaima Okky meredakan sedikit perasaan pembaca dengan pertemuan Maryam dan Umar dan kisah kembara bulan madu mereka di daerah-daerah terpencil sekitar kota Lombok. Ia membuatkan saya mahu ke sana, merasai sendiri indahnya tempat-tempat yang Maryam jejaki.

Senangnya membaca novel ini, kerana Okky tidak meletakkan kebenaran atau merendahkan mana-mana agama atau kefahaman kerana bukan itu tujuannya.

Akhirnya, memang tepat watak utama diberi kepada Maryam. Seorang perempuan, berusaha sehabis baik untuk keamanan menurut kebijaksanaan dan kudratnya yang sedia ada menghadapi dunia dengan segala pegangan dan haluan setiap orang.

Profile Image for Nana.
405 reviews27 followers
February 13, 2014
Ceritanya kentang alias kena tanggung *nyomot istilah temen*

Bukannya saya berharap Okky Madasari akan memberi vonis Ahmadiyah salah atau benar, karena menurut saya agama itu benar dan tidaknya cuma Tuhan yang tahu. Buat kita manusia ya tinggal pilih apa yang kita imani dan jalankan iman itu sebaik-baiknya. Bahkan pemeluk agama yang sekarang diakui pun dulu bukannya nggak pernah dianiaya kan? Pernah dibilang sesat kan?

Masalahnya ada di cara penyampaian ceritanya yang membosankan. Kebanyakan kalimat tak langsung, sedikit percakapan. Sepertinya pembaca disetir untuk memahami para tokoh dari versi Okky Madasari, bukannya perlahan-lahan mengenal dan jatuh cinta pada tokoh-tokohnya karena membaca interaksi mereka satu sama lain dan menyelami jalan pikiran masing-masing. Akhirnya, bukannya simpati, saya malah sebal dengan para pemeluk Ahmadiyah yang saya nilai memeluk agamanya secara buta tanpa mengerti esensi ajaran tersebut. Lebih berat ke ritual dan tradisi ketimbang menyelami dan meresapi ajaran agamanya. Eksklusivitas mereka juga buat saya menyebalkan. Dan Maryam.. dia adalah tokoh paling menyebalkan karena ketidakjelasan sikapnya terhadap keluarga dan agamanya ini. Memang sih saya nggak setuju juga dengan pengusiran pemeluk Ahmadiyah dari tempat tinggal mereka (yang padahal sudah diisolasi dari pemukiman lainnya), tapi buku ini malah membuat saya bete sendiri dengan sikap mereka. Pengen bilang "lha situ yang nggak smart" tapi kok kesannya saya sombong banget.. Saya kan nggak pernah berada di sisi mereka..

Terakhir, itu di cover... Tangan si Maryam lagi dipegang sama siapa ya? Kalau diperhatikan kok ada 3 tangan? Dua memegang rumah, satu lagi memegang tangan lainnya.

Nah, sekarang gimana cara memperhalus review untuk masuk di blog yaa?




Profile Image for Nur Fatin Atiqah.
Author 1 book42 followers
March 14, 2013
Jika dipandang dari sudut nilai-nilai sastera, buku Okky ini indah.

Jika dipandang dari sudut nilai-nilai kemanusiaan, buku Okky ini perlu.

Namun, jika dipandang dari sudut agama Islam yang lebih indah juga lebih perlu, buku ini harus dikendalikan dengan penuh berhati-hati, penuh iman, penuh pengamatan yang cermat dan teliti.

Bagi saya buku ini seharusnya kisah Maryam, bukan kisah Ahmadiyyah tetapi penekanan lebih menjurus ke arah golongan Ahmadi. Saya sering berfikir, apakah Okky ini juga orangnya Ahmadi? Kalau iya, maka patutlah buku ini ditulis olehnya.

Tetapi jika Okky bukan orang Ahmadi, haruslah dia menjelaskan sebab-sebab kenapa dia perlu menulis karya sebegini? Adakah ingin membenarkan pegangan orang Ahmadi, atau akhirnya dia cuma mahu membuka mata masyarakat supaya mengembalikan semula nilai-nilai moral terhadap sesama manusia?

Inilah antara persoalan-persoalan yang ingin saya bangkitkan. Bagi saya buku Maryam bisa membangkitkan kontroversi dan provokasi. Buku ini juga mampu membuatkan orang-orang keliru, sehingga boleh menyoal kembali benarkah pegangan Ahmadiyyah ini? Jawapannya walau sudah cukup jelas tetapi gaya penceritaan Maryam ini seolah-olah menyoal kita kembali, benarkah tanggapan kita bahawa Ahmadi ini sesat?

Justeru saya tekankan sekali lagi, buku sebegini perlu dikendalikan dengan penuh iman serta pengamatan yang cermat dan teliti. Tanpa ini semua, akidah Islam sebenar bisa tergadai. Mungkin di Malaysia, buku sebegini tidak memberi kesan yang besar, tapi saya khuatir bagaimana saudara-saudara saya di Indonesia sana? Semoga akhirnya kita terus bisa berada di bawah rahmat dan hidayah Allah. Aamiin.
Profile Image for Willy Akhdes.
Author 1 book17 followers
August 3, 2016
Orisinalitas novel ini memang pantas mendapatkan penghargaan prosa terbaik Khatulistiwa Literary Award 2013 yang mengantarkan Okky Madasari ke deretan penulis Indonesia papan atas. Mengangkat tema yang sangat sensitif, mengenai sikap intolerasi dalam kehidupan beragama. Maryam, tokoh sentral dalam cerita ini, adalah putri keluarga Ahmadi yang terusir karena iman dari tanah kelahirannya bersama keluarga dan orang-orang Ahmadi lainnya. Berlatar belakang di Lombok, novel ini dihadirkan dengan fakta-fakta realistis yang akurat, seperti beberapa kejadian pengusiran kaum Ahmadiyah di beberapa tempat memang benar-benar terjadi pada setting yang sama, juga Wisma Transito sebagai tempat penampungan pengungsi memang terjadi demikian. Sehingga faktor-faktor tersebut membuat setting dan penokohan cerita sangat kuat dan mendalam. Seolah-olah kita sedang membaca kisah nyata seorang yang diusir dari tanah kelahirannya. Dipastikan Okky melakukan riset yang rinci dan mendalam demi menulis novel ini. Sedikit yang agak kurang 'sreg' bagi saya adalah gaya narasi Okky yang serupa laporan jurnalistik, meski alur cerita berjalan dengan lancar, namun akan lebih indah lagi jika disuguhkan dengan gaya bahasa yang lebih 'nyastra'. Mungkin inni juga dipengaruhi latar belakang Okky yang merupakan seorang jurnalis profesional sebelum memutuskan menjadi penulis. Tapi secara keseluruhan ini adalah novel yang wajib dibaca bagi seluruh pecinta karya sastra Indonesia, terutama dengan keadaan masyarakat kita akhir-akhir ini yang semakin banyak diwarnai aksi-aksi intoleransi atas nama agama. Novel ini menggambarkan dengan apik bagaimana kehidupan intoleransi bisa menghancurkan kehidupan masyarakat.
Profile Image for Senseless.
2 reviews1 follower
April 3, 2012
This novel incredibly tells a story about how a woman fights and wins her own freewill within a man's world full of discrimination. Subtly, it describes that a woman -- and of course human being as whole -- can have multiple identities, or is forced to have ones. In this case, beside being a woman that is conditioned to accept his fate, Maryam is an Ahmadi, a member of Islamic sect considered a heresy by many mainstream Muslims, while also just a human being fighting to survive.
Through Maryam, I can see a story of Indonesian woman leading her community to try to live just a normal life. And through Maryam, I can understand how many Indonesians are still unwelcome to differences.
Okky is right not to plunge into a theological debate of who is wrong or who is right.
As a novel, Maryam is very entertaining and as a discourse, it is mind-provoking and challenging. I think Maryam is one of the best novels --if notthe best -- in years. Probably, it can only be compared to her two previous novels, Entrok and 86.
Okky's third novel strengthens his character as a "pure realist." While I don't know if she has created a new genre, I can't find a novel in the last several years that can be compared to her novels other than her owns.
Profile Image for Teguh.
Author 10 books335 followers
April 30, 2014
Gimana yaa mengomentarinya? Jujur saya masih terpesona dengan Entrok ketimbang Maryam ini. Meski buku ini beroleh penghargaan KLA.Tema tentang Ahmadiyah memang jarang digarap di fiksi, mungkin ini kelebihan dari buku ini. Selain aroma penentangan dari Maryam yang merasa menajdi minoritas yang dikucilkan. Tetapi selebihnya menurutku biasa saja...

Ketika membaca bahwa buku ini bercerita tentang Ahmadiyah, maka bayangan saya adalah posisi penulis yang lebih ke netral. Tetapi menurutku kenetralan Okky Madasari hanya ada di akhir-akhir, ketika Maryam dan kelompok ahmadiyah kembali terusir dari rumah mereka untuk kedua kali. Mereka mengatakan lebih kemanusiaan.

Sedang di awal-awal, Okky lebih memosisikan dirinya sebagai bagian dari orang ahmadiyah dengan paradigma bahwa mereka adalah benar dan orang yang menganggap mereka sesat adalah salah. Ehhmmm... aku kurang sepakat sih pada bagian ini.

Meski berbeda tema tetapi keberpihakan Pulang lebih netral dengan membela kemanusiaan. Bukan sekadar membela golongan...
Saya lebih menyukai Entrok!
Profile Image for Suzan Oktaria.
345 reviews29 followers
June 12, 2012
Novel ini berkisah tentang seorang perempuan penganut Ahmadiyah asal Lombok dengan berbagai konflik yang dialaminya, termasuk diskriminasi dan penderitaan akibat pengusiran dari kampung halamannya sendiri karena berbeda keyakinan.

Maryam menampilkan kehidupan personal seorang perempuan muda, mengangkat kisah cinta, keluarga, pertemanan dengan karakter, figur, konflik yang didapatkan dari kenyataan.

Maryam memang bukan novel tentang Ahmadiyah tetapi tentang korban diskriminasi, penindasan, mereka yang dirampas haknya. Maryam dan Ahmadiyah hanyalah salah satu contohnya. Banyak korban diskriminasi lainnya, mereka yang mengalami diskriminasi karena gender dan keyakinan.

Membaca Maryam seperti mengusik kembali simpati dan empati.
Profile Image for Dian Maya.
194 reviews12 followers
December 2, 2018
Maryam ini katanya perempuan cerdas. Lulus murni di perguruan tinggi negeri jurusan favorit. Modern. Karir gemilang. Kerja di bank BUMN. Tapi kok sikapnya jauh dari panutan ya? Masa main tinggal kantor tanpa pamit undur diri. Pergi begitu saja.
Di mana letak etikanya sebagai seorang profesional?

Belum lagi pas doi pulang kampung setelah pegang akte cerai beberapa hari, orangtuanya di kampung menyodorkan laki-laki untuk dijodohkan, doi manut saja hanya untuk membahagiakan oranhtuanya? Tidak ada proses perkenalan dulu? Bukankah seharusnya perceraian itu meninggalkan efek traumatis yang dahsyat? Perempuan dewasa mana yang bersikap seperti itu? Tidak habis pikir saya.
Profile Image for Ayu Prameswary.
Author 19 books65 followers
March 27, 2012
3.5
---------------
Siapalah kita manusia bisa menentukan suatu kepercayaan itu sesat atau tidak :)
Profile Image for Fahrul Khakim.
Author 9 books97 followers
October 28, 2013
Novel yang berani menguak kelamnya kebebasan beragama. Toleransi terasa mati. Gaya bercerita mengalir dan menggiring pembaca pada konflik yang menegangkan.
Profile Image for Ivan.
79 reviews26 followers
December 12, 2012
Januari 2011

Saya Maryam Hayati.

Ini surat ketiga yang saya kirim ke bapak. Semoga surat saya kali ini bisa mendapatkan tanggapan.

Hampir enam tahun keluarga dan saudara-saudara kami terpaksa tinggal di pengungsian, di Gedung Transito, Lombok. Selama itu kami berbagi ruangan dengan membuat kamar-kamar bersekat kain. Lebih dari dua ratus orang hidup bersama di situ.

Setiap hari kami memasak di dapur umum, yang sebenarnya juga tak layak disebut dapur. Hanya karena kami meletakkan kompor di situ dan memasak di situ setiap hari, tempat sempit di sebelahkamar mandi itu menjadi dapur. Setiap pagi kami mengatre untuk buang air besar, anak-anak yang mau sekolah mandi, dengan ember bersar berisi air.

Di pengungsian, beralas kain-kain sarung, anak-anak kamu lahir. Mereka hanya mengenal itulah rumahnya. Mereka yang sempat tinggal di rumah yang sebenarnya kini mungkin juga telah lupa mereka punya rumah sendiri, rumah yang sebenarnya. Di sini juga, para orangtua kami meninggal. Bahkan untuk menghibur di kampung halaman yang diwasiatkan saja kami tidak bisa.

Enam tahun bukan waktu yang singkat. Sudah terlalu lama kami bersabar, bertahan untuk tetap punya harapan. Benarkah sudah tidak ada lagi yang bisa kami harapkan di negeri ini?

Kami hanya ingin pulang. Ke rumah kami sendiri. Rumah yang kami belu dengan uang kami sendiri. Rumah yang berhasil kami miliki lagi dengan susah payah, setelah dulu pernah diusir dari kampung-kampung kami. Rumah itu masih ada disana. Sebagian ada yang hancur Bekas terbakar dimana-mana. Genteng dan tembok yang tak lagi utuh. Tapi tidak apa-apa. Kami mau menerimanya apa adanya. Kami akan memperbaiki sendiri, dengan uang dan tenaga kami sendiri. Kami hanya ingin bisa pulang dan segera tinggal di rumah kami sendiri. Hidup aman. Tak ada lagi yang menyerang. Biarlah yang dulu kami lupakan. Tak ada dendam pada orang-orang yang pernah mengusir dan menyakiti kami. Yang penting bagi kami, hari-hari ke depan kami bisa hidup aman dan tentram.

Bapak yang terhormat, kami tidak meminta lebih. Hanya minta dibantu agar bisa pulang ke rumah dan hidup aman. Kami tidak minta bantuan uang atau macam-macam. Kami hanya ingin hidup normal. Agar anak-anak kami juga bisa tumbuh normal, seperti anak-anak lainnya. Agar kelak kami juga bisa mati dengan tenang, di rumah kami sendiri.

Sekali lagi, Bapak, itu rumah kami. Kami beli dengan uang kami sendiri, kami punya surat-surat resmi. Kami tak pernah melakukan kejahatan, tak pernah mengganggu siapa-siapa. Adakah alasam yang bisa diterima akal, sehingga kami, lebih dari dua ratus orang, harus hidup di pengungsian seperti ini?

Kami mohon keadilan. Sampai kapan lagi kami harus menunggu?

Salam Hormat,
atas nama warga Gerugung yang diusir
Maryam Haryati


Itulah surat yang ditulis oleh Maryam, tokoh utama dalam novel ini yang menggambarkan penderitaaan warga pengungsi Ahmadiah yang ada di pengungian.

Novel ini secara garis besar menceritakan tentang Maryam. Seorang wanita yang dilahirkan dari keluarga Ahmadiah. Bagaimana kehidupan dilihat dari kaca mata seorang Ahmadiah.

Walau saya Islam dan menyadari bahwa Ahmadiah merupakan aliran yang dianggap "sesat" oleh sebagian masyarakat muslim. Disebabkan karena Ahmadiah mengakui bahwa nabi terakhirnya bukan Nabi Muhammad SAW. Tetapi saya akhirnya memahami segala cap, stereotip dan tuduhan sesat dan kafir itu semua berdampak secara tidak langsung kepada psikis dan kondisi anak-anak, wanita dan orang tua dari golongan Ahmadi.

Disinilah Okky membuat celah sebagai sumber cerita dari novel ini. Tema yang diangkat Okky memang tersebut jarang dalam belantika sastra Indonesia. Okky mengolahnya dengan bumbu dan racikan yang pas. Mungkin kurang dalam hal penjelasan apa itu Ahmadiah dan mengapa aliran itu berbeda dan dianggap sesat. Okky juga kurang dalam hal mengutip percakapan langsung antar tokoh dari novel ini. Seakan membaca novel ini seperti diceramahi karena kurangnya dialog antar tokoh.

Banyak kejadian yang diceritakan dalam novel ini dari keluarga Maryam. Bagaimana cerita keluarga tersebut mulai dari Maryam dan Fatimah adiknya lahir. Mereka sekolah. dan akhirnya Maryam melanjutkan kuliahnya di sebuah perguruan tinggi negeri di Surabaya. Bagaimana pertama kali orangtua mereka mencarikan jodoh sesama ahmadi untuk Maryam-- Gamal. Dan akhirnya kandas karena ternyata Gamal bertengkar dengan orang tuanya karena kepercayaannya. Setelah itu Maryam menemukan tambatan hati yang baru yaitu Alam. Alam merupakan rekan kerjanya di sebuah bank besar di Jakarta. Akhirnya Maryam nekat menikah dengan Alam yang bukan ahmadi dan kemudian meninggalkan orang tuanya. Setelah beberapa tahun pernikahan. Karena merasa tidak cocok dengan mertuanya. Maryam pisah dengan Alam. Mereka bercerai.

Sampai akhirnya maryam mengetahui kejadian pengusiran yang dilakukan oleh warga Gerupuk. Daerah asal Maryam. Kepada orang-orang ahmadi. Semua orang ahmadi di daerah itu dipaksa meninggalkan rumah mereka dan mengungsi ke Mataram.

"Rumah itu milik keluarga kami. Tanah itu warisan dari Kakek. Rumah itu dibangun dari keringat bapak saya. Bagaimana mungkin kalian semua bisa mengusir kami dari rumah kami sendiri?" Suara Maryam semakin keras. Tangannya menunjuk-nunjuk ke arah rumahnya berada, lalu menunjuk orang-orang itu.

"Kalian semua bukan manusia!"
"Yang sesat itu kalian, bukan kami!"
"Rumah itu milik kami. Kalian semua perampok!"


Nasib warga ahmadi setelah diusir tersebut akhirnya berhasil ditolong oleh Pak Zulkhair--pemimpin organisasi Ahmadiah di Lombok. Pak Zulkhair berhasil mencarikan lahan dan rumah murah untuk ditempati warga ahmadi tersebut. Sampai pada suatu hari kejadian pengusiran itu berulang ketika terdapat seorang uztad bukan ahmadi yang datang di kota tersebut. Penyerangan kedua ini menyebabkan beberapa orang terluka. Akhirnya warga ahmadi diungsikan lagi. Setelah beberapa bulan di pengungsian baru, Pak Kahairuddin dikabarkan tewas karena kecelakaan. Sontak berita itu membuat Maryam dan keluarganya sedih dan haru.

Sampai pada pemakaman Pak Khoiruddin di daerah asalnya Gerupuk. Kejadian bentrokan dan penolakan karena alasan warga yang sesat didak boleh dimakamkan di daerah tersebut masih mewarnai kedatangan Jenazah Pak Khoiruudin tersebut. Sampai akhirnya Maryam memutuskan utuk menguburnya di tempat lain.

"Siapa yang meninggal?" tayanya.
"Pak Khairuddin. Orang asli kampung ini," jawab Zulkhair.

"Tapi Pak Khairuddin bukan orang kampung ini lagi," kata Romat sang Kepala Desa.

Zulkhair tampak menahan diri. "Kalaupun bukan, tak ada masalah kan kalau mau dimakamkan di sini?"

"Warga tidak mengizinkan Pak Khairuddin dimakamkan di sini."

"Kenapa? Apa alasannya tidak mengizinkan?" Maryam berteriak dari kejauhan. Kini ia berjalan mendekat kerumunan laki-laki itu.

"Makam ini milik warga Gerupuk. Mereka bisa menentukan siapa yang boleh dimakamkan di sini dan siapa yang tidak" Jawab Rohmat. Suaranya tenang. Seolah yakin apa yang dikatakannya benar dan akan didengar.

"Kami juga warga Gerupuk!" Maryam kembali berteriak.
"Itu di sana masih ada rumah kami," katanya sambil menuntun ke arah jalan.

"Bapak dimakamkan di tempat lain saja," kata Maryam. Suaranya lemah. Ia mengalah, menyembunyikan rasa marah.


Saya Acungi Jempol untuk Okky Madasari.



3 reviews
November 19, 2013
Cerita yang diusung Okky Madasari di Novel ketiganya ini berhasil membuat saya hanyut dalam kisah perjuangan kaum minoritas dalam memperjuangkan haknya. Melalui kisah Maryam, Okky menggambarkan diskriminasi yang dialami kaum Ahmadi (penganut Ahmadiyah) dari berbagai aspek. Maryam adalah seorang perempuan modern, berparas cantik, cerdas, lulusan salah satu Universitas Negeri di Surabaya. Ia bekerja sebagai pegawai bank di Ibukota dengan penghasilan cukup besar.

Lahir di tengah keluarga Ahmadi yang taat membuat Maryam diharuskan menikah dengan sesama Ahmadi. Ia lelah bertahun-tahun berusaha menuruti kedua orangtuanya untuk menikah dengan orang dalam. Sampai pada suatu hari, Maryam tidak dapat mengendalikan emosi ketika mengenalkan Alam, kekasihnya. “Banyak laki-laki baik di kampung! Mereka yang dididik dan dibesarkan dengan cara yang sama akan menghargai dan mencintai dengan lebih baik dibanding orang-orang luar yang selalu merasa paling benar,” ujar ayah Maryam setelah mengetahui bahwa Alam bukan seorang Ahmadi.

Ayahnya memberi pilihan: menjadikan Alam seorang Ahmadi atau meninggalkannya. Kenyamanan, rasa cinta, takut kehilangan, dan keyakinan bahwa hal seperti ini tidak akan pernah datang lagi membuat Maryam bertekad melakukan segalanya demi Alam. Ia memilih menikah dan berjanji akan menanggalkan keyakinannya, termasuk memutus komunikasi dengan seluruh keluarganya.

Lima tahun berjalan, pernikahan keduanya karam. Maryam mengajukan perceraian ke pengadilan dan Alam melepaskannya begitu saja. Pengorbanan yang sudah dilakukan ternyata tidak membuat hidupnya seperti yang dibayangkan. Keluarga Alam sering mengungkit masa lalunya, bahkan Maryam dianggap sumber petaka yang menyebabkan rumah tangganya belum diberi keturunan karena pernah menganut keyakinan sesat.

Maryam kehilangan segalanya, hanya penyesalan yang tersisa dan ia ingin pulang. Saat kembali ke Gerupuk, sebuah kampung kecil di sudut Timur pesisir selatan Lombok, Ia terkejut mendapati rumahnya kosong dan tidak seorang pun dapat ia temui. Keluarganya sudah lama pindah dan tidak ada yang mengetahui dimana keluarganya tinggal. Melalui Jamal, mantan pegawai Pak Khoirudin, ayah Maryam, ia memperoleh informasi bahwa keluarganya diusir warga.

Saat itu terjadi kerusuhan besar di Lombok. Seluruh desa melakukan pembersihan iman. Mereka memerangi yang dianggap berbeda. Mereka melempar batu ke genteng, memecah jendela kaca, merusak pagar dengan parang dan cangkul, sampai membakar rumah penduduk yang dianggap menyimpang. Sampai akhirnya penghuninya memilih pergi meninggalkan apa yang dimiliki. Begitupun dengan keluarga Maryam. Lemparan batu dan teriakan para tetangga membuat ayah Maryam pergi meninggalkan rumah bersama ibu dan kedua adiknya.

Keluarga Maryam tinggal di pengungsian bersama jamaah Ahmadiyah lainnya. Mereka hidup bersama mengandalkan uang organisasi yang selama ini dikumpulkan. Selama tinggal di pengungsian, banyak perlakuan tidak menyenangkan yang diperoleh. Pak Zul, ketua organisasi Ahmadiyah bercerita kepada Maryam. Suatu hari, adiknya menangis karena memperoleh nilai 5 untuk pelajaran agama. Padahal, ia selalu memperoleh nilai 9. Saat pak Khoirudin mendatangi guru agama, ia beralasan bahwa sekolah tidak layak memberi nilai 9 untuk anak yang menganut aliran sesat.

Setahun, dua tahun berjalan. Tak ada bantuan datang dan tak ada upaya penyelesaian yang diberikan. Semua yang ditawarkan hanya bualan. Hingga suatu hari mereka mendapat kabar gembira bahwa kas organisasi yang terkumpul dapat digunakan untuk membeli tanah bagi 45 keluarga yang berada di pengungsian. Semua memiliki semangat baru untuk menata hidup kembali. Para laki-laki mulai mencari pekerjaan. Mereka memulainya dari nol dengan membangun rumah bersama-sama dan tinggal di sebuah kampung bernama Gegerung.

Sebagai kaum minoritas, mereka seolah terbiasa diperlakukan semena-mena. Mereka terusir dari rumah yang dibangun sendiri dengan uang yang dikumpulkan sendiri. Mereka meninggalkan apa yang dimiliki dan harus tinggal di pengungsian. Seluruh harta yang dimiliki sudah ditinggalkan. Hingga akhirnya hidup mereka kembali stabil. Maryam memutuskan untuk tetap tinggal dan meninggalkan pekerjaannya di Jakarta. Ia hanya ingin menebus kesalahannya dulu.

Kini Maryam tinggal bersama kedua orangtuanya. Mereka kembali meminta Maryam untuk menikah dengan orang dalam. Maryam pun menuruti kedua orangtuanya dan menikah dengan Umar, pengusaha yang juga lahir di tengah kerluarga Ahmadi. Tidak perlu waktu lama bagi Maryam untuk jatuh cinta, begitupun sebaliknya. Maryam menikmati perannya sebagai istri dan ikut membantu membesarkan usaha susu dan madu yang dijalankan suaminya.

Suatu hari Maryam mengadakan pengajian 4 bulan kehamilannya di Gegerung. Tiba-tiba mereka mendengar masyarakat mengucapkan kata “sesat, sesat, sesat,”. Kata-kata itu kembali diteriakkan masyarakat. Sesaat kemudian, masyarakat melempari batu dan seluruh rumah milik jamaah Ahmadi kembali dirusak. Tangisan ibu-ibu mulai terdengan, sebagian besar jamaah laki-laki mencoba melawan.

Di saat ketegangan memuncak, polisi datang melerai. Mereka meminta jamaah mengungsi sementara di sebuah gedung pertemuan. Mulanya jamaah menolak karena tidak ingin terusir kedua kalinya dari rumah yang dibangun di atas tanah milik mereka. Namun, masyarakat mengancam akan membakar hidup-hidup bersama rumah mereka. Tak ada pilihan, para jamaah mengalah.

Di pengungsian, para jamaah mengkhawatirkan rumah mereka. Polisi berkali-kali melarang para jamaah yang ingin kembali ke Gegerung, katanya demi menjaga keamanan, lagipula banyak polisi yang menjaga rumah mereka. Ternyata rumah mereka kembali dihancurkan, dibakar, dan barang-barang yang dimiliki dijarah masyarakat. Lantas, kemana polisi yang katanya menjaga rumah mereka? Ya, mereka tidak sedang mengungsi untuk sementara, namun benar-benar diusir dari rumah milik mereka sendiri.

Empat puluh lima keluarga, sekitar 230 orang tinggal di aula gedung tak bersekat. Mereka tidur beralaskan kain dengan dapur dan kamar mandi di ruangan yang sama. Sementara anak-anak berhenti bersekolah, para laki-laki berhenti bekerja. Bantuan kembali berdatangan dari organisasi dan sesekali dari pemerintah.

Maryam, Umar dan ketua organisasi mendatangi Gubernur. Mereka menanyakan nasib para jamaah yang berada di pengungsian. Lagi-lagi, hanya satu tawaran yang diberikan: mereka diminta menanggalkan keimanannya. Bukan persoalan keimanan yang harus ditanggalkan, namun akar permasalahan itu sendiri yang tak pernah diseleseikan.

“Bukankah kita memiliki hukum? Siapa yang mengganggu dan siapa yang diganggu?” ujar Maryam ketika menemui Gubernur. “Ini bukan soal pengusiran, namun soal bagaimana agar kita damai, tidak ada kekerasan. Mereka jumlahnya ribuan, sedangkan kalian hanya ratusan. Lebih mudah mana, mengungsikan kalian atau mereka?” ujar Gubernur. “Jadi, hanya karena mereka banyak, lalu kami yang harus mengalah?” jawab Maryam. Enam tahun tinggal di pengungsian dan keadaan masih sama.

Melalui Maryam, Okky menghadirkan sosok perempuan dari desa Gerupuk yang berpendidikan tinggi dan memiliki pola pikir modern. Ia mewakili masyarakat Ahmadi untuk menyuarakan hak-hak mereka sebagai warga negara Indonesia. Okky seakan memberi kritik sosial kepada pemerintah yang seringkali mengabaikan persoalan kaum minoritas.
Profile Image for Delasyahma.
242 reviews125 followers
February 27, 2018
Maryam, judul novel ini sendiri merupakan salah satu tokoh didalam cerita, menceritakan tentang orang-orang minoritas ditengah2 mayoritas. Maryam dan keluarganya harus rela meninggalkan rumah dimana mereka tinggal, diusir, karena tidak satu paham.

Buku ini, mengisahkan bagaimana pahit getirnya seorang manusia yang lahir di keluarga yang "berbeda" bagaimana akhirnya mereka membangun kembali rasa percaya akan keyakinan mereka. Bagaimana mereka bangkit diatas segala pilu yang mereka hadapi demi mempertahankan apa yg mereka anggap benar.

Oke, aku dibuat geleng2 kepala dengan tema dan isu yang diangkat dalam novel ini, aku selalu terkesan dengan tulisan Okky Madasari.

Maryam sendiri, menggunakan POV 1 yang diambil dari sudut pandang Maryam, yang sangat deskriptif dan membuat aku masuk kedalam cerita.

Tokoh2 yang juga cukup kuat, walaupun ada tokoh yang aku ingin lihat lagi kekuatan karakternya dan bagian ceritanya. Yaitu tokoh Alam.

Konflik yang dibangun jelas sangat bagus, diluar dari konteks agama, penulis menonjolkan sisi kemanusiaan dalam cerita. Bagaimana manusia seharusnya memanusiakan manusia lainnya.


Walaupun, masih ada sedikit rasa tidak puas untukku ketika penyelesaian konflik, balik lagi dari mana kita melihat sisi cerita. Dan setelah dipertimbangkan, sebenarnya cukup realistis.

Rate : 4/5🌟
Displaying 1 - 30 of 267 reviews

Can't find what you're looking for?

Get help and learn more about the design.