Semar itu bukan lelaki bukan wanita namun seperti lelaki seperti wanita Tersimpan dalam buah dadanya susu penderitaan para wanita Tak pernah Semar memikat wanita dengan senyum, karena dalam dirinya penderitaan wanita terkandung. Sekarang Semar suka mesem, Karena ia adalah Semar mendem.
Dr. Gabriel Possenti Sindhunata, SJ, or just simply call him Romo Sindu is an Indonesian Catholic priest, also an editor for local culture magazine "Basis". He also worked as journalist for national newspaper, especially for commenting football review and culture issues. His famous work was "Anak Bajang Menggiring Angin".
Bibliography: * Segelas Beras untuk Berdua, Penerbit Buku Kompas (2006) * Dari Pulau Buru ke Venesia, Penerbit Buku Kompas (2006) * Petruk Jadi Guru, Penerbit Buku Kompas (2006) * Kambing Hitam: Teori Rene Girard (2006) * Ilmu ngglethek Prabu Minohek(2004) * Mengasih Maria: 100 tahun Sendangsono (2004) as editor * Air Kata-kata (2003) * Jembatan Air Mata: Tragedi Manusia Pengungsi Timor Timur (2003) * Bola di balik bulan: Catatan sepak bola Sindhunata (2002) * Long and Winding Road, East Timor (2001) * Pendidikan: Kegelisahan Sepanjang Zaman: Pilihan Artikel Basis (2001) - as editor * Membuka Masa Depan Anak-anak kita: Mencari Kurikulum Pendidikan Abad XXI (2000) * Menggagas Paradigma Baru Pendidikan: Demokratisasi, Otonomi, Civil Society, Globalisasi (2000) - as editor * Sumur Kitiran Kencana: Karumpaka ing Sekar Macapat Dening D.F. Sumantri Hadiwiyata (2000) * Sakitnya Melahirkan Demokrasi (2000) * Bisikan Daun-daun Sabda (2000) * Tak Enteni Keplokmu: Tanpa Bunga dan Telegram Duka (2000) * Bayang-bayang Ratu Adil (1999) * Menjadi Generasi Pasca-Indonesia: Kegelisahan Y.B. Mangunwijaya (1999) - as editor * Pergulatan Intelektual dalam Era Kegelisahan: Mengenang Y.B. Mangunwijaya (1999) - as editor * Cikar Bobrok (1998) * Mata Air Bulan (1998) * Sayur Lodeh Kehidupan: Teman dalam Kelemahan (1998) - as editor * Sisi Sepasang Sayap: Wajah-wajah Bruder Jesuit (1998) * Semar Mencari Raga (1996) * Aburing kupu-kupu kuning (1995) * Nderek Sang Dewi ing Ereng-erenging Redi Merapi (1995) * Hoffen auf den Ratu-Adil: das eschatologische Motiv des "Gerechten Königs" im Bauernprotest auf Java während des 19. und zu Beginn des 20. Jahrhunderts (1992) - disertasi * Baba Bisa Menjadi Indonesier: Bung Hatta, Liem Koen Hian, dan Sindhunatha, Menyorot Masalah Cina di Indonesia (1988) * Anak Bajang Menggiring Angin (1983) * Bola-Bola Nasib: Catatan Sepak Bola Sindhunata
Alkisah, dahulu kala dalam manggala-nya para pujangga memuja dewa keindahan agar menjelma dalam syairnya. Dengan memujanya, aksara-aksara syair merebut keindahan yang dihadirkannya dalam gunung dan laut kembang dan pepohonan bulan di musim bunga taman sari dan istana dan kecantikan wanita.
(Pergi ke Bulan Naik Dokar, hal. 191)
***
Pujangga Sindhunata, menulis syairnya di masa kini. Bukan hanya tentang keindahan tapi juga tentang keruwetan. Curahan air kata-kata yang dituang seperti tak pernah habis, kadang menyegarkan dengan selera humor ringan dan permainan bahasanya, namun lebih sering menggelegak, mencuci bersih semua kepura-puraan dan meninggalkan protes sosial yang menohok. Dari masalah bokong Inul sampai balada nasib seorang guru. Dari sumpah serapah seekor asu sampai syair doa pada Maria.
Namun (sayangnya), banyak dari perwujudan syairnya ditulis bercampur dengan dialek jawa timuran. Misalnya penggalan syair yang mempermainkan idiom bahasa jawa "Guru" digugu lan ditiru (diperhatikan dan ditiru) berikut ini:
Zamane zaman edan wedang kopi gulane tebu rakyat gak eruh sapa sing digugu elite kabek gak kenek ditiru. Kabeh nurut udele dhewe. Nguyuh mbengi nyirami latar elite muntah rakyate lapar. (Lir-ilir, hal 30)
Pada pengantar buku ini, memang beliau telah menuliskan "Kata-kata bahasa Indonesia ternyata tak cukup untuk menjadi wadah dan ungkapan bagi semua perjumpaan, pengalaman dan perasaan tadi. Maka terpaksa saya juga menuliskan kekayaan-kekayaan itu dalam kata-kata bahasa ibu yang akrab dengan saya, yakni bahasa jawa." (hal. xv) Jadi ini mungkin bisa jadi kendala buat pembaca yang tidak berbicara bahasa jawa.
Senja di desa Baron matahari tenggelam dalam kemaron Lembu betina lari melompat-lompat dikejar-kejar anaknya yang kecil meloncat Senja lucu dengan kasih sayang ibu dan anak langit senja mengandung sapi beranak terpesona Ranto melihat, ia tertawa bergelak dan berubah jadi Ranto Gudel, sang pelawak
Jadi Marmoyo di panggung ketoprak Ranto Gudel meminum arak Terendam dalam ciu birahinya berubah jadi biru Diajaknya Nyai Dasima bercinta dengan cinta sepahit Topi Miring Layar dibuka, turun hujan gembukan Dewi Mlenukgembuk datang membawa seguling roti cakwe Marmoyo rebah terguling tidur di pangkuan Nyai Dasima yang sekeras ciu cangkol buah dadanya
Ke mana Ranto Gudel pergi panggung selalu harum dengan arak wangi Di Sriwedari jadi petruk Garengnya diajak mabuk Bagongnya menggeloyor Semarnya berjualan ciu cangkol Dengan terang lampu semprong Pak Mloyo memukul kenong nong ji, nong ro giginya ompong menggerong: Ranto Gudel Mendehem Nyungsep di Bengawan Solo di sana ia lalu menyanti: Itu perahu, riwayatmu dulu kini sungaimu mengalirkan arak wangi dengan harumnya aku mandi
Thuyul gundhul ke sana sini mengempit gendul gendruwo thela-thelo, tampak loyo jrangkong jalannya miring-miring dhoyong dhemit setan wedhon anak-anak Bathari Durga dari bukit Krendhawahana semuanya mabuk menari-nari: Sengkuni leda-lede mimpin baris ngarep dhewe eh barisane menggok Sengkuni kok malah ndheprok
Belum selesai menabuh kenong Nong ji, nong ro Pak Mloyo pulang geloyoran Abu-abu wajahnya terendam ciu Dari jauh Ranto Gudel melihatnya duduk berjongkok di Bengawan Solo: Air mengalir sampai jauh membawa botol-botol cangkol yang mengapung-apung seperti lampion nyalanya bundar, seperti kenong Pak Mloyo terguling ke Bengawan Solo dengan irama nong ji nong ro Ranto Gudel tertawa: Itu perahu botol cangkol mengalir sampai jauh akhirnya ke laut berombak ciu
Malam berpayung hitam hitam dibuka dengan bulan Ranto Gudel minum arak bekonang mengantar gadis pulang, berdandan bidan roknya putih, bajunya putih serba putih lebih daripada peri Tiba di pinggir kali Ranto Gudel diajak belok ke kiri Rumahnya temaram kursinya sedingin batu bulan Birahinya menyentuh dingin tergeletak ia di atas kijing Dhemit elek asu tenan mengumpat Ranto Gudel geram Ia marah terendam arak bekonang: Asu, hampir saja aku bercinta dengan setan
Cinta manusia seperti Umbul Penggung dulu bening sekarang keruh dulu kerajaan sekarang desa Ranto Gudel dengan empat istrinya tak pernah abadi cintanya
Memang enak jadi wedhus daripada manusia bila mati, manusia dikubur di gundukan tanah kepalanya dikencingi wedhus yang merumput Nasib manusia hanyalah sengsara sampai akhirnya mengapa kita mesti bersusah? Hiduplah seperti Joko Lelur siangnya melamun minum limun malamnya bangun minum berminum lapen ciu cangkol arak bekonang
Sekarang di sudut-sudut rumah botol-botol cangkol dipasangnya untuk menolak dan menakut-nakuti tikus Di hari tuanya Mbah Ranto mengenang bayangkan, ciu cangkol hanyalah spiritus yang bisa mengusir tikus padahal dulu aku minum sampai lampus: Aku memang benar-benar wedhus!
Penggemar puisi tidak sebanyak penggemar novel. Salah satu alasannya, puisi banyak menggunakan metafora dan bahasa kiasan. Memang saat ini sudah banyak puisi yang menggunakan bahasa lugas, sehari-hari dan tidak terlalu terpaku pada rima. Namun, baik puisi klasik maupun puisi modern sama-sama menyimpan misteri dan imaji yang bebas diapresiasi, hanya bergantung mana yang mudah diapresiasi.
Kumpulan puisi Sindhunata misalnya. Ia banyak bermain-main dengan pilihan kata dan struktur puisi yang kadang tak biasa, ala puisi modern. Dalam mengekspresikan kegundahan atau pikirannya, ia seolah merasa kosakata bahasa Indonesia tidak cukup, sehingga ia menggunakan bahasa Jawa. Bukan bahasa Jawa kromo inggil, melainkan bahasa Jawa ngoko sehingga mudah dipahami segala kalangan. Dan puisi ini semakin menarik oleh ilustrasi menawan hasil kolaborasi berbagai seniman. Para perupa tersebut di antaranya Djokopekik, Hermanu, Sigit Santosa, dan Sekar Jatiningrum
Total 71 puisi dalam buku ini dimana beberapa di antaranya saling berkaitan atau satu topik. Puisi dibuka oleh Oh Tulkiyem Ayu yang menceritakan wanita desa sederhana penjual kue jemblem, kue dari singkong parut yang diisi gula merah dan berasa manis. Dilanjutkan dengan puisi bertajuk Cintamu Sepahit Topi Miring yang sudah dimusikalisasi. Puisi ini mengisahkan sosok Ranto Gudel yang suka minum-minum.
Air Kata-kata menampilkan suka duka dalam memperingati kematian. Jika umumnya pelayat menaburkan bunga, di puisi ini pelayat menuangkan air keras karena Mbak Koen, yang baru meninggal, juga suka minum-minum.
Cover bukunya dan nama Sindhunata yang menarik perhatian saya untuk membeli buku ini di sebuah pameran buku. Ada sosok anjing yang naik di atas kepala manusia yang seolah-olah tenggelam oleh air. Dan ada bulan sabit yang menjadi arah anjing yang tengah menyalak. Hanya ada dua warna, putih dengan dominan warna hitam. Nampak klasik dan elegan.
Dari segi puisi, ini adalah jenis puisi modern, dimana Sindhunata tidak terlalu berpusing memikirkan rima dan memoles kata-katanya menjadi untaian kata berdiksi indah. Ia juga bermain-main dengan pengulangan kata, serta layout tulisan yang tidak selalu rata mendatar.
Pertama kali baca kumpulan puisi dari Sindhunata. Salah satu tema yang berkesan bagi saya ada pada judul 'Balada Sebuah Bokong'. Puisi tersebut menceritakan tentang kasus Inul pada 2003 silam. Sindhunata mengkritik sebagian besar masyarakat dan tokoh agama yang terlalu memfokuskan masalah sosial kepada bokong Inul, padahal masih banyak masalah-masalah lain yang lebih penting untuk diberi perhatian, seperti kemiskinan, korupsi, kurangnya akses kesehatan serta pendidikan yang layak, dll. Lantas, sampai sekarang pun saya merasa sebagian besar petinggi negara dan tokoh agama memang suka mengurusi moralitas pribadi seseorang dibandingkan dengan masalah sosial lainnya yang lebih besar. Selain itu, ada juga beberapa puisi berbahasa Jawa yang sedikit saya mengerti. Namun, secara keseluruhan, buku ini cukup seru untuk dibaca dan direnungi maknanya.
Ada alasan kenapa aku nggak suka baca puisi. Yang pertama, baca puisi menurutku nggak gampang. Yang kedua, nulis puisi apalagi. Karya Sindhunata ini mungkin buku puisi pertama yang aku baca. Biasanya baca puisi itu cukup penggalannya aja, di mana-mana kadang berseliweran. Jujur, “Kutukan Asu” terlalu bagus. Jarang banget aku bisa suka sama puisi (karena sering nggak pahamnya). Banyak banget kalimat dalam puisinya yang bisa bikin aku ngucap wow berkali-kali. Setelah baca buku ini, aku bakal mulai “berani” baca karyanya Sindhunata yang lain (sebelumnya aku males mulai karena mikir bakal mati bosen, apalagi dengan puisi yang butuh mikir).
ada filsafat tentang celeng dan semar. bercerita jg tentang putri cina dan tulkiyem. hampir sama seperti rendra yg byk di antara puisinya seperti bercerita.
This entire review has been hidden because of spoilers.
Langsung jatuh cinta sejak membaca puisi romo, khususnya "Cintamu Sepahit Topi Miring". Sangat Indonesia dengan setiap kiasan yang dibuat romo untuk menggambarkan kehidupan manusia. 5+ stars!
Poetry has never been my forte. Terlebih lagi koleksi yang ini banyak bahasa Jawa-nya, yang saya ngga ngerti. Selain puisi-puisi bahasa Jawa itu sih kebanyakan saya suka. Ada beberapa yang buat saya terasa terlalu vulgar kata-katanya, ada beberapa yang terlalu puitis dan otak saya ngga nyampe (ngga ngerti intinya apa, maksudnya apa). Tapi yang lainnya saya suka. Memang kayaknya saya lebih cocok baca puisi yang lebih harfiah, ngga banyak arti terselubungnya. Hahaha!
Selain kata-katanya, buku ini berkesan karena koleksi "rupa yang berkata-kata"-nya, alias koleksi ilustrasi pendampingnya (menurut sang penyair sebenarnya karya para perupa ini bisa dinikmati terpisah dari kata-katanya). Layout kata-katanya juga ngga ngebosenin. Banyak yang menjadi satu dengan ilustrasinya, jadi mempertegas makna.
Beberapa di antara judul syair di dalam koleksi Air Kata-kata yang paling saya suka: 1. Tuhan dan Bir 2. Jula-juli Guru 3. Seorang Anak Mati di Emperan, yang sedikiiiit mengingatkan sama kisah gadis korek api 4. seluruh seri "Putri Cina" yang sedih dan melankolis tapi terasa romantis 5. Ular-ularan Waktu
Cukup ringan dan menyegarkan untuk dibaca di sela-sela pekerjaan yang sedang agak tidak konsisten selama beberapa hari ini. Kalau biasanya baca buku fiksi yang kalau terlalu sebentar-sebentar berhenti baca rasanya plot-nya jadi terganggu, sekarang baca kumpulan puisi yang pendek-pendek seperti ini jadi cepet selesai, tanpa gangguan yang berarti.
Belum selesai dibaca, tapi begitu mengesankan. Puisi-puisi yang dibaca -walau dibaca hanya sekilas tanpa pemaknaan mendalam- menimbulkan kesan yang sangat membuat gemas. Ditambah lagi dengan adanya konten 'perupa yang berkata-kata' berupa ilustrasi yang sangat menggambarkan makna dalam puisi tersebut.
Desain cover yang apik, ilustrasi yang menarik, dan puisi-puisi yang tentu sangat layak untuk dipahami, membuat buku ini layak mendapatkan penilaian lebih dari empat bintang. Sayangnya saya belum membaca seluruh puisi dengan lebih mendalam.
Puisi yang berjudul 'Celeng Dhegleng' yang dikemas dengan apik dan tipografi yang menarik membuat saya menetapkan puisi tersebut sebagai bahan analisis untuk teori struktural dalam tugas akhir mata kuliah Teori Puisi.
Well, nanti mungkin review ini akan saya perbaiki setelah membaca keseluruhan buku ini.
Untuk pembaca yang pada dasarnya nggak paham dengan bahasa Jawa, mungkin akan kesulitan menafsirkan arti dan maknanya karena nggak ada catatan kaki seabrek yang bakal membantu. Untuk pembaca yang malas mikir dan menerka-nerka juga barangkali bakal jadi menjenuhkan. Namun, bagi saya pribadi, buku kumpulan puisi ini perfek. Bukan kaleng-kaleng. Diksinya, ilustrasinya, tipografinya, permainan katanya (yang kadang bikin saya geleng-geleng kepala, "Kok bisa, ya?" "Ih! Jenius!"), sampai pada nilai-nilai filsafat yang terkandung di dalamnya. Beberapa seperti kidung, beberapa ironi, beberapa pula ada yang seperti teks proklamasi; menggebu-gebu, marah. Kalau ada kesempatan dan rezeki, saya jadi pengen punya buku fisiknya.