Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang terakhir, Tjarda van Starkenborgh-Stachouwer, sangat jarang dibahas dalam sejarah Indonesia. Padahal, ia berperan besar pada keruntuhan Hindia Belanda dan secara tidak langsung pada kelahiran negara Indonesia merdeka. Ia adalah seorang diplomat muda progresif yang dipandang tinggi, baik derajat maupun moralnya, bukan saja oleh kolega- kolega Eropanya, tetapi juga oleh kalangan pergerakan nasionalis Indonesia. Kedatangannya pada awalnya menciptakan ekspektasi-ekspektasi yang pada akhirnya tidak terwujud.
Buku ini berusaha menyajikan gambaran mengenai masa pemerintahan Tjarda van Starkenborgh yang menyimpan episode-episode penting pemantik motivasi kemerdekaan Indonesia. Mengapa pemerintah kolonial Belanda bersikap sangat reaksioner pada dekade 1930? Mengapa pemerintah kolonial sama sekali tidak menyediakan ruang bagi partisipasi politik bumiputra menjelang kejatuhannya? Mengapa Belanda tidak lagi diterima setelah Perang Dunia II? Mengapa pemerintah Hindia Belanda di pengasingan merasa berhak untuk datang kembali setelah proklamasi kemerdekaan 1945? Penelitian di buku ini berusaha menyajikan jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan tersebut.
Christopher Reinhart is a history researcher. Christopher has worked as a research assistant for professors from the Australian National University (Prof. Pierre van der Eng), University of New South Wales (Prof. David Reeve), and Cardiff University (Prof. Gregor Benton). He is now a research assistant of Prof. Peter Carey and supports the research conducted for a new trilogy of books and text publications on the pre-twentieth century history of Greater Madiun (Madiun Raya, which includes Madiun, Magetan, Ngawi, Pacitan and Ponorogo).
"Hingga hari ini, periode kolonial telah memunculkan dua macam aliran besar penulisan (sejarah), yaitu penulisan yang bersifat Eropasentris atau kolonial dan penulisan yang Indonesiasentris. ...Di samping kedua aliran tersebut, sesungguhnya terdapat pula aliran penulisan kritis yang mulai muncul belakangan ini." - halaman 5
Muncul kembali sebuah analisis sejarah yang mencoba tidak menjebak dirinya kepada satu sisi (Eropasentris maupun Indonesiasentris). Analisis yang mampu membuat pembacanya bisa memandang suatu peristiwa sejarah (dalam hal ini keruntuhan pemerintahan kolonial Hindia Belanda) dengan lebih objektif.
Sebelum karya ini, telah terdapat analisis yang membedah faktor dibalik keruntuhan Hindia Belanda. Salah satunya ditulis oleh seorang sejarawan bernama Onghokham dalam karyanya Runtuhnya Hindia Belanda. Beliau, dengan menggunakan perspektif Indonesiasentris, mengemukakan argumen kalau faktor ekspansi Jepang dan kegagalan mengakomodasi kepentingan kaum bumiputera menjadi penyebabnya. Analisis di dalam buku ini, dengan menggunakan perspektif objektif, mampu melengkapi celah literatur yang diabaikan Onghokham. Penulis menganalisis menggunakan perspektif pemerintah kolonial, tidak hanya dari aspek kebijakan yang dikeluarkannya saja, tetapi juga mundur ke belakang sampai ke tahap perumusan kebijakan. Literatur yang objektif mengenai keruntuhan pemerintahan kolonial Hindia Belanda menjadi penting, karena dapat menjawab alasan dibalik keinginan Kerajaan Belanda untuk kembali memerintah Indonesia setelah menyatakan dirinya merdeka. Selain itu, pembaca juga bisa lebih mendapatkan gambaran tentang alasan dibalik berubahnya pandangan golongan nasionalis yang awalnya menyambut baik penuh harapan penunjukan Gubernur Jenderal Tjarda (menjabat tahun 1936-1942) karena latar belakangnya yang liberal dan humanis, menjadi kritis menganggap masa pemerintahan itu tidak memberikan hasil seperti yang diharapkan di awal dengan menganggap ia sama konservatifnya dengan gubernur jenderal sebelumnya.
Analisis yang digunakan penulis di dalam buku ini juga mendalam. Sebelum mengkaji faktor perumusan kebijakan, penulis terlebih dahulu memaparkan latar belakang dibaliknya seperti perubahan struktur pemerintah kolonial, dinamika situasi politik internasional terutama yang berkaitan dengan ekspansi Jerman dan Jepang, serta dinamika pergerakan kaum bumiputera di dalam negeri.
Jarang sekali buku sejarah yang membahas tentang salah satu sosok Gubernur Jenderal, terutama Tjarda yang hanya beberapa tahun menjabat saja.
Buku ini sangat baik karena memandang sejarah dari sisi diplomasi dan tata negara. Sesuatu yang jarang sekali ditemukan sampai saat ini.
Secara garis besar, buku ini mencoba menjelaskan bagaimana masa-masa terakhir Hindia Belanda dengan mengkaji melalui pengambilan kebijakan semasa Gubernur Tjarda.
Pada akhirnya meskipun tipis namun ternyata buku ini padat informasi, wabilkhusus melihat runtuhnya koloni Hindia Belanda dari meja kantor pemerintah kolonial.
Buku ini memberikan informasi yang sangat penting mengenai karakteristik pemerintahan kolonial Hindia Belanda, terutama mengenai kepentingan golongan konservatif-reaksioner-etis dalam politik pengaplikasiannya di Hindia Belanda. Beragam warna politik di kerajaan Belanda berdampak pula pada wilayah jajahannya termasuk Hindia Belanda (Indonesia). Kerajaan Belanda pada buku ini diceritakan sebagai monarki yang tidak mengikuti trendsetter ketika Prancis dan Inggris menjadi begitu liberal pada koloninya, Belanda ternyata tidak menjadi follower hal tersebut
Buku ini yaa sudah pasti menguatkan argumen saya selama ini yang selalu saya share ke siapa pun bahwa tidak pernah ada suatu penjajah yang akan berpihak pada koloninya. Mau itu Gubernur Jendralnya mantan diplomat dengan keyakinan politik etisnya yang kental dan katanya liberal and egaliter ternyata itu bukanlah jaminan bahwa penjajah akan lebih baik pada masyarakat yang dijajahnya
Dan juga yang paling penting dari buku ini adalah kesadaran bahwa penting untuk mengkritisi sejarah tentang "kebaikan" dan "keberpihakan" kolonial Belanda bagi pribumi Hindia Belanda. Kita tak usah menjadi naif bahwa ternyata ada kebaikan pemerintah kolonial Belanda terhadap masyarakat pribumi. Keburukan, kerusakan, kebejatan penjajah Belanda lebih besar dari segalanya yang merusak kehidupan pribumi masyarakat Nusantara ratusan tahun.
Mengenai peliknya menjadi gubernur jenderal di tengah gejolak politik dunia dan di Hindia Belanda sendiri. Ketika politik etis kemudian berganti dgn politik represi oleh gubernur jenderal de Jonge. Tjarda diwarisi sebuah wilayah koloni yg sudah menghendaki otonomi. Belum lg dgn bangkitnya Nazi, diikuti dgn pembentukan NSB di Belanda. Lalu jatuhnya Kerajaan Belanda ke tangan Jerman. Merebaknya fasisme serta ancaman Jepang yg sudah memulai ekspansinya. Proposal Tjarda untuk membentuk Hindia Belanda yg mandiri kepada Kerajaan Belanda yg sedang dalam pengasingan ditolak oleh Menteri Kolonial Welter krn Hindia Belanda diibaratkan sebagai “gabus tempat Belanda mengapungkan dirinya”. Sehingga dgn berdaulatnya Hindia Belanda, Kerajaan Belanda sendiri (yg saat itu dalam pengasingan) bagai sebuah pemerintahan tanpa wilayah.
This entire review has been hidden because of spoilers.
Topik ini sangat menarik, namun saya rasa sayangnya banyak teknik penulisan yang masih perlu disempurnakan lagi. Pada segmen-segmen awal penyampaian narasi terasa lambat dan beberapa hal mengalami pengulangan. Segmen akhir yang menurut saya paling seru justru terlalu singkat padahal sepertinya banyak detail yang lebih bisa disingkap. Jujur saja bagian akhir buku mengenai detik-detik datangnya Jepang menguasai Hindia Belanda sangat menarik dan sepertinya layak untuk diangkat ke layar lebar dengan pembawaan seperti film Oppenheimer.
Secara umum saya sangat mengapresiasi hadirnya buku sejarah tentang episode kolonialisme di Indonesia yang jarang diketahui publik seperti ini (sepertinya karena kurikulum sejarah di sekolah tidak mungkin serinci ini). Diperlukan lebih banyak buku sejarah yang menyasar publik luas. Keren!
👨🏼✈️Gubernur Jendral Alidius Warmoldus Lambertus Tjarda van Stankerborgh-Stachouwer berhasil mempertahankan Hindia Belanda dengan imperium negara induknya yaitu Negri Belanda. Dengan style nya yang berdiplomat aliran liberal, beliau tidak pernah masuk ke dalam salah satu partai politik sehingga menjadikan salah satu poin kelemahannya dalam berpolitik. Terlepas dari sisi tsb, sisi terang lain yang ia datangkan ke Hindia Belanda untuk masyarakat adalah bidang sosial dan kebudayaan.
Buku ini cukup menarik untukku karena melihat sisi POV keruntuhan Pemerintahan Hindia Belanda dengan segala faktor eksternal yg terjadi pada kebijakan dan juga tatanan negara hingga tahun 1942.
pilihan pada tjarda -sebagai GG terakhir dalam periode kolonisasi Belanda di Hindia- saya nilai jitu. ini pilihan yang pantas karena buku ini hendak memperlihatkan kekuatan-kekuatan non-personal yang bekerja pada jabatan GG serta nasib tanah koloni yang dalam kekuasaan dia. selama ini, penulisan sejarah terlalu memberi peran besar pada 'individu hebat' dan mengesampingkan kekuatan non-personal [misalnya: kondisi ekonomi, politik, sosial dsb.] di masanya.
tentang tjarda, dia sangat dihormati bahkan juga oleh lawan-lawan politiknya. sjahrir menyanjungnya sebagai lebih manusiawi dibanding pendahulunya. tjarda sesungguhnya merupakan figur yang memainkan peran besar pada keruntuhan Hindia Belanda dan secara tidak langsung pada kelahiran negara Indonesia.
penelitian yang mendahului buku ini menyajikan penjelasan mengenai masa pemerintahan gubernur jenderal terakhir Hindia Belanda tersebut. masa pemerintahan tjarda menyimpan episode-episode penting mengenai pemantik motivasi kemerdekaan indonesia.
melalui sejarah tokoh yang menjabat peran publik inilah sejarah mengungkap atmosfer jaman ketika sang tokoh menjalankan tugas jabatannya.
Sebuah buku Sejarah yang membuka tabir masa-masa akhir Hindia Belanda yang jarang dibahas oleh sejarawan dengan fokus utama Gubernur Jenderal Tjarda yang bergulat dalam misi mempertahankan Hindia Belanda. Memperlihatkan masa kolonial Belanda pada abad ke 20 hingga kebijakan pemerintah kolonial dalam tekanan kondisi politik global yang sedang high tension menuju PD II.