Jump to ratings and reviews
Rate this book

Air Kata-kata

Rate this book
Susu Semar

Semar itu bukan lelaki bukan wanita
namun seperti lelaki seperti wanita
Tersimpan dalam buah dadanya
susu penderitaan para wanita
Tak pernah Semar memikat wanita dengan senyum,
karena dalam dirinya penderitaan wanita terkandung.
Sekarang Semar suka mesem,
Karena ia adalah Semar mendem.

1996

196 pages, Paperback

First published January 1, 2004

13 people are currently reading
198 people want to read

About the author

Sindhunata

55 books92 followers
Dr. Gabriel Possenti Sindhunata, SJ, or just simply call him Romo Sindu is an Indonesian Catholic priest, also an editor for local culture magazine "Basis". He also worked as journalist for national newspaper, especially for commenting football review and culture issues. His famous work was "Anak Bajang Menggiring Angin".

Bibliography:
* Segelas Beras untuk Berdua, Penerbit Buku Kompas (2006)
* Dari Pulau Buru ke Venesia, Penerbit Buku Kompas (2006)
* Petruk Jadi Guru, Penerbit Buku Kompas (2006)
* Kambing Hitam: Teori Rene Girard (2006)
* Ilmu ngglethek Prabu Minohek(2004)
* Mengasih Maria: 100 tahun Sendangsono (2004) as editor
* Air Kata-kata (2003)
* Jembatan Air Mata: Tragedi Manusia Pengungsi Timor Timur (2003)
* Bola di balik bulan: Catatan sepak bola Sindhunata (2002)
* Long and Winding Road, East Timor (2001)
* Pendidikan: Kegelisahan Sepanjang Zaman: Pilihan Artikel Basis (2001) - as editor
* Membuka Masa Depan Anak-anak kita: Mencari Kurikulum Pendidikan Abad XXI (2000)
* Menggagas Paradigma Baru Pendidikan: Demokratisasi, Otonomi, Civil Society, Globalisasi (2000) - as editor
* Sumur Kitiran Kencana: Karumpaka ing Sekar Macapat Dening D.F. Sumantri Hadiwiyata (2000)
* Sakitnya Melahirkan Demokrasi (2000)
* Bisikan Daun-daun Sabda (2000)
* Tak Enteni Keplokmu: Tanpa Bunga dan Telegram Duka (2000)
* Bayang-bayang Ratu Adil (1999)
* Menjadi Generasi Pasca-Indonesia: Kegelisahan Y.B. Mangunwijaya (1999) - as editor
* Pergulatan Intelektual dalam Era Kegelisahan: Mengenang Y.B. Mangunwijaya (1999) - as editor
* Cikar Bobrok (1998)
* Mata Air Bulan (1998)
* Sayur Lodeh Kehidupan: Teman dalam Kelemahan (1998) - as editor
* Sisi Sepasang Sayap: Wajah-wajah Bruder Jesuit (1998)
* Semar Mencari Raga (1996)
* Aburing kupu-kupu kuning (1995)
* Nderek Sang Dewi ing Ereng-erenging Redi Merapi (1995)
* Hoffen auf den Ratu-Adil: das eschatologische Motiv des "Gerechten Königs" im Bauernprotest auf Java während des 19. und zu Beginn des 20. Jahrhunderts (1992) - disertasi
* Baba Bisa Menjadi Indonesier: Bung Hatta, Liem Koen Hian, dan Sindhunatha, Menyorot Masalah Cina di Indonesia (1988)
* Anak Bajang Menggiring Angin (1983)
* Bola-Bola Nasib: Catatan Sepak Bola Sindhunata

Ratings & Reviews

What do you think?
Rate this book

Friends & Following

Create a free account to discover what your friends think of this book!

Community Reviews

5 stars
38 (31%)
4 stars
37 (30%)
3 stars
33 (27%)
2 stars
10 (8%)
1 star
3 (2%)
Displaying 1 - 19 of 19 reviews
Profile Image for cindy.
1,981 reviews156 followers
October 29, 2011
Alkisah, dahulu kala dalam manggala-nya
para pujangga memuja dewa keindahan
agar menjelma dalam syairnya.
Dengan memujanya, aksara-aksara syair
merebut keindahan yang dihadirkannya
dalam gunung dan laut
kembang dan pepohonan
bulan di musim bunga
taman sari dan istana
dan kecantikan wanita.

(Pergi ke Bulan Naik Dokar, hal. 191)

***

Pujangga Sindhunata, menulis syairnya di masa kini. Bukan hanya tentang keindahan tapi juga tentang keruwetan. Curahan air kata-kata yang dituang seperti tak pernah habis, kadang menyegarkan dengan selera humor ringan dan permainan bahasanya, namun lebih sering menggelegak, mencuci bersih semua kepura-puraan dan meninggalkan protes sosial yang menohok. Dari masalah bokong Inul sampai balada nasib seorang guru. Dari sumpah serapah seekor asu sampai syair doa pada Maria.

Namun (sayangnya), banyak dari perwujudan syairnya ditulis bercampur dengan dialek jawa timuran. Misalnya penggalan syair yang mempermainkan idiom bahasa jawa "Guru" digugu lan ditiru (diperhatikan dan ditiru) berikut ini:

Zamane zaman edan
wedang kopi gulane tebu
rakyat gak eruh sapa sing digugu
elite kabek gak kenek ditiru.
Kabeh nurut udele dhewe.
Nguyuh mbengi nyirami latar
elite muntah rakyate lapar.
(Lir-ilir, hal 30)

Pada pengantar buku ini, memang beliau telah menuliskan "Kata-kata bahasa Indonesia ternyata tak cukup untuk menjadi wadah dan ungkapan bagi semua perjumpaan, pengalaman dan perasaan tadi. Maka terpaksa saya juga menuliskan kekayaan-kekayaan itu dalam kata-kata bahasa ibu yang akrab dengan saya, yakni bahasa jawa." (hal. xv) Jadi ini mungkin bisa jadi kendala buat pembaca yang tidak berbicara bahasa jawa.
Profile Image for Pra .
220 reviews185 followers
March 4, 2009
Cintamu Sepahit Topi Miring
(hal 6-9)

Senja di desa Baron
matahari tenggelam dalam kemaron
Lembu betina lari melompat-lompat
dikejar-kejar anaknya yang kecil meloncat
Senja lucu dengan kasih sayang ibu dan anak
langit senja mengandung sapi beranak
terpesona Ranto melihat, ia tertawa bergelak
dan berubah jadi Ranto Gudel, sang pelawak

Jadi Marmoyo di panggung ketoprak
Ranto Gudel meminum arak
Terendam dalam ciu
birahinya berubah jadi biru
Diajaknya Nyai Dasima bercinta
dengan cinta sepahit Topi Miring
Layar dibuka, turun hujan gembukan
Dewi Mlenukgembuk datang
membawa seguling roti cakwe
Marmoyo rebah terguling
tidur di pangkuan Nyai Dasima
yang sekeras ciu cangkol buah dadanya

Ke mana Ranto Gudel pergi
panggung selalu harum dengan arak wangi
Di Sriwedari jadi petruk
Garengnya diajak mabuk
Bagongnya menggeloyor
Semarnya berjualan ciu cangkol
Dengan terang lampu semprong
Pak Mloyo memukul kenong
nong ji, nong ro
giginya ompong menggerong:
Ranto Gudel Mendehem
Nyungsep di Bengawan Solo
di sana ia lalu menyanti:
Itu perahu, riwayatmu dulu
kini sungaimu mengalirkan arak wangi
dengan harumnya aku mandi

Thuyul gundhul ke sana sini mengempit gendul
gendruwo thela-thelo, tampak loyo
jrangkong jalannya miring-miring dhoyong
dhemit setan wedhon
anak-anak Bathari Durga dari bukit Krendhawahana
semuanya mabuk menari-nari:
Sengkuni leda-lede
mimpin baris ngarep dhewe
eh barisane menggok
Sengkuni kok malah ndheprok

Belum selesai menabuh kenong
Nong ji, nong ro
Pak Mloyo pulang geloyoran
Abu-abu wajahnya terendam ciu
Dari jauh Ranto Gudel melihatnya
duduk berjongkok di Bengawan Solo:
Air mengalir sampai jauh
membawa botol-botol cangkol
yang mengapung-apung seperti lampion
nyalanya bundar, seperti kenong
Pak Mloyo terguling ke Bengawan Solo
dengan irama nong ji nong ro
Ranto Gudel tertawa:
Itu perahu botol cangkol
mengalir sampai jauh
akhirnya ke laut berombak ciu

Malam berpayung hitam
hitam dibuka dengan bulan
Ranto Gudel minum arak bekonang
mengantar gadis pulang, berdandan bidan
roknya putih, bajunya putih
serba putih lebih daripada peri
Tiba di pinggir kali
Ranto Gudel diajak belok ke kiri
Rumahnya temaram
kursinya sedingin batu bulan
Birahinya menyentuh dingin
tergeletak ia di atas kijing
Dhemit elek asu tenan
mengumpat Ranto Gudel geram
Ia marah terendam arak bekonang:
Asu, hampir saja aku bercinta dengan setan

Cinta manusia seperti Umbul Penggung
dulu bening sekarang keruh
dulu kerajaan sekarang desa
Ranto Gudel dengan empat istrinya
tak pernah abadi cintanya

Memang enak jadi wedhus daripada manusia
bila mati, manusia dikubur di gundukan tanah
kepalanya dikencingi wedhus yang merumput
Nasib manusia hanyalah sengsara sampai akhirnya
mengapa kita mesti bersusah?
Hiduplah seperti Joko Lelur
siangnya melamun minum limun
malamnya bangun minum berminum
lapen ciu cangkol arak bekonang

Sekarang di sudut-sudut rumah
botol-botol cangkol dipasangnya
untuk menolak dan menakut-nakuti tikus
Di hari tuanya Mbah Ranto mengenang
bayangkan, ciu cangkol hanyalah spiritus
yang bisa mengusir tikus
padahal dulu aku minum sampai lampus:
Aku memang benar-benar wedhus!

Hueek.
Hueeeeek.
Hueeeeeeeek.
Wis wis......

2002
Profile Image for eti.
230 reviews107 followers
October 5, 2012
nggak nyangka ternyata Romo Sindhu 'liar' juga mengalirkan kata-kata. gembrujug :D
Profile Image for Puspa.
168 reviews2 followers
August 11, 2020
Penggemar puisi tidak sebanyak penggemar novel. Salah satu alasannya, puisi banyak menggunakan metafora dan bahasa kiasan. Memang saat ini sudah banyak puisi yang menggunakan bahasa lugas, sehari-hari dan tidak terlalu terpaku pada rima. Namun, baik puisi klasik maupun puisi modern sama-sama menyimpan misteri dan imaji yang bebas diapresiasi, hanya bergantung mana yang mudah diapresiasi.

Kumpulan puisi Sindhunata misalnya. Ia banyak bermain-main dengan pilihan kata dan struktur puisi yang kadang tak biasa, ala puisi modern. Dalam mengekspresikan kegundahan atau pikirannya, ia seolah merasa kosakata bahasa Indonesia tidak cukup, sehingga ia menggunakan bahasa Jawa. Bukan bahasa Jawa kromo inggil, melainkan bahasa Jawa ngoko sehingga mudah dipahami segala kalangan. Dan puisi ini semakin menarik oleh ilustrasi menawan hasil kolaborasi berbagai seniman. Para perupa tersebut di antaranya Djokopekik, Hermanu, Sigit Santosa, dan Sekar Jatiningrum

Total 71 puisi dalam buku ini dimana beberapa di antaranya saling berkaitan atau satu topik. Puisi dibuka oleh Oh Tulkiyem Ayu yang menceritakan wanita desa sederhana penjual kue jemblem, kue dari singkong parut yang diisi gula merah dan berasa manis. Dilanjutkan dengan puisi bertajuk Cintamu Sepahit Topi Miring yang sudah dimusikalisasi. Puisi ini mengisahkan sosok Ranto Gudel yang suka minum-minum.

Air Kata-kata menampilkan suka duka dalam memperingati kematian. Jika umumnya pelayat menaburkan bunga, di puisi ini pelayat menuangkan air keras karena Mbak Koen, yang baru meninggal, juga suka minum-minum.

Cover bukunya dan nama Sindhunata yang menarik perhatian saya untuk membeli buku ini di sebuah pameran buku. Ada sosok anjing yang naik di atas kepala manusia yang seolah-olah tenggelam oleh air. Dan ada bulan sabit yang menjadi arah anjing yang tengah menyalak. Hanya ada dua warna, putih dengan dominan warna hitam. Nampak klasik dan elegan.

Dari segi puisi, ini adalah jenis puisi modern, dimana Sindhunata tidak terlalu berpusing memikirkan rima dan memoles kata-katanya menjadi untaian kata berdiksi indah. Ia juga bermain-main dengan pengulangan kata, serta layout tulisan yang tidak selalu rata mendatar.

Ulasan lengkap di: https://dewipuspasari.net/2014/07/01/...
Profile Image for Agung Wicaksono.
1,089 reviews17 followers
September 25, 2022
Pertama kali baca kumpulan puisi dari Sindhunata. Salah satu tema yang berkesan bagi saya ada pada judul 'Balada Sebuah Bokong'. Puisi tersebut menceritakan tentang kasus Inul pada 2003 silam. Sindhunata mengkritik sebagian besar masyarakat dan tokoh agama yang terlalu memfokuskan masalah sosial kepada bokong Inul, padahal masih banyak masalah-masalah lain yang lebih penting untuk diberi perhatian, seperti kemiskinan, korupsi, kurangnya akses kesehatan serta pendidikan yang layak, dll. Lantas, sampai sekarang pun saya merasa sebagian besar petinggi negara dan tokoh agama memang suka mengurusi moralitas pribadi seseorang dibandingkan dengan masalah sosial lainnya yang lebih besar. Selain itu, ada juga beberapa puisi berbahasa Jawa yang sedikit saya mengerti. Namun, secara keseluruhan, buku ini cukup seru untuk dibaca dan direnungi maknanya.
Profile Image for tata.
109 reviews5 followers
November 9, 2022
Ada alasan kenapa aku nggak suka baca puisi. Yang pertama, baca puisi menurutku nggak gampang. Yang kedua, nulis puisi apalagi. Karya Sindhunata ini mungkin buku puisi pertama yang aku baca. Biasanya baca puisi itu cukup penggalannya aja, di mana-mana kadang berseliweran. Jujur, “Kutukan Asu” terlalu bagus. Jarang banget aku bisa suka sama puisi (karena sering nggak pahamnya). Banyak banget kalimat dalam puisinya yang bisa bikin aku ngucap wow berkali-kali. Setelah baca buku ini, aku bakal mulai “berani” baca karyanya Sindhunata yang lain (sebelumnya aku males mulai karena mikir bakal mati bosen, apalagi dengan puisi yang butuh mikir).
Profile Image for Randa Muhammad.
96 reviews4 followers
September 22, 2020
ada filsafat tentang celeng dan semar. bercerita jg tentang putri cina dan tulkiyem. hampir sama seperti rendra yg byk di antara puisinya seperti bercerita.
This entire review has been hidden because of spoilers.
Profile Image for Andita.
308 reviews3 followers
November 17, 2024
Perasaan after bacanya itu wowwwwwwww. It was so hard even for me. "Cintamu Sepahit Topi Miring" tentu saja favoriteku ya! Bagus!!!
Profile Image for Ratih Budhi.
24 reviews1 follower
July 19, 2022
Langsung jatuh cinta sejak membaca puisi romo, khususnya "Cintamu Sepahit Topi Miring". Sangat Indonesia dengan setiap kiasan yang dibuat romo untuk menggambarkan kehidupan manusia. 5+ stars!
Profile Image for Aryanti.
178 reviews11 followers
July 7, 2014
Poetry has never been my forte. Terlebih lagi koleksi yang ini banyak bahasa Jawa-nya, yang saya ngga ngerti. Selain puisi-puisi bahasa Jawa itu sih kebanyakan saya suka. Ada beberapa yang buat saya terasa terlalu vulgar kata-katanya, ada beberapa yang terlalu puitis dan otak saya ngga nyampe (ngga ngerti intinya apa, maksudnya apa). Tapi yang lainnya saya suka. Memang kayaknya saya lebih cocok baca puisi yang lebih harfiah, ngga banyak arti terselubungnya. Hahaha!

Selain kata-katanya, buku ini berkesan karena koleksi "rupa yang berkata-kata"-nya, alias koleksi ilustrasi pendampingnya (menurut sang penyair sebenarnya karya para perupa ini bisa dinikmati terpisah dari kata-katanya). Layout kata-katanya juga ngga ngebosenin. Banyak yang menjadi satu dengan ilustrasinya, jadi mempertegas makna.

Beberapa di antara judul syair di dalam koleksi Air Kata-kata yang paling saya suka:
1. Tuhan dan Bir
2. Jula-juli Guru
3. Seorang Anak Mati di Emperan, yang sedikiiiit mengingatkan sama kisah gadis korek api
4. seluruh seri "Putri Cina" yang sedih dan melankolis tapi terasa romantis
5. Ular-ularan Waktu

Cukup ringan dan menyegarkan untuk dibaca di sela-sela pekerjaan yang sedang agak tidak konsisten selama beberapa hari ini. Kalau biasanya baca buku fiksi yang kalau terlalu sebentar-sebentar berhenti baca rasanya plot-nya jadi terganggu, sekarang baca kumpulan puisi yang pendek-pendek seperti ini jadi cepet selesai, tanpa gangguan yang berarti.
5 reviews
June 14, 2012
Belum selesai dibaca, tapi begitu mengesankan. Puisi-puisi yang dibaca -walau dibaca hanya sekilas tanpa pemaknaan mendalam- menimbulkan kesan yang sangat membuat gemas. Ditambah lagi dengan adanya konten 'perupa yang berkata-kata' berupa ilustrasi yang sangat menggambarkan makna dalam puisi tersebut.

Desain cover yang apik, ilustrasi yang menarik, dan puisi-puisi yang tentu sangat layak untuk dipahami, membuat buku ini layak mendapatkan penilaian lebih dari empat bintang. Sayangnya saya belum membaca seluruh puisi dengan lebih mendalam.

Puisi yang berjudul 'Celeng Dhegleng' yang dikemas dengan apik dan tipografi yang menarik membuat saya menetapkan puisi tersebut sebagai bahan analisis untuk teori struktural dalam tugas akhir mata kuliah Teori Puisi.

Well, nanti mungkin review ini akan saya perbaiki setelah membaca keseluruhan buku ini.
Profile Image for fara.
280 reviews42 followers
August 19, 2022
Untuk pembaca yang pada dasarnya nggak paham dengan bahasa Jawa, mungkin akan kesulitan menafsirkan arti dan maknanya karena nggak ada catatan kaki seabrek yang bakal membantu. Untuk pembaca yang malas mikir dan menerka-nerka juga barangkali bakal jadi menjenuhkan. Namun, bagi saya pribadi, buku kumpulan puisi ini perfek. Bukan kaleng-kaleng. Diksinya, ilustrasinya, tipografinya, permainan katanya (yang kadang bikin saya geleng-geleng kepala, "Kok bisa, ya?" "Ih! Jenius!"), sampai pada nilai-nilai filsafat yang terkandung di dalamnya. Beberapa seperti kidung, beberapa ironi, beberapa pula ada yang seperti teks proklamasi; menggebu-gebu, marah. Kalau ada kesempatan dan rezeki, saya jadi pengen punya buku fisiknya.
Profile Image for Gilang.
11 reviews
October 21, 2007
sharp!!

buku pegangan belajar bahasa jawa yang tidak baik dan tidak benar. huahaha...
Displaying 1 - 19 of 19 reviews

Can't find what you're looking for?

Get help and learn more about the design.