What do you think?
Rate this book


386 pages, Paperback
First published February 11, 2016
Ced mempercepat langkahnya, menoleh dan menatap wajah Senna. Ced berjalan mendului, membalik tubuhnya untuk menghadap Senna dan berjalan mundur. Diperhatikannya setiap jenggal wajah Senna. Matanya, alisnya, hidungnya, bibirnya, pipinya, hingga Ced tersenyum tanpa sadar. Bagaimana bisa perasaannya terasa sedamai ini hanya dengan menatap wajah cantik di hadapannya?
"Buat bahagia itu enggak susah, kok. Dalam keadaan apa pun seharusnya kita bisa bahagia, karena bahagia itu pilihan."
"Dulu Papa bilang ke aku, walaupun aku sekarang buta, bukan berarti aku enggak bisa bahagia. Kunci terbesarnya, menikmati apa yang kita punya dan enggak serakah."
"Kadang ada yang lebih berharga dari impian kita. Kebahagiaan orang itu, lebih berharga dari ambisi kita."
"Dia enggak sepenuhnya hebat. Semakin aku kenal dia, semakin aku tahu banyak kelemahannya. Dia gampang nangis, gampang takut, gampang cemas, hatinya sekeras kayu. Tapi setiap dia senyum, aku sadar aku enggak mau kehilangan senyum itu. Dia bikin aku sadar, kalau kadang melihat orang lain bahagia itu juga bisa buat kita bahagia."
"Lelaki yang terobsesi sama kayu, tapi takut sama marionette. Dia galak dan tertutup. Semua perasaan dan pikirannya dia simpan sendiri. Kamu tahu lignum vitae? Dia mirip kayu itu. Kuat, keras, unik, tapi ternyata minyak dari kayu itu biasa dijadikan obat. Kayu yang mengobati," ujar Senna sambil menerawang jauh.
"Namanya lignum vitae. Warnanya unik, aromanya enak. Minyaknya biasa dipakai untuk perfume base," ujar Ced, bercerita semangat tentang salah satu jenis kayu favoritnya. "Kayunya kuat dan padat, gampang banget tenggelam di air. Jaman dulu, orang-orang pakai kayu itu untuk obat. Menarik, kan? Kayu yang bisa mengobati."
"Ponsel kamu mana?" tanya Ced tiba-tiba.
"Ponsel?" Senna merogoh tasnya, mengeluarkan ponselnya. "Kenapa?"
"Pinjem bentar." Ced segera meraih ponsel di tangan Senna. Dengan lincah jarinya menekan tombol-tombol di sana, membuka pengaturan. Ced segera mengetikkan nomornya di sana. "Kalau ada apa-apa, misal kamu butuh bantuan atau mungkin kamu sekadar kesepian, kamu tekan nomor dua. Kayak gini."
Ced menekan tombol nomor dua di ponsel Senna lama, hingga ponsel di kantong celananya berbunyi. "Dan aku bakal ada buat kamu," ujar Ced sambil tersenyum tipis. Ced meraih tanggan Senna dan mengembalikan ponsel itu ke genggamannya.
“Buat bahagia itu enggak susah, kok. Dalam keadaan apa pun seharusnya kita bisa bahagia, karena bahagia itu pilihan.” –Come Back to Me, hlm. 115
Ya, makanya cari! Kalau kamu enggak bisa lihat, kamu masih punya telinga, punya tangan. Dengar, sentuh, gunakan semua yang kamu bisa, Senna!