Masa-masa akhir 1920an hingga akhir 1930an di Indonesia lebih banyak dilihat sebagai masa-masa yang lesu dan tidak menarik—bukan hanya karena depresi ekonomi dunia ikut menghantam wilayah koloni, melainkan juga karena luapan aktivisme politik dari dekade sebelumnya ditumpas dan dikekang dengan ketat oleh pemerintah kolonial.
Melacak sumber-sumber dari majalah-majalah terbitan serikat buruh, artikel-artikel koran, dan laporan-laporan dinas intelijen kolonial dari periode tersebut, John Ingleson berusaha menunjukkan bahwa di dalam ruang gerak yang sempit itu sesungguhnya berlangsung suatu pergulatan menarik dari para aktivis buruh dan politik yang terus berjuang mencari celah untuk menantang pihak majikan, negara kolonial, serta kepasrahan masyarakat itu sendiri.
Cara-cara konfrontatif ditinggalkan, dan sebagai gantinya serikat-serikat buruh memusatkan aktivitas pemenuhan kesejahteraan anggotanya melalui inisiatif-inisiatif dana gotong-royong, kursus-kursus bahasa, konsultasi hukum dlsb. Melalui wahana inilah kaum buruh perkotaan belajar berorganisasi dan berpolitik, sementara majalah-majalah serikat yang menjangkau sampai lapis bawah masyarakat perkotaan berperan penting dalam mendorong gagasan tentang Indonesia merdeka. Pengalaman penguatan masyarakat dari era inilah yang kemudian menjadi landasan gerakan buruh pasca kemerdekaan Indonesia.
Kebetulan sekali selesai membaca buku ini bertepatan dengan Hari Buruh Internasional.
Dinamika pergerakan buruh era kolonial khusunya periode 1920 s.d 1930 dapat dirangkum dalam satu kata yaitu: konsolidasi.
Banyak sekali kisah penyatuan yang berusaha dirajut kembali para serikat buruh yang berulang kali jatuh bangun dihajar pemerintah kolonial dan para majikan yang merepresi perkembangan nya dengan begitu mafhum.
Namun yang patut diingat bahwa hubungan serikat buruh dan partai politik pada masa ini masih terjalin meski sedikit tersendat pasca aksi mogok massal yang diinisiasi VSTP. Berbeda dengan sekarang yang kita tahu bersama bahwa serikat buruh dan partai politik saling memunggungi.
As a work of history this book is impressively solid in its treatment of labour and trade-union dynamics during the 1920s and 1930s. It maps the constant tug-of-war among rival unions, party and non-party currents, the endlessly debated issues of race and class, and the urban–rural divide that shaped union activity under colonial rule. I learnt a good deal that was new to me, not least how the colonial army spied on labour unions to ensure they steered clear of any political ideology—in that era chiefly communism and Islam, a practice that has, tellingly, changed little to this day.
Another revelation was the way India’s anti-colonial struggle—above all the Swadeshi movement—influenced labour unrest in the 1930s, although some criticised Gandhi’s anti-technology stance. The chapter on anti-technology is especially illuminating, showing how the labour movement was caught between anti-colonial and anti-capitalist impulses: unions with a class-based outlook vilified capitalism, whereas those tied to nationalist circles regarded colonialism as the primary enemy. The anti-capitalist strand, in this context, often shaded into outright hostility to technology—fascinating reading.
My only regret is that the labour conflicts of the 1920s receive far less attention than the pre- and during-Depression years of the 1930s. Events such as the railway workers’ strike in 1923 and the communist uprising of 1926–27 are mentioned only in passing. A pity.
Sangat banyak informasi tentang yang terjadi di Jawa pada masa 1927-1934, terutama persaingan faksi-faksi politik dalam berebut pengaruh atas serikat-serikat buruh. Tiga faksi besar itu adalah Partindo (partainya Sukarno), PNI Baru (Hatta dan Sjahrir), dan Indonesische Studie Club yang berubah menjadi Partai Bangsa Indonesia (PBI, dipimpin Sutomo). Selain itu, dijelaskan panjang lebar dinamika hubungan pemerintah kolonial Hindia Belanda dengan serikat-serikat buruh, yang secara garis besar isinya tarik ulur kepentingan mengenai besaran upah, terutama pada masa-masa sulit Depresi pada awal 1930-an.