Jalan hidup Gitanyali seolah tak bisa lepas dari angka 65. Peristiwa '65 membuat hidupnya berubah seketika dari anak keluarga pemuka partai yang jaya merosot menjadi paria. Berusaha membebaskan diri dari dosa turunan, ia berganti-ganti nama, dan mendefinisian bebas sesuai kebutuhan hidupnya. Perjumpaannya dengan Emma-pemilik galeri seni di Bangkok-membawa Gitanyali ke mistik angka 65 yang lain. Dunia baru yang penuh cinta dan harapan terbuka lebar.Ia masuk dalam keadaan harus meninggalkan kehidupan asmaranya yang liar-dengan Tante Rosa di kota kecil di Jawa Tengah, Hilda di Bandung, Christine di Paris-serta berdamai dengan kenangan masa lalu.
Sempat baca di mana gitu katanya buku ini bagus tentang peristiwa 65. Jadi aku mulai dengan semangat baca tinggi, Eh termyata peristiwa 65 itu cuma embel-embel belaka. Ga ada keseriusan. Mestinya buku ini berjudul 69 saja, karena memang lebih dekat dengan seks daripada komunisme
Menyelesaikan menyimak separuh perjalanan hidup Gitanyali dari remaja ke dewasa setelah di buku pertama adalah kisahnya dari kecil hingga remaja. Tidak terlalu banyak perbedaannya. Cowok ini melompat dari pelukan satu wanita ke wanita lain, tidur dengan hampir semua wanita yang dikenalnya, sebelum akhirnya dia memutuskan untuk menambatkan hati pada satu wanita. Begitu dominannya kegiatan "tidur dengan wanita" di novel ini, memang bikin mmebacanya jemu. Seolah sisi kehidupan yang lain hanyalah selingan dari aktivitas ranjang yang satu ke aktivitas ranjang yang lain. Kisah ini bisa jadi adalah cara pengarang menunjukkan perlawanannya kepada statusnya yang anak mantan pengurus PKI. Ini adalah caranya melawan stigma sebagai anak PKI yang tidak diterima di-mana-mana. Tidak boleh jadi pegawai negeri, guru, ABRI, apalagi pejabat karena latar belakang yang mungkin dia sendiri tidak tahu apa-apa tentang PKI dan peristiwa 65. Dalam hal ini, Gitanyali kemudian membuktikan walau dirinya ditolak negara, tetapi dirinya diterima (bahkan dirindukan dan diperebutkan) oleh banyak wanita. Dengan cara inilah dia menunjukkan dirinya yang bebas dan tak dikekang. Seperti yang sempat disinggung Gitanyali, tak ada yang lebih disukainya ketimbang kebebasan.
Sempat mencurigai kalau Gitanyali itu nama samaran Ayu Utami. Tapi kemudian tahu kalau dia adalah Bre. 65 jauh lebih baik dari pada Blues Merbabu. Meski keduanya sama2 "datar"
Penceritaannya membuat saya tidak terlalu tegang meski mendengar nama PKI/Komunis. Bre "menyederhanakan" kasus genosida itu menjadi bagian dari dirinya dan anak anak yang orangtuanya pernah "tercatat" sebagai simpatisan PKI.
Seorang kerabat saya, setelah membaca Blues Merbabu & 65 malah bilang: "Ini bukan tentang PKI tapi tentang kehidupan seks seorang anak lelaki yang tidak pernah menjadi dewasa."
Meski begitu, Bre adalah salah satu penulis yang 2 bukunya ini saya baca beberapa kali di waktu senggang. Itu tandanya bukunya tidak membosankan ketika kita membaca. Bahasanya lugas, santai, dan "Kocak" kata Enid Blyton.
Kenapa saya curiga Gitanyali itu AU? Karena buku buku mereka rilis berdekatan, dengan konten yang mirip. Kalau percaya, jangan dicek Blues Merbabu, 65 & Cerita Cinta Enrico, Lalita.
Bagi saya novel ini terlalu genit dalam menceritakan tokohnya yang berpetualang di dalam dan luar negeri dalam satu pelukan wanita ke wanita lainnya. Judul '65' tampaknya hanya sekedar tempelan saja, hanya ada sedikit kisah yang mengarah ke judul seperti nomor kamar hotel, nama jalan, dll yang semuanya mengarah ke angka 65, angka yang mengingatkan kita akan lembar hitam sejarah yang terjadi di negeri ini. Sayangnya angka 65 ini tidak dieksplorasi lebih dalam lagi sehingga hanya menghasilkan kisah tokoh Gitanyali dengan petualangan cintanya saja.
Jadi menurut saya judul novel ini tidak mengikat kisah yang ada di buku ini.
Saya baru tahu Bre Redana nulis lagi dari Twitter. Lalu seorang kawan yg kebetulan ada di Yogyakarta dan menghadiri peluncuran buku ini menceritakan acara tersebut.
Jika "Blues Merbabu" isinya masa kecil Gitanyali, "65" adalah kisah masa remaja hingga dewasa. Apa yang membuatnya menggali lebih lanjut bakat yang "ditemukan" guru sekolahnya di Yogyakarta, serta nasib baik dan kesempatan bagus di kemudian hari. Sebagai pribadi yang bisa dengan mudah diberi label "korban", Gitanyali beradaptasi dengan baik dan menikmati keadaan dan hidupnya. Setidaknya itu yang saya tangkap. Entah kalo Bre Redana yang asli menangisi nasibnya.. Tapi saya yakin, "laki-laki jadi" macam dia yang menangisi perempuan pun tidak, pasti mengharamkan masa lalu mengungkungnya.
"Blues Merbabu" dan "65" adalah paparan bernada positif dari mereka yg terkena dampak petaka ideologi gagal yang dikembangkan dua ilmuwan ilmu sosial yang butuh laboratorium hidup untuk mengujicobakan teorinya. Gitanyali tidak menyerah pada nasib. Keluarga besarnya pun bahu-membahu melakukan segala yang mereka mampu agar semua yang kena dampak, terutama anak-anak, bisa hidup relatif normal dan bermartabat.
Bagi saya, peristiwa enam lima harus mulai dibicarakan dan diungkap pada forum populer seperti novel, film, teater untuk mengurai kepelikan ideologi (karena siapa yg mau baca "Das Kapital" dan dipusingkan dengan urusan dialektika, atau memahami manifesto Engels.. Haree geneee..!) dan mulai memahami sejarah dengan jujur.
Jika hanya menangkap "kegenitan" si penulis, mending baca stensilan, deh..
Kalau anda mencari buku yang ringan, santai, tanpa bahasa yang berat dan memusingkan kepala tapi tetap berkualitas, buku ini mungkin tepat untuk anda.
Lanjutan dari Blues Merbabu , buku ini meninggalkan kesan mendalam tanpa perlu memaksakan. Gaya bahasa santai, cerita ringan, tapi saya menangkap banyak hal menarik dan membekas. Jenius. Hanya kata itu yang bisa saya ucapkan usai membaca buku ini.
Mungkin bagi yang berekspektasi akan cerita berat, gelap, dan kelam mengenai kejadian tahun 65, kalian akan kecewa. Buku ini tidak berfokus di sana. Lebih tentang kisah dan paham hidup seorang Gitanyali (atau Bre Redana?) sebagai keturunan seorang PKI, bagaimana dia menjalani hidup, dan apa pandangannya mengenai hidup. Demikian saja.
Reading 65 reminds me a lot about one of my favorite Indonesian novel, Cerita Cinta Enrico by Ayu Utami. Gitanyali in his grown up life is really similar with Enrico. They are both love women and freedom more than anything in this world. It is fun to read this book, especially because Gitanyali looks at everything so lightly. History, family, money, he does not really care about that. He just do what he wants, as long as nobody hurt. And as he said, I thin it is healthy to live that kind of way.
betul-betul bernostalgia dengan kota kecil kaki gunung merbabu. banyak komentator lain bilang cocoknya bukunya ini dikasih judul 69 saja karena petualangan seksual tokohnya, yah kalo dilihat dari gituannya. Terkesan dengan kenangan kota kecil itu, terutama sangat nyantol dengan kalimat kurang lebih seperti ini "kota kecil ini sangat nyaman, bahkan min kebo (orang gila) nyaman tinggal di kota ini". yang pernah tinggal di kota sekitaran salatiga, rasanya bisa jadi obat kangen!
simple, enteng, menggelayut dalam romantisme nakal yang endingnya datar :D
gaya menulis Bre Redana selalu saya suka. renyah mengalir, seperti gemericik air, lompatan alurnya juga halus. tapi dibanding ini dan blues merbabu, saya lebih menikmati Bre dengan cerpen-cerpennya dan kolom-kolomnya di koran minggu.
Yah, tidak ada yang bisa saya katakan selain bahwa novel ini merupakan buku harian seseorang yang menjunjung tinggi yang namanya kebebasan, termasuk dalam berhubungan dengan perempuan (kalau kata genit terlalu terkesan terus terang). :D