Tan Malaka (1894 - February 21, 1949) was an Indonesian nationalist activist and communist leader. A staunch critic of both the colonial Dutch East Indies government and the republican Sukarno administration that governed the country after the Indonesian National Revolution, he was also frequently in conflict with the leadership of the Communist Party of Indonesia (PKI), Indonesia's primary radical political party in the 1920s and again in the 1940s.
A political outsider for most of his life, Tan Malaka spent a large part of his life in exile from Indonesia, and was constantly threatened with arrest by the Dutch authorities and their allies. Despite this apparent marginalization, however, he played a key intellectual role in linking the international communist movement to Southeast Asia's anti-colonial movements. He was declared a "hero of the national revolution" by act of Indonesia's parliament in 1963.
Dikala itu 70 juta Rakyat Indonesia bertekat satu menentang kapitalisme/imperialisme! Segala alat dan sumber kekuasaan berada di tangan Rakyat Indonesia. Semua sumber ekonomi dipegang oleh Rakyat sendiri. Seluruhnya Rakyat serentak mengambil inisiatif membentuk laskar dan Tentara, mengadakan penjagaan di sepanjang pantai dan di tiap kota dan desa dan serentak-serempak mengadakan pembelaan dan penyerbuan!
Dapatkah dikembalikan semangat 17 Agustus? Sejarah sajalah kelak yang bisa memberi jawab!
Tetapi sementara putusan Sejarah itu dijalankan, maka kita sebagai manusia dan anggota masyarakat ini tak boleh diam berpangku tangan saja melihat gelombang memukul-mukul geladak Kapal Negara, yang sedang terancam karam itu.
Rumah Penjara Madiun, 17 Mei 1948 T A N M A L A K A
Buku ini dibuat pada tahun 1948. Jika di SD, kita menghafal bait-bait serta tanggal dan penandatanganan perjanjian Linggarjati dan Renville, buku ini mengajak kita untuk kembali ke masa lalu dan menelisik pertentangan luar biasa dibalik perjanjian tersebut. Buku ini ditulis oleh Tan Malaka sang pejuang yang sangat marah dengan sikap pemerintah Republik yang memilih berunding dengan Belanda, setelah Proklamasi Indonesia dikumandangkan. Kemarahannya makin meledak seiring dengan penandatanganan perjanjian Linggarjati dan Renville oleh Pemerintah Republik dan Belanda.
“Dalam perjanjian Linggarjati dan perjanjian Renville, maka Pemerintah Republik sudah mengakui KEDAULATAN Belanda atas SELURUHNYA Indonesia.”
“jika Pemerintah Indonesia kembali dipegang oleh kaki tangan kapitalis Asing, walaupun bangsa Indonesia sendiri, dan 100 % perusahaan modern berada di tangan kapitalis-asing, seperti di zaman HINDIA BELANDA, maka revolusi nasional itu berarti membatalkan Proklamasi dan kemerdekaan Nasional...”
Bahkan ia menegaskan bahwa sikap yang diambil adalah sebuah pengkhianatan. “Ini berarti berkhianat kepada Proklamasi!!”
Bukan hanya amarah dan kritik yang meledak tanpa solusi, sang Pahlawan membeberkan bagaimana rakyat Indonesia seharusnya mengambil sikap. Baginya rakyat Indonesia harus angkat senjata dan melawan pihak Belanda untuk membela tanah air, bukan sikap menyerah dengan terus menerus buat mendapatkan perdamaian dengan musuh.
Dalam bukunya ini, beliau menuturkan strategi perang angkat senjata step by step untuk mengusir musuh, membela tanah air. Banyak sekali halaman yang menuturkan strategi perang yang saya skip untuk dibaca, karena menurut saya pribadi sangat sulit untuk dipahami. Selain penuturan strategi perang beliau juga memompa semangat Rakyat Indonesia dengan membandingkan kekuatan musuh dengan kekuatan rakyat Indonesia sendiri, baik dari segi jumlah massa, maupun segi lain baginya Rakyat Indonesia pasti bisa menghadapi lawan seandainya memang harus bertempur habis dengan Belanda. Dalam buku ini pula, beliau menekankan bahwa membela tanah air setelah merdeka bukan dibebankan pada tentara belaka, lebih dari itu, pembela adalah seluruh anggota masyarakat Indonesia tanpa terkecuali.
“Pembelaan itu lebih mengutamakan ketenangan fikiran, sifat tahan uji dan sifat tak akan patah hati, walaupun si-penyerang datang bergerombolan dengan senjata serba lengkap.
Pembela adalah seorang anggota masyarakat, yang tetap percaya kepada kemenangan-terakhir, asal dia tetap bertahan sampai musuh kehilangan akal untuk mematahkan semangat yang tak mengenal perkataan menyerah itu.
Pembela, di luar kesehatan biasa, terutama mempunyai semangat tenang, sabar, tabah tak mau mengakui kekalahan atau patah-hati. Semangatnya cocok dengan jago yang mati di kalangan kalau perlu maka tempat pertahanan yang terakhir itulah yang akan menjadi tanah kuburannya!”
“cuma manusia pengecut atau curang yang tiada ingin melakukan pekerjaan yang berat, tetapi bermanfaat buat masyarakat sekarang dan dihari kemudian itu.”
Buku ini lahir dari kekecewaan Tan Malaka terhadap situasi politik pasca-kemerdekaan Indonesia, di mana wilayah Republik semakin menyusut akibat negara boneka bentukan Belanda. Gerpolek menjadi rumusan strategi perlawanan terhadap kolonialisme dan imperialisme itu sendiri.
Dengan memadukan tiga elemen utama—gerilya, politik, dan ekonomi—Tan menjadikannya senjata untuk mempertahankan Proklamasi 17 Agustus dan mewujudkan kemerdekaan 100%. Tan Malaka mengenalkan konsep “Sang Gerilya” sebagai sosok pejuang rakyat yang gigih, tak kenal lelah, dan siap berkorban demi kemenangan akhir melawan kapitalisme. Menurutnya, seluruh bangsa Indonesia harus menjadi sang gerilya untuk merebut kembali kemerdekaan.
Konsisten dengan pemikirannya yang revolusioner, di buku ini Tan mengkhususkan tulisannya pada topik tentang siasat perang melawan tentara Belanda yang menduduki sebagian besar wilayah Indonesia pada era itu—1948. Ia merumuskan beberapa syarat perang yang tetap, salah satunya dengan membedakan siasat perang dengan politik. Ia pun dengan tegas meyakini pernyataan, “Tentara itu tidak berpolitik.”
Seperti buku-bukunya yang lain, Gerpolek tetap relevan hingga kini sebagai pengingat akan arti sejati kemerdekaan dan perlawanan rakyat. Bagi pembaca kiwari, buku ini bisa dijadikan jendela untuk memahami pemikiran salah satu tokoh revolusioner terbesar Indonesia.
Walaupun judulnya merepresentasikan tentang gerilya, politik dan ekonomi, akan tetapi bahasan yang sesungguhnya lebih didominasi oleh pembahasan mengenai militer terutama strategi dan konsep pergerakan yang semestinya dilakukan oleh seorang gerilya. Tapi menurut saya, buku seperti ini wajib untuk dibaca masyarakat Indonesia. mengingat dewasa ini bangsa Indonesia seolah amnesia akan jati dirinya. dan dengan membaca buku ini kita bisa lebih memahami apa sebenarnya tujuan negara ini didirikan. dengan membaca buku ini pula setidaknya kita akan menghargai lantas merenungi akan semua jasa para pahlawan yang telah berjuang sedemikian rupa mengorbankan harta dan jiwa demi kemerdekaan bagi anak cucunya, yang tiada lain adalah kita.
Kali pertama saya membaca tulisan Tan Malaka—sosok revolusionar Republik Indonesia. Madilog beliau yang sering-sering disebut, terutamanya kini ketika Indonesia sedang dilanda kegawatan politik yang maha dahsyat, ialah karya Tan Malaka yang ingin sekali saya baca. Barangkali kerana saya pernah berkenalan dengan idea materialisme dialektika Marx dan menemui beberapa kecacatan, namun Tan Malaka dilihat berupaya menampung kelompongan idea Marx. Maka, saya begitu teruja untuk membaca Madilog.
Namun, saya akur juga bahawa membaca karya filsafat memerlukan beberapa kefahaman yang dasar, atau sekurang-kurangnya berkenalan dahulu dengan diri pengagas sesuatu pemikiran filsafat itu. Nah, buku inilah yang saya anggap sebagai pembuka jalan!
Gerpolek ialah singkatan untuk GERliya, POLitik dan EKonomi. Perkaitan antara ketiga-tiga ini boleh dirangkumkan dalam satu pernyataan dalam buku ini:
Ringkasnya, kemerdekaan rakyat Indonesia baru berjamin kalau kemerdekaan politik 100% berada di tangan rakyat Indonesia dan kalau sekarang 60% hak milik serta kekuasaan atas ekonomi modern berada di tangan rakyat Indonesia pula. (h. 70)
Tan Malaka berpandangan, peperangan di Indonesia masih belum selesai, bahkan ia adalah suatu usaha selepas Proklamasi 17 Augustus 1945—kemerdekaan di Indonesia haruslah diperoleh 100% yakni bebas daripada campur tangan kuasa asing.
Dalam ekonomi misalnya, beliau mengatakan:
Pelbaikan perekonomian rakyat Indonesia haruslah diperbaiki dengan pertolongan rakyat sendiri dan watak rakyat sendiri, di mana petani, buruh dan pedagang indonesia sendiri harus turut campur dalam merencanakan produksi (penghasilan), distribusi (pembagian) serta pertukaran barang. (h. 106)
Bahkan, Tan Malaka juga melihat rundingan sebagai mengorbankan kedaulatan rakyat. Namun, usah pula difahami peperangan yang beliau anjurkan ialah peperangan menindas, sebaliknya peperangan untuk melawan penindasan—dalam konteks buku ini ialah Belanda.
Seruan peperangan ini dilaungkan kepada Sang Gerilya iaitu Murba dan Murbi Negara Indonesia; pemuda dan pemudi tanpa mengira latar belakang dan sebarang perbezaan.
Gerilya yang dimaksudkan oleh Tan Malaka pula berdasarkan kepada suatu prinsip iaitu maju untuk menghancurkan musuh dan mundur untuk tidak dihancurkan musuh. Dalam buku ini, segala yang berkait dengan gerilya dan peperangan bersifat teknikal. Membaca buku ini mengingatkan saya kepada guerilla walfare yang pernah diajarkan sewaktu berada di universiti dahulu. Yang paling masyhur pastilah idea daripada Clausewitz dalam maha karyanya berjudul On War, yang saya sendiri tidak pernah selami melainkan membaca pandangan sarjana lain berkenaan idea Clausewitz ini.
Atau mungkin, yang lebih mesra ialah karyanya Sun Tzu iaitu Art of War; sebenarnya karya inilah yang terpacul dahulu dalam pemikiran saya ketika menyelak karya Tan Malaka ini. Cumanya, Gerpolek tidaklah semata-mata membahaskan teknik perang yang teknikal, tetapi juga disadur dengan kesedaran penguasaan politik dan ekonomi oleh negara Indonesia sendiri.
Buku ini ditulis oleh Tan Malaka pada tahun 1948 yakni dua tahun selepas negaranya merdeka. Namun, beliau masih ingin kemerdekaan yang sebenar-benarnya, maka lahirlah buku ini yang ditulis dalam penjara Madiun—tanpa sebarang sumber pengetahuan dan keterbatasan segalanya, Tan Malaka masih berupaya menghasikan sebuah karya yang baik sebegini.
Barangkali penjara memang tempat melahirkan idea-idea yang hebat kerana yang dikurung hanyalah jasad, sedangkan akal dan pemikiran bebas bergentayangan.
Tan Malaka sudah memprediksi 70 tahun lalu bahwa AS dan UK akan 1 suara dalam konflik Palestina-Israel. Isi buku terdominasi oleh sub bab gerilya, sementara politik dan ekonomi lebih sedikit dibahas.
This entire review has been hidden because of spoilers.
Ternyata kekhawatiran tentang ekonomi yang "menjajah" bangsa sudah diperkirakan Tan Malaka, sehingga buku ini tercipta. Pada masa buku ini dibuat, Indoneisa dalam keadaan membangun bangsa. Perbaikan, pembangunan dalam berbagai sektor, terutama segi ekonomi dan politik, diganyangkan ke seluruh Indonesia. Namun, agresi militer Belanda menghambat semua itu dengan tujuan merebut kembali Indonesia sebagai negara jajahannya. Buku ini menggambaran bahwa perang akibat agresi ini bukan hanya milik para tentara saja, tetapi seluruh rakyat. Perang yang ungkap bukan hanya sekedar perang fisik, tetapi juga sal kemandirian dalam membangun bangsa. Dalam buku ini, Tan Malaka menghimbau seluruh rakyat Indonesia agar tidak bergantung pada bangsa lain.
Cukup sederhana untuk sebuah tulisan doktrin, sekaligus terlalu padat untuk sebuah buku yang ditulis tanpa bantuan referensi apapun (karena ditulis dalam penjara). Gerpolek adalah tulisan yang sangat efektif.
Gerpolek adalah gambaran pengetahuan Tan Malaka yang begitu luas. Kendati dipenjara oleh pemerintahan Indonesia di bawah tangan Sukarno, ingatan mendalamnya mengenai buku-buku yang ia baca cukup mengantar pembaca buku ini kepada alam pemikiran yang luas mengenai teknik perang gerilya. Kendati ia pun bukanlah seorang ahli daripada ilmu perang. Tan Malaka mengakui bahwa ia mendapatkan insight yang menarik mengenai gerilya adalah hasil percakapannya dengan prajurit negara-negara Eropa ketika ia berada di sana.
Kendati bukan seorang penulis yang baik, dan tulisan ini tidak dibuat sebrilian tulisannya yang lain: Madilog (Materialisme, Dialektika, dan Logika), namun posisi yang diambil cukup bernas. Bahwa Indonesia, pada masa revolusi harus pantang mundur menghadapi penjajah serta pengaruh kolonialisme gaya barunya. Haruslah menyerang dan terus menyerang. Kendati modalitas kita hanya berupa daerah yang cukup untuk bersembunyi dan melihat alutsista kita yang masih terbatas pada masa itu, maka menurutnya perang gerilya adalah yang paling cocok dilaksanakan pada masa itu.
Sayang sekali gagasannya inilah yang kemudian menjadi salah satu alasan pemerintahan RI di bawah Sukarno-Hatta merasa bahwa ia adalah golongan yang subversif terhadap pemerintah. Sejarah membuktikan bahwa eksekusi yang berujung pada kematiannya di Selopanggung (Kediri) adalah 'perangkap' Tan Malaka dan pengikutnya. Di satu sisi ia disergap Belanda yang membonceng tentara sekutu dari timur, dan Tentara RI dari barat.
Terlepas dari itu, Gerpolek mengajarkan kita bahwa terkadang sikap non-kooperatif dan self-help di dalam beberapa kesempatan harus ditunjukkan di depan musuh. Karena sikap kompromi belum tentu menghasilkan kesepakatan yang menguntungkan. Hal ini dijelaskannya ketika bagaimana hasil-hasil perjanjian seperti Linggarjati, dan kemudian Renville membuat Indonesia semakin dalam posisi yang terdesak. Maka dengan segenap pikirannya, ia menantang pemerintah dan berencana untuk menggerakkan kaum Murba-nya untuk melakukan perlawanan pada penjajah secara mandiri.
Tak seperti pahlawan nasional kita pada umumnya yang meninggal dalam pertempuran, Tan Malaka justru meninggal karena gagasan-gagasan alternatif yang cukup logis. Namun pada akhirnya kalah dengan keputusan yang diambil secara politis.
PERANG DI Indonesia bukanlah perang yang dilakukan oleh rakyat Indonesia dengan maksud hendak menindas bangsa asing. Perang Rakyat Indonesia adalah sebaliknya, yaitu perang yang terpaksa dijalankan untuk menolak penindas asing atas rakyat Indonesia. Perang di Indonesia adalah Perang Kemerdekaan. Perang Kemerdekaan Indonesia tidak akan berharga sepeser pun baik kaum Murba kalau hasilnya cuma menukar Pemerintah Asing dengan Pemerintah Putra Bumi, atau cuma menukar pemerintah orang berkulit putih dengan pemerintah orang berkulit cokelat. Pemerintah orang berkulit cokelat akan langsung atau tidak langsung, cepat atau lambat, menjadi Pemerintah Boneka, kalau 100% kebun, pabrik, tambang, pengangkutan dan bank berada di tangan asing seperti di zaman Belanda.”
Kutipan di atas dari Gerpolek karya Tan Malaka mengusik saya saat membacanya. Buku yang konon ditulis dalam kondisi tergesa-gesa ini ternyata menyimpan gagasan luar biasa yang masih relevan hingga kini. Saat menghabiskan buku ini dalam perjalanan pulang-pergi naik kereta, saya merasa mata saya terbuka—bukan hanya untuk melihat sejarah, tetapi juga untuk merenungkan bagaimana bangsa ini, dalam banyak hal, telah kehilangan arah.
Tan Malaka adalah seorang pejuang revolusioner, pemikir, dan penulis yang hidup pada masa-masa penuh gejolak dalam sejarah Indonesia. Lahir pada 1897 di Sumatera Barat, ia sempat belajar di Belanda sebelum terjun ke dunia politik kiri dan bergabung dengan Partai Komunis Indonesia. Ia dikenal sebagai sosok yang gigih memperjuangkan kemerdekaan, namun sering kali berselisih dengan tokoh-tokoh lain karena pandangannya yang radikal.
Gerpolek, singkatan dari Gerilya, Politik, Ekonomi, ditulis pada 1948, saat Tan Malaka berada dalam tahanan. Buku ini lahir di tengah situasi genting: Indonesia telah memproklamasikan kemerdekaan pada 1945, tetapi Belanda masih berupaya merebut kembali kekuasaan melalui agresi militer dan perjanjian diplomasi yang kontroversial. Dalam Gerpolek, Tan Malaka tidak hanya berbicara tentang perang fisik melawan penjajah, tetapi juga tentang strategi politik dan pentingnya kemandirian ekonomi sebagai fondasi kemerdekaan sejati.
This entire review has been hidden because of spoilers.
Reading this reminded me of Fanon's "A Dying Colonialism" as it tells about what people under occupation should do to successfully thwart colonialism. Tan Malaka is definitely one of Indonesia's important statesman, and in this book, we can see how his thinking is so forward looking, no compromise against colonialism, critiquing the UN as it won't be useful as long as there's more power for the big imperial countries, describing what a country dealing with colonialism should do, racism, etc. The best part, especially under our current political state, is the reminder that a country would not be able to be fully independent if its people couldn't have a word on how the country will be run, and there's a danger of not just foreign colonialization, but if the country is being rule by a few elites only. If we can have 10 Tan Malaka today, I think our country would be so much better.
I read his bio in Wiki, and he is for all his life an outsider of the political system, but what he brought, his thoughts, his passion for not compromising, are so important. His whole life was always on the run and he died killed by his own countryman. May your ideas live forever, Tan Malaka.
TUAN, setelah kau berkelana 20 tahun menyusuri merahnya Moskow-Kanton-Shanghai-Bangkok-Manila-Hongkong, di-beri puja-puji sebagai “seorang yang pengaruhnya hampir-hampir seperti legenda” dan disebut-sebut “Indonesia’s No. 1 Communist” oleh People’s Age di tahun 1946, apa ceritamu tentang Belanda dan ubi jalar?
Lalu ia buka buku lusuh itu, yang dibikin di penjara rumah Madiun tahun 1948, sambil tersenyum. Di depannya tertulis judul: Gerpolek. Dengan hati-hati ia buka selembar demi selembar, khawatir buku tua itu robek. Barangkali sebelumnya ia tahu buku itu tak banyak dibaca orang. Dan ia tersenyum seseorang akhirnya ingin tahu. Terlihat ia membuka halaman akhir Bab XII Perang Politik-Diplomat:
“Kata sahibul hikayat ada seorang Belanda peminta tanah. Setelah mendapat sebidang tanah, dipagarilah tanah itu. Di sepanjang pinggir pagar itu ditanami ubi jalar. Ubi itu, hari demi hari, menjalar kian kemari keluar pagar menuju empat penjuru alam. Setelah cukup jauh menjalar, diangsurkannya pagar semula itu agar dapat meliputi ubi yang jalarannya ke sana kemari itu. Belanda itu bilang ubi itu hak miliknya, dan tanah baru yang diliputi ubi itu adalah miliknya pula. Demikianlah hal itu terus terjadi, seperti ubi yang terus tumbuh, memuaskan hati.”
Maka aku tahu sebab kau benci Belanda. Dan apa lagi, Tuan Tan Malaka? Kau masih ingin bercerita?
Maka dibukanya Bab XV Serba-Serbi:
“Adalah seekor burung gagak yang baru mencuri sepotong dendeng hinggap pada suatu pohon. Datanglah seekor serigala yang lapar, mendekat. Serigala itu melihat ada daging di suatu tempat tinggi di sana, terjepit di mulut sang gagak. Maka dipikirkannya tipu muslihat. Ia tahu gagak ini: buruk rupa dan buruk suara, tapi tak kenal keburukannya dan senang dipuji orang. Maka mulailah serigala mengucapkan pujian: ‘Hai burung gagak yang cantik molek berwarna bagus dan bersuara merdu pula. Alangkah besar hatiku dan terima kasihku kepadamu, jika kamu memperdengarkan suaramu padaku’.
“Konon, kita pun bisa menebak, dengan segera sang gagak membuka paruhnya buat memperdengarkan suaranya, yang benar-benar disangkanya merdu, dan jatuhlah dendeng itu dari mulutnya. Seraya burung gagak bernyanyi sang serigala memungutnya, memakannya sampai habis.”
Dua cerita Tan Malaka itu agaknya memberi ibarat pada kelicikan diplomasi Belanda kepada Indonesia. Ia memang memiliki tafsiran lain dalam metode perjuangan pascakemerdekaan. Ia tak hanya menginginkan perjuangan “merdeka” 100% terhadap agresi militer Belanda, tapi “berontak” melalui aksi-aksi militer. Sampai-sampai Alan Dower menyebutnya, seperti yang ditulis Harry A. Poeze dalam Tan Malaka, Gerakan Kiri dan Revolusi Indonesia, “bocah nakal pengacau Trotkiis, yang mengabaikan perundingan-perundingan” dan “mengacaukan politik Pemerintah”. Tan Malaka menolak cara-cara diplomasi dalam Linggarjati dan Renville yang merugikan Republik. Sesuai Linggarjati, tanah Indonesia yang tadinya 700.000 mil persegi menjadi 210.000 mil persegi, atau kurang dari 30%. Sementara luas laut yang 4.500.000 mil menjadi hanya 225.000 mil persegi atau kurang dari 5 persen. Besaran itu setelah Renville mengecil lagi. Di bidang ekonomi, hasil kebun, pabrik, dan tambang tidak lagi berada di bawah kekuasaan penuh Republik. Ini taksesuai dengan kemerdekaan 100% dan kekuasaan ekonomi 60% yang, menurut Tan Malaka, minimal berada di tangan Murba Indonesia.
Kalau membaca lagi Gerpolek, optimisme dan radikalisme Tan Malaka menunjukkan bentuk praktisnya dalam perang. Hal itu bisa terlihat dari kekaguman dan anjurannya untuk berperang gerilya melawan Belanda atas dasar hukum perang dengan anasir kecepatan dan tiba-tiba. Ia, yang bercita-cita menjadi militer namun gagal, kerap bercerita tentang Hannibal dengan tentara berkuda dan bergajah yang melintasi salju dan jurang-jurang Pegunungan Alpen ─suatu pekerjaan militer yang dianggap mustahil saat itu─ dan secara tak terduga sampai di Italia dan membuat kalang kabut Pasukan Romawi. Julius Caesar sampai hanya butuh tiga kata untuk mengisahkan kecepatan dan serangannya yang tiba-tiba: vini, vidi, vici.
Apa benar saat itu kita pasti menang dengan peperangan, Tuan?
Tan Malaka tak menjawab. Maka aku membuka sendiri buku itu, di Bab X Perang Rakyat. Aku berpikir bahwa ia telah berusaha membuat perang sebagai ilmu, yang menurutnya mulai tumbuh dari para ahli militer Jerman berdasarkan pengalaman dua Perang Dunia: ilmu militer itu “sistematis, logis, dan konsisten”, bukan petuah seperti dalam syair pujangga zaman dulu.
Dalam Gerpolek ia membuat suatu tokoh super khas Marxis: Sang Gerilya ─tokoh itu, “yang taat dan setia kepada Proklamasi dan Kemerdekaan 100%”, berpotensi dogmatis seperti Marx dengan “kelas proletariat revolusioner”-nya. Di halaman-halaman awal Gerpolek pun ia terasa egosentris, membuat dirinya menjadi pusat sejarah, saat ia menulis mengenai dua musim revolusi dalam sejarah. Pertama, musim Jaya Bertempur atau Jaya Berjuang, jatuh antara 17 Agustus 1945 sampai 17 Maret 1946. Kedua, musim Runtuh Berdiplomasi, dimulai dari runtuhnya Persatuan Perjuangan, kelompok yang digagasnya, di Madiun, guanya Pesindo.
Yang disenangi dari buku itu, juga bagi orang-orang sipil dan demokrat masa kini, barangkali tentang teorinya yang visioner: “Tentara itu tiada berpolitik” ─di Bab VII Syarat Perang yang Tetap. Dengan itu Tan ingin bilang bagi Sang Gerilya, yang memang harus memiliki keyakinan politik, berpaham dan berideologi kebangsaan, agar membedakan siasat perang dan politik, membedakan urusan perang dan politik. Mungkin itu yang membuat sejarah Orde Baru menihilkan nama dan buku Tan Malaka.
Tapi, Tuan, kalau suatu saat ada perang, aku akan meniru Voltaire yang mengaku hanya pernah berdoa kepada Tuhan satu kali. Aku akan berdoa yang sangat singkat untuk menang seperti doa satu kali Voltaire: “Oh Tuhan, jadikan musuhku konyol”.
Menarik karena konon kabarnya ditulis tanpa menggunakan referensi ketika Tan Malaka sedang dalam tahanan. Isinya membahas mengenai apa yang seharusnya dilakukan oleh bangsa Indonesia yang sedang menghadapi ancaman kembalinya kolonialisme Belanda. Buku ini semacam indoktrinasi mengenai betapa pentingnya menjadi bangsa yang mandiri, sehingga mendorong pembacanya untuk maju melawan Belanda dalam suatu peperangan. Beberapa bab isinya adalah justifikasi mengapa perang ini tepat dan "benar" untuk dilakukan, karena tidak sama dengan perang di negara lain. Di era modern isi buku ini sudah sulit untuk diterapkan, tetapi jika ditempatkan pada konteksnya akan membuat kita memahami bagaimana tokoh ini sangat menginginkan Indonesia merdeka sepenuhnya.
Buku yang ditulis oleh Tan Malaka saat mendekam di penjara Madiun tahun 1948 ini menggambarkan keprihatinan Tan Malaka atas ditetapkannya Perjanjian Linggarjati dan Perjanjian Renville; di mana, kedua perjanjian tersebut merugikan bangsa Indonesia baik secara materiil maupun non-materiil. Oleh karenanya, dalam buku ini Tan Malaka memberikan suatu alternatif agar Indonesia mencapai kemerdekaannya secara 100%. Dalam beberapa bab, gagasan disampaikan dengan metode dialektika, namun beberapa bab lain disampaikan dalam bentuk narasi. Walau judul yang disematkan adalah 'Gerpolek' yang merupakan singkatan dari Gerilya, Politik, Ekonomi, namun pembahasan dalam buku ini lebih menitikberatkan pada strategi militer perang yang mengacu kepada strategi-strategi perang terdahulu.
Walaupun kurang terlalu tertarik pada bagian strategi perang (yang memang perlu mengingat masa ditulisnya buku ini adalah masa-masa agresi para mantan penjajah), saya akhirnya menemukan bagian yang saya tunggu-tunggu tentang analisis rasisme di Amerika Serikat dari Tan Malaka. Bagian favorit saya: “Tetapi terhadap bangsa Negro kaya atau miskin, terpelajar atau tidak, oleh Yang Berkulit-Putih "perasaan lebih" (entah dalam hal mana!) itu masih terus diperlihatkan...”
Hingga saat ini, yang berkulit putih masih saja terus merasa superior (entah dalam hal mana!) sehingga kritik rasisme dari Tan Malaka ini tetaplah relevan. Semestinya tulisan-tulisan Tan Malaka ada dalam kurikulum wajib kesusastraan Indonesia (dalam mapel sejarah dan Bahasa Indonesia).
Sering banget denger istilah "Kemerdekaan 100%" itu dan akhirnya setelah baca beberapa karya Tan Malaka akhirnya ketemu juga buku yang membahas itu. Sekarang baru ngerti Kemerdekaan 100% yang dimaksud Tan Malaka itu seperti apa. Gk ada gunanya kita merdeka jika tidak didukung dua unsur utama, yaitu ekonomi dan politik. Untuk mendukung berdaulatnya negara setidaknya diperlukan 60% kepemilikan/kemandirian di bidang ekonomi dan politik.
Namun, secara garis besar buku ini lebih fokus pada "gerilya" atau berbagai pembahasan tentang perang mulai dari sejarah taktik, senjata, sampai perang sejarah dari zaman Iskandar Zulkarnaen sampai Perang Dunia II
This entire review has been hidden because of spoilers.
Walapun buku ini ditulis pada tahun 1948 tetapi beberapa isinya masih relevan dengan keadaan kita saat ini, ada pertanyaan satir yang bagus "mungkinkah ada di dunia ini satu negara yang ekonominya 100% ditangan bangsa asing tetapi politiknya 100% ditangan putra bumi?" bukunya bagus sayangnya buku ini ditulis disaat dalam penjara sehingga penulis tidak mendapatkan cukup referensi, pasti akan lebih bagus apabila buku ini dilengkapi dengan referensi-referensi
Tan Malaka kecewa akan kondisi Indonesia pada 1948, ketika Belanda berupaya kembali untuk menjajah Indonesia, ketika proklamasi telah dideklarasi. Memang dalam perjanjian Linggarjati dan Renvile Indonesia seperti ditelanjangi, hanya sebahagian kecil wilayah negeri yang diakui. Lewat buku ini, Tan Malaka memaparkan gagasan Ia mengenai politik, hubungan kedua negara, dan bagaimana seharusnya Indonesia menghadapi Belanda dan sekutu.
Isinya lebih membahas jenis-jenis gerilya dan peran gerilya dalam masyarakat. Apa yang disampaikan masih sangat relate dengan keadaan sekarang.
Apa yang terjadi di negara Indonesia saat ini karena Indonesia hanya merdeka secara politik, tapi masih terjajah dari segi ekonomi oleh tangan-tangan asing
Baca ini karena sedang menapaki tangga isi kepala Tan Malaka menuju Madilog. Isi Gerpolek sebagian besar menurutku sudah tidak relevan lagi dengan keadaan politik negeri karena bukan lagi berperang melawan penjajah dari negeri luar menggunakan media bambu tapi kita sedang berperang melawan penjajah dari negeri sendiri melawan sistem. Untuk "ekonomi" masih sangat relevan.
Gerpolek : Gerilya-Politik-Ekonomi adalah buku karya Tan Malaka (1948). Karya - karya Tan Malaka, sebagian besar berusaha untuk membuat masyarakat Indonesia sadar terhadap permasalahan yang ada di Indonesia, bahkan dalam kasus Gerpolek, dunia. Walaupun namanya sangat erat sekali terhadap dunia kemiliteran, buku ini malahan tidak secara menyeluruh (thorough) menjelaskan teknis - teknis militer, melainkan fokus dari kata 'Gerilya' itu sendiri menjadi spirit yang baru, Sang Gerilya adalah seseorang yang tidak ada habisnya berjuang untuk keadilan dengan cerdik dan cermat.
Sebagian besar buku ini membahas perihal - perihal kemiliteran dengan bahasa Tan sendiri seperti aspek - aspek yang mempengaruhi perang, jenis perang, anasir perang, istilah - istilah yang dipakai pun sangat 'Tan' sekali. Tetapi buku ini tidak berfokus kepada hal militer saja, tidak berfokus kepada perebutan kekuasaan dan pembelaan rakyat Indonesia dengan cara militer, Tan Malaka membahas solusi dalam bidang sosial dan ekonomi apabila berbicara tentang merebut dan mempertahankan kemerdekaan. Aktor yang menjalankan semua hal itu, dalam karya ini disebut Sang Gerilya.
Sang Gerilya menurut Tan Malaka adalah seseorang yang memegang penuh pendiriannya terhadap kemerdekaan Indonesia secara penuh dan menyeluruh. Sang Gerilya adalah laki - laki dan perempuan, pemuda dan orang tua, bangsawan dan buruh, anak ningrat dan kaum marjinal, Sang Gerilya adalah semua orang, semua elemen masyarakat Indonesia yang mempunyai pendirian bahwa Indonesia harus merdeka 100%. Gagasan Indonesia merdeka dengan caranya sendiri dan mempunyai kontrol atas kemerdekaannya secara penuh sudah dibawa oleh Tan Malaka dalam karya - karya sebelumnya. Gagasan ini juga yang membedakan antara Tan Malaka dengan para Pendiri Bangsa lainnya. Kembali kepada Sang Gerilya, kumpulan dari Sang Gerilya adalah Laskar Gerilya. Laskar Gerilya apabila diamati bukan mempunyai arti sekumpulan orang yang mengikuti taktik gerilya dalam peperangan, walaupun hal ini ada benarnya tetapi Laskar Gerilya yang dimaksud tidaklah memiliki arti sesempit itu. Laskar Gerilya adalah sekumpulan manusia - manusia progresif yang bertempur di medan pertempuran, medan ekonomi, dan medan sosial - politik.
Apabila dibreakdown, Gerpolek mempunyai tiga gagasan besar tentang di bagian mana dan bagaimana Sang Gerilya itu berjuang. Gagasan tersebut ialah Sang Gerilya harus bisa berjuang dalam bidang militer (atau setidaknya memiliki pemahaman dalam bidang ini apabila dibutuhkan), bidang ekonomi, dan bidang sosial - politik. Inilah inti dari buku Gerpolek, buku Gerpolek mengajak kita untuk menjadi Sang Gerilya, dan membentuk Laskar Gerilya yang mempunyai spirit yang sama yaitu, Indonesia Merdeka 100%.
Dalam bidang Militer, Tan Malaka memberikan beberapa pengetahuan tentang peperangan, jenis perang, dan lain- lain. Macam - macam perang seperti perang parit, perang tetap, dan perang maju - mundur (Gerilya) dijelaksan oleh Tan Malaka. Unsur - unsur peperangan seperti geografi, SDM, senjata dan waktu. Tan Malaka mengisyaratkan bahwa untuk Sang Gerilya, ilmu militer diperlukan untuk berjuang dalam menempuh Indonesia merdeka secara utuh.
Dalam bidang ekonomi, Tan Malaka berbicara tentang bagaimana Sang Gerilya atau Laskar Gerilya melawan kapitalisme - imperialisme dalam hal ekonomi. Gagasan seperti membuat ekonomi kerakyatan, koperasi adalah cara yang ditawarkan Tan dalam melawan Kapitalisme yang mewabah. Koperasi produksi, koperasi distribusi, koperasi pengangkutan, koperasi kredit, dan koperasi pasar adalah lima jenis koperasi yang bisa dibuat dimana saja dan diawasi oleh Sang Gerilya. Pokoknya inti dari gagasan melawan dari bidang ekonomi adalah Sang Gerilya harus bisa melawan penindas dari sisi ekonomi dengan cara ekonomi yang menguntungkan rakyat dan menyejahterakan masyarakat, bukan malah menguntungkan pemodal.
Dalam Bidang Sosial - Politik, Sang Gerilya haruslah sangat aktif. Sang Gerilya dalam arti sempit pemimpin maka selakunya pemimpin Ia harus pandai berpolitik, dan harus bisa mencari jalan keluar terhadap permasalahan - permasalahan. Dalam buku ini, Tan Malaka mengkritik Diplomasi KTN pada tahun 1947. KTN menurut Tan Malaka hanyalah tipu daya amerika dan negara - negara imperialis lainnya. Diplomasi yang diadakan PBB yang diwakili oleh tiga negara tersebut hanyalah upaya belanda dalam merebut kembali Indonesia ke dalam penjajahan belanda. Dalam hal kemerdekaan, Indonesia tidak perlu melakukan diplomasi terhadap negara jajahan, Indonesia harus merdeka dengan cara sendiri dan merdeka secara penuh, menurut Tan. Sang Gerilya harus mempunyai rasa sosial yang tinggi. Sang Gerilya haruslah dekat dengan masyarakat, dalam waktu luangnya Sang Gerilya harus mendekatkan diri kepada masyarakat, membantu masyarakat dalam melawan penindasan seperti melawan buta huruf, dan lain - lain. Singkatnya dalam bidang sosial, Sang Gerilya mendedikasikan waktunya untuk rakyat semata.
Gerpolek adalah senjata, pegangan, alat bagi Laskar Gerilya atau Sang Gerilya dalam melawan penindasan yang terjadi ulah Kapitalisme - Imperialisme. Gerpolek harus diamati, dicermati, dan diejawantahkan melalui kegiatan sehari - hari dan kita, masyarakat Indonesia, sudah selayaknya menjadi Sang Gerilya.
Bacaan ringan & penutup seminggu ini. Beberapa hal menarik & perlu didalami (lagi) setelah membaca buku Tan ini, diantaranya Kapitalisasi Internasional, Pembantaian Westerling 40.000 jiwa di sulsel, dan superiority complex.
Gerakan politik ekonomi adalah gerakan Datuk dalam melawan Imperialisme Inggris dan Kolonialisme Belanda. Sebagai anak bangsa walaupun beliau pernah sekolah di Belanda dan sempat menjadi senat di Belanda, beliau tidak lupa akan tanah kelahiran beliau di Indonesia. Namun sedikit teori beliau terkait Pan Islamisme sudah lahir dipermukaan dengan bentuk yang radikal. Jika dahulu masa perjuangan persatuan Islam sangat dibutuhkan dalam melawan penjajah. Namun saat ini pan islamisme sudah tidak relevan lagi bagi bangsa ini. Semoga ada penerus mu Datuk Ibrahim dalam berjuang hanya bermodal guru bahasa.
Datuk Ibrahim ... Al Fatihah.
This entire review has been hidden because of spoilers.
Buku ini penting menurut saya karena buku ini memuat pendapat Tan Malaka tentang keputusan dan apa yang harus dilakukan paska Proklamasi '45 yang agak berseberangan dengan kolega-kolega Tan Malaka yang pro-diplomasi.
Pendapat Tan Malaka agar Indonesia 100% ditutup untuk pihak asing agar tidak ada mata-mata dan infiltrasi yang tidak-terkendali yang akan membahayakan kemerdekaan dan kedaulatan republik terbukti benar ketika puncaknya yakni kondisi bangsa pada waktu Soekarno di kup oleh Soeharto, yakni kondisi ketika negara dipenuhi mata-mata asing dari CIA, KGB, hingga RRT. Dari situ saya melihat kualitas, pengalaman, dan wawasan Tan Malaka yang cemerlang.