Jump to ratings and reviews
Rate this book

Rinai

Rate this book
Ia menolehkan kepala ke arah mereka yang duduk diam. Menjelaskan secara runut peristiwa penyerangan Israel yang selalu dilakukan tiba-tiba, menyebabkan sebagian warga Palestina eksodus atau tewas.
Rinai tak begitu memperhatikan struktur kalimat. Mengamati kedip mata berikut perubahan raut muka, jauh lebih menegangkan, memberi informasi. Wajah Montaser tetap ramah, penjelasannya tenang. Rinai mengumpulkan warna-warni yang dikenalnya untuk menjelaskan retina Montaser. Hitam jelaga, coklat tanah, karamel, biru Laut Mediterrania. Terkesiap tiba-tiba. Apa ia melihat sekilas percik api di matanya?
Aaah, lelaki pemilik sepasang mata bersayap bagai Toyor al Jannah itu membuat dunia ini seakan berhenti berputar. Matahari mengalami musim salju, angin berayun berirama. Rinai menggigit bibir dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. Superego berusaha memandu agar tak satupun tindakan bodoh dilakukan. Pemuda Gaza ini memberinya rasa menggigil, serupa ia terpaksa melaju kencang di atas sepeda motor, menembus derasnya hujan.
Sebuah novel menggugah jiwa tentang bagaimana perjalanan sebuah tim relawan menembus Gaza Palestina. Tentang intrik-intrik di internal tim relawan, rahasia anak-anak dan warga Gaza, juga tentang bunga-bunga cinta yang tumbuh mekar. Cinta yang tak harus memiliki, tapi terus harum mewangi.

Novel di tangan Sinta Yudisia tidak sekadar rekaan cerita, tetapi juga alat negosiasi efektif bagi peradaban tandingan atas peradaban yang ada. Melalui konflik kontekstual Palestina, kali ini Sinta mengahdirkan upaya negosiasinya dalam setiap lapis struktur cerita….Selamat dan salut atas energi dan upaya yang terus menyala.
(Irfan Hidayatullahi – Dosen Sastra Unpad, penulis Sang Pemusar Gelombang)

Kami sangat merindukanmu dan terus mengingat Anda; mengingatkan Anda untuk mengunjungi kami di Gaza Palestina.
Selamat atas upaya dalam penyusunan buku ini.
Kami akan bekerja sama dengan Anda, insya Allah, saya akan mengirim link untuk buku ini ke Menteri dan budaya Palestina, Muhammad Madhoun.
Dan kita akan tetap berhubungan.
(Mrs. Ittimad et Tharshawi – Ministry of Women Affairs, Gaza - Palestina)

“RINAI bukan hanya menjadi bukti kepiawaian Sinta meramu- leburkan solidaritas global ke dalam konflik ideologi dan bersenyawa, tapi juga menawarkan sudut pandang yang seksi : metamorfosa seseorang ke arah kebaikan – menemukan jati diri, memahami nasionalisme, dan spiritualitas sosial—justru tidak berproses dalam kepompong yang bernama Tanah Air, namun terjadi di tanah para anbiya sana : Palestina!”
(Benny Arnas – Sastrawan Muda, penulis Jatuh dari Cinta)

400 pages, Paperback

First published January 1, 2012

13 people are currently reading
128 people want to read

About the author

Sinta Yudisia

46 books93 followers
Penulis asal daerah poci Tegal ini, punya nama lengkap Sinta Yudisia Wisudanti. Penulis pernah kuliah di STAN Jakarta sampai tingkat II, mengaku aktivitas tulis menulisnya sebagai bentuk penyaluran dari hobinya berkorespondensi dan membaca. Tak heran kalau tulisan-tulisan fiksinya sangat beragam mulai melodrama, komedi, science fiction, historical fiction, sampai cerita-cerita perjuangan dengan latar dalam dan luar negeri yang kerap menghiasi berbagai media cetak, terutama majalah Annida.

Ratings & Reviews

What do you think?
Rate this book

Friends & Following

Create a free account to discover what your friends think of this book!

Community Reviews

5 stars
30 (35%)
4 stars
35 (41%)
3 stars
16 (18%)
2 stars
2 (2%)
1 star
2 (2%)
Displaying 1 - 27 of 27 reviews
Profile Image for Puella.139.
27 reviews4 followers
February 28, 2018
Novel ini lebih-lebih TOP daripada novel Reem yang pertama aku baca. Kalo Reem aku diajak mengenal seperti apa keindahan Maroko, kota2 di sana, di novel Rinai ini aku belajar, mengenal dan melihat banyak hal tentang dunia psikologi, tentang kecerdasan, ketulusan, kemulian, kesabaran anak-anak Palestina (Gaza). Lantas, kalo novel Reem dapat 5 🌟 dari aku, yang ini berapa bintang dong ya 😆
Profile Image for Ziyy.
642 reviews24 followers
October 10, 2012
Awal buku ini, mendekatkankan kita dengan dunia psikologis. karena dunia itu adalah dunianya Rinai. interesting. bertambah pengetahuan. background rinai ini mirip dengan background ochi, satu karakter di novel Existere yang juga ditulis mba sinta. Meski begitu, proporsinya berbeda. Background psikologis lah yang membawa Rinai ke Palestina. Selama beberapa minggu mendapatkan alasan-alasan (untuk) bertumbuh yang cukup signifikan berdampak pada kedewasaannya selepas dari sana.

Detil perjalanan yang bisa dinikmati hingga rasanya dekat. Detil beberapa peristiwa menegangkan yang juga membuat saya -secara pribadi- hanyut dan merasakan ketegangan serupa. Dan detil selama Rinai dan relawan HRHW di Gaza juga menghadirkan melankolia.

2/3 bagian buku ini terus membawa melankolia yang menyebabkan dada sesak dan tenggorokan tercekat. beberapa scene pun sukses membuat hanya airmata yang mengungkapkan perasaan selama membaca.

duh, apa kesan dari saya ini terlalu emosional?

*insyaAllah, ulasan tentang novel ini segera menyusul*

Profile Image for Muhammad Rasyid Ridho.
273 reviews4 followers
December 28, 2013
Rinai ; Sepak Terjang Relawan di Bumi Gaza

Judul : Rinai

Penulis : Sinta Yudisia

Penerbit : Gizone Books (Indiva Media Kreasi)

Tahun Terbit : Pertama, September 2012

Jumlah Halaman : 400 halaman

Ukuran : 20 cm

ISBN : 978-602-8277-65-7

Harga : Rp 45.000

Peresensi : Muhammad Rasyid Ridho, Pustakawan Koordinator Klub Buku Booklicious-Malang. Mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi UMM.*

Setiap kali mendengar kata Palestina, langsung saja pikiran kita akan tertuju pada konflik berkepanjangan yang tak kunjung akhir. Dalam keyakinan Islam Palestina akan terus membara dan berakhir menjelang kiamat setelah mengalahkan Yahudi. Perlawanan demi perlawanan rakyat Palestina beserta simpatisan di seluruh dunia pun tak kunjung usai. Dari demo hingga karya sastra.
cover peluru ini untuk siapa

cover peluru ini untuk siapa (goodreads.com)

Karya sastra yang memperjuangkan dan membela Palestina dari penulis Palestina sendiri ada kumpulan cerpen yang berjudul Peluru Ini Untuk Siapa. Kumpulan cerpen ini karya Jihad Rajbi, penulis besar wanita Palestina. Cerpen-cerpen di dalamnya banyak bercerita tentang perjuangan intifadhah pejuang Palestina dalam melawan pendudukan Israel.

Ada pula sebuah novel tentang Palestina yang berjudul Sognando Palestina karya Rhanda Ghazy, penulis belia yang masih berumur 13 tahun keturunan imigran Mesir yang pindah ke Italia tahun 1970-an. Novel ini telah menjadi best seller internasional dan telah diterjemahkan ke dalam 10 bahasa di 14 negara. Penulis barat pun cukup banyak yang menyuarakan pembelaannya terhadap Palestina melalui tulisan.

Di Indonesia bisa dibilang masih sedikit karya pembelaan terhadap Palestina. Dimulai dengan berkembangnya gerakan Tarbiyah yang berkiblat pada gerakan Ikhwanul Muslimin di Mesir. Pembelaan terhadap Palestina tidak hanya mereka lakukan dengan aksi demo dan sumbangan dana. Namun, juga dengan penulisan cerpen dan novel bertema perjuangan Palestina. Maka, lahirlah karya-karya tulis yang membela Palestina, walau belum bisa dibilang banyak. Yang paling mutakhir adalah Rinai, salah satu novel karya penulis Indonesia yang menjadi sastra pembelaan pada Palestina sekaligus perlawanan terhadap Israel.

Rinai Hujan tokoh utama novel ini adalah mahasiswi jurusan psikologi, ia termasuk mahasiswi yang cukup pintar dan rajin. Dalam sebuah seleksi mahasiswa dan mahasiswi yang akan menjadi asisten dosen dalam penelitian sekaligus relawan di
Sognando Palestina

cover sognando palestina versi indonesia (checool.blogspot.com)

Palestina, Rinai terpilih. Sebenarnya saingannya cukup ketat dan banyak, karena kerendahatiannya dia dipilih oleh Nora, dosen yang menjadi relawan dan peneliti di Gaza.

Perjalanannya di bumi Gaza penuh intrik dan ketegangan. Bukan hanya karena keadaan yang harus selalu hati-hati karena perang yang tak mengenal waktu, Selain itu pula sebab antar relawan yang seringkali ricuh karena perbedaan sudut pandang kedatangan mereka ke Gaza walaupun dalam naungan satu lembaga.

Mereka terbagi dalam beberapa kelompok, tim trauma healing yang di dalamnya termasuk Rinai, juga ada tim kesehatan, juga wartawan. Tim trauma healing terbagi dua yang pertama adalah negoisator yang dipimpin oleh Taufik Sulaiman dan gelombang kedua sebagai klinisian dipimpin oleh Nora Efendi. Keduanya yang seringkali terjadi friksi yang kadang cukup menegangkan walau hanya melalui mulut tanpa tindak kekerasan.

Sinta Yudisia sebagai penulis yang memang pernah beberapa hari berkunjung ke Gaza tak hanya menawarkan setting Mesir dan Gaza yang meyakinkan. Namun, dia juga memasukkan ilmu-ilmu yang dia serap ketika kuliah Psikologi. Tak jarang pembaca akan menemui istilah-istilah dalam ilmu psikologi dalam novel ini. Menurut saya itu sedikit mengganggu kenyamanan membaca. Namun, ada baiknya juga karena dengan ilmu psikologi itu novel ini semakin berisi dengan ilmu pengetahuan tanpa hanya mengandalkan imajinasi dan diksi.

Ketika saya stalking blog, ada beberapa pembaca yang tidak menyelesaikan lantaran di bab awal novel ini sudah terlihat serius dan berat. Namun, tak jarang juga yang menyukai novel bertema seperti Rinai cepat menyelesaikan halaman perhalaman novel ini. Ini menjadi bahan evaluasi bagi penulis agar ke depannya mampu membuat novel yang berbalut dengan psikologi ataupun sains dengan lebih baik lagi. Lebih baik di sini maksudnya lebih halus dan tidak berat seperti sebagian pembaca yang akhirnya terpaksa menaruh novel ini di rak buku tanpa membacanya. Sangat disayangkan, padahal novel ini begitu inspiratif dan membangun pemikiran pembaca menuju yang lebih baik.

Salah satu topik yang banyak dibahas dalam novel ini adalah tentang ilmu psikologi psikoanalis Sigmund Freud. Rinai seringkali bermimpi ular. Tak hanya itu mimpi itu selalu terbayang-bayang dalam kehidupan sehari-harinya seakan tak bisa dilupakan. Jika dikaitkan dengan teori Freud, ular seringkali direpresentasikan dengan alat reproduksi lelaki. Padahal, tidak sama sekali Rinai pun dalam dunia nyatanya dia memikirkan hal itu. Apatah lagi mimpi itu terus terhubung ke alam nyata, hal itu sunggu mengganggu Rinai.

Singkat cerita, Rinai menemukan referensi lain. Sebuah kitab fenomenal dari ulama Islam yang terkenal Muqaddimah karya Ibnu Khaldun. Menurut Ibnu Khaldun, ular itu representasi permusuhan. Nah, hal itu terlihat jelas banyak permusuhan yang mengintai Rinai. Bisa dari bundanya, bapaknya, pak de Harun, Bu Nora, Amaretta.

Selain itu pula, Ibnu Khaldun mengatakan bahwa mimpi yang benar adalah mimpi yang masih melekat tanpa mengingat saat telah terbangun itu bisa jadi mimpi yang benar. Sedangkan sebaliknya, bila mimpi itu mudah terlupa dengan kata lain ketika bangun mimpi itu sudah tidak ada lagi dalam ingatan, maka itu mimpi yang keliru.

Tak hanya tentang intrik perbedaan cara pandang, konflik di Gaza, teori psikologi Ibnu Khaldun versus Sigmund Freud, novel ini juga bercerita tentang pergolakan asmara Rinai di tanah konflik. Dia bertemu dengan seorang pemuda baik nan salih, Montaser. Rinai menamainya bermata toyor aljannah, bermata seperti burung-burung surga.

Cinta Rinai padanya hanya dalam diam dan tanpa pengungkapan. Karena dia sadar kualitas dirinya jauh sekali dibanding Montaser. Sampai dia berpulang ke Indonesia, perasaan istemewa itu tak pernah tersampaikan. Namun, itu terasa lebih baik baginya. Karena, kadang kehilangan jauh lebih baik, sebab memberikan kepastian. Perasaan ingin memiliki tanpa tujuan akhir hanya melahirkan angan-angan panjang dan kemarahan terpendam (halaman 373).

Maka bukan salah bila karya sastra ini sangat memukau. Karya sastra perjuangan dan pembelaan terhadap kezaliman Israel terhadap Palestina yang jarang ditemui di Negeri ini. Dari novel ini pula kita akan mempelajari arti cinta tanah air, cinta pada sesama, cinta yang berbeda dengan rasa ingin memiliki dan cinta pada Islam yang haq.

Novel ini juga menyuguhi kover yang menarik, dengan memberikan latar tanah Palestina yang luluh lantak dibombardir pasukan Israel. Pembaca seakan dibawa ke tanah Para Nabi tersebut. Maka novel ini pun pantas menjadi salah satu novel yang wajib Anda baca.

Keberhasilan novel ini tak luput dari andil dari penerbit Indiva Media Kreasi yang menerbitkan novel ini. Penerbit yang konsisten menerbitkan buku-buku yang mencerahkan ini belakangan mampu memoles kover dengan begitu apik. Melihat perkembangan awalnya, kover buku-buku yang diterbitkan Indiva masih belum menarik. Walau begitu, selalu saja buku terbitan Indiva selalu dinanti pembaca setianya. Kebanyakan mereka memang dari aktivis FLP (Forum Lingkar Pena), yang mana buku-buku yang diterbitkan oleh Indiva memang kebanyakan pula dari senior FLP, seperti Afifah Afra dengan buku seri sekuel The Wintsnya, Boim Lebon yang masih setia dengan kisah komedinya, Muthmainnah dengan Pingkannya, Asa Mulchias, termasuk Sinta Yudisia sendiri dengan Rinainya.

Harapannya, Indiva bisa melebarkan sayap-melakukan kreativitas dan inovasi dengan melahirkan karya-karya yang tidak hanya dibaca oleh sebagian kalangan saja. Karena, semakin banyak yang baca, insya Allah semakin banyak pula yang tercerahkan. Namun, tetap dengan visi misi yang ada sejak awal Indiva hadir di tengah-tengah pembaca, mencerahkan tanpa mengikuti selera pasar. Semoga Indiva semakin jaya dan berkah!

*Resensi ini diikutkan lomba menulis resensi Indiva 2013

Silakan jika ingin mampir ke blog yang menampilkan resensi novel ini :)
http://ridhodanbukunya.wordpress.com/...
Profile Image for Lelita P..
628 reviews60 followers
August 8, 2013
Sampai detik ini masih pengin mewek dan nggak bisa move on, sesekali masih membuka-buka lagi lembar-lembar novelnya. Sejak menamatkannya pada pagi buta 1 Syawal semalam, begitu bangun tidur tadi pagi yang langsung kebayang adalah tanah Gaza. Ya Allah.... :')


Kesedihan yang saya rasakan setelah membaca novel ini melampaui air mata. Maksudnya, saya nggak bisa nangis berlinang meskipun pengin. Berkaca-kaca, pada akhirnya iya. Dahsyat banget efek Rinai ini... ya ampun... saya jatuh cinta setengah mati. :')


Judul novel ini, Rinai, mencerminkan titular character. Mengisahkan tentang Rinai, mahasiswi Psikologi sebuah universitas di Surabaya, yang terpilih untuk mendampingi dosennya pergi ke Gaza dalam rangka melakukan penelitian intelegensi terhadap anak-anak Gaza, sekaligus melakukan misi kemanusiaan dengan trauma healing. Mungkin memang itu tujuan yang terlihat di permukaan, tapi sebenarnya Rinai ke Gaza--selain untuk mencari pengalaman--adalah untuk lari dari segala permasalahan yang membelitnya di Indonesia.


Rinai adalah novel yang saya cecap halaman-halamannya tanpa terburu-buru sama sekali. Saya menikmati setiap paragraf dan kalimat pelan-pelan--novel ini adalah tipe novel yang saya baca tanpa memikirkan ending-nya nanti akan seperti apa.

Sejak awal Mbak Sinta Yudisia sudah membuat para pembaca terhanyut dengan kompleksitas karakter Rinai. Luar biasa sekali chara development Rinai di sini. :') Pembaca jadi bisa memahami dia luar-dalam, latar belakang yang menjadikan dia phlegmatis-melankolis seperti sekarang. Saya menjadi begitu simpati sama Rinai dengan segala problematika keluarga dll yang dia hadapi, apalagi seluruh perasaan dan pikirannya dituliskan begitu detail dalam novel ini. Karakterisasi Rinai--saking manusiawi dan riilnya--membuat saya merasa dia benar-benar ada di dunia ini, bukan sekadar tokoh dalam cerita. Pun karakter-karakter lain--Nora Efendi, Amaretta, Bunda Rafika, Montaser, Hazem, dll. Mereka semualah yang membuat novel ini terasa begitu hidup dan meninggalkan kesan yang begitu membekas di hati.

Karena pada dasarnya saya suka novel yang bermuatan dan bikin mikir, konsentrasi saya langsung dipaku oleh diskusi-diskusi teori psikologi yang banyak dijabarkan di permulaan cerita. Untuk hal-hal yang terlalu teoretis saya nggak terlalu paham karena bukan anak Psikologi, tapi senang aja rasanya membaca penjabaran-penjabaran ilmiah di novel fiksi. Sungguh memperkaya wawasan. :)

Latar Gaza di novel ini detail banget, mengingat Mbak Sinta sendiri telah menginjakkan kaki di sana. Saya malu karena rasanya kok nggak pernah benar-benar peduli pada mereka, dan lebih malu lagi setelah mengetahui seperti apa Gaza sebenarnya dari novel ini. Penduduk Gaza... subhanallah sekali. :') Penggambaran Gaza dan karakteristik penduduknya oleh Mbak Sinta di sini juga salah satu yang bikin saya pengin nangis. Kecintaan mereka pada Allah, Islam, Al-Quran dan terutama negerinya sungguh mengetuk pintu hati dan menampar diri. Saya kehilangan kata, semua tentang mereka sudah diuntai dengan sangat indah oleh Mbak Sinta. Kelak, kata saya dalam hati, saya harus belajar lebih peduli. :')

Yang bikin mewek lagi adalah kisah cinta Rinai dan Montaser. Saya begitu terjerat dengan hubungan mereka. Deskripsi perasaan Rinai terhadap Montaser sangat mendayu, emosional, mengaduk-aduk hati. Interaksi antara mereka berdua begitu melankolis, hanya sebentar-sebentar tapi chemistry yang dihasilkan bikin saya rela menyumbang setetes air mata. Montaser pemuda yang luar biasa, karakter yang akan bikin siapa pun--khususnya pembaca muslimah muda, tentunya :P--jatuh cinta. Tapi saya kok agak merasa his way too perfect itu agak Gary Stu ya? ^^;;

Gaya bahasa Mbak Sinta masih seperti biasa; deskripsi superindah yang selalu saya kagumi sejak dulu. Mbak Sinta Yudisia adalah salah satu penulis Indonesia yang gaya bahasanya bikin saya naksir setengah mati. Diksi dan kalimat-kalimatnya adalah bahan pelengkap dan pelezat yang semakin menambah keindahan novel ini berkali-kali lipat. Pasti nggak akan sama jadinya kalau bukan Mbak Sinta yang menulis novel Rinai ini. :')

Alurnya campuran, maju dengan diselingi banyak kilas balik sebagai bagian dari penggambaran karakterisasi Rinai dan tokoh-tokoh lain. Saya suka banget cara Mbak Sinta memotong-motong adegan; bagaimana Mbak Sinta sering tidak langsung menyebutkan secara gamblang suatu scene: "apa bendanya" jika ada suatu hadiah yang diberikan, kemunculan Montaser yang selalu tidak langsung disebutkan jati dirinya, juga hasil terungkapnya suatu misteri. Biasanya hal-hal itu dipotong dulu dengan deskripsi perenungan-perenungan Rinai, terkadang dengan flashback yang menunjang situasi. Meski demikian, pemotongan-pemotongan tersebut nggak mengganggu aliran plot. Novel ini tetap sangat mengalir dari awal sampai akhir.


Seperti biasa mata saya susah dialihkan dari masih adanya beberapa salah eja di beberapa bagian, walau cuma sedikit. Terus, ini subjektif sekali, saya agak gimana gitu membaca bagian-bagian yang membahas mimpi buruk Rinai yang berwujud ular. -_- Saya paranoid dengan hewan yang satu itu dan deskripsi mengerikannya bikin saya hampir skip membaca bagian itu. Satu lagi, subjektif juga, saya agak kurang sreg dengan penempatan tokoh "aku" di prolog dan epilog. Rasanya tanpa si tokoh "aku" itu pun cerita Rinai udah lengkap, bisa berdiri sendiri. Tokoh "aku"-nya pun nggak terlalu memberi sumbangan signifikan dalam novel keseluruhan, kecuali untuk mengungkap siapa sebenarnya ular dalam mimpi Rinai. Hal itu juga sebenarnya saya rasa bisa diintegrasikan dalam cerita. Saya terlalu terhanyut dalam cerita Rinai sampai ketika tiba di epilognya, harus meraba-raba ulang tentang si tokoh "aku", yang cuma muncul di prolog. Well, sekali lagi, ini subjektif.


***


Novel Rinai ini begitu padat dan sarat muatan--baik kompleksitas karakternya, nukilan teori-teori psikologinya, maupun kandungan Islaminya. Novel ini sama sekali bukan bacaan ringan; tidak disarankan membacanya ketika pikiran sedang penat. Perlu membangun suasana jernih yang serius untuk bisa menikmati novel ini sepenuhnya. Tapi novel ini adalah karya anak bangsa yang luar biasa, sungguh bagus sekali baik dari segi ide maupun penyampaiannya. Membaca Rinai akan membuat kita berkaca pada saudara-saudara di Gaza, meniupkan kekaguman sekaligus rasa malu. Rinai adalah novel yang lengkap dan sangat amat memesona. Saya betul-betul suka. Semalaman nggak berhenti kepikiran dan terus-terusan memakai emot :') sepanjang teringat.


Qur'an, katarsis utama. Lelah dan penat, sedih dan murka, gelora dan emosional, selalu berobat pada Qur'an. Itulah mengapa pihak pemerintah di Gaza menyediakan sarana-sarana penghafalan Qur'an agar setiap warga mampu melewati kesulitan hidup tanpa harus menjadi beban bagi orang lain.
--halaman 393


Jika saja boleh memilih. Jika saja tahu apa yang akan terjadi. Rinai tak akan membawa hatinya kemari.
--halaman 376

Profile Image for Linda Satibi.
38 reviews39 followers
December 20, 2013
PELAJARAN CINTA DARI GAZA

Sebuah novel mengisahkan sebuah cerita, itu biasa. Tidak demikian dengan RINAI. Ada cerita dalam cerita, di dalamnya. Tokoh Aku didatangi seorang ibu yang membawa buku catatan harian milik anaknya. Sang ibu berharap agar buku harian itu ditulis menjadi sebuah kisah. Maka mewujudlah kisah Rinai.

Alur cerita mengalir dengan beberapa flashback. Masa lalu Rinai memiliki andil besar dalam kehidupannya. Termasuk mimpi menahun yang terus menguntit dalam tidurnya. Tentang Ular. Mimpi inilah yang menjadi pijakan awal kisah ini. Dan pembaca langsung dipertemukan dengan Freud. Aroma ilmu psikologi mulai tercium, dan akan terus mewarnai novel ini.

Rinai, mahasiswi psikologi, hidup dalam keluarga yang memegang erat keluhuran nilai-nilai Jawa. Ibunya, Bunda Rafika, tipikal wanita Jawa yang tangguh dalam ke-nrimo-annya. Tak pernah ada perlawanan meski mengalami tekanan dari sana-sini. Sing waras ngalah.

Di kampusnya, Rinai mengagumi dosen bernama Nora Efendi, seorang psikolog klinis. Asisten lab-nya, Amaretta, kakak kelas Rinai yang tengah menempuh S2, sepertinya tak pernah bisa ‘rukun’ dengan Rinai. Mereka tergabung dalam tim relawan HRHW (Human Relief for Humanitarian Welfare) cabang Indonesia. Sebuah organisasi independen yang bergerak untuk meningkatkan kesejahteraan manusia, terutama berkecimpung di wilayah konflik, korban bencana, atau daerah-daerah yang sulit dijangkau oleh pemerintah terkait. Gaza, tujuan perjalanan kali ini. Rinai berada di bawah pimpinan Nora, dalam tim kecil yang bertujuan mengatasi posttraumatic stress disorder, bersama tim trauma healing lainnya, juga para jurnalis dan praktisi medis. Perjalanan di Gaza inilah, yang menjadi jantung novel ini.

Sinta Yudisia, memang pernah mengunjungi Gaza. Maka, ia seolah tidak melewatkan satu inci pun penglihatannya tentang kondisi Gaza untuk dihadirkan kepada pembaca. Detil setting sangat rinci hingga ke hal-hal kecil. Tidak hanya bermain apik dalam setting tempat, penulis juga menampilkan karakter tokoh-tokohnya melalui penggambaran fisik dan emosi yang lengkap.

Kondisi Gaza sebagai wilayah konflik ternyata tidak porak poranda dalam semua aspek. Mereka tetap berkegiatan senormal yang mereka bisa. Apa yang menyebabkan daya tahan demikian besar dari warga Gaza? Mengapa tingkat depresi kecil, sangat minim kasus skizofrenia, bahkan violence tak menjadi kebiasaan umum masyarakat? (halaman 179) Ternyata kuncinya adalah kecintaan pada Quran. Mereka akrab dengan huruf-huruf Quran, yang bergerak dari kanan ke kiri, menyeimbangkan kerja otak. Mereka bahkan menghafalnya, terutama Surat At Taubah dan Al-Anfaal. IQ anak-anak tak ada di bawah angka 100. Beberapa orang dewasa fasih berbahasa Inggris. Mereka memiliki tingkat kecerdasan yang baik. Semua bermuara pada keyakinan akan nilai-nilai Islam. Everything is from Allah and back to Allah (halaman 180). Shiroh Nabawiyah dan kisah shahabat dipelajari dengan baik. Mereka belajar bagaimana survive dalam kehidupan. Masjid, Quran, belajar, berjuang, bertahan. Itulah orbit yang dilalui terus menerus (halaman 181).

Perang tentu menimbulkan kerusakan. Bangunan-bangunan hancur, pasokan listrik dibatasi, dan aneka ketidaknyamanan lainnya, tidak menampilkan kemurungan. Bahkan keramahan warga Gaza sangat menonjol. Mereka menyambut baik kedatangan para pemberi bantuan dari negara lain. Namun bukan tersebab menerima bantuan. Bagi warga Gaza, menjamu tamu, menghormati tamu adalah sebagian dari keimanan (halaman 183). Betapa nilai-nilai Islam demikian merasuk dalam keseharian mereka.

Pada bagian lain, penulis menggiring halus pembaca pada pelajaran cinta tanah air. Mereka berjuang keras demi berkibarnya bendera di tanah sendiri. Sementara kita, di negeri merdeka ini, kerap abai pada nilai sejarah berkibarnya bendera pusaka. Dan lihatlah warga Palestina yang harus tabah bertransaksi dengan shekel, mata uang Israel. Sedangkan kita, leluasa menggunakan rupiah, mata uang kita sendiri.

Pelajaran cinta berikutnya tentang keluarga. Sosok Hazem, anak lelaki berusia 12 tahun, mendampingi penuh cinta sang kakak yang mengalami bisu tuli akibat trauma perang. Ia menjadi kepala keluarga dalam usia semuda itu, dalam kondisi kehilangan sebelah kaki. Lalu ada Nirmeen, gadis secantik bidadari, mengajar di sebuah sekolah dasar. Ia bertutur, kehidupan kami sedikit lebih cepat dari kehidupan lain dari belahan bumi lain (halaman 360). Mereka harus siaga dengan segala resiko terburuk. Semua dilakukan ikhlas, karena cinta.

Tidak ketinggalan, penulis menyuguhkan kisah cinta romantis yang syahdu. Sebuah perasaan indah yang terselip dalam perjalanan ini. Ada denyar hati yang sangat halus antara Rinai dan Montaser, seorang pemandu. Tokoh Montaser digambarkan penulis terasa begitu nyata. Sosok pemuda berusia 25 tahun dengan kontur wajah yang mengagumkan serta berkepribadian menawan. Cukuplah Gaza memiliki penjaga seperti Montaser. Pemuda terhormat yang menjaga pandangan. Menghiasi diri dengan hafalan Quran. Membaktikan diri bagi negara, setia pada kebenaran dan kemuliaan (halaman 376). Perasaan kedua insan tak terucap kata, tapi sinyalnya lembut terasa.

Pada bagian lain, hadir pula intrik dan friksi dalam satuan tim relawan tersebut. Pergulatan idealisme dan tuntutan operasional penelitian. Tindakan manipulatif tak terhindarkan. Membuat jengah Rinai yang masih hijau dalam proyek besar ini. Lalu menyeret Rinai dalam petualangan mendebarkan. Bertindak tanpa persetujuan tim. Hingga dirinya berada di tengah baku tembak yang menegangkan. Inilah satu-satunya adegan yang memperlihatkan bahwa mereka berada di medan konflik yang rawan letusan tembakan dan mesiu. Jadi jangan berharap novel ini banyak menghadirkan bagian yang membuat napas tertahan, karena terkepung dalam serangan keji Israel yang datang tiba-tiba.

Dengan ketebalan 400 halaman, novel ini memang berbicara banyak. Heroisme, religi, psikologi, tafsir mimpi, romance, tradisi Jawa, kritik sosial, dan nilai-nilai kemanusiaan yang dalam. Sungguh bukan novel biasa dari penerbit biasa. Grup Indiva, konsisten menghadirkan novel-novel berupa karya bermutu, yang bernapaskan Islam. Plot yang kuat, dengan penokohan yang berkarakter. Jalan cerita menarik dengan ide yang bukan kebanyakan. Tak sekadar menghibur, di dalamnya terdapat pemikiran-pemikiran cerdas nan bernas. Sebut saja beberapa novel, seperti: De Winst, Da Conspiracao, My Avilla, Livor Mortis, Rose, Tarapuccino, Jasmine, dll. Meski dalam novel Rinai ini, terdapat typo yang cukup banyak, namun tertutupi oleh bagusnya isi cerita. Hanya, tentu saja, kesalahan ini jangan sampai terulang lagi. Dalam kesalahan cetak kali ini, untuk kata ‘seiring’ beberapa kali tercetak ‘seiiring’. Contoh lain: ‘senatiasa’ seharusnya ‘senantiasa’ (halaman 172), ‘meimbulkan’ seharusnya ‘menimbulkan’ (halaman 181), ‘situaasi’ seharusnya ‘situasi’ (halaman 188), dan beberapa lagi yang lain. Yang juga membuat agak tidak nyaman adalah, catatan kaki ditaruh di bagian belakang, dan bukannya di bawah halaman. Padahal banyak sekali kata-kata yang disertai catatan kaki, terutama istilah-istilah psikologi.

Terlepas dari itu, Penerbit Indiva, tampaknya berusaha mengusung idealisme bahwa karya yang baik bukan berarti harus selalu mengikuti pasar. Karya bermutu, bila dikemas baik, tetap akan menarik minat pembaca. Karena sesungguhnya, pembaca pun merindukan buku-buku yang bukan karya biasa yang kebanyakan beredar tanpa memerhatikan bobot isi. Tinggal menunggu waktu, Indiva akan semakin berkibar dikenal sebagai penerbit bermutu yang menerbitkan karya-karya berkelas.
Profile Image for Binta Almamba.
12 reviews7 followers
December 14, 2013

Judul Buku : Rinai
Penulis : Sinta Yudisia
Penerbit : Afra Publishing
Terbit : Cetakan Pertama, Dzulhijjah 1433/ November 2012
Jumlah Halaman : 400 Halaman
ISBN : 978-602-8277-65-5
Harga : Rp 45.000
-----------------------------------


Rinai, menceritakan tentang seorang gadis bernama unik, -Rinai Hujan- katanya sih dianggap lucu dan aneh oleh sebagian kawan kecil dan kawan sekolahnya. Namun bagi saya nama itu manis dan puitis sekali. Eits... lupakan dulu pendapat saya ya! kali ini saya pengen banget belajar menulis resensi dengan mengulas isi, unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik serta pesan-pesan yang dapat saya tangkap di dalamnya.

Rinai yang tumbuh di antara keluarga besar Jawa yang teguh dengan segala adat istiadat yang menempatkan perempuan sebagai fihak yang (selalu harus) mengalah, acapkali sering tak punya 'suara' meski ia punya penghasilan dan mampu berpijak pada kaki sendiri, bahkan juga menopang kaki saudara laki-lakinya yang gagal menjadi 'orang'. Dominasi keluarga besar sangat mempengaruhi dan menentukan segala bidang kehidupan. Hmmm....

Saat kuliah di fakultas Psikologi, Rinai mendapati seorang dosen kharismatik bernama Nora Efendi, Rinai seolah menemukan sosok idola lain selain ibunya yang tegar dan lembut hati, Bunda Rafika. Nora adalah sosok yang begitu kuat, pintar dan menunjukkan diri secara elegan bahwa dia juga punya 'suara'. Rinai seringkali menganalisis dan membanding-bandingkan dua perempuan tersebut. Hingga suatu waktu ia dihadapkan pada perjalanan kemanusiaan bersama Nora Efendi dan beberapa relawan asal Indonesia ke daerah konflik, Gaza Palestina. Relawan yang terdiri dari tim medis, jurnalis dan juga tenaga Psikologi. Sebuah niatan kemanusian, memberikan bantuan selain makanan, obat, tenaga medis juga tenaga Terapis untuk membantu pemulihan trauma pasca perang.

Perjalanan yang tidak ringan, menembus perbatasan Rafah bukan perkara mudah. Digambarkan dengan detail betapa rumitnya prosedur dan betapa mengerikannya tentara Israel yang menjaga perbatasan. Rinai yang tergabung bersama relawan Indonensia banyak melihat fakta tentang negeri para Nabi itu. Penulis yang memang pernah mengunjungi kota Gaza itu selain bisa menggambarkan tempat-tempat dengan detail, juga bisa begitu hidup dalam menggambarkan getir, kewaspadaan sekaligus kepasrahan penduduk yang tinggal di tanah yang sewaktu-waktu dijatuhi bom oleh Israel. Negeri dengan seribu cerita lirih, pedih dan menyesakkan dada.

Konflik terjadi antar relawan, saat Rinai menyadari bahwa tugas kemanusiaan itu ditunggangi maksud-maksud lain yang menodai ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan yang dia pelajari sungguh-sungguh di kampus ternyata bisa dimanipulasi demi sebuah kepentingan yang Rinai tak mengerti, seperti buah simalakama ketika riset dengan hasil luar biasa harus diberitakan ke dunia luar dengan kebalikannya yang sangat jauh, nurani terdalam menyatakan bahwa ia merasa 'sakit' jika harus menjadi bagian kebohongan yang terkoordinasi itu, kebohongan yang katanya demi kepentingan bersama, demi penduduk Gaza juga. Ia selalu berpegang bahwa kejujuran adalah akar pengetahuan yang paling benar, yang akan memandu manusia menemukan jalan keluar dari berbagai macam persoalan. Namun harga sebuah 'suara' dalam kondisi rumit semacam itu menjadi samar, tertekan dan membuat dia terkucilkan.

Berbagai dialog hati Rinai dituturkan secara dalam dan membuat pembaca harus ikut merenung, juga memaknai setiap gurat kata bersayap yang dituangkan mbak Sinta Yudisia ini. Penceritaan tentang Palestina terasa menyentuh dan mengobarkan rasa takjub luar biasa. Dari Gaza, Rinai mendapat banyak pelajaran tentang ketangguhan bertahan, ketangguhan mempertahankan setiap jengkal tanah tempat mereka dilahirkan. Kemampuan bertahan yang tentu didapat bukan dengan menangis dan meratap. Dalam keadaan serba terbatas, terblokade, mendapat tekanan ekonomi dan konspirasi masyarakat internasional, suatu kelompok masyarakat tetap survive, tetap cerdas, bahkan melampaui mereka yang tinggal dalam situasi normal.

Ada beberapa romansa yang (agaknya) diselipkan sebagai pemanis kisah. Antara Rinai, Amaretta, Orion dan juga Montaser, si pemuda Gaza. Romansa yang tak betul-betul romansa, karena kisahnya hanya berasa dalam alam dialog jiwa Rinai seorang.

Jalinan kisah yang bebobot dan bertabur perenungan dalam setiap sisinya ini sarat pesan moral akan nasionalisme yang terkadang kurang terpatri di hati. Sebuah kemerdekaan begitu terasa penting ketika membersamai orang-orang yang tengah berjuang tak kenal lelah, berkorban berliter darah, anggota tubuh dan bahkan nyawa demi keluar dari cengkeraman kuku penjajahan.

Novel yang bagus namun pasti bukanlah sempurna. Dengan penuh kerendahan hati saya ingin memberi keseimbangan penilaian terhadap novel ini. Dalam berbagai kelebihan tentu saja ada kekurangan yang saya temukan. Novel yang sarat pesan ini agaknya berat dicerna dan kurang membumi, dikarenakan bertaburan istilah dan kajian ilmu psikologi seolah-olah sedang membaca materi kuliah. Belum lagi istilah-istilah asing yang keterangannya diletakkan di halaman belakang, bukan di bawah sebagai footnote seperti buku-buku lain yang mempermudah pembaca, tak perlu ribet membalik-balik halaman ketika ingin mengetahui maknanya.

Dan satu lagi, bagian yang agaknya saya tak menemukan maksudnya kenapa dimasukkan dalam cerita. Tentang mimpi Ular yang sering dialami Rinai, disebutkan pada prolog, petengahan dan jelang ending, tak banyak hubungan yang bisa menjelaskan harus ada bagian itu untuk cerita keseluruhan, seolah hanya menambah deret ulasan materi kuliah psikologi yang bagi saya rumit dan membingungkan itu hehehe.. maaf, akhirnya saya nggak tahan juga untuk menampilkan pendapat pribadi yang sangat dipastikan didasari kepada selera.

Oh iya, tentang kaver, terlihat elegan dengan warna coklatnya dan juga siluet rumah-rumah penduduk Gaza yang bebentuk kubus. Secara tidak langsung sudah menggambarkan isi buku didalamnya, yang membhasa tentang negeri para Anbiya' itu. Desain isi buku juga bagus dengan ukuran huruf yang bersahabat dengan mata, ada beberapa typo yang bagi saya masih dalam batas toleransi. 2 sampai 5 salah ketik menurut saya masih belum terlalu menggangu kenyamanan membaca.

Bagiamanakah kelanjutan konfilk yang terjadi diantara para relawan dan Rinai? romansa dan juga kelanjutan kisah keluarga besarnya di Indonesia? tentu saja semua hanya bisa diketahui dengan membaca lengkap lembar demi lembar yang mencapai 400 halaman ini.

Dan terlepas kelebihan dan kekurangannya, bagi saya novel ini layak direkomendasikan buat pembaca yang ingin mengetahui Gaza, Palestina secara detail, suka dunia psikologi, dan ingin memantik rasa nasionalisme yang mungkin agak memudar dalam diri.(*)
Profile Image for Ibuk Oemar.
19 reviews1 follower
January 27, 2023
Buku ini memang sebagian besar menceritakan tentang kehidupan masyarakat Gaza, namun diluar ekspetasiku— ternyata ditulis juga tentang parenting, keluarga..


Yang mana kita bisa mengambil pelajaran bahwa anak tidak slalu "setuju" ketika kita hanya "mengalah". Anak tidak slalu "suka" ketika kita tuntut untuk "mengalah". Bahkan ditulis juga efek atau pengaruhnya di kehidupan saat anak beranjak dewasa.

Suka sekali tokoh Rinai, berani keluar zona zaman. Berani berpendapat meski ia punya hati yang sangat sensitif. Meski dirumah Rinai lebih sering dituntut untuk "diam".

Suka sekali keberanian Rinai, bahkan demi "kebenaran" ia ikhlas di kucilkan, di kecualikan di team nya di saat berada di negeri orang..

Demi Hazem dan saudaranya, Rinai berani mempertaruhkan nyawa. Demi perasaan 'saudara' yang tidak pernah ia rasakan dari saudaranya sendiri..

Buku ini tuntas 2 hari 🙂 alhamdulillah, terpikat rasa penasaran keberanian Rinai keluar zona nyaman ❤️
Profile Image for Aisyah Sariasih.
15 reviews3 followers
December 17, 2013
Rinai: Sebuah Resensi
Judul : Rinai
Penulis : Sinta Yudisia
Penerbit : Gizone Books
Tebal buku : 400 hal
Harga : Rp. 45.000,-

Daerah yang senantiasa diwarnai dengan konflik,pastilah membuat kehidupan masyarakatnya tidak seperti daerah yang setiap harinya berada pada kondisi aman. Penduduknya tidak selalu dihantui rasa waswas dari hari ke hari, aliran listrik yang secara tiba-tiba terputus, tembakan yang secara tiba-tiba memecahkan kaca jendela rumah. Malam-malam yang dilalui para warganya dengan berjaga, memastikan negaranya aman dari gangguan negara penjajah.
Palestina, negara yang dirampas secara paksa oleh Israel. Mengalami boikot tidak hanya dari negara barat, namun juga negara tetangga yang bersekutu dengan Israel. Bagaimana kedaan masyarakatnya yang masih teguh untuk terus mempertahankan tanah kelahirannya, tanah airnya yang dari hari kehari semakin menyusut luasnya, tanah kelahiran yang sudah beracun, tidak lagi layak untuk ditanami tumbuhan apapun?
Apakah kondisinya seperti teori yang sudah jamak kita ketahui? Bahwa negara konflik yang senantiasa dipenuhi dengan teror warganya hidup dalam kondisi serba kekurangan, tanah gersang tanpa rimbun pepohonan dan ranumnya buah, anak-anak yang bersikap agresif dan penuh dengan dendam serta berada dalam kondisi IQ yang memprihatinkan karena dampak perang?
Rinai, mahasiswa psikologi yang mendapatkan kesempatan bergabung dalam tim trauma healing untuk pergi ke palestina. Di bawah bendera HRHW, Rinai, Nora efendi – dosen-, Amaretta, dan Orion – senior Rinai di Kampus – mendapatkan kesempatan untuk memberikan terapi pada anak-anak korban perang di palestina sekaligus melakukan penelitian terhadap mereka.
Perjalanan yang dialami Rinai, membawa kita mengenal tentang Palestina lebih dekat. Apakah seperti yang selama ini kita dapatkan dari berita-berita yang disuguhkan media? Tidak hanya mengenal Palestina lebih dekat dengan kondisi lingkungannya, kita juga diajak untuk merasakan bagaimana keteguhan para penduduknya, mulai dari anak-anak hingga orang dewasa dalam mempertahankan kedaulatan negaranya. Ikut merasakan getar rasa yang dialami Rinai ketika bertemu dengan sosok yang mampu menggetarkan hatinya.
“hanya pemuda sederhana. Yang kecemerlangannya muncul lewat senandung yang ia hafalkan, terlihat dalam cahaya yang terpancarkan dari sepasang mata. Kecemerlangan yang terlihat bagai matahari perlahan muncul, atau menghilang di kaki langit.” (hal. 35)
Dengan latar belakan penulis yang seorang mahasiswa psikologi, tokoh utama yang juga adalah seorang mahasiswa psikologi membuat kisah ini begitu hidup. Terkadang saya membayangkan bahwa Rinai adalah penulis sendiri. Melalui kisah ini, kita disuguhkan dengan teori psikologi perkembangan yang sedikit banyak bisa kita pelajari. Bahwa apa yang kita dapatkan ketika masa kanak-kanak mempengaruhi ketika kita dewasa. Kutipan tentang dunia psikologi berada disaat yang pas dengan cerita.
Dari kisah Rinai, kita mengetahui; “sebab manusia mampu menterapi dirinya sendiri, ketika ia menemukan tempat berbagi cerita. Qur’an adalah katarsis hebat bagi mereka yang tak menemukan tempat berpijak di bumi” (hal. 226)
Dan juga menyadarkan pada kita bahwa; “kadang, saat memberikan sesuatu, seseorang juga menagih sesuatu” (hal. 230)
“terkadang, bertemu manusia yang siap untuk mendengarkan adalah salah satu obat terampuh saat mengalami kekacauan jiwa” (hal. 285)
Beberapa kutipan lain yang saya sukai di kisah ini, tentang dunia psikologi.
“orang yang mengerti ilmu jiwa adalah yang paling sempurna perilakunya”(hal. 28)
”Pemudanya mencari sosok ibu, oedipus complex. Perempuannya mencari sosok kekanakan yang mungkin hilang dari masa kecilnya” (hal.31)
“Lelaki mencari kesuburan, perempuan mencari kemapanan” (hal. 31)
“Setiap goresan punya makna. Jangan kalian anggap guratan, coretan, shading, yang muncul hanya sekadar imajinasi sesaat. Apa yang dilakukan seseorang – yang coba dituangkan dalam gambar – sesunggunya refleksi dari pengalaman hidupnya bertahun silam.” (hal. 294)
“Menangis. Melepas air mata. Menangis, salah satu cara mengungkapkan kekalahan yang telak dirasakan emosi terdalam. Menangis, mengakui bahwa sebagian diri kita terluka, menyingkap persona atau topeng bahwa kita sedang tak baik-baik saja” (hal. 349)
“sakit, sesekali adalah anugerah. Terhenti dari aktivitas yang melelahkan, kesempatan mengistirahatkan pikiran dan tubuh, kesempatan memperbaiki hubungan buruk.” (hal. 355)
Dari kisah antara Rinai dan Montaser kita mendapatkan sebuah pelajaran bahwa; “cinta dan harapan, adalah hal terbesar yang dimiliki manusia. Dengannya , kita mampu bertahan terhadap kesulitan bertubi,mampu menjalani hiudp bagaimanapun tampak mustahil dijalani.” (surat montaser untuk rinai, hal. 372)
“Kelegaan yang lapang terjalin bersama kepedihan. Kadang, kehilangan jauh lebih baik, sebab memberikan kepastian. Perasaan ingin memiliki tanpa tujuan akhir hanya melahirkan angan-angan panjang dan kemarahan terpendam” (hal. 373)
Ada beberapa hal yang tidak dapat saya pahami dalam kisah ini. Salah satunya adalah penggambaran penulis tentang Montaser. Bola mata yang sering kali Rinai tatap, berubah warna saat emosinya berubah. Biru seperti langit, kadang berubah hitam pekat. Penuturan yang berbeda dari kisah-kisah yang pernah saya baca. Penulis menempatkan dirinya sebagai orang yang mengkisahkan kembali dari apa yang dia baca dalam buku harian Rinai. Sesuatu yang unik. Karena kita diajak mengenal pribadi Rinai dari apa yang dia jelaskan kemudian di akhir cerita.
Membaca kembali novel ini, jadi teringat akan Palestina yang masih belum juga mendapatkan kebebasannya.

Profile Image for Thomas Utomo.
Author 7 books5 followers
December 30, 2013
Perjalanan Kemanusiaan ke Tanah Para Anbiya

Judul : Rinai
Pengarang : Sinta Yudisia
Penerbit : Gizone Books
Cetakan : Pertama, September 2012
Tebal : 400 halaman
ISBN : 602-8277-65-7
Harga : Rp 45.000,00
Ukuran : 20 cm

Sejak kecil, Rinai Hujan adalah pribadi yang gelisah. Terlalu banyak pertanyaan yang bergelayut di benaknya. Tentang mengapa dia diharuskan ibunya untuk memegang teguh keluhuran norma hidup orang Jawa--sementara zaman terus bergerak menggilas semua nilai tradisionalitas? Mengapa perempuan perlu mengalah di bawah telapak kehendak laki-laki? Apa hal yang menyebabkan Guntur, kakaknya selalu dimenangkan dalam segala-galanya? Apa karena Rinai seorang perempuan yang konon ditakdirkan sebagai warga dunia kelas dua? Termasuk mimpi tentang ular yang hadir nyaris setiap malam dan merusak ketenangan batinnya dari aliran waktu ke waktu? Rinai tumbuh besar dengan pertanyaan-pertanyaan itu yang tidak kunjung menemukan jawaban, bahkan setelah dia kuliah di jurusan psikolosi.
Suatu hari, Rinai sang mahasiswa yang selama ini merantau, tiba-tiba pulang ke rumah dengan membawa kabar mengejutkan: dia akan berangkat ke Palestina sebagai relawan kemanusiaan! Tak pelak, orangtua dan kakaknya tidak berkenan memberi lampu hijau. Keadaan ayahnya yang buta dijadikan dalih yang diharapkan dapat membatalkan maksud keberangkatan Rinai. Tapi keputusan Rinai sudah bulat. Dia tetap berangkat, bukan karena membangkang atau kehilangan rasa bakti pada orangtua. Justru dia ingin membuktikan: sebagai anak bungsu, sebagai perempuan yang selalu dikalahkan, dia tetap mampu berbuat, mampu memberi manfaat--setidak-tidaknya mengurangi sedikit beban psikologis--masyarakat Palestina yang didera perang berkepanjangan.
Sebagai relawan kemanusiaan, Rinai tergabung dalam tim trauma healing bersama teman-teman klinisan yang dipimpin Nora Efendi, dosennya. Di samping timnya itu, ada pula rombongan dokter dan jurnalis.
Perjalanan ke dan selama di Palestina, ternyata lebih rumit dari yang Rinai bayangkan. Prosedur masuk Palestina yang berbelit-belit--bahkan sempat tertahan berhari-hari di Mesir, hubungan tidak harmonis antarsesama anggota rombongan karena dicemari silang pendapat tajam, perbedaan maksud dan tujuan, juga gesekan rasa cemburu dan iri, membuat suasana batin Rinai semakin runyam. Belum lagi hubungannya dengan Nora Efendi dan Amaretta Astuti, seniornya yang seperti berjalan di atas lapisan es yang tipis, saking rentannya. Kenyataan-kenyataan tersebut, berangsur-angsur membuat Rinai jengah dan berpikir: sejatinya apa guna dia berangkat ke Palestina?
Tetapi kemudian, Rinai justru menemukan jawaban-jawaban mencengangkan atas aneka pertanyaan yang ditanggungnya selama ini, baik soal jatidirinya sebagai bangsa Indonesia--wabil khusus orang Jawa, soal keharusan memegang teguh identitas tanah kelahiran, penerimaan dan keikhlasan tanpa batas, termasuk juga tafsir tentang ular yang mendominasi mimpinya selama ini. Menariknya, jawaban-jawaban yang menolongnya bermetamorfosis menjadi pribadi lebih baik itu, justru dia temukan di Palestina, di tanah para anbiya!
Rinai menuturkan secara mengharukan di buku hariannya, “Aku tidak pernah menghargai upacara bendera. Kupalingkan mata saat menghormat merah putih… Tapi tidak demikian sepulang dari Gaza… Kali pertama yang kucari ketika turun dari pesawat di Bandara Jakarta dan Surabaya adalah adakah bendera berkibar di tiang halaman muka? Mataku merebak. Kain merah putih, berkibar bisu, di langit dan bumi milik sendiri. Di Gaza, setiap anak-anak, pemuda, orangtua, gadis, ibu berjuang agar bendera mereka bisa tegak berkibar. Di negerinya sendiri.” (halaman 381).
Selain silang sengkarut konflik psikologis antartokoh, novel ini juga mendudah karakter bangsa Palestina yang belum banyak diketahui orang, seperti tulus memuliakan tamu tapi tidak mau membuka diri seratus persen pada orang asing, bersemangat gempita menyambut sekecil apapun upaya eksistensi bangsa, ramah, teguh memegang budaya asli, tidak kehilangan sisi kemanusiaan sekalipun digempur perang, dan sebagainya lagi.
Menarik pula disimak syarat menjadi prajurit Palestina, yaitu, “Berfisik sehat. Hafal Qur’an, setidaknya al-Anfaal dan at-Taubah. Berada di masjid selalu dalam shaf pertama, setidaknya tiga bulan berturut. Subuh dan Isya tak pernah lalai dari berjamaah.” (halaman 352).
Di luar kesalahan teknis seperti nama panjang kakak Rinai, apakah Guntur Alam (halaman 15) atau Guntur Laksmana (halaman 263), bagaimanakah deskripsi diri Rinai, apakah berhidung separuh (halaman 304) atau berhidung mancung (halaman 348), novel ini sungguh layak dicermati. Apabila Helvy Tiana Rosa banyak menulis Palestina dengan bahasa kepalan tangan, maka sebaliknya. Sinta Yudisia menuturkan Palestina lewat bahasa angin semilir. Halus, lembut namun tetap memiliki substansi yang berujung mencerahkan.

Ledug, 24 Juni 2013

*Thomas Utomo pernah kuliah di Universitas Muhammadiyah Purwokerto, jurusan Pendidikan Guru SD. Sekarang bekerja di SD Universitas Muhammadiyah Purwokerto sebagai guru kelas III. Kerja sampingan sebagai penulis lepas di sejumlah media dan menjadi guru les di sebuah lembaga bimbingan belajar. Dapat dihubungi lewat telepon 085.747.268.227 atau e-mail utomothomas@gmail.com.

**Resensi ini diikutkan dalam Lomba Resensi Buku Indiva 2013.

***Resensi ini pernah ditayangkan di http://annida-online.com/artikel-8059...
Profile Image for Hairi.
Author 3 books19 followers
December 28, 2013
Rinai Hujan adalah seorang mahasiswi psikologi yang dengan alasan menjalankan misi kemanusiaan menembus satuan penjaga perbatasan hingga bisa memasuki wilayah Palestina yang menjadi sasaran utama penyerangan Israel : Gaza. Tentu saja Rinai tidak datang sendiri, dia bergabung dalam sebuah organisasi independent bernama HRHW (Humanity Relief for Humanitarian Welferare). Konflik di Gaza yang tengah mendapat sorotan dunia membuat HRHW mengirimkan relawan ke sana.

  Rinai tergabung dalam relawan medis yang akan membantu mengatasi trauma terkait fisik dan psikis. Dia ada di bawah komando dosennya Nora Efendi yang juga membawa seorang kakak kelasnya Amaretta, mahasiswi Nora yang masih mengambil S2 dan sering membantu Nora di berbagai penelitian. Juga kakak kelas Rinai yang lain bernama Orion.


  Rinai datang dengan segala konflik yang ada dalam kehidupannya, dengan segala pertanyaan dan ketidakmengertiannya pada orang-orang di sekitarnya. Kehidupan keluarganya yang selalu menomorsatukan laki-laki, kakak laki-lakinya yang kerap berkonflik dengannya, juga penciutan nyalinya jika berhadapan dengan Amaretta. Rinai seperti yang digambarkan Farzana, rekannya yang lain dalam tim healing traumatic adalah sosok yang kadang sangat penakut, kadang begitu penuh imajinasi dan semangat, kadang malah penurut tanpa inisiatif sama sekali dan masih dipenuhi mood disaster, seperti yang diakui Rinai sendiri (hal 168)

  Pada saat di Gaza pun Rinai tak lepas dari yang namanya masalah. Mimpi tentang ular yang terus menggentayangi dirinya dari tanah air hingga Gaza. Rinai mengetahui kalau dalam teori psikoanalisis yang digagas Freud menyatakan ular sama dengan alat reproduksi laki-laki. Rinai merasa terjajah dengan mimpi ular yang begitu sering mengunjunginya.

  Di Gaza pula lah terjadi friksi Rinai dengan anggota setimnya dan beragam hal lain yang menyertai perjalanan Rinai, dari desingan peluru, anak-anak Gaza yang merebut perhatian Rinai hingga debar perasaan pada seseorang di sana. Berpetualang jauh ke negeri orang tanpa dibekali hati sekuat beton pondasi bangunan pencakar langit, hanya akan membuat air mata dan hati yang kecut terbentur-bentur rasa sesal bercampur kemarahan yang memampat (hal 299).

  Sinta Yudisia, penulis Rinai yang sudah pernah menjejak tanah Gaza dan mengambil pendidikan di bidang psikologi, sehingga dua hal itulah yang mendominasi jalannya cerita.

  Rinai bercerita tentang Gaza, memberitahukan tentang bagaimana keadaan di Palestina sana. Bagaimana mereka melewati hari-hari, apakah selalu dalam ketakutan dan kecemasan dalam tiap detik kehidupan. Bagaimana para anak kecil di sana bersekolah dan melalui masa emas pertumbuhan mereka. Bagaimana para wanita hidup dan tumbuh, mendidik anak-anak masa depan Gaza juga bersiap setiap saat menjadi janda. Rinai juga mendeskripsikan Gaza dengan sangat detail : Khan Younis, Deir Balah, Gaza City, rumah sakit Asy-Syifa dan Jabaliya. Juga bagaimana ketika melalui beragam cek point, melewati perbatasan yang dijaga sangat ketat saat ingin menembus Gaza.

  Rinai adalah novel yang dibalut dengan ilmu psikologi. Banyak bagian yang dikemas dengan menyelipkan ilmu psikologi. Baik dari perkenalan tokoh per tokoh, dialog hingga narasi. Menambah wawasan bagi pembaca Rinai tentang dunia psikologi, walau porsi selipan ilmu psikologi ini agak kebanyakan. Di beberapa bagian malah membuat bosan dan seperti bukan membaca novel, tapi membaca diktat psikologi. Namun, kalau tidak dibalut dalam bentuk novel seperti ini, mungkin pembaca seperti saya tak akan rela memaksa mata menelusuri aksara demi aksara tentang beragam teori psikologi itu.

  Dalam badan cerita Rinai, ada istilah-istilah tertentu dan butuh penjelasan lewat catatan kaki. Sayangnya catatan kaki itu justru ditaruh di akhir bagian novel. Hal yang sungguh mengganggu kenyamanan membaca. Ada baiknya catatan kaki ditaruh di bawah halaman saja, bukan di akhir bagian novel. Dengan begitu, pembaca hanya perlu menggerakkan mata ke bawah, tanpa melibatkan tangan yang harus membolak balik novel ke halaman akhir.

  Jika buku diibaratkan sebagai kudapan, maka novel ini bukan hanya sekadar cemilan tapi sebuah makanan -bagi jiwa dan pikiran- yang mengenyangkan, jamuan yang menyuguhkan nilai dan makna buat para pembaca. Ada sesuatu yang tertinggal dan membekas ketika selesai membacanya. Karena, selepas membaca Rinai saya diingatkan lagi akan pentingnya berinteraksi dengan Al-Qur’an. Qur’an adalah katarsis utama. Lelah dan penat, sedih dan murka, gelora dan emosional, selalu berobat pada Qur’an (hal 393).

  Begitu juga saat Rinai mengemukan misteri dibalik mimpi ular yang kerap menyapanya dalam tidur. Menjawab pertanyaan saya bertahun-tahun yang lalu karena pernah dikunjungi mimpi yang sama. Andai kau ingin tahu apa makna mimpimu jika sama dengan mimpiku, kusarankan : menjauhlah dari Freud. Mendekatlah selangkah pada Ibnu Khaldun (hal 9). Maka, menemukan pendapat Ibnu Khaldun seperti… Eureka (hal 387).

***
Judul : Rinai
Penulis : Sinta Yudisia
ISBN : 978-602-8277-65-5
Penerbit : Gizone Books (Kelompok Penerbit Indiva Media Kreasi)
Penyunting Bahasa : Mastris Radymas
Tahun Terbit : 2012 (Cetakan Pertama)
Tebal : 400 halaman
Harga Buku : Rp. 65.000,-
Profile Image for Tyas Sari.
1 review
Read
December 7, 2020
Sebuah novel menggugah jiwa tentang bagaimana perjalanan sebuah tim relawan menembus Gaza Palestina. Tentang intrik-intrik di internal tim relawan, rahasia anak-anak dan warga Gaza, juga tentang bunga-bunga cinta yang tumbuh mekar. Cinta yang tak harus memiliki, tapi terus harum mewangi.
This entire review has been hidden because of spoilers.
47 reviews5 followers
May 5, 2013
Adalah Rinai Hujan, seorang mahasiswi psikologi, berasal dari keluarga yang selalu menanamkan persepsi bahwa mereka adalah orang jawa dengan segala kelembutan, kemampuan mentoleransi orang lain, kesabaran, serta daya tahan untuk mengalah.

Seperti jawaban Bunda Rafika ketika Rinai harus bertanya kenapa bunda selalu mengalah kepada laki-laki, Pakde Harun dan ayah. "Hm.. Sebab, perempuan itu sumber kesetimbangan, sayang. Dunia ini berjalan seimbang dan harmonis karena perempuan. Perempuan yang baik budi, halus, dan hormat kepada laki-laki. Perempuan yang rela mendengarkan, rela memberi, rela mengalah. Kalau perempuan punya watak seperti laki2 yg garang dan suka merampas, apa jadinya dunia ini?"

Tapi kemudian di bangku kuliah, Rinai mengenal Nora Efendi, dosennya, dan Amaretta, kakak kelasnya, yang modern, cerdas, powerful dan menguasai keadaan. Melihat mereka, sungguh menjadi bunda Rafika yg berhati mulia tp justru sering menitikkan air mata, bukan impiannya.

Ada satu hal yg selalu mengusik Rinai, yaitu mimpinya tentang ular yg kerap mendatanginya, malam demi malam, bahkan sampai ia menjadi relawan trauma healing di gaza. Ia ketakutan dg teori psikoanalisis yg menyatakan bermimpi ular itu identik dg obsesi terhadap lelaki. Sehingga mencari2 teori lain untuk membantahnya, dan kemudian ia mendapatkan Muqaddimahnya Ibnu Khaldun.

Di bab Ilmu penafsiran mimpi, ia menemukan ini"Allah menciptakan apapun yg Ia kehendaki. Adapun gagasan penafsiran mimpi, hal berikut harus diketahui. Jiwa manusia memiliki persepsinya sendiri dan beralih menjadi imajinasi. Imajinasi kmudian membentuknya ke dalam gambar, tapi hanya ke dalam gambar sebagaimana anggapan yg dirasakan. Sebagai contoh, jika angan2 penguasa perkasa dirasakan, imajinasi tergambar dalam bentuk samudera. Atau pikiran ttg permusuhan digambarkan oleh imajinas dalam bentuk seekor ular atau naga"

Eureka! Rinai bahagia mendapat jawabnya, ia menang!


Tentang perjalanan penelitiannya di Gaza, Rinai pun tak terlepas dr konflik bahkan dg rekan setimnya. Rinai tak sependapat ketika timnya melaporkan hasil penelitian bahwa perang di Gaza membawa kerusakan otak yg parah hingga sebagian besar anak2 Gaza memiliki IQ dibawah normal dan kepribadian remaja serta orang dewasa dlm taraf agresif dan anarkis. Semua itu dilaporkan agar bantuan terus mengalir.

Tp Rinai memberontak. Anak2 Gaza tidak mengenal kekerasan, mereka bertahan hidup dan berjualan shai di tepi jalan. Mereka pantang meminta, bahkan ketika kaki harus digantikan sepasang kayu sebagai penyangga. Anak2 ini tetap meraih IQ tinggi, makanan mereka juga tak diabaikan pemerintah. Anak2 Gaza membaca AlQuran dan menghafalkannya. Dalam keadaan terbatas, terblokade, mendapat tekanan ekonomi dan konspirasi masy internasional, mereka tetap survive, cerdas, bhkan melebihi mereka yg tinggal dlm situasi normal. Sesungguhnya indonesia memang berhak membantu, tetapi juga perlu berkaca, pada siapa harusnya menimba ilmu dan kebijaksanaan. Sebab manusia mmpu menterapi dirinya sendiri, ketika ia menemukan tempat berbagi cerita. Quran adl katarsis hebat bagi mereka yg tak menemukan tempat berpijak di bumi.

Kisah ini juga diwarnai dengan desir-desir yg dirasakan Rinai ketika dengan tidak sengaja matanya menumbuk sepasang mata bersayap bagai toyor al jannah yg dimiliki seorang pemuda Gaza. Ditampakkan dengan cara yg indah oleh Sinta Yudisia. :)
Profile Image for Ania Maharani.
14 reviews10 followers
January 12, 2013
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ
Bismillaahirrahmaanirrahiim

“Ilmu pengetahuan selalu mempunyai guru, di samping mempunyai prajurit sebagai penjaga. Sebagaimana psikologi merupakan anak kandung dari ilmu filsafat, para penjaga ilmu jiwa, beragam alirannya.” (hal.62)

Itulah kata-kata bertenaga yang saya petik dari novel Rinai. Novel ketebalan 400 halaman ini membuat saya mendalami ilmu psikologi secara eksplisit, terangkum dalam pengalaman tokoh utama yang bernama Rinai Hujan di daerah konflik Gaza. Gaya bahasa penulis yang serius, mengantarkan pembaca untuk memahami representasi mimpi, menemukan jati diri, dan menjunjung nilai kebenaran. Di sini, penulis membandingkan ideologi psikoanalisa oleh Sigmund Freud dan aliran Ibnu Khaldun.

“Ibnu Khaldun seorang ulama, ia bukan hanya peneliti. Tiap kali merumuskan bab demi bab, ia senantiasa menukil ayat Al Qur’an dan Hadist. Tidakkah selama di Gaza, Rinai melihat betapa Al Qur’an adalah kartasis hebat bagi jiwa yang sakit? Ibnu Khaldun mengobati dirinya sendiri sebelum ia mengeluarkan rangkaian obat bagi masyarakat. Rinai tahu, banyak orang tak akan semudah itu percaya pada Ibnu Khaldun. Sebab ilmunya terkubur bersama kaum muslimin yang menguburkan sikap ilmiahnya, menimbunnya dalam pertikaian dan kecintaan pada dunia, serta penghambaan pada ilmu bangsa lain yang belum tentu benarnya.” (hal.323)

Beberapa kali saya sempat terpukau oleh deskripsi penulis untuk menyisipkan wawasan di novel ini. Meski awalnya saya terjebak oleh sudut pandang cerita yang melompat, yakni dari sudut pandang orang pertama berganti haluan menjadi ketiga. Perjalanan alur cerita menjadi bersahaja ketika dijelaskan karakteristik budaya Indonesia dan Palestina secara bergantian. Novel ini cukup mengungkap rahasia anak-anak dan wanita Gaza dalam medan pertempuran. Seolah-olah Anda diajak penulis untuk menyelami kehidupan mereka, merasakan kepahitan dan kebangkitan emosi.

Jangan harap menemukan kisah picisan dalam novel ini. Ada pelajaran berharga yang bisa dipetik dalam memaknai sebuah cinta. Tentang bunga-bunga cinta yang tumbuh mekar dan mewangi meski tak harus memiliki. Ada konflik batin yang menurut saya belum berakhir sampai epilog cerita. Hal ini menimbulkan rasa penasaran untuk membaca kisah selanjutnya.

Rinai.

Sebuah novel fiksi yang patut untuk diapresiasi kepada penulis Sinta Yudisia berdasarkan inspirasi jejak rekamannya di bumi Gaza pada tahun 2010 silam. Yap. Sebuah perjalanan ke manapun itu bisa menjadi sumber cerita yang penuh hikmah dan manis tatkala diabadikan oleh pena.

Alhamdulillah, novel ini dikhatamkan menjelang pergantian tahun masehi dengan secercah harapan; ‘Setiap orang pasti memiliki potensi untuk dikembangkan. Kebiasaan untuk menulis secara berkesinambungan adalah sebuah ikhtiar untuk menjadikan diri semakin produkif. Mari, hasilkan karya positif untuk negeri tercinta. Apapun itu bentuknya :)”

An Maharani Bluepen
30 Safar 1434 H
Profile Image for Adriyan Achda.
93 reviews7 followers
March 29, 2013
Sebagian besar masyarakat dunia mungkin melihat Gaza hanya sebuah negara terjajah yang harus dikasihani. Tapi bagi Rinai, dan relawan yang pernah ke sana, Gaza adalah sekolah kehidupan. Belajarlah kekuatan dari warga Gaza, yang bertahun-tahun menghadapi represi militer. Belajarlah nasionalisme dari pemuda Gaza, yang bertaruh nyawa menjaga tiap jengkal tanahnya. Belajarlah kesabaran dari anak-anak Gaza, yang dalam usia sangat muda harus kehilangan orang tuanya. Belajarlah menjadi ibu dari ibu-ibu Gaza, mendidik generasi pejuang yang tak habis-habisnya. Warga Gaza adalah manusia-manusia pilihan, yang menjadikan al-Qur'an mengalir di tiap nafas kehidupan.

Saya teringat sepotong sajak dari Rafeef Ziadah:
"We teach life, Sir!
We teach life, Sir!
We Palestinians wake up every morning to teach the rest of the world life, sir!"
Profile Image for Mardhiana Anggraini.
3 reviews
February 4, 2016
Menjadi anak perempuan di keluarga penganut adat Jawa yang kental ternyata tidak mudah dan mengalami pertentangan di beberapa hal, salah satunya Rinai yang menganggap ibundanya (re : Bunda Rafika) tidak mempunyai 'suara'. Jiwa berontak Rinai semakin menjadi-jadi hingga akhirnya ia memutuskan mengambil kuliah psikologi di Surabaya. Di sana ia bertemu dengan Nora, dosen cantik nan cerdas yang 'suaranya' mampu memengaruhi orang-orang sekelilingnya. Awal cerita ini menggunakan pendekatan psikologis yang sangat kental. Berlanjut pada perjalanan kemanusiaan di Gaza yang salah satunya bertujuan utk mengetahui kecerdasan anak-anak di sana. Salah satu poin penting (khususnya bagi mahasiswa pun ilmuwa psikologi dan (calon) psikolog) dimanapun kode etik psikologi harus tetap ditegakkan. Secara garis besar, novel ini sangat mengharukan. Banyak sekali pelajaran yang dapat kita ambil.
Profile Image for Ilham.
7 reviews2 followers
August 8, 2016
Saya cemburu pada Rinai Hujan, pada Mbak Sinta Yudisia yang sudah ke Gaza, Palestina. Novel yang begitu detail menggambarkan kondisi Palestina, baik penggambaran karakter, dan kondisi disana.

Namun ada yang janggal mengenai mimpi ular. Saya rasa tanpa mimpi ular novel ini akan terasa enak dibaca.

Saya suka mimpi dan penelitian psikologi Rinai. Pada dasarnya setiap penghapal Qur'an mempunyai kecerdasan diatas rata-rata. Begitu juga dengan rakyat Palestina yang terbiasa menghapal Qur'an. Justru, konflik yang terjadi bukan mensurutkan kecerdasan Intelektual mereka. Namun semakin meningkatkan kecerdasan mereka.
Profile Image for Annisa M Zahro.
130 reviews25 followers
June 20, 2014
Read more: here

Di sini, Rinai tak hanya berkonflik dengan keluarganya, tapi juga dengan rekan setimnya, bahkan tidak jarang Rinai berkonflik dengan hatinya. Jika saya menjadi Rinai, tentunya saya akan bingung juga, menentukan siapa kawan dan siapa lawan. Saya pun dibuat jengkel oleh keluarga besar Rinai yang 'katanya' menjunjung tinggi filosofi Jawa. Kisah yang dituliskan oleh Sinta Yudisia benar-benar apik dalam mengaduk-aduk emosi pembaca. Hehehe..
Profile Image for Anugrah Roby.
5 reviews
May 27, 2015
Cerita tentang Palestina sudah bertabur. Tapi yang ini beda. Di sini kita belajar psikologi. Juga intrik di balik perjalanan tim relawan. Juga soal penelitian2 mereka yang banyak dimanipulasi untuk sekedar mengemis donasi. Padahal faktanya, anak2 Gaza sangat sehat jiwanya dan kuat mentalnya, meski saban hari mendengar dentuman bom dan desingan peluru. Walau orangtuanya sudah dibantai Zionis, walau anggota tubuhnya tak lagi lengkap, walau rumahnya tak lagi utuh. Masya Allah, banyak hal yang patut kita pelajari dari anak-anak Gaza dan keakrabannya dengan Al-Qur'an.
Profile Image for Firda Hapsari.
2 reviews1 follower
January 2, 2013
Alhamdulillah, buku yang saya rekomendasikan :) Sejenis buku yg bikin saya duduk nempel di kursi selama berjam-jam buat langsung nyelesein baca. Suka pemaparan ilmu psikologinya. Suka sama penggamabaran kehidupan di Palestina. Suka sama penggambaran wataknya. Suka sama cara penulis menelusupkan desir-desir halus "itu". Sukaaaaa :D
Profile Image for Sittati Chasanah.
12 reviews9 followers
April 12, 2013
Menyelami kisah hidup Rinai, serasa menyelami kisah hidup sendiri.. menyentuuuh hati.. :')
1 review
August 29, 2013
This book is so amazing, and touching our hearth.
When we read it, we feel like we came to the Gaza.
feel the atmosphere, condition, any situation.
Profile Image for ayanapunya.
338 reviews13 followers
November 9, 2013
benar-benar sebuah novel yang penuh gizi, terutama untuk ilmu psikologinya. ada beberapa pertanyaan yang tak terjawab. but it's ok.

*moga bisa bikin review lengkapnya
Profile Image for Nay.
Author 4 books86 followers
December 17, 2015
Agak lebih suka ini dibanding Bulan Nararya
Displaying 1 - 27 of 27 reviews

Can't find what you're looking for?

Get help and learn more about the design.