What do you think?
Rate this book


265 pages, Paperback
First published September 1, 2015
"Aku cuma mau tanya, kamu masih suka pedas, tidak?"
Butuh dua hingga tiga detik keheningan bagi Sarif untuk mencerna pertanyaan Nur.
"Kalau pedas itu artinya kamu, berarti iya, aku masih suka pedas."
"Apa kamu pernah keracunan?" tanya Nur.
"Belum. Tapi, aku tidak keberatan kalau kamu mau meracuniku."
Nur tertawa. "Aku harap aku bisa meracunimu. Tapi, aku tidak punya kemampuan membuat racun. Aku cuma bisa bikin bubur pedas. Kamu mau?" (hal. 85)
"Dari mana kamu belajar membuat racun seenak ini, Nur?"
[...]
"Ibuku. Dia pandai sekali membuat racun."
"Ibumu pembunuh profesional, kalau begitu."
"Tentu saja. Lalu, ia menurunkan bakatnya itu kepadaku."
"Aku rela mati, Nur, di tanganmu."
"Ya, kalau kamu suka, aku akan membunuhmu setiap hari." (hal. 88)
"Di Jakarta, Nur, uang sebanyak itu akan habis untuk membangun tempat hiburan," kata Sarif. "Dan jika kukatakan tempat hiburan, yang kumaksud adalah tempat-tempat yang hanya menghabiskan uangmu tanpa manfaat apa pun."
"Mal?" tanya Nur.
"Tidak harus mal. Iblis bisa mengambil wujud apa pun."
Nur tertawa. "Bagaimana bisa mal menjadi iblis?"
"Segala hal yang membuatmu terlena adalah iblis." Sarif menoleh kepada Nur. "Termasuk kamu juga. Kalau kamu membuatku terlena, kamu adalah iblis. Tapi, aku tidak masalah kalau dirasuki iblis seperti kamu." (hal. 115)
Ketika itu adalah hari Senin di bulan Februari, empat tahun lalu. Udara begitu kering dan langit biru tanpa awan. Nuraini Abubakar berusia tujuh belas tahun, tepat tujuh belas tahun, tidak kurang dan tidak lebih. Langit di kota Pontianak tampak kelabu, namun tidak wajah Nur. (hal. 74)
"Kamu tidak keberatan ayahmu bermain kayu?"
"Semua orang mencuri, Nur. Hanya berbeda cara dan objeknya."
"Aku tidak setuju," kata Nur. "Aku tidak mencuri apa-apa dari siapa-siapa."
Mei tersenyum. "Kamu mencuri hati Sarif dari dirinya." (hal. 231)
"Pertanda cinta mulai tumbuh : rasa takut kehilangan." - Jika Aku Milikmu.