SOEKARNO, selain dikenal sebagai Sang Proklamator, Presiden Pertama RI dan berbagai gelar yang disandangnya kemudian, juga merupakan seorang pemikir dan intelektual Islam. Pikiran-pikirannya tentang pembaruan pemikitan Islam sangat berharga bagi khazanah pemikiran Islam di Indonesia.
ISLAM SONTOLOYO, dan beberapa tulisan lain yang ada dalam buku ini, merupakan pikiran-pikirannya yang paling "ekstrim" dalam menggugat cara berpikir umat Islam Indonesia. Tulisan itu tidak saja menggemparkan dunia Islam Indonesia ketika itu, tapi bahkan telah menimbulkan polemik dengan tokoh-tokoh Islam, terutama dengan M. Natsir yang berlangsung sepanjang tahun 1930 - 1935. Polemik dengan M. Natsir tersebut diakui sebagai polemik yang nyaris belum ada tandingan bobotnya dala sejarah polemik di Indonesia.
Buku yang mengkritik para pembacanya khususnya bagi mereka yang beragama islam. Bagi kita yang hanya memahami Islam hanya dari segi halal dan haram, kafir dan alim, dan melabeli orang seenaknya dengan label label buruk dikarenakan tindakanya melanggar ajaran agama yang terlontar dari ajaran para ulama, menurut Bung Karno Islam nya “Islam Sontoloyo”. Buku ini berisi pemikiran pemikiran Bung Karno khususnya kritik Bung Karno terhadap para pemeluk agama Islam yang kolot, tidak mau mengikuti perkembangan jaman dan tertutup dengan kebudayaan luar.
Dalam buku ini di bagi beberapa BAB yang setiap Babnya merupakan tulisan Bung Karno yang beberapa diantaranya dimuat di media cetak salah satunya adalah “Panji Islam”. Buku ini memberikan pemahaman bagi pembacanya mengenai bagaimana Bung Karno dalam menjalankan ajaran ajaran agama Islam. Bung Karno bisa terlihat dari buku ini bahwa beliau adalah seorang muslim yang moderat, salah satu contohnya dalam salah satu BAB dalam buku ini membahas mengenai masalah Ahmadiyah. Beliau sangat tertarik dengan beberapa inti dari ajaran Ahmadiyah, akan tetapi beliau tidak mengakui bahwa Mirza Gulam Ahmad adalah seorang nabi. Bung Karno tetap mengakui bahwa Muhammad adalah nabi penutup jaman. Beliau juga menyatakan bahwa beliau tidak terikat dalam aliran islam A atau B ataupun C. Beliau mempelajari semuanya dan mengambil apa yang abik dalam setiap aliran aliran tersebut.
Ke – Moderatan Soekarno dalam memandang agama Islam bisa menjadi tauladan tersendiri bahwa jika kita hanya mempelajari Islam dari satu prespektif saja dan mempercayai bahwa apa yang sudah di dapatkan itu yang paling benar, dalam bahasanya Jaques Derrida kita sudah jatuh pada logocentrisme dan ujung ujungnya sifat fanatisme yang membunuh pluralitaslah yang kita dapatkan.
Sukarno bacaan Islamnya banyak. Bahkan ia tamat membaca Bulughul Maram dan semua karya A. Hasan. Shahihain pun dia baca. Semangat belajarnya gila!
Pemikirannya memang 'progresif', tapi sayangnya pilih-pilih ajaran. Ilmu keislaman terutama di bidang fiqih dibilang kuno, banyak hal yang membelenggu perempuan, katanya. Tapi kalau poligami dia mau dan boleh, bahkan mempraktekkan. Waduh ad hominem nih saya. Tapi memang begitu sih
Ternyata Soekarno adalah sosok intelektual muslim dengan pemikiran keagamaan yang moderat, dinamis, dan humanis serta universal. Pandangan-pandangannya membongkar kekakuan dan kejumudan yang membelenggu masyarakat. Islam di tangannya adalah agama yang hidup, sehat, dan terus berkembang. Islam baginya adalah agama yang mampu menerima segala mecam pembaharuan dengan baik tanpa merusak esensinya sendiri.
Buku yang masih sangat relevan dengan kondisi sekarang. Islam seharusnya tidak hanya soal haram, halal, makruh, dll. Tapi juga soal bagaimana islam dapat membangun peradaban manusia. Inilah yang menjadi bara islam. Soekarno melihat bahwa banyak orang yang mengambil abunya islam saja, alias di permukaan tanpa mengambil semangatnya. Jadilah islam itu terbatas di soal celana cingkrang, naik onta, dsb dsb, dan melupakan kontribusi terhadap pembangunan masyarakat.
Berisi kumpulan tulisan Ir. Soekarno; dari surat-surat yang ia tulis di Endeh tahun 1934-36, wawancara beliau dalam Panji Islam th. 1939, serta artikel-artikel yang beliau tulis antara tahun 1939-41 untuk Panji Islam. Namun membaca tulisan-tulisan lama yang tidak usang itu yang membikin rasanya resah berkepanjangan! ya, benar. Saya masih bertanya-tanya mengapa tulisannya tidak usang & masih tidak berlebihan kalau kita refleksikan pada keadaan Islam di Indonesia sekarang, pemikirannya, kritisinya masih sangat relevan! Saya takut! Bikin saya pesimis, kalau kalau kalau, ternyata kita tidak berkembang?! Tidak maju dari ke-Jumud-an, Taklid dalam fanatisme yang sempit, yang, sehingga membuat kita malas mencari kebenaran. Tidak mau belajar secara ilmiah yang dengan penyelidikan panjang. Lebih suka bertanya sembarang tempat dan jawaban yang hanya secuil itu dijadikan mahanya pengetahuan dengan mengaplikasikannya sebagai fatwa! Ya, betul. Masih sering saya bertemu yang hanya punya kalimat pembelaan, "katanya begitu sihh", atau "kata ustad anu begini", atau "kata kiai ini begitu", atau parahnya lagi, "katanya mah ada di Al-Qur'an". Katanya!? Kenapa tidak buka sendiri itu Al-Qur'an dan konfirmasi keyakinan diri dengan validasinya! Bikin saya ngeri! Apa relevansi kritisi Ir. Soekarno pada kekolotan masyarakat Islam di Indonesia pada 79 tahun yang lalu dengan sekarang itu membuktikan tidak adanya kemajuan dan perkembangan ilmu yang berarti!? zonder akal, zonder berfikir, zonder hobi menelisik sejarahnya mereka punya peradaban, mereka punya bangsa, mereka punya agama? Hai, Bung Karno! Garuda Pancasila-mu tidak terbang ke arah yang kau harapkan. tidak! Belum.
Membaca kumpulan tulisan Bung Besar dalam buku ini seperti melihat sebagian cetak biru negara Indonesia. Soekarno yang mengidentifikasikan sebagai seorang Islam, tidak sepaham dengan pan islamisme. Bahwa haluan islam internationale sebagai paham usang yang telah terbukti kegagalannya. Bahwa seharusnya agama menjadi haluan sikap luhur pribadi yang tak terjebak dalam bentuk2 dangkal pakaian dan jenggot. Bahwa negara yang diatur berdasarkan agama akan menjadi negara yang bangkrut karena agamawan akan bertindak seolah menjadi wakil Tuhan yang tidak bisa dikritik dalam mengelola negara. Bahwa manusia Indonesia harus melakukan perjuangan sebagai suatu natie yang bersatu, bukan terjebak dalam kotak2 agama.
" *Islam is progress*. Islam itu kemajuan. Kemajuan karena *fardhu*, kemajuan karena *sunnah*, tetapi juga kemajuan karena diluaskan dan dilapangkan oleh *jaiz* atau *mubah* yang lebarnya melampaui batasnya zaman. "
Jujur, baca ini karena tergocek judulnya.
Menarik, karena saya mengenal Bung Karno dari buku sejarah sebagai sosok yang nasionalis, jarang wacana yang menceritakan beliau sebagai pribadi yang religius. Terlebih, beliau adalah salah satu tokoh yang mengusulkan perubahan sila pertama Pancasila versi Piagam Jakarta.
Buku ini berisi tulisan² beliau yang sebagian besar mengkritik tentang Islam di Indonesia. Beliau juga banyak memberikan pandangan tentang Islam yang lebih progresif. Walaupun ditulis puluhan tahun yang lalu, isinya masih sangat relevan dengan kondisi sekarang.
Dari buku ini, kita tau kalau Bapak, alias Bung Karno adalah intelektual Islam. Beliau ini religius dan paham soal konsep-konsep agama. Aku sering dengar kabar kalau buku ini dianggap ‘haram’, makannya nggak diperjualbelikan sembarangan. Bung Karno dianggap anti Islam dan komunis. Ah padahal isi bukunya daging semua, dimana perspektif-perspektif liarnya soal seperti apa pergerakan keagamaan di Indonesia selama masa sebelum dan sesudah kemerdekaan.
Aku miris ketika beliau cerita disini, soal seramnya diskriminasi agama. Bahkan jenis darah yang bakal didonorkan di PMIpun dibedakan menurut agamanya. Beliau menegaskan kalau Islam yang saat itu membara cumalah ashesnya-abunya, bukan api sesungguhnya.
Sebuah pemikiran yang radikal mengenai Islam oleh Soekarno, walau beberap point' perlu ada sanggahan tetapi sisanya sangatlah cemerlang pemikirannya pada zamannya
Islam sontoloyo merupakan pemikiran-pemikiran soekarno yg ekstrim berkaitan dengan pembaharuan islam. Kebanyakan pemikiran soekarno didasarkan pada keadaan indonesia dan dikaitkan dengan keadaan turki pada jaman kemal. Soekarno terlihat benar-benar mengagumi kemal sebagai pemimpin besar turki. Buku ini mengupas tentang sekularisme di turki dan kekolotan umat islam di Indonesia.
Begitulah judul dari salah satu buku yang berisi kumpulan karya-karya Sukarno (bukan Soekarno, atas permintaan beliau sendiri untuk memanggil dengan ejaan yang paling baru dan benar), juga surat-surat yang dikirimkan pada A. Hassan seorang pengikut Muhammadiyah yang telah ia kenal sebelumnya di Bandung. Kehidupan Sukarno yang terpencil di Ende memang membuat gerak-geriknya di bidang politik menjadi mati. Namun tetap saja, Bung Karno tetap tidak tinggal diam. Waktunya dalam pembuangan itu disisihkannya sebagai waktu untuk memperdalam agama, sekaligus membuat beberapa seni drama yang nantinya dimainkan oleh warga sekitar.
Islam Sontoloyo, pada mulanya penulis anggap sebagai keseluruhan kritik Sukarno terhadap dunia Islam yang begitu kolot, mesum, dll. Namun lebih kepada satu karya tulisan Bung Karno yang pernah menghiasi majalah Pandji Islam. Bung Karno lebih jauh menjelaskan kondisi yang terjadi di Indonesia (nama Indonesia telah dikenal luas pada waktu itu 1930-an dan menggantikan Hindia Belanda) karena pada dasarnya negara-negara di luar yang melakukan reformasi luar biasa terhadap Islam adalah seperti Turki, Mesir dan Palestina melepaskan stigma dari luar negeri bahwa dengan berpatokan pada Islam negeri-negeri tersebut malah mundur tergerus zaman.
Sebaliknya, kondisi yang ditunjukkan terutama oleh Turki sebagai negara Republik yang mengenal demokrasi dibawah kekuasaan Mustafa Kemal Pasha Attaturk menjadikan Sukarno kagum atas pencapaian yang telah dibuat oleh negara tersebut. Meski pada intinya Turki telah menjalankans sebuah sekularisme,atau pemisahan urusan negara dengan urusan agama, namun dampak yang telah ditimbulkan itulah yang dibahas Sukarno dalam tulisan-tulisan dan surat-suratnya.
Selain itu di dalam buku ini terdapat kondisi yang nyata akan Umat Islam di Indonesia yang memfatwakan haram terhadap beberapa hal seperti transfusi darah, kemudian pemasangan 'sutrah' atau sekat yang membatasi dari sof perempuan dan laki-laki juga forum yang biasa dilakukan di Masjid. Baginya itu adalah suatu kemunduran luar biasa dunia Islam. Sukarno menolak pandangan bahwa menjaga pandangan pada lawan jenis tidak harus dengan penutup, karena pada intinya manusia akan terlatih untuk menjaga pandangannya sendiri.
Kondisi ini memang benar-benar kembali pada era ini. Indonesia kembali pada ZAMAN JAHILIYAH ketika satu pertentangan dalam hidup beragama terlalu diperdebatkan. Bahkan dngan saudara sesama muslim sendiri juga saling bersilang pendapat, saling mengkafirkan satu sama lain. Ternyata beberapa argumen yang dilontarkan di buku ini memang nyata adanya. Tak ayal Indonesia rentan terpecah belah karena ulah-ulah oknum yang terlalu mendewakan KHILAFAH sebagai satu-satunya cara untuk menuntaskan segala masalah. Padahal apa yang telah dicita-citakan Sukarno ini adalah apa yang tertuang dalam nilai-nilai Pancasila yang mana beliau menjadi penggalinya, dan juga NKRI sebagai negara yang melindungi tumpah darah di dalamnya, tak peduli mayoritas maupun minoritas.