Muslims and Matriarchs is a history of an unusual, probably heretical, and ultimately resilient cultural system. The Minangkabau culture of West Sumatra, Indonesia, is well known as the world's largest matrilineal culture; Minangkabau people are also Muslim and famous for their piety. In this book, Jeffrey Hadler examines the changing ideas of home and family in Minangkabau from the late eighteenth century to the 1930s. Minangkabau has experienced a sustained and sometimes violent debate between Muslim reformists and preservers of indigenous culture. During a protracted and bloody civil war of the early nineteenth century, neo-Wahhabi reformists sought to replace the matriarchate with a society modeled on that of the Prophet Muhammad. In capitulating, the reformists formulated an uneasy truce that sought to find a balance between Islamic law and local custom. With the incorporation of highland West Sumatra into the Dutch empire in the aftermath of this war, the colonial state entered an ongoing conversation. These existing tensions between colonial ideas of progress, Islamic reformism, and local custom ultimately strengthened the matriarchate. The ferment generated by the trinity of oppositions created social conditions that account for the disproportionately large number of Minangkabau leaders in Indonesian politics across the twentieth century. The endurance of the matriarchate is testimony to the fortitude of local tradition, the unexpected flexibility of reformist Islam, and the ultimate weakness of colonialism. Muslims and Matriarchs is particularly timely in that it describes a society that experienced a neo-Wahhabi jihad and an extended period of Western occupation but remained intellectually and theologically flexible and diverse.
kasih lima bintang karena saya orang minang dan hampir buta akan sejarah nenek moyang saya. buku ini adalah salah satu buku sejarah tentang minangkabau yang telah saya baca dan menarik untuk dibahas.
"bagaimana sebuah suku yang jumlahnya hanya 3% dari keseluruhan penduduk yang ada di hindia belanda memberikan kontribusi sebanyak 90% tokoh-tokoh terkemuka di berbagai bidang di awal indonesia merdeka?"
buku ini jelas di buat untuk menjawab pertanyaan kritis ini, simaklah sejarah minangkabau yang gilang gemilang
Sebuah analisis etnografis yang sangat menarik tentang Minangkabau. Buku ini sangat berkesan dalam menjelaskan hubungan segitiga Islam, kolonialisme, dan sekularisme di Minangkabau. Itulah yang membuat Minangkabau menjadi suatu kenyataan etnografis yang kompleks namun sekaligus banyak menjejakkan pengalaman sejarah kemelut relijius sekaligus kolonialis di Indonesia. Bagi penyuka sejarah dan etnografi, buku ini - dengan analisis tajam dan gaya penulisan yang 'renyah\ - buku ini wajib dibaca!
Telaah yang teliti seputar "persimpangan zaman" bagi masyarakat Minang. Saat pandangan dunianya berubah oleh kedatangan agama (Islam) dan kolonialisme. Lewat sumber-sumber terbatas seperti memoar Imam Bonjol, buku ini berhasil membukakan bahwa sejarah arus utama dipenuhi hanya oleh cerita sang pemenang. Ini buku wajib bagi orang Minang.
This book is one of the best research on minangkabau culture, it gives the another point of view to understand the historical side of the minangkabau culture, unfortunately the research was based on literature only.
As a person from Minangkabau, I learned alot from this book.
The history during Dutch Colonialism, the stories of some important figures (Imam Bonjol, Hamka, etc.), and some stories about Minangkabau families' way of live during 1800-1925 help me to have a "big picture" regarding Minangkabau, especially its history, strength, and problems.
However, sometimes it is difficult to read and understand some historical letters/articles - written in old spelling - provided in this book.
Bahwa adat Minangkabau yang berlaku dan bertahan hari ini adalah hasil dari pergulatan yang tiada putus, dan akan terus berjalan, baik secara kasat mata atau tidak.
Nilai-nilai dalam adat Minang seperti keturunan dari garis ibu, masih akan bertahan sekian abad lagi, walau ditengah makin bergesernya budaya dimana saja didunia ini.
Test pertama oleh reformis-reformis Islam di awal abad ke-19 tidak hanya menguatkan adat ini, namun juga telah menjadikan fondasi bagi lahirnya ABS-SBK, menguatkan adat karena mengakomodasi sesuatu yang tidak akan mungkin dilawannya. Kemudian gempuran hukum kolonial secara tidak langsung juga membuat keinginan bertahan orang Minang akan budayanya semakin kuat. Bagaimana nasibnya kemudian, setelah selamat dari dua cobaan pertama. Adat Minang di dalam pusaran arus global yang dasyat saat ini ? Kemungkinannya, Adat akan menyesuaikan lagi. Karena pada dasarnya orang Minang seperti yang telah dibuktikan oleh sejarah, adalah masyarakat yang terbuka pada pembaruan dan nilai dari luar. Namun seberapa banyak yang mereka sanggup akomodasi dalam Adat dan mau mengadopsi dan mengadaptasi, itu akan menjadi keputusan anak Minang saat ini dan masa datang.