Goodreads Indonesia discussion
Buku & Membaca
>
Bredel lagi!!! John Roosa dibredel!!!
date
newest »

Sh***t! Itu Gedung Bundar isinya orang2 suapan semua yg ga ada otaknya.

Selasa, 09 September 2008
* * *
BUKU John ROOSA MAU DIPASUNG !
Jawabnya : "Hanya Satu Kata - LAWAN!"
Di bulan Ramadhan ini, -- bulan suci bagi umat Islam, ketika kepada
kaum Muslimin dan Muslimah dengan khidmat diserukan, agar sedapat
mungkin menjauhkan diri dari perbuatan dosa apapun, --- di saat
ketika diserukan agar memusatkan fikiran dan tindakan untuk sebanyak
mungkin berbuat amal, beribadah dan berbuat baik pada masyarakat,
--- N d i l a l a l a h ( untuk orang yang bukan Jawapun kiranya
juga mengerti kata 'ndilalah'- I.I.) . . . Justru pada saat seperti
ini, 'bak petir di siang hari bolong layaknya, datang berita bahwa
Kejaksaan Agung Republik Indonesia berrencana hendak memasung arus
informasi. Bikin dosa baru lagi! Quo vadis demokrasi di Indonesia?
Bagaimana pula nasib perkembangan Reformasi! Padahal setiap kali
pemimpin politik bicara pada periode menjelang pemilu, tidak luput
menyatakan kehendak menegakkan demokrasi dan Ham di Indonesia.
Rencana Kejaksaan Agung untuk menarik dari peredaran buku John Roosa
berjudul "Dalih Pembunuhan Massa. Gerakan 30 September dan Kudeta
Soeharto" dinilai sebagai bentuk kembalinya pemerintahan yang
represif. Sejarawan DR Asvi Warman Adam mengatakan buku itu
memberikan perspektif baru yang ilmiah, maka, "kalau ditarik berarti
pemerintahan yang represif berulang," (09/09).
Niat buruk Kejaksaan Agung RI melarang beredar buku John Roosa, bukan
saja semata-mata merupakan tantangan dan ancaman serta serangan
terhadap John Roosa pribadi. Tetapi terlebih lagi merupakan tantangan
dan ancaman serius terhadap hak-hak demokrasi, terhadap setiap
demokrat dan pencinta Ham Indonesia. Merupakan tantangan terhadap
oraganisasi dan parpol Indonesia yang menklaim membela dan
memperjuangan demokrasi. Tantangan tssb juga tertudju pada
Komnasham, LBHI, Elsam, Ikohi, YPKP, LPK, LPKROB, PWI dan AJI, PDIP,
PKB (Gus Dur), serta organiasi maupun parpol lainnya yang menyatakan
dirinya berdiri di fihak demokrasi. Rencana Kejaksaan Agung juga
merupakan tantangan dan ancaman terhadap kebebasan ekspresi
warganegara dan indvidu-individu pencita dan pejuang demokrasi
Indonesia, seperti Goenawan Mohammad, Jusuf Isak, Aswi Warman Adam,
Bonnie Triyana, Dita Sari, Budiman Sudjatmiko, Wilson, Koesalah Toer
dan banyak penggiat demokrasi dan Ham lainnya.
Kejaksaan Agung Republik Indonesia bermimpi hendak menyumbat telinga
dan mata rakyat Indonesia dari informasi ilmiah sekitar PERISTIWA
1965. Menghadapi situasi ini, tak ada sikap yang lebih tepat dan
lebih cocok selain memberlakukan seruan Widji Thukul, penyair pro
demokrasi dan HAM, yang 'hilang' pada zaman Orba. Widji Thukul
menyerukan:
HANYA ADA SATU KATA -- LAWAN!
* * *
Dr Robert Cribb dari Australian National University menyatakan bahwa
buku John Rosa tsb adalah suatu usaha cendekiawan untuk dengan serius
mempelajari bukti dan kesaksian mengenai kejadian yang begitu penting
di Indonesia.
Mengenai peranan Jendral Suharto dalam Peristiwa G30S, di salah satu
tulisannya di INSIDE INDONESIA, belum lama, John Roosa menyatakan
bahwa Suharto tidak merancangkan G30S, tetapi . . . < ' it played into
his hands perfectly>.' Dan mengenai pembantaian masal yang terjadi
sesudah itu, John Roosa menulis, bahwa tak ada satu dokumenpun yang
membuktikan bahwa Suharto memerintahkan pembunuhan tsb. . . . Suharto
menimpakan kesalahan pembunuhan-pembnuha n tsb pada orang-orang
sipil yang mengamuk. any killing. On the rare occasion when he mentioned the killings in
later years he blamed them on civilians running amok>.
Tetapi, tulis John Roosa lagi, investigasi serius terhadap masalah
siapa, dimana dan kapan serta apa yang terjadi sekitar pembunuhan
(masal) tsb, mengungkapkan bawah tentaralah yang pertama-tama
bertanggungjawab dan mestinya Suharto setidak-tidaknya menyetujuinya,
bila andaikata dia tidak secara tegas memberikan perintah tertulis
ataupun lisan. < Serious investigations into the who, where, when and
how questions about the killings reveal that the army was primarily
responsible and that Suharto must have at least approved of them if he
did not give an explicit oral or written order for them>.
Sedangkan sehubungan dengan perebutan kekuasaan dari Prsiden Sukarno,
John Roosa menulis a.l., bahwa aksi kup merangkak itu sendiri terjadi
dalam bulan Maret 1966, ketika Suharto menggunakan perintah Sukarno
yang dirumuskan secara samar-samar (yang dimaksudkan ialah Supersemar,
I.I.) tentang 'jaminan keamanan', sebagai justifikasi untuk menahan 15
menteri dan membubarkan kabinet Sukarno – Seolah-olah Presiden
memerintahkan penggulingannya sendiri gradual coup d'état came in March 1966 when Suharto used a vaguely
worded order from Sukarno about `guaranteeing security' as a
justification for arresting 15 ministers and dismissing Sukarno's
cabinet – as if the president ordered his own overthrow. John Roosa,
INSIDE INDONESIA, 2008>
Mengenai peranan tentara, tulis John Roosa, a.l . . . . dengan
bekerjasama dengan milisia, tentara mengorganisasi salah satu dari
pertumpahan darah yang paling buruk di abad Ke-XX, dengan menggiring
lebih dari sejuta rakyat dan kemudian secara rahasia mengeksekusi
banyak dari mereka itu. Yang ditahan menghilang pada malam hari.
Kuburan-kuburan masal berisi mayat yang tak terhitung jumlahnya
tersebar tanpa-tanda di mana-mana di Sumatra, Jawa dan Bali. with civilian militias, the army organised one of the worst bloodbaths
of the twentieth century, rounding up over one million people and then
secretly executing many of them. Detainees disappeared at night. Mass
graves holding uncounted corpses lie unmarked all over Sumatra, Java
and Bali>.
* * *
Kejaksaan Agung RI hakekatnya hendak melarang buku John Rosa,
mencegah isinya diketahui oleh pembaca yang tak menguasai bahasa
Inggris. Buku John Rosa yang asli bahasa Inggris itu , tidak
kedengaran pernah dilarang beredar di Indonesia (terbit 2006). Buku
yang ditulis cermat ilmiah, atas dasar riset dan studi serius dan
bertanggung jawab, berjudul: "DALIH PEMBUNUHAN MASSA GERAKAN 30
SEPTEMBER DAN KUDETA SUHARTO'. Diterbitkan oleh The University of
Wisconsin Press, 2006. Judul aslinya ialah "PRETEXT FOR A MASS
MURDER. The September 30th Movement & Suharto's Coup d'Etat In
Indonesia".
Kejaksan Agung RI bukan tidak faham bahwa apa yang hendak
dilakukannya adalah suatu PELANGGARAN terhadap UUD-RI. Melanggar hak
warganegara untuk dengan bebas memperoleh informasi.
* * *
Menjadi pertanyaan gawat yang menantikan jawaban segera, bagaimana
sikap Presiden SBY, terhadap rencana pemberangusan demokrasi oleh
Kejaksaan Agung RI. Pertanyaan ini mendesak untuk memperoleh jawaban
mengingat Presiden SBY adalah Presiden dewasa ini, yang mencalonkan
diri lagi untuk dipilih kembali (2009) menjadi presiden ke-6 Republik
Indonesia..
Bukankah dengan demikian rencana Kejaksaan Agung RI untuk memberangus
buku John Roosa, menjadilah juga tantangan terhadap hasrat SBY untuk
menegakkan demokrasi di Indonesia?
* * *
Itu akal-akalan siapa sih di dlm Kejakgung? Jangan2 cuma sekedar usaha nylametin muka krn borok2nya udah tersebar luas. Bikin distraction dgn larangan2 ga penting... Pathetic.
Gw duga --baru dugaan--ya ini semacam cari muka ke elite2 kita yg bagaimanapun tetap konservatif dan reaksioner (baca: orang2 Orba dan ga suka dg demokrasi sekarang). "Cing cay lah, gw terima duit sekian jangan diutak-utik lah, kepentingan2 lo jg bisa gw tindak lanjutin kok, misalnya bredel buku2 yg mengkritik sejarah Orba"
Siapa coba konstituen dari pelarangan ini? Ga ada kan? Bukunya ga bikin kisruh di masyarakat, kontroversi pun tidak. Ga pernah denger ada yg ngelaporin buku ini isinya fitnah atau apa. Jadi kok tiba2 ribut? Sama sekali ga jelas pelarangan ini..
Siapa coba konstituen dari pelarangan ini? Ga ada kan? Bukunya ga bikin kisruh di masyarakat, kontroversi pun tidak. Ga pernah denger ada yg ngelaporin buku ini isinya fitnah atau apa. Jadi kok tiba2 ribut? Sama sekali ga jelas pelarangan ini..
Iya, hahaha. Perasaan ga ada tuh yg demo2 atau protes2. Norak bgggt nih kejakgung. Setuju sama Mas Ronny, kalo kejadiannya kayak yg kamu sebut itu aku ga heran sama sekali. Ada rilis persnya nggak sih Mang? Kalo memang alasannya disebut pasti yg basi2 deh...
Beberapa komentar:
Kejaksaan memang memiliki wewenang untuk meneliti buku-buku yang beredar, ...
Hmm, apakah ini artinya Kejagung punya modal juga buat beli buku? Atau punya jaringan pembaca sendiri yg merekomendasi buku2 mana yang perlu dilarang? Lambat banget bacanya. Udah satu taun terbit soalnya baru dilarang. Justru bikin orang penasaran jadinya ...
Berbeda dengan buku tentang Irian Jaya yang bisa menimbulkan perpecahan, ...
Versi siapa? Versi Kejagung? Versi wartawan Tempo? Versi narasumbernya? Mana bukunya? Mana ulasannya? Udah nanya belon, orang Papua sendiri punya versi macam bagaimana? Jangan-jangan kayak yang tertuang di buku-buku yang dilarang itu?
"Pemerintah punya versinya sendiri, sah-sah saja kalau ada versi yang lain," katanya.
Itulah. Tindakan kayak begini justru mengundang orang berkesimpulan: versi pemerintah (sekarang) jangan dipercaya. Dipertandingkan secara akademis aja kagak berani. Bisanya cuma babat, haramkan.
Dasar %*#%^#$(@#!!!!
Kejaksaan memang memiliki wewenang untuk meneliti buku-buku yang beredar, ...
Hmm, apakah ini artinya Kejagung punya modal juga buat beli buku? Atau punya jaringan pembaca sendiri yg merekomendasi buku2 mana yang perlu dilarang? Lambat banget bacanya. Udah satu taun terbit soalnya baru dilarang. Justru bikin orang penasaran jadinya ...
Berbeda dengan buku tentang Irian Jaya yang bisa menimbulkan perpecahan, ...
Versi siapa? Versi Kejagung? Versi wartawan Tempo? Versi narasumbernya? Mana bukunya? Mana ulasannya? Udah nanya belon, orang Papua sendiri punya versi macam bagaimana? Jangan-jangan kayak yang tertuang di buku-buku yang dilarang itu?
"Pemerintah punya versinya sendiri, sah-sah saja kalau ada versi yang lain," katanya.
Itulah. Tindakan kayak begini justru mengundang orang berkesimpulan: versi pemerintah (sekarang) jangan dipercaya. Dipertandingkan secara akademis aja kagak berani. Bisanya cuma babat, haramkan.
Dasar %*#%^#$(@#!!!!

ya, lumayanlah buat naekin pamor nih buku lagi, bukannya malah bagus. jadi, otomatis orang penasaran n pengen tau bukunya. Minimal ga dapet bukunya (karena dibredel) tapi tau materi bukunya, dari info2 kaya gini ini.
Tapi yang jelas, pembredelan ini ga bener. Kalo didiemin, bakalan gini trus. Tiap ada buku yang kritis dihajar.
Maklum lah, kita memang sedang hidup di rezim yang paranoid, alias rezim parno.
Hanya ada satu kata - LAWAN
Ya sudah, lawan saja dengan memperbanyaknya..
hehe, jadi bagi yang sudah punya, ehm.. boleh dooong..
hehehe, setuju sama coki :D
lebih bagus lagi kalo di-pdf-in, lalu taro di situs torrent, atau di-rapidshare juga boleh hahaha ;) (lo kok keburu jauh mikirnya).
lebih bagus lagi kalo di-pdf-in, lalu taro di situs torrent, atau di-rapidshare juga boleh hahaha ;) (lo kok keburu jauh mikirnya).

Selasa, 09 September 2008 | 11:27 WIB
TEMPO Interaktif, Jakarta
Aqida Swamurti
Rencana Kejaksaan Agung menarik buku "Dalih Pembunuhan Massa Gerakan 30 September dan Kudeta Soeharto" karya John Roosa dinilai sebagai bentuk kembalinya pemerintahan yang represif. Sejarawan Asvi Warman Adam mengatakan buku itu memberikan perspektif baru yang ilmiah, "kalau ditarik berarti pemerintahan yang represif berulang," katanya saat dihubungi (09/09).
Asvi telah membaca maupun membahas buku ini dalam seminar-seminar sejak terjemahannya diterbitkan tahun ini. Menurutnya, buku ini menggunakan sumber-sumber yang dapat dipertanggungjawabkan, penulis mewawancarai pelaku dan korban peristiwa 30 September 1965. Buku dibuat dengan metode ilmiah sehingga dari segi ilmu sejarah bisa menjadi suatu model penelitian.
Kejaksaan memang memiliki wewenang untuk meneliti buku-buku yang beredar, namun buku ini tidak akan menimbulkan perpecahan atau gejolak di masyarakat. Berbeda dengan buku tentang Irian Jaya yang bisa menimbulkan perpecahan, sebaliknya buku ini bermanfaat bagi masyarakat luas.
Selama ini masyarakat hanya mendapat satu perspektif dari versi pemerintah. Tetapi dengan adanya buku ini masyarakat mendapatkan perspektif lain, bukan hanya soal siapa dalangnya tetapi bagaimana peristiwa itu dimanfaatkan untuk kepentingan politik rezim orde baru yang saat itu berkuasa. "Pemerintah punya versinya sendiri, sah-sah saja kalau ada versi yang lain," katanya.