Jump to ratings and reviews
Rate this book

Verhandelingen van het Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde #164

Keraton dan Kompeni: Surakarta dan Yogyakarta, 1830-1870

Rate this book
Pertengahan bada XIX adalah periode ketika eksploitasi kolonial menampakkan bentuknya yang paling eksplisit di Indonesia. Dua daerah semi-otonom, yakni Kesunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta, pun berada dalam cengkeraman kolonialisme tersebut. Secara terperinci, Houben menguraikan ekspansi, eksploitasi, dan intervensi Pemerintah Kolonial terhadap kedua wilayah itu. Tentang masa itu, Houben mencatat adanya suatu pergeseran, yakni dependensi militer keraton terhadap Pemerintah Kolonial menuju dependensi ekonomi. Di luar dimensi politik dan kekuasaan, di sini tersaji pula konfrontasi Timur-Barat, pergeseran dari zaman tradisional ke modern, dan suatu seting historis yang mendahului munculnya kaum intelektual perkotaan dengan nasionalismenya pada awal abad XX.

785 pages, Paperback

First published January 1, 1995

5 people are currently reading
97 people want to read

About the author

Ratings & Reviews

What do you think?
Rate this book

Friends & Following

Create a free account to discover what your friends think of this book!

Community Reviews

5 stars
8 (34%)
4 stars
7 (30%)
3 stars
7 (30%)
2 stars
1 (4%)
1 star
0 (0%)
Displaying 1 - 5 of 5 reviews
Profile Image for Nanto.
701 reviews102 followers
December 4, 2014
Awalnya saya tertarik dengan tarikh yang dicantumkan dalam judul buku ini, 1830-1870. Periode itu harusnya menjawab perubahan yang terjadi di Jawa pasca-Perang Diponegoro yang diulas oleh Carey dalam buku The Power of Prophecy: Prince Dipanagara and the End of an Old Order in Java, 1785-1855. Hasil skimming kemaren menunjukan Carey tidak terlalu banyak memberikan gambaran yang dikatakan olehnya bahwa Perang Diponegoro telah memberikan perubahan dalam struktur sosial politik dan perekonomian di Jawa. Melalui buku ini dari, sekali lagi, skimming di kiosnya barusan menyebutkan titik tekan perubahan sosial politik dan ekonomi yang dialami masyarakat dan penguasa lokal di Jawa usai Perang Diponegoro yang menguras kas Pemerintah Hindia Belanda.

Titik tekan pada persoalan perubahan sosial itu kiranya bisa disambungkan dengan gambaran perubahan yang disajikan oleh Takaishi Siraishi Zaman Bergerak Perubahan yang terjadi karena perubahan pada faktor-faktor produksi yang menjadi semangat zamannya.

Begitu? Toh ketiga buku ini belum tuntas saya baca. :D

Mengenai buku terjemahan ini, ada beberapa catatan ketika mengunggahnya ke rak di goodreads ini. Pertama saya sepertinya tidak menemukan ISBN dari buku yang diterbitkan atas kerjasama Bentang Budaya, Yayasan Adikarya IKAPI dan The Ford Foundation.

Kedua persoalan sampul. Gambar sampul buku ini (belum saya unggah karena tidak menemukannya setelah berselancar melalui google) merupakan foto Sultan HB VII didepan gerbang Dana Pertapa pada upacara Garegebeg tahun 1884. Sultan HB VII berjalan bergandengan tangan dengan Asisten Residen F.C.A. Jeekel, dan di samping kanan Jeekel nampak Paku Alam V yang mengenaka pakaian militer. Pada buku aslinya yang berjudul Kraton and Kumpeni: Surakarta and Yogyakarta, 1830-1870, gambar sampulnya jauh lebih menarik dan simbolik. Lukisan banteng melawan harimau merupakan simbolisasi yang pernah digunakan di Keraton Yogya untuk menggambarkan bahwa kompeni (harimau) dapat dikalahkan. (Detil riwayat lukisan itu nanti coba dibrowsing, kalau tidak salah ada juga dalam buku Carey). Gambar yang merupakan semangat periode sebelum periode yang dikisahkan oleh Houben. Sampul buku terjemahan terbitan Bentang Budaya mewakili gambaran dari kondisi periode yang diuraikan dalam buku Houben. Saya lebih menyukai gambar lukisan banteng melawan kerbau karena sisi simboliknya. Tapi itu soal selera saja.

Bila membaca ringkasan di sampul belakang buku ini akan nampak sebuah ungkapan sejarah yang berulang. Intervensi awal kompeni Belanda atas Kerajaan lokal di Jawa (Mataram) sebenarnya digambarkan dengan cukup baik di buku Ricklefs di War, Culture and Economy in Java, 1677-1726: Asian and Europe Imperialism in the Early Kartasura Period. Hingga periode Kartasura hubunga Batavia dan Mataram cenderung setara. Usai penyerbuan Sultan Agung yang gagal. Mataram dan Batavia berada pada kondisi detente, yang artinya ada potensi kecamuk perang, namun kedua pihak lebih menjaga hubungan yang dapat memberikan keuntungan. Batavia sangat bergantung pada Mataram dalam pasokan pangan. Luas Batavia yang kecil tidak sepenuhnya mampu menyediakan pasokan pangan bagi kekuatan Kompeni di Kota itu. Namun, intrik istana dan suksesi sejak Amangkurat I membuka peluang kepada Kompeni untuk menjual "jasa" kepada pihak yang bertikai. Bukankah isu Amangkurat II sebagai anak dari Speelman berangkat dari pemahkotaan Amangkurat II oleh Speelman? Ini mungkin awal dari yang dimaksud oleh Houben sebagai dependensi militer keraton kepada Pemerintah Kolonial. Persoalan ketergantungan ekonominya sendiri seperti apa? Karena saya belum membacanya, saya cuma menduga itu ada kaitan dengan penerapan tanam paksa pasca-Perang Diponegoro yang dilakukan untuk memenuhi kas negara yang tekor berat. Selebihnya, pendapat lain saya kumpulkan dari review ini.

Hal lain, ketika membeli buku ini. Kiosnya sebenarnya punya beberapa koleksi menarik. Kenapa saya tidak membeli? Yang jelas ini buku diluar anggaran. Awalnya mampir ke deretan kios-kios di samping Untirta itu karena ada titipan. Itu saja. Tapi rasa penasaran pada kios lain yang belum saya masuki pada kunjungan kemaren membuat mata saya terantuk pada buku ini. Rasa penasaran akan periode "kosong" itu yang membuat saya rela keluar dana lagi.

Abangnya cukup agresif ketika melihat saya melirik buku ini. Buku ini berada dalam satu plastik dengan buku Ricklefs yang berjudul Yogyakarta di bawah Sultan Mangkubumi. Abang penjual langsung menawarkan beberapa buku lain, mulai dari Dari Penjara ke Penjara, buku biografi yang saya curiga sebenarnya cuma hagiografi, buku agama, bbuku memoar seorang mantan mahasiswa FKUI yang berujung pada pembuangannya di P. Buru, buku Penghancuran Gerakan Perempuan di Indonesia, hingga buku Syekh Siti Jenar yang dibilangnya pengguna narkoba. Weks!

Sambil terus mengobral dan menjembreng seabreg buku di depan meja dekat saya duduk, si Abang terus berceloteh. "Abang doyan baca buku yah bang? Waktunya kalo gak ngapa-ngapain baca buku aja yah bang? Banyak yah bukunya di rumah?" Untuk mengentikan berondongan tuduhan itu, saya balik nanya harga bukunya. "Ini bang, 50 rebu deh. Diskon 15%, jadi 44 rebu." Dia menyebut harga jadi buku yang saya tanya sambil jarinya memijit tombol kalkulator. "Yakin gitu? bukannya 42 setengah?" Dia membalikan kalkulator yang dilayarnya tertera nilai yang saya sebut. DEZIGG!!! Di situ saya mulai undur diri, ini si abang rada kacau matematikanya. Kalkulator coba diakalin. Nekat amat!!!

Belum lagi ketika saya tanya soal buku Ricklefs yang tentang Pengeran Mangkubumi itu. Dia menyebut harga di atas seratur ribu, padahal sebelumnya tertera angka 79 ribu di sampul belakangnya. Doooh eksploitasi neh....! Dia juga menaruh harga tinggi untuk buku Gouda yang berjudul Indonesia Merdeka Karena Amerika?: Politik Luar Negeri AS dan Nasionalisme Indonesia, 1920-1949. Padahal muka saya udah jauh dari mupeng. Sautan saya atas agresifitas si Abang juga singkat-singkat saja jadinya. Sampai saya bilang, "kalem aja bang. gak usah dituruni semua. Gak beli banyak kok saya, banyakan mah cuma liat aja."

Dia akhirnya duduk di sisi seberang meja dekat saya, sambil menyaut, "Abang pengacara yah bang?" Kali ini saya gak nahan geli, balik tanya, "dari mana tuh nuduh gitu?" "Yah dari gaya abang njawab yang singkat-singkat itu. Trus pakaian abang juga. Abang saya juga pengacara bang, praktek di dekat kampus situ." He he he Saya yang berstelan jins dan berkemeja panjang dengan lengan dilipat itu nyengir. Okeh saya terima pengamatannya, gak usah dibantah lah. Eh, dia masih nambah tuduhannya, "abang marga apa bang?" Hua... ini sih lagu lama neh, "kenapa emang nanya marga?" "Gak papa" "Marga apa kira-kira?" Dia senyum. Sebelum jawab saya nyeletuk aja, "marga jawa aja yah!"

Hahahaha langsung saya menyudahi pembayaran,"Berapa semua ce'? Kasi murah lah sama pengacara tuh!" Dia kali ini menghitung dengan tepat. Saya segera pindah ke kios sebelah untuk memenuhi pesanan beberapa kawan. Sambil cengar-cengir dengar cerita hari ini.

Pagi tadi soalnya ada yang lebih dahsyat, "Oooo lulusan HI yah? kok gak jadi artis???"

Inilah seninya bertemu dengan orang baru, mereka bebas menerka dan menganalisa. Toh setiap kita adalah buku terbuka bukan?
Profile Image for Agus.
25 reviews2 followers
May 10, 2014
PENGANTAR; [Agus Purwanto]

Perang jawa mempengaruhi langkah-langkah yang diambil oleh Belanda pada tahun 1830 khusunya Surakarta dan Yogyakarta. faktor-faktor yang menyebabkan pecahnya perang jawa, antara lain: pertama; sejak tahun 1800 dan seterusnya kekuatan kolonial menancapkan hegemoni di jawa, mulai: 1). pada tahun 1808 letnan Gubenur Jendral H.W Daendels memberlakukan peraturan-peraturan mengenai etika prilaku yang sangat menghina orang jawa. Etiket itu menyatakan bahwa saat sedang berada berada di dalam istana, para Residen Eropa tidak lagi harus menunjukkan bahwa mereka lebih rendah dari pada penguasa jawa dalam protokol; 2). Setahun kemudian atas perintah T.S Raffles, keraton yogya diserang dan dikepung. 3).menyerahnya yogyakarta dibuktikan dengan perjanjian Kedu. Pada tahun 1823 G.A.G.Ph Van Der Capellen melarang para bangsawan jawa menyewakan tanah mereka kepada orang-orang eropa pengusaha pertanian. Akibatnya para bangsawan ini akhirnya mencari sumber-sumber penghasilan pengganti yang pada akhirnya menyebabkan kehancuran finansial. Kedua: pertentangan politik didalam istana yogya itu sendiri
Belanda yang kekuasaannya sangat terancam oleh Dipenogoro, menurut Badrika (2006) Belanda mengalami kerugian besar yang berdampak pada kosongnya kas Negara. akhirnya berkeinginan sekali mencabut sisa-sisa kekuasaan dari tangan Pangeran jawa dan hal ini juga, menjadi pertimbangan di Negeri Belanda sendiri pada periode pasca 1825 dengan tujuan bagaimana mengakhiri perang jawa dan bagaimana memperlakukan solo dan yogyakarta bila perang itu benar-benar berakhir.
Ditanggkapnya pangeran Dipenogoro di Magelang pada tanggal 28 Maret 1830 (Carey, 1981 a: xi). Sejumlah kecil yang masih setia terhadap Dipenogoro mundur kegunung-gunung dan ada sebagian anggota keluarga Dipenogoro minta izin untuk kembali ke Ibu Kota. Pada Awal januari 1930 salah seorang putra Dipenogoro, Dipakusuma telah mengirimkan permohonan kepada Residen J.F.W van Nes agar dipulihkan kepada Penduduk yang dihormati Belanda.
Saat itulah perundingan diperakarsai oleh pihak Belanda bersama dengan pihak istana akan menghasilkan status baru bagi kedua kerajaan tersebut. Menurut Louw dan De Klerck ( 1909,VI: 55-69, 287-304). Rencana barunya yang dimaksud adalah menyangkut masa depan kerajaan dan mewujudkan perdamaian abadi, memulihkan ekonomi dan meningkatkan kemakmuran Jawa.
Belanda memanfaatkan momentum penting sebenarnya, ketika situasi kedua kerajaan itu berakhir yogyakarta sangat menderita karena perang. Keraton dan banyak istana kepangeranan lainnya rusak dan penduduk pun mengungsi secara besar-besaran. Kekuarangan pangan yang parah terjadi dimana-mana. Raja yang kanak-kanak itu, maksudnya Hamengku Buwana V belum lagi mampu menggunakan kewenangan.
Dalam perakteknya dilaksanakan oleh tiga komisaris pemerintah yang ditunjuk secara khusus. Mereka adalah Merkus, J.I van Sevenhoven, dan H.G Nahus Van Burgst. Merkus ( 1787-1844) adalah seorang berbakat dan cepat karier jabatannya di Hindia Belanda. Kariernya di mulai sebagai sekretaris jendral, presiden mahkamah Agung, Gubenur kepulauan Maluku yang pada akhirnya mengenal pos-pos hukum dan pemerintahan salah satu dari pulau-pulau luar (Nieuw biografisch woordenboek, 1917, II: 898-902; Rhede van der kloot, 1891: 174-177). Van Sevenhoven (1782-1841). Tiba di hindai tahun 1801. Selama masi kariernya di bertentangan keras sejumlah penguasa pribumi. Antara tahun 1819 dan 1820 sebagai residen Cirebon dia memimpin perundingan untuk penyerahan terakhir wilayah kekuasaan sultan Cirebon kepada Pemerintah Belanda. Pada tahun 1821 Van Sevenhoven menjadi komisaris (Commisaris) di Palembang dia mengatur pencopotan sultan ahmad Najamuddin. Disisi lain dia mengenal sekali Surakarta dan Yogyakarta. menjelang dimulainya perang jawa pada tahun 1824 dan 1825., dia menjabad sebagai residen surakarta dan selama dua tahun pertama konflik dia bertindak sebagai kapasitas yang sama di yogyakarta. karena dikenal sebagai seorang yang juru runding yang berpengalaman, keras dan tangguh diapun ditunjuk sebagai anggota komisi kerajaan pada tahun 1830 (Rifleks, 1981: 132). Nahuys van Burgert (1782-1858) sebagai residen Surakarta dan pemilik sebuah perkebunan kopi yang luas yang terletak di lereng gunung berapi. Pada tahun 1830 dia diangkat sebagai komisaris pemerintah.
Yang diinginkan dalam surat perintah tersebut, berdasarkan pengalaman dan perang yang sedang terjadi saat itu, dia mendukung disatukannya bupati-bupati jawa kedalam pemerintahan Belanda. Dengan mengubah mereka menjadi aristokrasi herediter ( turunan) yang bergantung pada pemerintah, maka para bupati bisa dijauhkan dari raja-raja pribumi. Jadi harapan gubenur jendral untuk mempercayakan kekuasaan Belanda kepada para Bupati.
Pada tanggal 29 Desember 1830 Paku Buwana VI: bersedia tunduk sepenuhnya kepada pemerintah, tetapi bersikukuh untuk tetap mempertahankan penghormatan tahunan dari pada bupati mancanegara. Akan tetapi, raja-raja perlu tetap dilindungi untuk memberikan kesan kepada rakyat bahwa melalui perantara para Bupati mereka masih tetap diperintah oleh raja-raja mereka sendiri.
Begitu halnya Buminata tengah menyuarakan ketidakpuasan mayoritas kalangan istana. Menurutnya hilangnya wilayah pinggiran kerajaan berarti lebih dari sekedar kehilangan pendapatan. Alasan inilah yang sesungguhnya mengapa mereka bersikeras ingin tetap memelihara adat kebiasaan pemberian hormat oleh bupati-bupati mancanegara.
Struktur organisasi dari sistem tanam paksa hal –hal yang berhubungan dengan petani mulai ditinggalkan, sedangkan desa menjadi unit dasar dalam pemerintahan. penyelenggaraannya diserahkan kepada para bupati dengan para kepala desa, dan masyarakat desa sendiri. Kepala desa adalah mata rantai antara petani dan pejabat-pejabat pribumi yang lebih tinggi tingkatannya yaitu Bupati. Bupati bertanggung jawab terhadap pemerintahan bangsa eropa. Menurut Bachri, Saiful (2005) orang eropa tidak akan memperoleh apapun jika mereka tidak mempergunakan organisasi desa. Kepentingan pemerintah hanya pada hasilnya, yang dihitung dalam pikol (+ 62 kg) yang diterima oleh gudang-gudang pemerintah. Selain itu penyelenggaraannya juga bervariasi dari satu tempat ketempat lain karena pemerintah pusat lebih banyak menyerahkan penguasannya kepada para pejabat Belanda setempat (para kontrolir) yang mempunyai motivasi untuk meningkatkan produksi karena merek memperoleh “cultuurprocent” prosentase tertentu dari hasil panen. Untuk itu sampai tahun 1860 dikerahkan tidak kurang 90 orang kontrolir dan sekitar orang pengawas berkebangsaan Belanda.
Dalam menjalankan pemerintahannya di yogyakarta dan Surakarta pemerintah melakukan kebijakan-kebijakan antara lain, Pertama: politik divide et impera; kedua: unsur lain politik Batavia terhadap yogyakarta dan Surakarta tetap berada dalam keadaan serba tergantung, dalil ini berlaku untuk seluruh jawa. Dipihak sultan dan priyai keraton tidak akan menyuarakan ketidak puasan dan ketidaksenangan mereka sedemikian rupa karena mereka sadar akan ketergantungan mereka terhadap Belanda, Ketiga : kehati-hatian dalam bertindak. Berdasarkan Van den Haspel (1985:123,139-142) menyimpulkan bahwa para pangeran jawa itu sama sekali bukan sekedar penguasa boneka. Pada akhir abad kesembilan belas mereka masih memiliki kekuasaan personal dan senbuah birokrasi yang sama sekali tidak lemah. Memang, pihak Belanda berada diatas angin, tetapi walau bagaimanapun juga mereka tidak bisa mengabaikan pangeran-pangeran begitu saja, dan keempat : disebarkan perasaan puas dikalangan elit.
Beberapa alternatif Belanda menggunakan tiga cara untuk meningkatkan perasaan tidak puas dan senang dikalangan para elit jawa, Pertama: mereka sejauh mungkin menghindarkan diri dari mencampuri urusan-urusan intern pemerintahan kerajaan-kerajaan jawa itu. Jadi , gebenur Jendral Pahut pun memikirkan perlunya meyakinkan para raja dan kerabat keraton Jawa bahwa pemerintahan terus dan tetap bersikap serius dalam menghormati adat – istiadat dan praktik-praktik kuno.
Kedua : memberikan segala embel-embel dalam pangkat meliter Belanda. Pahut menulis penganugrahan kehormatan semacam ini merupakan sebuah cara yang sangat bagus untuk memastikan bahwa elit jawa akan tetap bersikap bersahat. Bisa diceritakan disini seluruh rangkaian peristiwa yang terjadi ketika orang-orang jawa Solo atau Yogyakarta yang dihormati diberi kehormatan Belanda atau dianugragi pangkat meliter.
Ketiga : yang digunakan untuk menjaga agar para warga istana tetap merasa senang dan puas adalah intervensi pemerintah Belanda dalam persoalan-persoalan keuangan, seperti penyelesaian, pengurangan dan penghapusan hutang. Pembayaran yang dilakukan untuk susuhunan dan sultan dimasukkan kedalam catatan tersendiri dalam anggaran belanja Hindia. Jumlah untuk tahunnya tiap raja-raja itu berbeda-beda, mulai dari f 7.000 hingga f 25.000 . tetapi jumlah-jumlah ini diberikan bukannya tanpa pamrih (Kolonial Verlag, 1849: Lampiran G.H: 1850: lampiran G,H).
Politik divide et impera yaitu dengan cara pencegahan ekstra. Salah satu contoh yaitu Pertama, dengan cara mengeksploitasi permusuhan diantara keraton dipandang perlu dilakukan dan pangeran mangkunagara dan Paku Alam merupakan alat menduduki sebuah posisi independen di istana Solo dan Yogyakarta dan mereka didukung oleh belanda demi menjadi penyeimbang terhdap pihak Kasunanan dan Sultan., kedua: tahun lima puluhan abad kesembilan belas diadakan pertemuan seremonial tahunan antara Sunan dan Sultan di Gawok (Surakarta) membuat belanda merasa sangat cemas. Maka mereka pun mengatakan kepada kepada Sultan bahwa jika dia selalu menghormati Sultan, maka dia tidak akan menjadi penguasa yang benar-benar independen, baik dalam pandangan rakyat maupun dimata orang-orang eropa.
Dalam menjalankan pemerintahannya, diarahkan pada organisasi formal. Dari sudut pandang orang-orang eropa, residen sebagai agen politik batavia, dipandang sebagai poros sentral dalam hubungan politik dan administrasi dengan orang-orang Jawa.
Pada tahun 1854 sebuah undang-undang pemerintahan yang baru (regeeringsrelement) disusun selesai 1855 mengenai posisi raja-raja pribumi sebagai bentuk revisi untuk wilayah koloni yang sudah berlaku 1836. Menurut pasal 43 intruksi tersebut, hak untuk memerintah diri sendiri yang dimiliki oleh sejumlah raja pribumi juga mencakup kewajiban untuk meningkatkan kesejahteraan rakya.Pada intinya akan ada campurtangan dalam kerajaan, Gubenur Jendral harus mengawasinya dan bila perlu turun tangan secara tegas.
Hubungan mereka dengan pemerintah dibakukan dalam apa yang disebut Akta Persekutuan ( Acten van verband), ada hal yang nereka tanda tangani saat mereka naik tahta. Kelima akta yang ditandatangani antara tahun 1830-1870 yang terdiri tiga untuk solo dan dua untuk Yogyakarta. hal ini mengajarkan kepada kita dua hal, yaitu: pertama : ketimpangan dalam hubungan formal dengan kekuasaan kolonial antara susuhunan Solo dan Sultan Yogyakarta Tetap terpelihara; dan Kedua, dalam kasus Solo ada peningkatan signifikan dalam tuntutan-tuntutan yang diajukan pada raja.
Di Yogyakarta maupun Solo menyatakan bahwa dirinya diberi kerajaan itu sebagai daerah dimana dirinya bisa memerintah sebagai sebuah “tanda kasih” dari pemerintah dan bukan berdasarkan klaim apapun yang sah menurut hukum. Kedua raja itu berjanji bahwa mereka memerintah kerajaan mereka masing-masing sesuai dengan hukum-hukum yang ada dan tetap setia kepada pemerintah dengan cara membahas semua persoalan dengan residen dan mengikuti saran serta nasehatnya sebelum memutuskan.
Tetapi, di Yogyakarta ada tiga pasal yang masih mengacu periode sekitar tahun1755 ketika kerajaan itu baru saja dilahirkan. Sultan harus berjanji secara tegas bahwa dirinya tidak akan mengajukan klaim apapun atas tanah-tanah yang menjadi milik pemerintah ataupu Kasunanan, tidak berusaha mencari gara-gara dengan keduanya atau pangeran-pangeran independen dan harus menyerahkan kepada pemerintah semua orang yang mengganggu ketentraman dan keamanan.
Dalam akta pengangkatan dinyatakan bahwa bila susuhunan tidak memenuhi kewajiban-kewajiban feodalnya, pemerintah bisa mengklaim kembali wilayah-wilayak kekuasaan yang sudah dihadiahkannya itu.
Perbandingan antara akta-akta persekutuan yang ditanda tangani antara tahun 1830-1870 menunjukkan sejumlah perbedaan yang tak begitu penting. Maka, pada tahun 1858 Paku Buwana VIII mendapatkan tahtanya karena jasa-jasa baiknya kepada pemerintah dan dukungan pribadi pemerintah Hindia sedangkan Paku Buwana VII (1830 dan Paku Buwana IX (1861) berutang budi atas pengaangkatan dari mereka sebaga sunan hanya Kepada Gubenur jendral. Jadi dalam dua kasus terakhir ini dikatakan bahwa pengangkatan mereka disebabkan oleh dukungan pribadi Gubenur jendral. Di yogyakarta , Hamengku Buwana VI pada tahun 1855 berjanji untuk menaati kesepakatan-kesepakatan yang dibuat oleh para Pendahulunya, “ seolah-olah perjanjian itu dtandatanganinya. Belanda menyadari pada umumnya bahwa pada umumnya raja-raja hindia Belanda beranggapan bahwa diri mereka hanya terikat pada perjanjian-perjanjian yang di tandatangani oleh para pendahulunya.
Sejak akhir abad ketujuhbelas sudah ada sebuah sistem hukum ganda yang berlaku di kedua kerajaan: sistem hukum kompeni yang berlaku untuk warga yang menjadi tanggungjawab sendiri dan sistenm hukum milik raja-raja yang berlaku atas rakyat jawa yang berada dibawah kekuasaan raja-raja tersebut. Sejak paruh kedua abad kedelapan belas, barat makin banyak mempengaruhi hukum jawa. Sejak terbelahnya kerajaan mataram apada tahun 1755, hubungan hukum antara kesunanan Surakarta dan Yogyakarta pun diatur.
Setelah tahun 1830 muncul perbedaan-perbedaan diantara solo dan yogyakarta sehububungan dengan pengelolaan peradilan dan kepolisian, karena di solo tanggungjawab untuk melacak dan mengadili orang-orang solo yang menjadi penjahat masih terletak sepenuhnya ditangan pemerintahan Jawa. Tanggungjawab ini merupakan bagian dari tugas patih dan dilaksanakan oleh Tumenggung gunung.
Di Yogyakarta, residennya juga diber hak untuk mengatur urusan-urusan kepolisiaan setelah tahun 1830. Residen Valck yang tidak segan-segan melakukan campur tangan dalam urusan orang-orang jawa. Mengeluarkan instruksi-instruksi pada tahun 1831 dimana peran para bupati, kepala-kepala distrik dan apara aparat desa dalam pergerakan hukum dan ketertiban sangat dibatasi.
Komunitas orang-orang Eropa dan cina di Yogyakarta dan solo memainkan peran yang luar biasa besarnya. Pada tahun 1870 jumlah total penduduk yogyakarta mencapai 70.000 sebuah angka yang meliputi 2000 orang Eropa, dan 3000 orang cina . Bagi orang-orang Eropa terbagi menjadi dua kelompok yaitu keluarga pemilik perkebunan dan komunitas orang putih rendahan yang merupakan para saudagar dan pedagang. Kedua kelompok ini memiliki banyak hubungan dengan keraton (Guillot, 1981b: 59-60).
Berkaitan dengan hubungan-hubungan ekstrnal sepanjang periode tahun 1830-1840 hubungan diplomatik dibicarakan di yogyakarta. tidak ada indikasi bahwa yogyakarta menjalin hubungan langsung dengan raja-raja di indonesia lainnyakecuali dengan susuhunan di Solo. Seandainya ada pun hubungan- hubungan semacam itu diduga di lakukan secara diam-diam tanpa sepengetahuan Belanda. Hubungan-hubungan ini bisa diterima dibatasi hanya dengan batavia, negeri Belanda dan Surakarta. Pengaruh kekuasaan kolonial yang kuat terasa dalam hubungan-hubungan tersebut.
Keberadaan yogyakarta berkenaan dengan pemerintahan intern jawa dan melibatkan masalah-masalah seperti pengangkatan, pemecatan, pembayaran staf kraton, keuangan, serta pemanfaatan lahan dan tanah secara cepat. Catatan ini memberikan gagagsan yang baik mengenai masalah-masalah yang menyibukkan rakyat dari hari ke hari.
Terkait atas kekuasaan hak tanah, peyerahan wilayah kekuasaan pada tahun 1830 menntut adanya reorganisasi total terhadap sistem tersebur. Mataram dan baian Kulon Progo di proyeksikan menjadi tanah-tanah lungguh dan gunung kidul sepenuhnya disisihkan sebagai sebuah daerah yang bertugas menghasilkan pendapatan melalui penyewaan (pamajengan dalem) sebuah beban yang sebelumnya di tanggung oleh mancanegara (Rooffaer, 1931: 295-296).
Terkait dengan penghidupan para bangsawan istanah salah satu tugas penting pemerintahan yogyakarta adalah menghidupi para anggota aristokrasi istana, pejabat-pejabat serta para pembantu (abdi dalam). Disisi Lin makin berkurangnya wilayah teritorial keraton yogyakarta memiliki banyak pengaruh bagi pendapatan para pejabat Jawa khususnya bila menyangkut suksesi suatu jabatan.
Urusan-urusan keuangan kesultanan yogyakarta banyak terbebani oleh biaya-biaya pemeliharaan bangunan keraton itu sendiri dan rumah-rumah (dalem) para pangeran. Biaya-biaya ini merupakan subsidi ekstra yang dibayarkan untu memenuhi kebutuhan finansial pejabat anggota kerajaan. Selain pinjaman-pinjaman kredit resmi ini , uang juga dipinjamkan dalam segala besar oleh individu-individu perorangan. Pada bulan juli 1833 para pengampuh menerima sebuah daftar yang menunjukkan bahwa pada saat itu para priyayi dan pejabat-bejabat berpangkat rendah lainnya telah meminjam sejumlah total f 10.000 dari orang-orang Cina.
Ketergantungan keraton-keraton jawapasca 1830 paling kental dibidang keuanagan. Ganti rugi atas mancanegara yang diseragkan tidak cukup untuk menutupi makin meningkatnya biaya-biaya pengelolaan pemerintah kerajaan-kerajaan jawa itu. Banyak bangsawan jawa terpaksa mengambil pinjaman-pinjaman dan kemudian terjebak utang. Jadi, mereka tidak hanya hidup tergantung kepada kreditor-kreditornya, melainkan kepada bantuan keuangan dari pemerintah.
Masalah suksesi, Ada rangkaian kejadian masalah besar yang mirip yang terjadi di Yogyakarta dan Surakarta. Masalah suksesi yang terjadi di Solo tahun 1834-1858 dan di Yogyakarta tahun 1847-1869 dikarenakan tidak adanya keturunan laki-laki dari raja. Paku Buwana VII, yang menggantikan Paku Buwana VI yang melarikan diri, memiliki putri beranam Raden Ayu Sekarkedhaton yang selalu menjadi objek lamaran dari berbagai penjuru, Pangeran Mangkubumi, putra Pangeran Mangkubumi, Raden Mas Riya Kusuma, Raden Mas Deksana (Putra Paku Buwana VI), bahkan sampai Mangkunagara III (putra mahkota Yogyakarta). Akan tetapi, Raden Ayu Sekarkedhaton dengan dukungan ayahnya menolak politik perkawinan yang sudah biasa dilakukan pihak yang haus kekuasaan.

Ketika Paku Buwana VII wafat, Raden Ayu Sekarkedathon menjadi penerus tahta dan diberi hak menentukan sendiri pria yang akan dinikahinya. Namun Campur tangan Belanda mengumumkan secara pribadi Pangeran Adipati Ngabehi dinobatkan sebagai Susuhan dan putra Paku Buwana VI, Pangeran Prabuwijaya, sebagai putra mahkota. Paku Buwana VIII hanya sebentar memegang takhtanya, bulan 1858 sampai Desember 1861. Setelah kematiannya, putra mahkota Pabruwijaya dinyatakan sebagai Paku Buwana IX dan dinobatkan sebagai susuhan.
Di Yogyakarta, putri Hamengku Buwana V, Raden Ajeng Sukinah menikah dengan putra tidak sah Hamengku Buwana VI, pangeran Ngabehi, dengan demikian memulihkan garis keturunan langsung dari Hamengku Buwana V. Namun legitimasi perkawinan ini gugur karena pangeran Ngabehi mengelantarkan Raden Ajeng Sukinah. Dalam hal ini, berarti politik perkawinan juga tidak berhasil di Yogyakarta.
Tahun 1872, Sultan yang tidak memiliki putra sah, adik laki-laki, atau paman, memutuskan menaikkan selirnya, Raden Ayu Sepuh, ke posisi ratu. Dengan demikian, pangeran Ngabehi diangkan menjadi Pangeran Adipati Anom dan direncanakan akan naik tahta setelah meninggalnya Hamengku Buwana VI.
Profile Image for Kahfi.
140 reviews14 followers
September 23, 2020
Tarikh 1830 hingga 1870 merupakan klimaks dari kekuasaan pemerintah kolonial Belanda di Jawa khususnya, buku ini berusaha melihat seberapa kuat pengaruh kekuatan tersebut terhadap kekuasaan-kekuasaan tradisional yang dibuktikan oleh keberadaan keraton di Surakarta dan Jogjakarta.

Buku ini juga memberikan bukti bahwa feodalisme lama kelamaan menuju akhir perjalanan nya, digantikan oleh kolonialisme modern.

Aneksasi yang dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda membuat terciptanya dwi pemerintahan yang membuat perubahan sosial ekonomi dan birokrasi yang masih bisa kita rasakan hingga saat ini.
Profile Image for Tonny Mustika.
Author 16 books4 followers
September 5, 2016
Houben menggunakan banyak sekali dokumen-dokumen kolonial Hindia Belanda sebagai kajian, hasilnya adalah suatu gambaran perubahan sosio-politik masyarakat kolonial yang saling bertautan selama 4 dekade paska-Perang Jawa. Dibedakan dengan masa sebelum Perang Jawa, periode ini adalah masa pembentukan kolonial yang sebenarnya, di mana kerajaan Belanda terlibat sepenuhnya dalam hampir segala aspek masyarakat kolonial dengan mengandalkan birokrasi bentukan mereka yang beranggotakan para priyayi lokal. Houben dengan jitu menggambarkan bagaimana kekuasaan kolonial dan penguasa feodal saling bergantung satu sama; bagaimana strategi penguasa kolonial menjinakkan elit penguasa lokal dan mereduksinya menjadi sekadar alat kolonial; serta bagaimana hal tersebut berpengaruh pada pembentukan strata masyarakat baru di Jawa, yang membuka jalan pada terbentuknya era penanaman modal kapitalis di Jawa.
Displaying 1 - 5 of 5 reviews

Can't find what you're looking for?

Get help and learn more about the design.