Dyah Pitaloka Citraresmi tersudut karena tidak mampu mengelak dari pinangan yang diajukan Raja Hayam Wuruk. Dyah Pitaloka mau menerima pinangan Prabu Hayam Wuruk dengan catatan bahawa dirinyalah nanti yang akan diangkat menjadi raja menggantikan ayahandanya. Syarat itu ternyata dipenuhi.
Namun, Dyah Pitaloka yang telah terlanjur jatuh cinta kepada Saniscara mendapati sosok itu ternyata hanyalah seorang laki-laki pengecut yang tidak mau bertindak dan hanya kebingungan saat Sekar Kedaton Sunda Guluh itu mempersembahkan jiwa dan raganya.
Langit Kresna Hariadi (lahir di Banyuwangi, Jawa Timur, 24 Februari 1959; umur 54 tahun) adalah seorang penulis roman Indonesia. Mantan penyiar radio ini dikenal masyarakat luas dengan cerita roman Gadjah Mada yang menceritakan kisah dari Patih Gajah Mada dari kerajaan Majapahit.
Maaf, saya tidak bisa memberikan lebih dari 2 bintang karena buku perang bubat ini merupakan buku yang sejauh ini paling kurang menarik perhatian saya. Hal yang mengganggu adalah bahwa Dyah Pitaloka Citraresmi yang seorang putri Raja Galuh terlibat cinta dengan seorang Saniscara alias Prajaka yang berkepribadian ganda dan amnesia itu, rasanya kebetulan sekali. Hal ini yang mungkin menjadi kontroversi, di mana masyarakat Sunda mungkin tidak berkenan dengan tokoh masa lalu yang menjadi junjungannya diceritakan seperti itu. Mungkin sama kontroversialnya hubungan asmara Dyah Wiyat dengan Ra Tanca (Gajah Mada: Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara). Keterbatasan dengan tidak melakukan riset, seperti yang dilakukan Pak Langit, mungkin menjadi ketidaktahuan saya apakah tindak-tanduk-perilaku dan ucapan tokoh-tokoh nyatanya merupakan kenyataan atau hanya rekayasa Pak Langit saja. Satu hal lagi yang mengganggu adalah misteri kepergian sang Prajaka, kesalahan apa yang membuat dia pergi, mengapa Pradhabasu merasa bersalah dengan atas kepergiannya. Dalam buku ini misteri ini dibiarkan menggantung tanpa jawaban..
Udah masuk buku yang "diincer" tapi begitu liat hargana di BBC Palasari ini buku hargana naek rada2 gak sopan, di bandrolna jadi 92 rebu gitu. Prasaan dulu masih sekitar 60-70 rebu. Setelah didiskon jadi sekitar 70 rebuan gak jadi belina, diusap2 doang, simpen lagi ke rak.
Pulang dr BBC mampir ke Dewi Sartika, nongkrong dilapak buku bekas langganan, eh..nemu buku ini. Cuman rada2 "males" nawarna, soalna penjual bukuna termasuk yang sering update harga buku di toko jadi rada2 susah buat dikadalin :D Penasaran, iseng jg nanyain bukuna. "Oh, Gajah Mada Perang Bubat! Baguuuus!" sambil nyodorin bukuna "Sabaraha?" "Di Gramedia 65 rebu, bukuna masih disegel lage neh, 50 rebu" Hahahaha, blon update harga dia ternyata "Itu pan di toko, disini mah beda atuh, 30 rebu! "waah, teu bisa soalna bukuna masih baru nih, 45 rebu lah." "30 rebu." "Hmm.. 42 rebu, pas!" "30 rebu" "Euh, 40 lah." "35 lah, buruan bisi kaburu hujan."
"Enya atuh, sok lah 35"
Dipikir2 serasa dapet diskon lebih dari 50% gara penjualna lupa update harga, hahaha.
Hmmmm..... Buku ke 4 dari 5 novel Gajah Mada karya Langit Khresna Hariadi. Kisah yang mengangkat perang Bubat, yang sangat sensitif di Jawa barat (Sunda) dan Jawa Tengah (Jawa). Disajikan tanpa keberpihakan pada dua suku tersebut, tapi berpihak pada logika dari masing-masing pihak. Dibumbui cerita fiksi yang menyentuh tentang seorang seniman dengan kepribadian ganda yang jatuh cinta tidak pada tempatnya. Di novel ini kita juga bisa melihat sisi lain, sisi manusia dari seorang Gajah Mada
Oh Gajah Mada. Oh Perang Bubat. Ocehan tentang buku ini akan sangat panjang karena sebenarnya saya adalah fans seri ini dan saya punya ekspektasi tinggi terutama pada buku ini.
Dari kelima buku seri Gajah Mada, buku inilah yang saya beli duluan. Tadinya saya pikir buku-buku dalam seri ini bisa dinikmati secara terpisah, dan dari semuanya, mungkin fragmen kisah Gajah Mada dalam Perang Bubat ini yang paling menarik buat saya. Sebagai orang Sunda yang kebetulan menyukai sejarah, kisah Perang Bubat punya romantisme dan heroisme tersendiri. Selalu menarik untuk membacanya, walau ditulis dari sudut pandang tokoh yang tidak sesuku dengan saya. Apa lagi Gajah Mada memegang peranan penting dalam pecahnya Perang Bubat. Bukankah dapat dikatakan bahwa Perang Bubat terjadi akibat Gajah Mada yang ngotot dengan sumpahnya, padahal Hayam Wuruk dan keluarga kerajaan Majapahit sudah setuju atas pernikahan Hayam Wuruk dengan Dyah Pitaloka walaupun Sunda tidak menjadi negara bawahan Majapahit? Wah, keren banget pasti ini, membayangkan pergulatan batin Gajah Mada plus lika-liku politik dan diplomasi di masa itu.
Saat saya membuka halaman pertamanya, saya agak kaget. "Lho...kok tokoh utamanya namanya Saniscara?" Hmm...ya sudahlah, mungkin ada Gajah Mada nyelip di suatu tempat di bagian pertama ini. Jadi saya meneruskan membaca daaan...nggak nemu Gajah Mada di pembacaan pertama saya yang memang tidak begitu jauh. Saya pikir, mungkin Saniscara ini diperkenalkan di novel-novel sebelumnya, mungkin dia siapanya Gajah Mada. Biar ngerti, mungkin saya harus baca dari buku pertama. Akhirnya buku keempat seri Gajah Mada ini nganggur dengan sabar di rak sementara saya menunggu tabungan saya cukup untuk membeli tiga buku prekuelnya.
Akhirnya saat-saat berbahagia di mana saya bisa baca buku ini secara utuh tiba juga dan...saya merasa tidak seterbius yang saya harapkan oleh kisah ini. Saya akan mencoba menjelaskannya tanpa terlalu spoiler-y.
Dalam buku ini, terdapat beberapa subplot. Gajah Mada yang menjadi Mahamantrimukya Amangkubumi dan terfokus untuk mewujudkan Hamukti Palapa-nya (diceritakan pada buku ketiga). Pradhabasu, mantan Bhayangkara yang juga sahabat Gajah Mada, mencari Sang Prajaka, anaknya yang mengalami kelainan jiwa. Kemudian ada juga cerita tentang Riung Sedatu, seorang laki-laki yang amnesia dan mungkin diharapkan menjadi sosok misterius, namun cuma butuh sekejap untuk menebak siapa dia sebenarnya. Kemudian dari pihak Sunda ada subplot kisah cinta Dyah Pitaloka dengan seorang pelukis bernama Saniscara. Sungguh menjanjikan cerita yang padat, bukan?
Pada kenyataannya, sungguh mencengangkan saat melihat jumlah filler yang digunakan dalam cerita ini. LKH masih sangat suka bermain-main dengan nama dan berkisah dari sudut pandang tokoh-tokoh jelata. Entah berapa tokoh yang cuma dimunculkan sekilas dan perannya dalam cerita pun tidak penting-penting amat, namun diberi nama dan dipanjang-panjangkan tanpa memberi kontribusi berarti pada cerita secara keseluruhan. Terlalu banyak nama, sampai ketika Perang Bubat dituturkan, saya nggak langsung ngeh mana yang prajurit Sunda dan mana yang prajurit Majapahit. Sekilas saya teringat adegan peperangan di buku lain yang lebih kolosal namun tidak sampai bikin saya merasa overload dengan nama-nama.
Saya juga kadang pusing kalau penyebutan nama untuk satu tokoh berbeda-beda tanpa konteks yang jelas dalam suatu fragmen. Misalnya Sri Gitarja punya nama lain Tribuanatunggadewi dan beberapa lainnya. Gelar-gelar itu digunakan secara bergantian dalam satu potongan cerita yang pendek. Untuk orang-orang yang belum akrab dengan nama-nama ini, rasanya yang dibicarakan lebih dari satu orang, padahal mah cuma satu, tapi gelarnya banyak, mana panjang lagi. Contoh paling mencolok ada di bagian awal cerita, saat keluarga Pradhabasu membicarakan Hayam Wuruk. Dalam satu paragraf, Hayam Wuruk disebut beberapa kali dengan nama yang berbeda. Yang menggelikan, di footnote tertera penjelasan bahwa itu adalah gelar Hayam Wuruk yang digunakan pada suatu situasi tertentu...dan situasi di mana penyebutan nama itu terjadi sama sekali tidak sesuai.
Lebih mengecewakan lagi karena saya merasa tokoh-tokoh utamanya jadi kurang tergarap. Gajah Mada sebagai tokoh utama (namanya kan yang jadi judul seri?) cuma nongol sekali-kali. Pergulatan batin, kelihaian politik, atau apa pun itu tidak tampak. Saya mengerti sumber sejarah yang mengisahkan temperamen Gajah Mada mungkin sangat sedikit, tapi di sini Gajah Mada terasa sangat flat dan LKH kurang mengambil licentia poetica dalam bermain dengan karakter ini. Nggak jelas apa peran dia dalam kisah yang berlangsung. Beda dengan ketika kita membaca buku pertama, misalnya, di mana Gajah Mada tampil dengan berkarakter. Di sini yang lebih tampil malah bawahan Gajah Mada, misalnya Gajah Enggon dan Pradhabasu...yang bikin saya mikir, ini buku harusnya dikasih judul 'Bhayangkara' aja, kayaknya lebih cocok.
Plot device amnesia dan kelainan jiwa digunakan di sini, dan untuk beberapa saat saya mengernyit. Saya merasa bahwa bagian ini agak kurang logis...kurang sesuai dengan apa yang saya pelajari di perkuliahan psikologi selama hampir empat tahun terakhir. Saya bersyukur LKH melakukan banyak riset tentang sejarah dan kehidupan di masa itu, namun sayang risetnya tentang psikologi kurang mendalam kali ini.
Tibalah kita di puncak ocehan, mengenai penggambaran tokoh Dyah Pitaloka. Saya rasa bukan sesuatu yang salah bahwa Dyah Pitaloka digambarkan menyukai lelaki selain Hayam Wuruk. Namun kisah cinta Pitaloka di sini sungguh sangat dipaksakan. Kita tidak diberi kesempatan untuk melihat mengapa Dyah Pitaloka yang Sekar Kedaton ini jatuh cinta pada Saniscara. Oke, Saniscara dapat melukis dengan sangat indah...terus? Langsung kesengsem aja gitu? Random amat. Come on, Pitaloka, you can do better than this! Dyah Pitaloka hampir selalu digambarkan sebagai sosok yang berprinsip kuat, tapi kok di sini menye-menye amat. Memang dia tetap memilih mati daripada diperistri Hayam Wuruk dengan dipermalukan, tapi...lagi-lagi saya mau ngeluh soal pergulatan batin yang terlalu datar. Terasa benar bahwa tokoh-tokoh dalam cerita ini adalah pion-pion yang digerakkan sesuai plot yang diinginkan LKH. Tokoh-tokoh ini kehilangan 'kehidupan' yang masih bisa kita rasakan di buku-buku sebelumnya.
Satu lagi, pada klimaks cerita, saat terjadinya perang Bubat, LKH memilih menceritakan ketragisan medan peperangan dari sudut pandang pemikiran binatang-binatang di sekitar Padang Bubat. Saya udah mau teriak frustrasi. Saya mau tahu tentang guncangan jiwa dan kegetiran pihak-pihak yang berperang, bukannya deskripsi datar tentang siapa menusuk siapa, lalu pemikiran rajawali yang kebetulan terbang melintas, bahwa walaupun rajawali adalah burung yang buas, dia tidak pernah membunuh sesamanya. I couldn't care less about the eagles, please, please do show me human emotion! Argh, so frustrating.
Juga jangan biarkan saya mencerocos tentang pemborosan kata-kata yang terjadi di buku ini... pasti akan lama selesainya.
Sekali lagi, saya menggemari seri ini secara keseluruhan, tapi buku ini bukanlah favorit saya, juga bukan penuturan Perang Bubat yang paling saya sukai. Saya cuma berharap bahwa semua kekecewaan ini dapat terbayar tuntas pada buku kelima (Madakaripura Hamukti Moksa).
Buku ini agak mengecewakan. Elemen sinetron-nya begitu kuat. Apa misalnya? Misalnya pas si Saniscara aka. Prajaka teriak-teriak di tepi telaga, "Dyah Pitaloka I Love you!!!" disaksikan oleh Dyah sendiri. Aku gak bisa berhenti tertawa. Yang terbayang di pikiranku pas membacanya adalah adegan khas ala sinetron Indosiar yang semi-semi India dan penuh warna-warni menyolok mata. Elemen sinetron lainnya adalah hilang ingatannya Si Prajaka dan entah bagaimana tahu-tahu sampai di Sunda. Meski nanti coba dijelaskan di buku terakhir. Tapi terasa aneh, upaya nyambung-nyambunginnya agak terlalu dipaksakan.
Jadi, iya ini buku sinetronisasi-nya Perang Bubat. Meski begitu, paling tidak LKH punya sentuhannya sendiri untuk suatu kisah yang diyakini pernah terjadi. Tapi ya begitu deh, banyak sekali indikasi tokoh-tokoh di dalamnya pengen selingkuh melulu. Si INI begitu liat Si ITU yang cantik atau gagah tampan jadi pengen selingkuh.
Dibuku mengungkapkan sisi gelap seorang Gajahmada...ambisinya untuk menyatukan Nusantara memakan banyak korban...
Diceritakan mengenai Kerajaan Sunda Galuh dengan Dyah Pitaloka sebagai Raja membawa rombongan ke Majapahit...yang berakhir dengan kematian seluruh rombongan disebabkan karena kesalahpahaman yang terjadi di Majapahit...
Juga cerita mengenai Sang Prajaka yang sempat Amnesia...hingga bertualang ke Sunda Galuh dan bertemu Saniscara si pelukis Dyah Pitaloka...tapi akhirnya mati juga Sang Prajaka...wah buku berikutnya gak ada Prajaka lagi yak...
Dah ah...baca beberapa buku...hampir semua tokohnya kok ya mati semua....bikin bete ajah nih...
Setelah Gajah Mada berhasil meyatukan sebagaian besar Kerajaan2 sekitar Nusantara dan menjadikan Majapahit sebagai Kerajaan Hindu Budha Terbesar di Asia tenggara, Beliau masih gusar terhadap kerajaan kecil yang berada di wilayah Barat Pulau Jawa. Akhirnya dengan strategi pernikahan Prabu Hayam Wuruk dengan Putri Dyah PItaloka dari sunda, Gajah Mada bermaksud pula agar kerajaan tsb mau mengakui Majapahit sebagai kekuatan Utama. Banyak intrik2 politik Majapahit yg salah menafsirkan niatan Pembesar2 kerajaan saat itu sehingga terjadilah Perang besar antara Prajurit Majapahit melawan rombongan pengantin dari sunda yg mengakibatkan matinya calon permaisuri Raja Majapahit.
Elok, karena aku suka sejarah...mencerahkan, banyak hal yg dapat memicu perang Bubat, dan Gajahmada adalah orang yang berada di tengah2nya karena Hamukti Palapa-nya sendiri.
This entire review has been hidden because of spoilers.
Penulisan cerita dalam buku ini sungguh tidak maksimal. Ada rasa kecewa setelah membaca buku ini padahal seri-seri sebelumnya masih bagus menurutku. Pada awal membaca buku ini tuh diriku sempat berkeinginan menunda membacanya karena baca bab 1 saja sudah membuatku bingung. Siapa itu saniscara? Selain itu, narasi pada bab 1 ini terlalu panjang sampai aku bingung dan bosan sendiri saat membacanya. Jadinya, aku hanya membaca saja tanpa mengerti isi dari bab 1.
Selanjutnya, terdapat bagian yang menceritakan tentang Pradhabasu mencari Prajaka yang hilang dan Pradhabasu merasa bersalah. Setelah selesai membaca 1 buku ini, penulis tidak menjelaskan kesalahan apa yang Pradhabasu lakukan terhadap Prajaka hingga Prajaka melarikan diri dari rumah. Penyebab Prajaka kehilangan ingatan juga tidak dijelaskan. Ada bagian yang menjelaskan Prajaka itu berkepribadian ganda dan memiliki 2 jiwa gaitu jiwa Prajaka dan jiwa Saniscara. Aku tidak setuju dengan bagian itu karena Prajaka dan Saniscara itu beda orang. Diriku bingung terhadap penuturan penulis dalam cerita ini.
Kekurangan lainnya yaitu pada saat penuturan cerita terjadinya perang bubat. Diriku awalnya berekspektasi bahwa penuturan cerita perang bubat ini bakal seru karena bisa dibilang ini sebagai perang campuh. Namun, penuturan cerita dalam buku ini terlihat seperti tergesa-gesa ingin cepat diselesaikan sehingga pembaca tidak mendapatkan sensasi dalam membayangi situasi perang berdasarkan yang diceritakan oleh penulis. Bisa saja alasannya karena penulis mungkin mengambil jalan tengah untuk tidak berpihak karena perang bubat ini cukup sensitif kalau diceritakan. Itu hanya asumsiku saja.
Ada lagi satu hal yang fatal dalam buku ini yaitu pada bagian bab terakhir yang aku rasa si penulis enggan melanjutkan cerita ini lebih dalam. Itu hanya perasaanku saja, tapi entah benar atau tidak, soalnya bab terakhirnya hanya 1 lembar halaman saja dan itu membuatku terheran. Plot cerita ini dibuat menggantung sehingga akhir cerita ini menjadi tidak jelas. Selain itu, masih ada beberapa bagian yang dibuat penasaran bahkan menggantung juga dalam cerita ini.
Walaupun aku kecewa sama buku ini, masih terdapat beberapa bagian yang membuat emosi pembaca bisa terbawa suasana saat membaca buku ini apalagi saat Gajah Enggon berhadapan dengan Gajah Mada yang keras kepala dimana ingin menyatukan Sunda Galuh dengan Majapahit padahal seharusnya tidak boleh dilakukan. Gajah Enggon sampai kewalahan menghadapi sikap Gajah Mada bahkan dia bercerita dan meminta saran ke Pradhabasu. Begitu juga dengan Sri Gitarja bahkan Dyah Wiyat yang tidak bisa berkata apa-apa lagi bahkan tidak bisa menghentikan tindakan Gajah Mada. Di sinilah letak kesalahan Mahapatih Gajah Mada karena terlalu memaksakan kehendaknya.
Buku ditulis berdasarkan riset terhadap banyak sumber dan hasil penelitian sejarah. Banyak keterangan-keterangan akademik dicantumkan dalam footnote-nya sebagai tambahan informasi pengetahuan sejarah untuk pembaca awam sejarah. Namun ada satu hal yang sedikit mengusik (meski sebetulnya tidak mempengaruhi jalannya cerita), ketika penulis menyebutkan cara memasak ‘menggoreng’ dan masakan gorengan yang agaknya merujuk pada Serat Centhini, yang ditulis ratusan abad setelah Majapahit runtuh, dan tidak mewakili keadaan Majapahit yang sesungguhnya.
Dari segi plot, buku ini menarik untuk dibaca, terbukti dengan saya menghabiskan buku ini hanya dalam waktu 3 hari (kalau tidak sibuk mungkin bisa 2 hari saja). Saya bisa merasakan bagaimana kecewa dan marahnya perasaan orang-orang Sunda terhadap Majapahit, dan betapa ambisi Gajah Mada dan segala sifat kemanusiawian dirinya yang teledor dan lengah sangatlah menjengkelkan. Sebagai orang Jawa, saya meminta maaf atas tragedi yang terus menjadi kenangan buruk dalam sejarah Sunda itu :(
Saya juga menanti-nantikan plot twist apa yang akan dibuat oleh sang penulis, dan ternyata salah satu karakternya seorang penyintas Dissosiative Identity Disorder (atau Multiple Personality Disorder) ㅠㅠ Awalnya, saya menerka mereka adalah orang yang sama, lalu saya mengubah keyakinan saya ternyata mereka orang yang berbeda ketika terjadi dialog, tetapi di akhir, penulis memberikan pernyataan yang mencengangkan dalam catatan kaki. Sayangnya, penulis tidak memberikan penjelasan apa yang membuat tokoh tersebut memiliki trauma sehingga menyebabkan dirinya menjadi penyintas DID.
Menurut saya, buku ini akan sempurna jika seandainya penulis menuntaskan cerita dengan penghakiman atau penyelesaian konflik dan penyelesaian trauma. Saya sangat ingin melihat bagaimana Majapahit yang sejak awal menjengkelkan dan tidak jantan dalam buku ini bertanggung jawab atas apa yang terjadi di Bubat: bagaimana mayat-mayat yang bergelimpangan itu diperlakukan, bagaimana tanggapan keluarga Sunda mendengar berita itu, bagaimana reaksi tokoh-tokoh yang proaktif diceritakan dalam bab-bab awal melihat pralaya itu terjadi di Bubat. Tidak seperti buku sebelumnya, penjelasan akhir itu tidak ada di buku ini (kebetulan saya belum melanjutkan buku kelima). Bagaimanapun juga terlambat bagi saya memberi masukan ini kepada sang penulis.
Tak ada gading yang tak retak. Selamat jalan. Rest in Peace untuk sang empunya karya, Pak Langit Kresna Hariadi 🙏
This entire review has been hidden because of spoilers.
LKH sepertinya memberikan alternatif lain tentang terjadinya Perang Bubat. Memilih jalan tengah, yang tidak menyakiti kedua belah pihak. Kita tahu betapa perang ini bisa menjadi sangat sensitif.
meskipun banyak kekurangan , niat baik penulis saya hargai. supaya generasi muda tidak lupa tokoh nusantara. di tengah2 arus tokoh fiksi luar negeri :)
Gajah Mada yang sudah banyak melakukan perjuangan agar nusantara bersatu dengan Majapahit, masih belum bisa atau lebih tepatnya tidak disetujui untuk menaklukkan Sunda Galuh. Hal ini lantaran masih adanya hubungan darah antara kerabat Raja Majapahit dan kerabat Raja Sunda Galuh. Mereka yang tidak setuju tersebut adalah Ibu Suri Sri Gitarja Tribhuanatunggadewi Jayawisnuwardhani dan Ibu Suri Dyah Wiyat Rajadewi Maharajasa.
Selain itu yang menjadi alasan utama Gajah Mada dengan rencana pernikahan Prabu Hayam Wuruk dan Dyah Pitaloka adalah tidak maunya Sunda Galuh tunduk kepada Majapahit. Walau kerabat kerajaan Majapahit sudah melarangnya namun tetap saja Gajah Mada ngotot akan menundukkan Sunda Galuh dan menjadikannya menjadi bagian Majapahit.
Dalam hal ini para petinggi kerajaan terbagi dua. Ada yang selalu setuju buta akan keputusan Gajah Mada tanpa memikirkan akibatnya dan ada pihak yang masih memikirkan apakah keputusan Gajah Mada adalah keputusan yang baik. Pihak yang selalu setuju pada sikap Gajah Mada, khususnya tentang harus tunduknya Sunda Galuh pada Majapahit ternyata menyimpan sesuatu dibalik setiap persetujuannya. Mereka di antaranya bernama Ma Panji Elam, Pu Kapasa, Pu Kapat dan Pu Menur.
Namun, cinta Hayam Wuruk pada Dyah Pitaloka sudah tidak bisa dibendung. Sunda Galuh pun setuju akan pernikahan dua kerabat jauh ini. Maka, Kerajaan Majapahit mengirim undangan agar rombongan Sunda Galuh datang pada rangkaian acara pernikahan yang akan diadakan besar-besaran dan dalam waktu yang lama di Majapahit (halaman 408).
Gajah Mada tentu menjadi gusar akan pilihan rajanya. Terlebih dia mendengar bahwa Sunda Galuh saat ini dipimpin oleh Tuan Putri Dyah Pitaloka. Mada menganggap hal ini tameng Sunda Galuh agar tidak diajak bergabung menjadi bagian majapahit karena Raja Sunda Galuh telah menjadi istri raja Majapahit.
Namun Gajah Mada tetap pada pendiriannya, yakni ingin menundukkan Sunda Galuh. Ma Panji Elam dan kawan-kawan pun telah membuat sebuah konspirasi dengan mengirim seseorang ke Majapahit yang mengaku sebagai utusan Raja Linggabuana bahwa rombongan akan datang tujuh hari lagi. Karena utusan itu palsu, maka kedatangan rombongan Sunda Galuh di Majapahit yang lebih cepat dari kabar utusan menjadi masalah.
Rombongan Sunda Galuh merasa heran mengapa kedatangan mereka yang seharusnya ditunggu-tunggu dan disambut dengan meriah malah sepi tanggapan bahkan ketika sudah sampai di Alun-Alun Bubat. Pihak Majapahit juga merasa ada kejanggalan yang terjadi. Maka persekongkolan para pembuat makar pun terjadi pada hari itu, rombongan Sunda Galuh tidak disambut dengan tarian tetapi dengan pasukan bersenjata.
Tak pelak terjadilah peristiwa sebuah tragedi yang disebut Perang Bubat. Perang yang sampai kini terkadang menjadi isu sensitif antara suku Jawa dan Sunda. Bahkan sampai terjadi tidak diperbolehkan pernikahan Jawa-Sunda. Jika ditelisik pula, tidak ada nama jalan di Bandung dengan nama Majapahit, ataupun Gajah Mada. Begitupun sebaliknya di Jawa, hal ini karena pengaruh peristiwa kecelakaan sejarah tersebut.
Seperti yang dikatakan oleh Langit dalam buku ini, bahwa sebaiknya sejarah ini cukup dijadikan cermin agar tidak terulang lagi di masa datang. Maka di masa ini seharusnya sudah waktunya Sunda dan Jawa saling bergandengan. Akhirnya, walaupun buku ini hanya fiksi dan tidak bisa menjadi acuan keakuratan sejarah, namun novel ini layak menjadi teman Anda di saat weekend, berkelana ke dalam sejarah masa lalu Nusantara.
Gajah Mada 4 : Perang Bubat oleh Langit Kresna Hariadi adalah salah satu tonggak sejarah yang amat penting, kisahnya menjadi pewarna perjalanan Nusantara. (Perang Bubat) Perang yang mengawali kehancuran Majapahit itu menyisakan luka yang amat dalam bagi Jawa dan Sunda. Ini adalah akhir konflik kerajaan Majapahit dan Sunda Galuh, sekaligus kesalahan fatal Mahapatih Gajah Mada di akhir karier-nya yang gilang gemilang.
Sumber permasalahannya sebenarnya adalah kecantikan yang membawa luka. Adalah seorang sekar kedaton Sunda Galuh bernama Dyah Pitaloka Citraresmi memiliki kecantikan yang luar biasa yang terdengar hingga pelosok nusantara. Pada saat itu pula, Prabu Hayam Wuruk sudah cukup umur untuk memiliki seorang permaisuri. Tim intelijen dikerahkan untuk mencari gadis cantik yang cocok dijadikan isteri sang raja, dan salah satunya adalah Dyah Pitaloka.
Namun demikian, ketika antar keluarga saling menyetujui, Mahapatih Gajah Mada memiliki pemikiran lain. Ia memandang bahwa Sunda Galuh harus takluk saat itu juga dan Dyah Pitaloka dianggap sebagai putri seserahan, bukan sebagai calon isteri yang berderajat sama. Perang berkobar yang berujung pada bunuh dirinya Dyah Pitaloka, menyebabkan konflik pribadi Prabu Hayam Wuruk dengan Gajah Mada.
Buku Ini Hanya menceritakan seorang Mahapatih yang stres dan putus asa , sehingga jalan yang paling rendahpun di pakai demi ambisinya. sungguh tujuan mulya yang ternoda dengan akal licik nya Gajah Mada , juga ada unsur pelecehan juga nih masa diah pitaloka pacaran sama orang amnesia, ada2 aja ..
yang saya tau dari buku perang bubat karangan Yosep Iskandar Kanjeng Gusti Putri ratu Dyah Phytaloka Citraresmi meninggal tidak dengan bunuh diri melainkan ikut bertempur dan berhasil melukai mahapatih Gajah mada, sehingga akibatnya pertempuran bertambah sengit, sebab Gajah Mada Berduel dengan sang Putri Dyah Phytaloka, meskipun akhirnya gugur, Sang Putri berhasil melukai Tubuh gajah mada dengan Keris Singa barong berlekuk 13 Keris leluhur Pasundan peninggalan pendiri kerajaan tarumanegara, yang bernama, Prabu Jayasinga Warman. akibat luka itu, Gajah Mada menderita sakit yang tidak Bisa disembuhkan, dan akhirnya meninggal.
Gara-gara Nila setitik rusak susu sebelanga.Ambisi besar gajah mada untuk menyatukan Nusantara harus 'cacat' karena peristiwa ini.. Perang Bubat,peristiwa pembantaian rombongan kerajaan Sunda galuh yg membawa Dyah pitaloka untuk dinikahkan dengan Raja Hayam wuruk di Majapahit.. perjalanan yang seharusnya berakhir bahagia itu akhirnya menjadi petaka.Di Novel ini,Gajah mada yg sudah terlanjur menyimpan kedongkolan hati terhadap Sunda Galoeh karena tidak mau tunduk dengan Majapahit dengan gampangnya terhasut dengan berita2 palsu oleh bawahannya.Perang yang tidak seimbang itu tak terelakkan..yang pada akhirnya atas nama harga diri Dyah Pitaloka Citraresmi memilih untuk bunuh diri.
peristiwa sejarah Perang bubat dari sudut pandang LKH yg menarik perhatian saya teramat besar untuk novel ini..agak sedikit kecewa sebenarnya,detail perang bubatnya cuma dapat porsi yg sedikit sekali menurut saya.
Cerita yang dirangkai dengan sangat baik, dan berakhir dengan cara yang sangat mengejutkan dan memilukan..., bukan saja karena tumpasnya rombongan Sunda Galuh karena intrik dan permainan politik kekuasaan, namun juga karena matinya seorang pria aneh namun luar biasa dengan cara yang begitu tragis.
Dari dulu enggak pernah ngerti tentang kronologi perang bubat di sekolah. buku ini nolong banget. bacanya asyik, nggak ngebosenin, dan mudeng dengan apa yang akan disampaikan penulis. intinya sama kok, dengan pelajaran di sekolah (kronologinya) cuma yang ini dikemas dengan fiksi yang apik :) BRAVO!!!
Ada satu hal konyol yang saya lakukan, saya bertanya-tanya hingga separuh akhir buku ini mengapa perang antara Majapahit-Sunda Galuh dinamakan Perang Bubat? Astaga, padahal telah diceritakan berulang kali dari buku pertama kalau Majapahit memiliki alun-alun kota bernama Bubat. Di sanalah perang itu terjadi, and then I feel drop :'( bisa-bisanya nggak ngeuh :3
Setiap manusia tidak pernah terlepas dari suatu kesalahan. Buku keempat dari serial Gajah Mada ini menceritakan bahwa betapapun besarnya nama seorang patih seperti Gajah Mada, toh kesombongan telah menjatuhkannya dari jabatan tersebut.
Cerita perang tidak melulu harus tentang perang. Bagian terbaiknya, menurutku, adalah karena kisah asmara anak angkat Pradabasu yang autis namun ahli hitung, dewanya seni pahat yang berkepribadian ganda terdampar di Sunda Galuh dan bertemu dengan Dyah Pitaloka yang jelita.