Jump to ratings and reviews
Rate this book

30 Paspor di Kelas Sang Profesor - Buku 1

Rate this book
Paling lambat 1,5 bulan ke depan, kalian semua harus sudah berangkat!

Demikian ucapan Prof. Rhenald Kasali pada hari pertama masuk kuliah Pemasaran Internasional yang sontak membuat kelas gaduh luar biasa. Negara tujuan ditentukan saat itu juga. Sementara paspor harus didapatkan dalam waktu dua minggu ke depan.

Metode kuliah yang awalnya ditentang banyak orang tersebut—dari orangtua mahasiswa sampai sesama dosen—terbukti menjadi ajang “latihan terbang” bagi para calon rajawali. Demikian Prof. Rhenald mengibaratkannya. Tersasar di negeri orang dapat menumbuhkan mental self driving, syarat untuk menjadi pribadi yang bebas, mandiri, dan bertanggung jawab.

Dalam jilid pertama buku ini, para mahasiswa mengalami sendiri berbagai pengalaman unik. Ketinggalan pesawat, digoda kakek-kakek genit, kena tipu oleh pengemis, adalah beberapa di antaranya.

**

“Tiga puluh mahasiswa yang hebat ini tidak perlu kelas perkuliahan untuk jadi sarjana yang siap terjun ke kejamnya persaingan hidup masa depan. Kelas mereka adalah alam jagat raya ini, yang hanya bisa dimasuki dengan keberanian, bukan diabaikan sambil bermalas-malasan. Dan mereka telah berhasil melaluinya dengan perjuangan sendiri yang penuh lika-liku dan tanjakan yang terjal.”
—Dahlan Iskan, Menteri BUMN

“Duduk manis sambil melipat tangan di bangku kelas dan mendengarkan kalimat dosen dengan baik membuat kita jadi anak pintar. Sendirian nyasar keliling dunia guna memenuhi tugas sang profesor ini menjadikan kita manusia luar biasa.”
—Alfatih Timur, founder kitabisa.co.id

328 pages, Paperback

First published October 1, 2014

87 people are currently reading
926 people want to read

About the author

J.S. Khairen

18 books679 followers
Usahakan baca minimal 1 fiksi, dan 1 non-fiksi setiap bulan. Fiksi untuk hati, non-fiksi untuk kepala.

Ini juga pesan untuk kawan-kawan yang mencoba merintis jadi penulis. Jika ada yang menganggap karyamu baik, maka syukuri dan jangan terlalu terbang. Rekam itu di ingatan, jadikan dorongan untuk memberi dampak dan membawa pesan-pesan yang seru dan penting.

Jika rupanya ada yang tak suka, memberi kritik, saran, itu tak masalah. Beberapaa kritik malah bisa jadi pelontar yang ampuh untuk karyamu berikutnya. Lagi pula, orang sudah keluar uang untuk beli karyamu, masa mengkritik saja tidak boleh. Selama sesuatu itu karya manusia, pasti ada saja retak-retaknya.

Lain cerita jika menghina. Memang benar tak harus jadi koki untuk bisa menilai satu menu masakan itu enak atau tidak. Namun cukup jadi manusia untuk tidak menghina makanan yang barang kali tak cocok di lidahmu, kawan.

“Karya yang terbaik adalah karya yang selanjutnya.” Bisik seorang sahabat. “Tulislah sesuatu yang bahkan engkau sendiri akan tergetar apabila membacanya.” Sambung sahabat yang lain.

Ratings & Reviews

What do you think?
Rate this book

Friends & Following

Create a free account to discover what your friends think of this book!

Community Reviews

5 stars
154 (33%)
4 stars
163 (35%)
3 stars
109 (23%)
2 stars
23 (4%)
1 star
12 (2%)
Displaying 1 - 22 of 87 reviews
Profile Image for nindy.
29 reviews25 followers
July 5, 2015
"Serius kamu sering ke mana-mana sendirian?"
"Apa enaknya coba nge-mal sendirian?"
"Trus kamu ngapain jalan-jalan sendirian?"
"Kok kasihan sih kamu, kayak jones (jomblo ngenes) aja."

Begitulah reaksi teman-teman saya saat mereka tahu kalau saya hobi jalan sendirian. Bahkan, cenderung menikmati. Memang destinasi alone-hang-out saya belum seberapa jauh, masih seputar Surabaya saja. Namun, dari kegemaran mengelilingi kota secara mandiri ini, saya hampir selalu menemukan kesegaran untuk asupan otak. Ada saja hal menarik untuk ditambahkan dalam stok pengalaman saya.

Kalau alone-hang-out di kota tempat tinggal saja sudah memberi beragam kesan, bisa dibayangkan dong, bagaimana kayanya pengalaman yang akan kita dapat nanti ketika melakukan solo traveling?
Iya, traveling. Berwisata. Tak tanggung-tanggung, bukan di dalam negeri, melainkan luar negeri. Yang tidak berbahasa Melayu pula. Singapura, Malaysia, Brunei Darussalam, dan Timor Leste tidak masuk daftar. Inilah yang dialami oleh mahasiswa Pemasaran Internasional (Pemintal) FE UI yang diasuh Prof. Rhenald Kasali.

Pada pertemuan awal kuliah Pemintal, Prof. Rhenald memberi tugas yang, menurut saya, unik: membuat paspor. Kali pertama saya mendengar berita 'tugas unik' ini dari mama, yang tiba-tiba bercerita mengenai seorang dosen Universitas Indonesia yang mewajibkan mahasiswanya punya paspor. Hanya sebatas itu, entah dari mana mama mendapat berita ini. Tapi, saat mendengar cerita mama, saya sudah memberikan semua rasa setuju saya pada sang dosen --yang saat itu belum saya ketahui namanya--. Ide dosen ini menarik; punya paspor saja dulu, urusan mau diisi sama cap stempel negara mana sih belakangan, begitu pikir saya. Hal inilah yang memotivasi saya untuk membuat paspor (walau belum tahu akan digunakan ke mana).

Tidak disangka, ternyata berita yang saya dengar kala itu dibukukan dalam 30 Paspor di Kelas Sang Profesor. Sebelumnya saya pernah melihat buku ini di toko buku, tapi tidak terpikir untuk mengintip sinopsis yang ada pada cover belakangnya. Saat akhirnya saya membeli buku ini, saya sudah dibuat kagum dengan kata pengantar Prof. Rhenald. Tentu bukan tanpa alasan beliau memberi tugas ini pada mahasiswanya.
"Paling lambat dalam 1,5 bulan ke depan, kalian semua harus sudah berangkat (ke luar negeri)!"
Jangan salah sangka mengira 'tugas' rasa liburan ini akan terasa seperti wisata lainnya. Seluruh mahasiswa Pemintal harus melakukan tugas ini sendiri; mulai dari mengurus paspor, visa, menyusun rencana perjalanan, memesan tiket akomodasi dan penginapan, serta perintilan lain yang dibutuhkan. Tidak boleh dibantu orang tua, calo, atau jasa travel . Tidak boleh ditemani. Benar-benar serba mandiri. Ada alasan yang, sejujurnya, membuat saya setuju dengan tugas kontroversial ini: para mahasiswa harus merasakan 'kuliah' yang diajarkan langsung oleh kehidupan, melatih self driving dan leadership mereka.

16 cerita yang disajikan pada buku pertama 30 Paspor di Kelas Sang Profesor ini berisi pengalaman para mahasiswa Pemintal angkatan 2011 selama perjalanan mereka di negeri orang. Gaya penulisannya pun beda-beda. Menurut saya, tidak terlalu rapih dengan beberapa kekeliruan penempatan tanda baca dan peletakan kalimat --yang tentu saja akan menimbulkan persepsi ganda-- yang seharusnya sudah disunting terlebih dahulu oleh editor. Saya memaklumi, mahasiswa-mahasiswa ini bukanlah penulis buku. Namun harus saya akui, tulisan mereka tidak bisa dikatakan buruk. Saya cukup enjoy membacanya, serasa sedang blogwalking.

Untuk tata letak buku atau layout-nya sendiri, saya merasa kurang nyaman dengan cara penulisan beberapa kalimat yang seolah-olah dibuat kutipan dengan mengganti font, warna, dan ukuran yang berbeda dengan body text. Saya tahu, mungkin maksud penyusun di sini untuk memberi penekanan pada kalimat yang diinginkan. Cukup kreatif sebenarnya, tapi ukuran huruf yang kadang besar kadang kecil membuat kutipan ini tampak tidak konsisten, toh besar-kecilnya kata juga tidak memiliki pengaruh yang signifikan.
Saya juga agak terganggu dengan penulisan nama penutur cerita (mahasiswa) pada halaman bab yang dibuat dengan latar belakang warna oranye-jingga tetapi font-nya diberi warna putih dan jenis font yang tipis dan berukuran kecil. Ini menyulitkan saya sebagai pembaca untuk mengetahui siapa yang menulis cerita pada setiap bab. Akan lebih baik kalau menggunakan jenis font yang agak tebal sehingga pembaca tidak perlu mendekatkan halaman untuk mengetahuinya dengan jelas.

Dari berbagai cerita dalam 30 Paspor di Kelas Sang Profesor, ada beberapa cerita yang menarik perhatian saya, entah karena pengalaman yang luar biasa (well, sesungguhnya semua pengalaman dalam buku ini sangat luar biasa), entah karena pengetahuan baru yang saya dapatkan di sini. Bab Bercukur Hingga ke Negeri Kincir Angin, misalnya. Saya terharu dengan tercapainya mimpi sang mahasiswa untuk mengunjungi Schorem yang ternyata memang sudah diidamkan sejak lama. Atau tentang bagaimana pemerintah Nepal sangat mempedulikan pendidikan sehingga menggratiskan semua biaya pendidikan di sana yang diceritakan dalam Kacamata Baru Made in Nepal. Bab Sempitnya Sepatuku yang menceritakan perjuangan si mahasiswa untuk memenuhi tugas Pemintal ini juga tidak kalah mengharukan. Kalian harus membacanya sendiri agar tahu bagaimana perasaanku saat ini.

"Kita pergi jauh untuk menyadari di mana rumah kita yang sebenarnya." -Halaman 21.
"Dosenku sering berpesan di depan kelas bahwa orang membutuhkan pressure supaya mereka bisa melakukan hal-hal yang tidak mereka duga bahwa mereka bisa melakukannya." -Halaman 47.

Banyak yang saya dapatkan ketika menyelesaikan membaca buku ini. Mulai dari bagaimana susahnya mencari makanan halal di negara yang mayoritas penduduknya non-muslim, bahagianya bertemu sesama warga Indonesia di negeri orang, pentingnya kewaspadaan agar tak menjadi sasaran empuk penjahat di tempat asing, hingga pelajaran-pelajaran hidup seperti keharusan mengambil keputusan secara cepat dan bagaimana kita dituntut untuk menyelesaikan masalah secara mandiri dan mengandalkan diri sendiri. Saya simpulkan, solo traveling --apalagi ke luar negeri-- sangat baik untuk membangun karakter diri.

Saya pernah mendengar, atau mungkin membaca, kalimat yang kurang lebihnya seperti ini (tepatnya di mana, saya lupa, jadi maafkan), "Traveling-lah, maka pikiranmu akan terbuka." Kalimat ini bisa dibilang menggambarkan 30 Paspor di Kelas Sang Profesor.
Selain itu, saya juga mencatat dua kutipan yang menyimpulkan garis besar buku ini.
"The world is a book and those who do not travel read only one page." -Augustine of Hippo.
"Travel far enough, you meet yourself." -David Mitchell.

Bagi saya, 30 Paspor di Kelas Sang Profesor sangat memotivasi saya untuk melakukan perjalanan jauh sendirian, utamanya ke negeri orang. Membacanya sempat membuat saya berandai-andai, "Coba aja aku jadi mahasiswanya Prof. Rhenald Kasali..." Beruntunglah mereka --para mahasiswa Pemintal FE UI-- yang mendapat kesempatan dan pengalaman menyelesaikan tugas inovatif ini.
Buku ini merupakan buku yang wajib dibaca oleh siapa saja, khususnya para pendidik --guru, dosen, maupun orang tua-- juga anak-anak muda generasi saya. Semoga setelah membaca 30 Paspor di Kelas Sang Profesor, banyak dari kita yang terinspirasi dan termotivasi untuk menjadi manusia yang lebih baik, seperti halnya buku ini menginspirasi dan memotivasi saya.

Sudah dipastikan: saya akan membeli buku kedua.
Profile Image for Rhein.
Author 7 books173 followers
October 8, 2014
Baca buku 1 dulu. Baca kata pengantar pak Profesor, saya langsung tergugah dan semakin semangat urusan berpetualang ke luar negeri lagi.

Membaca cerita-cerita para mahasiswa di buku ini seru sekali. Berkali-kali saya senyum-senyum sendiri. Mengingatkan saat saya juga pertama kali ke luar negeri sendirian, luntang-lantung, nyasar, ketemu penduduk lokal yang ngga bisa bahasa Inggris, kebingungan, terdampar malam-malam di kota yang sepi, jalan kaki jauuuuuhhh, tanpa koneksi internet dan susah mencari google maps saat mencari hostel yang sudah dibooking. Ketika ketemu orang baik, orang nyebelin, sampai urusan ditipu. Yang paling bikin ngakak saat salah seorang penulis memakai tongsis! Sumpah, saya juga mengalami hal sama.. Karena backpacking sendirian, pengen foto2 susah, akhirnya selfie pakai tongsis dan dilihatin orang-orang sekitar. Hahaha.. Kayaknya tongsis ini belum populer di luar negeri yah. Ah, Indonesia sebenarnya punya teknologi canggih praktis yang ngga kalah keren ternyata. Hahaha..

Jangan bandingkan buku ini dengan buku2 traveling yang menjamur. It's not apple-to-apple. Dalam buku ini kita bisa melihat semangat, gairah, tentang keberanian, kemampuan berkomunikasi, mengontrol diri sendiri, bagaimana membuka pikiran, mengambil keputusan dengan cepat di situasi terdesak, mempertahankan argumen. Dan semuanya dilakukan saat kita sendirian, terasing, di negeri orang, dalam usia yang masih muda (usia semua penulis di bawah 25 tahun).

Membaca buku ini menyadarkan, bahwa jangan jadi katak dalam tempurung. Pergilah melanglang buana, seperti perintah Allah dalam Al-Qur'an, "Berjalanlah di muka bumi dan perhatikanlah, bagaimana Allah memulai ciptaan, kemudian Ia mengulangi penciptaan itu sekali lagi. Sesungguhnya Tuhan Berkuasa atas segala sesuatu."
Profile Image for Darnia.
769 reviews113 followers
February 14, 2017
Tugas Prof. Rhenald Kasali untuk menggembleng mahasiswa kelas Pemintal (Pemasaran Internasional) ini terbilang cukup kontroversial dan unik. Para mahasiswa tersebut diharuskan membuat paspor dalam waktu 2 minggu, kemudian mereka harus pergi ke luar negeri, ke negara yg tidak berbahasa serumpun (Malaysia, Brunei dan Timor Leste) dan kembali sebelum UTS. Mereka harus pergi sendiri tanpa ditemani orang tua atau kenalan, dan masing-masing negara hanya boleh dikunjungi satu mahasiswa di tahun yg sama. Seru ya!

Membaca pengalaman para mahasiswa ini, dari usaha mereka untuk memenuhi tugas pertama, yaitu membuat paspor, hingga kesan mereka setelah kembali dari perjalanan, sangat menarik. Dari kisah yg semuanya berjalan mulus hingga yg mengalami the power of kepepet, diceritakan dengan sangat seru. Gw pribadi menikmati membaca petualangan para anak muda ini, terutama yg mengunjungi negara-negara macam Nepal, Bangladesh dan Myanmar. Salut dengan keberanian (dan kenekatan) mereka.

Jadi pingin bikin paspor (iya..gw gak punya paspor *hiks mode on*)

Terima kasih iPusNas atas peminjaman bukunya
Profile Image for Isnaini Nuri.
94 reviews23 followers
March 23, 2015
Seorang guru yang luas biasa akan menghasilkan murid-murid yang luar biasa pula...

Nyentriknya gaya mengajar Pak Renald Khasali, yang lebih nyentrik dari kelas kewirausahaan dan LSSE yang menurut saya adalah kelas termenarik yang pernah saya ikuti, yang memaksa murid-muridnya untuk bolang keluar negeri sendirian. Gak cuma sendirian berangkatnya tapi juga sendirian ngurus perjalanannya. Dari urusan paspor sampe urusan itinerary..

Dunia ini adalah buku. Mereka yang tidak pernah bertualang tidak akan pernah beranjak dari halaman pertama buku tersebut. Sepertinya ungkapan tersebut lumayan cocok untuk mengkiaskan kelas yang diajar Pak Rhenald. Mereka diajak untuk membalik halaman "buku-buku" tersebut seorang diri. Dipaksa untuk melawan ketakutan diri mereka sendiri, merenung, berefleksi, dan pada akhirnya menemukan diri mereka sendiri. Dalam perjalanan seorang diri itulah mereka melakukan self talk yang pada akhirnya dapat meningkatkan rasa kepercayaan pada diri mereka sendiri. Mengetahui puzzle-puzzle yang selama ini tersembunyi..

Hikss...saya mau dong ikut kelas ini >.<

”Setiap pjalanan mninggalkan cerita tersendiri. Di awal keberangkatan, aku ditekan dgn kesulitan agar bisa mngambil keputusan, diakhir perjalanan, aku diberi kemudahan agar bisa mendengarkan sekitar.”

"Bilbo bisa pulang membawa emas. Huck Finn pun bisa membebaskan Jim. lalu apa yg aku bawa dr perjalanan ini? Memang tak kelihatan, tapi aku yakin kini aku menjadi manusia yg lebih kaya dari sebelumnya."
Profile Image for Steven S.
697 reviews67 followers
January 5, 2015
Akhirnya tuntas sudah rasa penasaran membaca catatan perjalanan para mahasiswa UI kelas pemasaran internasional yang ditugasi untuk “nyasar” di negeri orang. Disini Pak Rhenald Kasali mendorong para anak didiknya untuk mempraktekkan bagaimana kita bisa menjadi seorang yang bermental pengemudi atau “Self driven” bukan mental penumpang. Hal tersebut bisa dialami jika di kehidupan sehari-hari, dimulai dari kelas di hari pertama para mahasiwa harus keluar dari zona nyaman untuk mengurus kepergian mereka sendiri. Mulai dari pembuatan paspor, rencana perjalanan, dan biayanya.

Selengkapnya dapat dibaca di http://t.co/Mvx2OF8N4J
Profile Image for Fany Arfi.
51 reviews48 followers
November 8, 2017
saya selalu tertarik dengan buku atau novel/buku bergenre travel. tapi buku ini beda, tidak hanya novel yang menceritakan pengalaman masing-masing mahasiswa Prof. Rhenald Kasali dalam menjalankan misi dan tugas kuliahnya, yaitu Pemasaran Internasonal, melainkan juga terdapat pelajaran berharga dibalik perjalanan tersebut. kemandirian, keberanian, tanggung jawab, dan problem-solving diajarkan disetiap langkah mereka ketika menginjakkan tanah di negeri seberang.
kemampuan inilah juga menjadi sebuah modal mahasiswa ketika lulus kuliah nanti.

'satu negara satu orang...tidak boleh ditemani, harus sendiri.' wah ini sih, kalau jadi mereka saya akan berpikiran kacau. sudah resah mau pergi kemana, bagi yang kurang mampu pasti akan memikirkan bagaimana memperoleh biaya berangkatnya. namun karena ini adalah bagian dari tugas kuliah, tentunya tidak bisa dihindari. dimulai dari sini saja mahasiswa nya sudah diajak berpikir kritis bagaimana caranya agar mereka bisa menuntaskan tugas kuliahnya tersebut.

buku ini dikisahkan dan ditulis oleh beberapa mahasiswa, yang mana menariknya menurut saya adalah sebagian dari mereka mungkin tidak memiliki kemampuan yang mumpuni dalam menulis gaya novel. mungkin mahasiswa terbiasa untuk menulis karya ilmiah atau makalah yang bahasanya sangatlah ilmiah, sehingga penulisan kisah novel ini pastilah menjadi challenge bagi mereka dalam mengemas kisah mereka masing-masing menjadi sebuah buku yang dibaca oleh masyarakat luas.

membaca buku ini seperti mendengarkan mereka bercerita pengalaman mereka ketika 'nyasar' dinegeri orang karena masing-masing dari mereka menuliskan dengan bahasa sendiri, tentunya pengalaman mereka masing-masing amatlah menarik untuk disimak.

buku ini ternyata dibuat dalam seri 1 dan 2, pastinya saya akan lanjutkan ke seri 2 dan siap untuk dibawa 'nyasar' oleh mahasiswa Pemasaran Internasional pergi bertualang.
Profile Image for Marina.
2,035 reviews359 followers
February 2, 2015
** Books 02 - 2015 **

Buku ini untuk memenuhi New Authors Reading Challenge 2015 dan Yuk Baca Buku Non Fiksi 2015

Buku ini mengisahkan perjalanan 30 mahasiswa di kelas Pemasaran Internasional di FE UI yang disuruh oleh Dosen Pak Rhenald Kasali dalam semester itu harus berangkat ke luar negeri dengan syarat tidak boleh ada menemani, itinerynya diurus sendiri dan lagi tidak boleh pergi ke negara-negara yang mirip dengan Indonesia (Kayak Brunei Darussalam, Malaysia, Singapura dan Timor Leste). Hal ini bertujuan agar para mahasiswa terbiasa mandiri dan bisa menjadi keluar dari zona aman yang ada.

Saya terpesona membaca catatan-catatan perjalanan mahasiswa di dalam buku ini. Di buku ini terdapat 15 catatan pengalaman dari mahasiswa yang berangkat ke negara lain sebagai berikut :
1. Ragil Caltra Larasati -- Berangkat ke Islandia
2. Ismi Tamara - Berangkat ke Laos
3. Abdurrahman - Berangkat ke Turki
4. Farah Aulia Putri - Berangkat ke Jerman
5. Diana Ridha - Berangkat ke Jepang
6. Ni Luh Putu Eka - Berangkat ke Taiwan
7. Jihan Izdihar Muhammad - Berangkat ke Jepang
8. Dewi Agustin Pratama Sari - Berangkat ke Myanmar
9. Religia Nur Aisyah - Berangkat ke Filipina
10. Egi Widya Nur Iqbal - Berangkat ke Belanda
11. Femi Narita - Berangkat ke Nepal
12. Syarif Awad umar - Berangkat ke China
13. Handy Suberlin - Berangkat ke Bangladesh
14. Rangga Husnaprawira - Berangkat ke New York
15. Delinda Widyastuti - Berangkat ke Korea

Well.. setelah saya membaca bukunya.. saya paling suka cerita yang Ragil pergi ke Islandia.. Soalnya saya tidak pernah punya gambaran untuk kesana dan keliatan sangat menarik untuk dikunjungi.. selain itu negara2 Asia Tenggara seperti Myanmar, Filipina dan Laos yang jarang dikunjungi.. Selain itu nepal dan bangladesh wow... negara yang tingkat risikonya tinggi benar-benar keluar dari zona aman.. Ahh betapa inginnya saya kesana menarik sekali membaca cerita perjalanan mereka.. Buku ini mengisahkan perjalanan mereka ada yang mulai nyasar ke alamat hostel, ketinggalan pesawat, ditipu oleh penduduk lokal, nyaris kecopetan semua ada di dalam buku ini..

Dan saya salut sama teman-teman disini yang mencoba keluar dari zona amannya dan saya paham sekali untuk beradaptasi dan mengambil keputusan secara cepat bukanlah hal yang mudah.. saya ngerasain kok punya orang tua yang harus dinas di luar negeri dan pindah-pindah sekolah dituntut harus belajar cepat beradaptasi dan memiliki inisiatif tinggi, pintar berdiplomasi.. semua itu butuh proses dan bukan hal yang mudah.. tapi mau gak mau kita harus melaluinya kan? *__*

Buku ini saya berikan 3,4 dari 5 bintang! :*

*huhuu kenapaa di kampus sayaa pas ambil mata kuliah Pemasaran Internasional tidak bisa seseru inii yaa tugasnya? :')
Profile Image for Hestia Istiviani.
1,037 reviews1,963 followers
October 16, 2014
Membaca buku ini dalam perjalanan Surabaya - Yogyakarta dengan kereta api bagiku adalah suatu hal yang menarik. Karena apa yang aku baca saat itu, adalah kisah perjalanan yang membuatku terharu sekaligus malu akan diriku sendiri.

Buku pertama ini mengisahkan mahasiswa peserta mata kuliah Pemasaran Internasional (Pemintal) di kelas Prof. Rhenald Kasali. Tugasnya tidak tanggun-tanggung, melainkan dalaman 1,5 bulan (tepatnya sebelum UTS) semua mahasiswa sudah harus terbang ke belahan dunia lain. Tidak hanya itu, mereka harus pergi sendiri ke negara yang tidak menggunakan bahasa Melayu.

Semua tulisan dalam buku ini adalah cerita narasi dari mahasiswa itu sendiri. Tidak berbeda dengan tulisan perjalanan kebanyakan, namun nilai lebihnya adalah mahasiswa tersebut juga mencantumkan bagaimana usaha mereka mendapatkan dana yang cukup untuk pergi, tersesat di tanah orang, hingga bertahan hidup dari perbedaan budaya. Ditambah pula, komentar pelaku perjalanan tersebut setelah "menyelesaikan" tugas dari dosen.

Aku suka sekali buku ini. Dengan sangat jelas, semua penulisnya, termasuk Prof. Rhenald dan asisten beliau, menepuk pundakku, mengingatkan bahwa sudah berusia kepala dua hendaknya sudah melakukan semuanya sendiri. Dalam artian, sudah bisa mengambil kebijakan dan keputusan jalan mana yang akan diambil untuk melanjutkan hidup. Aku terharu membacanya, karena aku malu. Para penulis tersebut seusia denganku, angkatan 2011, namun sudah bisa mengusahakan semuanya sendiri agar bisa merantau, melihat dan merasakan perbedaan budaya manusia sehingga bisa dijadikan pengetahuan untuk landasan mengambil kebijakan.

Buku ini adalah buku yang harus dibaca oleh semua kalangan tidak hanya dosen dan mahasiswa, melainkan siapapun sebab pesan moral yang tersirat di dalamnya sangatlah bermakna. Ambil contoh, walau kita bukanlah anak pejabat, jangan sampai masalah finansial menjadi halangan untuk menggapai mimpi melihat keajaiban di negara lain. Atau, jangan biarkan anak-anak terikat dalam nasihat normatif tanpa membiarkan mereka berinovasi terhadap keputusannya.

Aku sungguh berterima kasih kepada tim penyusun dan yang mengusulkan supaya kisah mahasiswa kelas Pemintal dibukukan. Sangat tidak rugi untuk membelinya. Setiap penulis menceritakan dengan gayanya masing-masing dan itu menarik. Sayangnya, tidak terlalu banyak foto yang disisipkan dalam setiap narasi perjalanannya.
Profile Image for Dani.
2 reviews1 follower
December 24, 2014
Kekuatan dari buku ini terletak pada bagian awal buku. Ttepatnya pada kata pengantar dari Sang Profesor yang menjadi cikal-bakal pengalaman tersasar di negeri orang, pengalaman berinteraksi dengan penduduk asing, dan beribu pengalaman lainnya.

Cerita dari para mahasiswa mengajak pembaca untuk menyelam dalam lautan suasana perjalanan mereka. Motivasi, dan solusi diselipkan sekiranya mampu menjawab masalah yang dimiliki pembaca yang menyebabkan pembaca masih belum juga bepergian keluar dari kampung negerinya.

Buku ini ingin mengajarkan pada pembaca bahwa tiap diri kita berhak mencicipi sebuah permasalahan dan menyelesaikannya dengan mandiri dan elegan, tanpa intervensi yang berarti dari pihak lain. Tidak melulu dibantu orang terdekat untuk keluar dari keruwetan masalah. Berinteraksi dengan orang-orang baru, mengunjungi tempat yang belum pernah dikunjungi, mengambil keputusan dengan cepat dan tepat, kreatif-berinisiatif, dan tentunya kemandirian menjalani hidup adalah sesuatu yang sangat menarik yang tiap pribadi perlu merasakannya.
Profile Image for Rahmadiyanti.
Author 15 books173 followers
October 7, 2014
Tulisan-tulisan di dalam buku ini mungkin tidak istimewa bila kita membandingkan dengan buku-buku perjalanan (yang sangat menjamur). Spirit yang mendasari penulisan buku inilah yang luar biasa. 30 mahasiswa--yang sebagian besar belum pernah ke luar negeri, belum pernah naik pesawat, belum pernah menapak kantor imigrasi, diberi deadline dalam 1,5 bulan harus sudah berada di sebuah negara yang tidak menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa sehari-hari.

Maka tergopoh-gopohlah 30 mahasiswa tersebut melaksanakan tugas kuliah Pemasaran Internasional (Pemintal) tersebut. Selain harus mengurus segala sesuatunya sendiri (membuat paspor, booking penginapan, membuat itinerary), mereka yang tidak memiliki orangtua berkecukupan, harus mencari biaya sendiri. Begitu banyak pelajaran yang mereka dapat melalui tugas tersebut, bukan sekadar duduk manis mendengar penjelasan dosen di kelas. Keren lah 30 mahasiswa tersebut, dan tentu saja dosennya, Pak Rhenald Kasali :)
Profile Image for Nay.
Author 4 books86 followers
September 10, 2015
3.5 bintang.

Saat membaca dua puluhan halaman pertama yang berisi pengantar dari Prof. Rhenald Kasali, aku langsung berniat menyematkan 5 bintang penuh pada buku ini. Bukan jenis tulisan motivasi yang bersifat menggurui, tapi jenis tulisan yang akan membuka mata pembaca tentang banyak hal.

Selain pengantar ini, aku juga menyukai Bab 30 Mahasiswa di mata asisten dosen. Pemaparan yang sederhana tapi menarik untuk dibaca.

Kisah pertama di buku ini adalah salah satu yang terbaik di antara semuanya. yaitu tentang perjalanan seorang mahasiswa ke Islandia "The Land of Ice and Fire". Namun selebihnya kadang ada kisah yang agak membosankan. Tapi aku maklumlah, namanya juga kisah nyata. Nggak semua orang mengalami kejadian yang menantang dan menarik untuk diceritakan.

Cukup bagus untuk sebuah buku nonfiksi. Jadi pengen jalan-jalan juga ><
Profile Image for Shahnaz.
196 reviews
January 18, 2015
Aku suka buku ini. Ceritanya inspiratif dan seru, meski kadang ada cerita yang isinya ngaco banget sampai bikin aku pingin ngejitak si mahasiswa yang bikin cerita itu.

Sayangnya, buku ini tidak selengkap yang kuinginkan. Di cover ada embel-embel self-driving exercise, padahal di dalamnya berisi cerita perjalanan masing-masing mahasiswa DI LUAR NEGERI. Sangat sedikit yang menceritakan bagaimana perjuangan pra-keberangkatan: misalnya mencari uang dsb.

Seandainya buku ini nanti dicetak ulang, seharusnya ada bab khusus mengenai persiapan ke luar negeri dan cara-cara mandiri mencari uang untuk bisa pergi ke sana. Bukannya tanpa alasan, tapi mencari uang yang cukup untuk ke luar negeri (terutama yang tujuannnya daerah-daerah mahal) dalam waktu beberapa minggu tanpa bantuan orang tua kan cukup WOW. Dengan tambahan ini, bukunya pasti bisa lebih berbobot.
Profile Image for Popy Indriana.
22 reviews2 followers
March 17, 2015
Yang paling istimewa dari buku ini adalah catatan pengantar dari pak Rhenald Kasali. Alasan membeli buku ini jg krn teringat pnh membaca tulisan Paspor yang pernah beliau tulis.Tetapi content bukunya sendiri yang menceritakan perjalanan para mahasiswa di kelas pemasaran internasional menurut saya tidak semua istimewa.Karena hampir semua mahasiswa di cerita ini bisa pergi karena rata2 memang dari keluarga mampu. hanya 2 org yg bercerita bagaimana mereka mendapatkan uang utk bepergiannya, sisanya hanya reportase suka duka sebagai pelancong. Tapi dari sini saya bisa menilai siapa2 saja yg sudah punya self driving dari pilihan negara tujuan,alasan mengapa memilih itu,kesulitan yg dihadapi sampai gaya bertutur dan nilai yang mereka pelajari.Islandia is the best story :)
Profile Image for Desi Ayu.
92 reviews22 followers
December 19, 2014
salah satu cerita yang aku suka, "sempitnya" sepatuku". Keren banget..
Dan kutipan-kutipan di buku ini sangat menginspirasi!

"Ketika satu pintu tertutup maka pintu-pintu lain akan terbuka. Masalahnya kita selalu mengetuk pintu yang tertutup itu sehingga gagal menemukan pintu-pintu lain yang terbuka untuk hidup kita"-hal. xvii

"if you really want to do something, you'll find a way. if you don't, you'll find an excuse" hal xxvii

Kita harus pergi jauh untuk mengetahui dimana "rumah" kita sebenarnya.

^_^ gak sabar buat baca buku 2 nya..
1 review1 follower
December 10, 2014
Setelah beli buku ini, akhirnya saya menjadi galau berkepanjangan. Ingin berkelana, namun skripsi belum terlunasi. Selain itu keinginan untuk beristri akhirnya pending setelah masa resesi. Adapun harapan yang semakin menjadi-jadi adalah segera melunasi data diri. Karena bagaimanapun juga untuk dapat mudah membuat paspor selain uang yang pas juga data diri yang kongruen. Haduh duh, mana KTP, SIM, KK, Akte Kelahiran mana ada yang sama . Hal ini semakin memperlama proses pencarian istri.

— Ubaidillah, Mahasiswa Akhir yang Tengah Skripsi
Profile Image for Yayang.
68 reviews3 followers
October 9, 2016
finished!!!!! that is truly big right!!!! semakin sedikit anggota dalam sebuah perjalanan maka semakin banyak kesempatan untuk berinteraksi dengan penduduk lokal. bagi aku pribadi pun 'getting lost' adalah hal paling seru dalam sebuah perjalanan, dimana keputusan2 heroik sampai bodoh sekalipun keluar.
Profile Image for Ika Astutik.
5 reviews2 followers
January 8, 2015
Keren! Buku ini mengajarkan saya untuk berpikir lebih luas, bermimpi lebih tinggi, dan bertindak lebih berani. Satu cerita yang membuat saya tidak habis pikir, karena gadis ini sangat nekat. Yaitu cerita perjalanan seorang gadis berjilbab ke Birma, yang mendorong saya ingin segera berpetualang!
Profile Image for Muthia Karima.
2 reviews11 followers
Read
October 28, 2014
mereka aja bisa, kenapa kita enggak ? pergi keluar negeri selagi masih menjadi mahasiswa ataupun setelahnya, pokoknya selagi muda harus punya pengalaman ke luar negeri.
Profile Image for 5ngela.
266 reviews10 followers
December 27, 2014
Sangat menginspirasi dan membuka wawasan.
Profile Image for Haya Najma.
Author 2 books10 followers
February 1, 2015
Ceritanya cukup menarik, karena yang menulis adalah mahasiswa yang mungkin belum punya basis menulis tapi cukup bisa dipahami dan bisa menjadi cambuk untuk menjadi 'driver'
Profile Image for Ella Oktaverina.
288 reviews1 follower
August 13, 2018
"Hidup memanglah sebuah balapan. Yang menang adalah yang berusaha, yang terdepan adalah yang mengerti kapan harus mengerem dan kapan harus memacu kecepatan."

Apa jadinya ketika di bangku perkuliahan dosen kalian memberi tugas pada kalian untuk pergi ke luar negeri? Apakah kalian akan senang? Mungkin. Tetapi ternyata pergi ke luar negeri dengan catatan sebagai berikut:

1. Harus mengurus paspor, visa, dan itenary sendiri.
2. Biaya mulai berangkat hingga pulang ditanggung sendiri (atau setidaknya kalian harus memikirkan hal-hal semacam mengurus sponsorship sendiri jika tak mampu mengeluarkan duit pribadi).
3. Harus pergi sendiri ke negara tujuan, tanpa ditemani siapapun dari Indonesia.
4. Tiap mahasiswa tidak boleh memilih untuk pergi ke satu negara yang sama (keterangan: jikalau memang kepepet, tidak apa-apa satu negara asalkan kota yang berbeda dan jauh satu sama lain).
5. Harus rela meninggalkan kelas perkuliahan lain.
6. Negara yang memiliki rumpun bahasa yang sama dengan Bahasa Indonesia juga tidak boleh dipilih, contoh: Singapura, Malaysia, Brunei Darussalam, Timor Leste.

Masih senang? Takut? Atau malah ... tertantang?

Ini bukan rekaan saja loh, tapi benar-benar terjadi di kelas pemasaran internasional, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia yang diampu oleh Prof. Rhenald Kasali. Prof Rhenald mengemukakan ide 'pergi ke luar negeri' ini sebagai salah satu media bagi para mahasiswanya untuk melatih kemandirian di suatu wilayah yang 'asing' di mana mereka tidak bisa mengandalkan teman ataupun keluarga kecuali ya diri mereka sendiri.

Dalam buku ini para mahasiswa bercerita tentang pengalaman mereka ketika menjalani tugas yang diberi Prof Rhenald. Yang awalnya mereka protes tentang seberapa tidak mampu mereka untuk menjalani tugas itu, seberapa berat untuk meninggalkan mata kuliah yang lain, dan alasan-alasan lainnya, akhirnya mereka menemukan jalan mereka sendiri untuk bisa menyelesaikan masalah tersebut. Tidak mudah tentu saja, perlu banyak kerja keras. Belum lagi ketika di luar negeri, nggak melulu tentang hal-hal menyenangkan seperti foto yang Instagrammable di landmark negeri orang, tapi juga bagaimana susahnya 'sendiri' di negeri yang bahasanya saja asing bagi kita, mulai dari kena tipu, ketinggalan pesawat, kebingungan mencari rumah host family dan masih banyak lagi.

Sebagai pembaca saya merasa sangat terhibur membaca petualangan kakak-kakak menuju negeri orang, khususnya mereka yang pergi ke negara yang antimainstream seperti Bangladesh, Islandia, dan sebagainya. Sangat menghibur dan sangat menginspirasi. Saya yakin itu adalah kenangan yang nggak mungkin bisa dilupakan saking serunya.

Di antara kisah-kisah itu yang paling menarik hati saya adalah The Puzzles: Sebuah Catatan Merangkai Teka-Teki Perjalanan yang ditulis oleh Rangga. Beliau menuliskan pengalamannya dengan begitu indah hingga membuat saya terkesan. Di dalam tulisannya ia juga menulis impian dan harapannya seolah ia telah melengkapi puzzle yang selma ini ia cari.

Secara keseluruhan saya suka sekali dengan buku ini, meski di beberapa bagian saya merasa agak 'melelahkan', saya akan tetap kasih bintang penuh just because ... it's such a rare and amazing experience to read this.
Displaying 1 - 22 of 87 reviews

Can't find what you're looking for?

Get help and learn more about the design.