Sinopsis: Dibanding bokap, keluarga nyokap gue tuh lebih original Cinanya. Gaya ngomongnya masih totok banget. Bagi mereka, gak ada istilah “kami” atau “kalian”. Adanya adalah “gua orang” dan “lu orang”. Kesannya insecure banget ya? Gue juga tau kalo kita semua ini orang, bukan ubur-ubur. (Diambil dari bab “Woy, Cina!”)
Di banyak mall di Jakarta, ada petugas lift. Padahal siapa sih yang gak mampu mengoperasikan lift? Kalo mau ke lantai 3, kan tinggal cari tombol angka “3”. Simpel. Kecuali tulisan di tombolnya bukan “3”, tapi lebih rumit. Misalnya “1⁄2 x √36”. Lagian gue belum pernah baca ada headline koran semacam ini: “GAGAL MENEMUKAN LANTAI TIGA, SEORANG REMAJA TERJEBAK SELAMA DUA HARI DI DALAM LIFT MALL TAMAN NAGREK” (Diambil dari bab “Jakarta Dikepung!”)
***
“Wah, ga nyangka Mas Ernest Cokelat bisa nulis buku juga. Selamat ya Mas, salam buat Mbak Nirina!”- Madun, 23th, mahasiswa gaul
“Lucu sih. Tapi menurut Mama masih lucuan buku temen kamu tuh si radit radit apalah itu.”- Jenny, 54th, ibu rumah tangga
“Ernest itu sosok inspiratif yang pantang menyerah. Terbukti, meskipun buku pertamanya gak laku dan jadi numpuk sampe menuh-menuhin rumah, dia tetep mau nyoba lagi.” - Meira, 30th, istri penyayang suami
“F0lbek aq y bg...” - Novi, 16th, remaja hilang arah
Read more: http://www.pengenbuku.net/2013/10/nge... Follow us: @pengenbuku on Twitter | pengenbuku on Facebook
Akhirnya beli buku ini juga. Setelah sebelumnya baru baca sampel gratisannya di playstore. Setelah sebelumnya saya beli banyak buku dan gak bisa namatin baca buku-buku tersebut. Tapi buku Ngenest ini enak banget dibacanya. Lancar dan smooth. Tau-tau abis. Karena saya beli yang versi cover film, di halaman terakhir ada foto-foto BTS film Ngenest.
Suka dengan humor Ernest di buku ini. Apalagi pas doi nyeritain babby sitter-nya yang asal Banten. Ngakak. Recommended lah. Jadi pengen baca yang ke-2 dan ke-3.
Ngenest adalah buku nonfiksi, berisi kumpulan tulisan berupa memoar dan perspektif dari seorang Ernest Prakasa. Ada total 23 bab di buku ini yang disampaikan dengan gaya khas Ernest; yang cerdas dan tajam, yang menyentil, sampai yang bikin merenung.
Menyampaikan pandangan dari sisi komedi memang susah, nggak semudah melawak dengan modal lempar-lemparan tepung atau pukul-pukulan pake styrofoam kayak oknum-oknum di TV. Namun, Ernest bisa mengadon semua perspektif sederhana di tulisannya dengan jokes yang menghibur.
Isu-isu yang diangkat di buku ini nggak jauh dari kehidupan sehari-hari, seperti di bab Gejala Kecanduan Twitter dan Balada Baju. Ada juga bab berjudul Woy, Cina! dan Menjadi Minoritas yang menuangkan keresahan Ernest sebagai keturunan Cina yang jadi minoritas di Indonesia. Isu lain yang diangkat adalah dari sisi seksualitas, seperti di bab Tabu dan Kondom Oh Kondom.
Semua tulisan disampaikan dengan materi yang diramu dengan bit dan punchline yang memancing tawa. Membaca buku ini seperti sedang menyaksikan Koh Ernest berdiri di hadapan penonton dalam sebuah stand up comedy show. Pecah!
Yang paling bikin ganggu dari buku ini adalah typo yang merajalela, jeda kalimat yang lolos tanpa spasi, beberapa kata yang cacat EYD (seperti kesalahan penulisan awalan di-), serta istilah asing yang nggak dicetak miring. Entah ini kesalahan editor, atau penulis yang remeh pentingnya jadi self editor sebelum mengirim naskah ke penerbit.
Terlepas dari kesalahan-kesalahan yang bersifat teknis di atas, buku ini tetap layak dijadikan referensi bacaan. Bertambah satu lagi buku nonfiksi yang materinya lelucon berisi.
Membaca buku ini aku seolah dianggap tidak tahu banyak hal, bahkan Binus dijelaskan apa, A B C (segala macam) dijelaskan pula, tapi penjelasannya pun tidak menghibur bagiku. Sehingga tiap halaman aku pengin mengernyitkan dahi dan berpikir, target pembacanya siapa ya? Pun, penyuntingannya bikin gemas karena banyaknya kesalahan. :(
Aku suka ilustrasi2nya. Pas. Namun isi bukunya tidak cocok denganku. Bukan seleraku saja.
wkwkwkwk, bahasa buku ini ngalir banget . Topiknya lucu lucu menurutku, tapi ada sedikit topik yang memang gak bisa dibaca oleh anak kecil, sepertiku 😂 tapi memang seru dan lucu sih bukunya. cara penyajian novel yang ditulis ernest prakasa ini indah dengan gambarnya dan buat orang gak mudah bosen..
*paling kalo ngantuk doang 😂
kapan aku menyelesaikan buku ini?? tepat pada hari raya Imlek, dan bukunya juga sedikit berbicara soal kehidupan tionghoanya Ernest yang bener bener ngenest 😂 dan bikin ketawa.. kira kira memang topik itulah yang aku sukai dari novel ngenest ini..
buat yang tertarik, kalian ga akan nyesel beli buku ini. tetapi hati hati buat anak anak seumuranku, 11 tahun tepatnya.. bukunya akan membahas sedikit topik yang terlalu dewasa menurutku 😂 biasa sih langsung aku lewati 😂
Menurut gue buku ini lucu, tapi terlalu luas cakupannya. Apa aja dibahas. Sah sah saja, tapi dari satu tema ke tema lain itu gaada bridging, langsung aja gitu kayak kutu loncat. Unik karena ada footnotenya. Cocok buat bacaan ringan.
Buku 'Ngenest: Ngetawain Hidup A la Ernest 'berhasil membawa saya bernostalgia ke masa-masa ketika buku humor menjadi bacaan utama saat SMA dan awal kuliah dulu. Dibandingkan dengan buku-buku dengan topik yang lebih "berat" yang sering saya baca sejak menjadi mahasiswa semester akhir, 'Ngenest' terasa seperti bacaan ringan yang tetap bikin mikir.
Buku ini adalah kumpulan tulisan yang berisi memoar dan perspektif Ernest Prakasa tentang kehidupannya sebagai minoritas Tionghoa di Indonesia. Dengan gaya khasnya yang tajam dan penuh humor, ia mengemas isu-isu sosial dengan punchline yang menghibur, tapi tetap mengandung makna mendalam.
Dari keresahan sebagai minoritas di bab "Woy, Cina!" dan "Menjadi Minoritas", hingga bahasan soal media sosial di "Gejala Kecanduan Twitter", semuanya mengalir seperti menyaksikan stand-up comedy show langsung dari Ernest. Ada juga sentilan soal edukasi seks dalam "Tabu" dan "Kondom Oh Kondom", yang menunjukkan bahwa humor juga bisa menjadi alat edukasi yang efektif.
Bagi yang sudah sering menyaksikan Ernest sebagai komika, beberapa materi mungkin terasa familiar. Namun, bagi yang baru mengenalnya atau sekadar butuh bacaan ringan, 'Ngenest' adalah pilihan yang tepat. Buku ini mengingatkan bahwa menertawakan kesengsaraan sendiri adalah bentuk kebahagiaan.
21 October 2019. Monday. Ptk. Lumayan lucu. Buku ini ttg memoar dan perspektif Ernest. Banyak yg tentang Cina cinaan. Bukunya ringan dan cukup menghibur. Bacanya juga cuman 2 hari beres.
Paling diinget dan berkesan ttg babysitternya dari Banten, si Umi. Cukup mengharukan. Koh Ernest juga sayang sama istri dan anaknya Sky, mantappp deh.
Bahasanya emang agak lain. Walau belum seapik Raditya, setidaknya ini aku bacanya sampe habis loh walau agak maklum dan mengernyit dahi dikit, tapi, good job. Pasti bisa jadi lebih bagus dan smooth.
Kalo dipikir-pikir buku ini lumayan tipis juga ya. Cuman 170-an halaman. Mungkin kalo ngga ada gambar dan ilustrasinya. Kayaknya cuman 150-an atau 100-an halaman. Udah kayak buku siksa neraka.
Tapi dari segi isi ngga seserem itu kok. Ngenest berisi kumpulan anekdot lucu dari pengalaman Ernest Prakasa sebagai seorang minoritas cina di Indonesia dan suami. Konsepnya mirip-mirip dengan bukunya Raditya Dika, hanya saja berbeda di perspektif dan sudut pandang saja.
Bagian paling lucu menurut saya adalah bagian yang membahas tentang Sex education dan Pembantu. Asli bikin ngagak. Wkwkwk.
Surprisingly saya lebih menikmati baca bukunya Ernest daripada nonton stand up comedy nya (iya, saya memang dasarnya bukan penikmat stand up comedy). Baca buku ini bisa ketawa ketiwi kriuk sambil memikirkan topik yang dijadikan sindiran dan kritik Ernest.
Topik bahasannya ngalor ngidul, dibagi per bab dengan susunan entahlah berdasarkan apa, tapi tetap menyenangkan untuk dibaca. Ada satu topik serius mengenai Ayah ASI, dan saya salut dengan gerakan Ayah ASInya.
Bang Ernest kocak parah yaa. Gg di stand up comedy, gg di film2nya, apalagi bukunya, selalu kritis dan humoris. Sukses terus ya babg. Ditunggu karya2 selanjutnyaa
Buku yang berisi pengalaman hidup nya koh ernest tapi banyak di kasih sentuhan komedi membuat nya jadi perfect combo. Apalagi yang nulis comedian😅😄, keren lu cina😄🤞
sehari ini langsung selesai bacanya. seruuuu!!! tinggal bikin resensinya. thanks ya Shenobi Michael dah dipinjemin buku lucu ini. jadi bisa ngakak-ngakak sendiri seharian kayak anak ilang. #eh
dan inilah resensinya... (dimuat di Tribun Jogja edisi Minggu, 18 Mei 2014 ini. baca ya...)
MINORITAS YANG DIENTAS
Minoritas! Itulah tema besar yang digarap oleh Ernest Prakasa dalam buku bersampul kuning cerah setebal 170 halaman ini. Lewat Ngenest atau Ngetawain Hidup Ala Ernest, komika kelahiran Jakarta, 32 tahun silam ini berbicara mengenai banyak hal. Lewat ketiga puluh dua bab (pula) yang ada dalam bukunya, Ernest berbicara mengenai berbagai kelucuan yang ada dan yang ia alami. Mulai dari ke-Cina-annya, kondisi Jakarta, Ahok, harga cabe, sex education bagi Sky, putrinya; sampai ke soal remeh-remeh seperti tips membeli kondom dan tato terbaru yang menghiasi lengannya.
Dalam Ngenest (baca: ngenes) yang di dalam bahasa Jawa artinya “sengsara”, kita benar-benar diajak Ernest untuk turut menertawakan kesengsaraan hidupnya sebagai seorang minoritas. Ia Kristen dan Cina. Sejak kecil, mantan penyiar radio Paramuda 93,7 FM Bandung ini sadar betul bahwa dua cap tersebut akan membuat hidupnya acapkali tidak berjalan semulus yang diharapkan. Berbagai steriotip soal “Cina” harus diterimanya dengan sabar. Sebab, menurut Ernest, orang sabar pantatnya lebar.
Hehehe... Entahlah, saya juga tak tahu pasti apa hubungan antara pantat lebar dengan sabar yang dimaksud Ernest. Tapi yang pasti, di buku keduanya ini, ada tiga steriotip utama soal Cina yang dikupas habis oleh Ernest di awal bab.
Cina selalu identik dengan “kaya”, hingga sedari kecil (bahkan katanya sampai sekarang) Ernest harus sabar kalau dirinya adalah adalah sosok yang rentan untuk dipalak orang. Orang Cina itu “pelit”, padahal kata Ernest, mereka cuma sipit. Dan, satu-satunya masakan yang jago dibikin oleh ibu Ernest adalah spagety, kalau banyak yang bilang katanya orang Cina pasti “jago masak”.
Balik lagi ke persoalan minoritas, salutnya, 2nd Runner Up Stand Up Commedy Indonesia 2011 sadar betul bahwa permasalahan ini bukan permasalahan SARA, seperti yang selama ini dedengung-dengungkan oleh kaum puritan. Bagi Ernest, ini hanyalah masalah mayoritas against minoritas. Di titik ini saya bersepakat bahkan salut pada pemikiran Ernest, bahwa di belahan manapun di muka bumi ini segala permasalahan selalu bertitik tolak pada masalah mayoritas yang senang sekali menggencet mereka yang minoritas, yang tidak sewarna dan berbeda dengan kebanyakan.
Bagi orang yang sering melihat penampilan Ernest sebagai komika, buku ini bisa berarti dua hal. Yang pertama, “Ngebosenin”. Sebab apa yang sebenarnya Ernest tulis di buku ini adalah materi-materi yang sudah sering ia sampaikan di panggung-panggung comic. Terlebih, kalau kita sudah pernah ikutan beli dan menonton Ilucinati, comic tour yang Ernest selenggarakan di akhir tahun 2013, pasti kita sudah tidak asing dengan materi-materi seputar mahluk bermata sipit yang menguasai hampir 2/3 wilayah bumi ini.
Yang kedua, terlebih bagi para fans-nya, Ngenest bisa berarti monumen. Buku ini mengabadikan beragam kelucuan yang diperbuat Ernest selama di panggung comic. Tapi apapun itu, kehadiran buku ini tetaplah membawa kesegaran. Tanpa terkesan ikut-ikutan para komika lainnya yang lebih awal membuat buku seperti Raditya Dika atau Pandji Pragiwaksono, Ernest punya nilai jual tersendiri yang ia tawarkan di buku keduanya ini. Yakni, menertawakan kesengsaraan. Sebab orang yang paling bahagia adalah orang yang bisa menertawakan hidupnya sendiri. Ernest paham benar makna yang terdalam dari ungkapan tersebut. dan dia ingin kita turut merasakan kebahagiaan yang ia rasakan. Dalam artian, yang minoritas dan hidupnya serba terbatas aja bisa bahagia, kenapa kita yang mayoritas tidak bisa “lebih” bahagia dari Ernest.
Dan akhirnya, seperti ada tertulis, ujian terbesar menjadi mayoritas adalah toleransi dan ujian terbesar menjadi minoritas adalah soal keberanian.
*) Stebby Julionatan, penulis, tinggal di Probolinggo - Jawa Timur, aktif dalam Komunitas Menulis (Komunlis) dan KSSI. Dapat disapa melalui akun twitter @sjulionatan atau email: sjulionatan@yahoo.com
Sebenernya nggak ada niat untuk baca buku ini hari ini. Gara-gara dua hari lalu dikirim dari online shop langganan dan belum sempat dibawa pulang, jadi tersimpan rapi di laci island saya yang penuh dengan barang-barang nggak penting itu. Nah, tadi siang, karena saya pusing dan capek (alasan males kerja aja sih, sebenernya, hehe…) saya iseng membuka plastiknya dan mulai membaca beberapa halaman pertama…
…. …. …. Tapi terus nggak bisa berhenti.
Akhirnya, dari pada nanggung, saya selesaiin aja sampai habis. Untungnya nggak memakan waktu lama—karena selain bukunya gak tebel-tebel amat, bahasanya juga ringan dan lucu. Page turner lah.
Saya adalah salah satu penyuka buku yang jenisnya komedi, fiksi maupun non fiksi. Tapi di Indonesia agak susah untuk menemukan buku bergenre komedi yang enak dibaca dan nggak lebay (atau kelebayannya masih bisa ditoleransi lah). Kalau untuk fiksi, saya belum bisa nyebut nama (seinget saya yah. Atau entah emang referensi bacaan saya yang kurang). Untuk non fiksi… hehehe.. Sama aja sih.
Khusus untuk non fiksi, saya suka dengan jenis buku seperti Bossypants-nya Tina Fey, Shit My Dad Says, atau buku-bukunya Chelsea Handler. Mereka bercerita tentang hidup mereka, dari perspektif mereka, dan semuanya lucu. Kadang memang suka lebay, sih. Tapi seperti yang saya sebutkan di atas, masih bisa ditoleransi dan justru menjadi bumbu yang bikin nagih (kayak MSG gitu). Karena semuanya masih dalam proporsi yang pas. Buku ini pun kayak gitu.
Saya bukan penggemar setia Ernest Prakasa walaupun beberapa kali saya menonton dia ketika stand up comedy—live, youtube, maupun di televisi. Saya bahkan menonton show-nya di GKJ beberapa waktu lalu—tapi itupun karena diajak teman. Dari menonton dia stand up comedy, saya tahu bahwa Ernest ini cerdas, dia bisa menyampaikan jokes sederhana namun tajam dan tanpa terdengar cheesy dan maksa. Untuk menjadi lucu itu susah, untuk menjadi lucu yang cerdas lebih susah lagi. Makanya menjadi stand up comedian lebih susah daripada menjadi pelawak di televisi yang modalnya lempar-lemparan tepung. Tapi Ernest bisa menyampaikannya dengan gayanya yang khas, menyentil sana-sini, dan bisa membuat kita sedikit banyak melakukan refleksi terhadap hidup ini sambil tertawa. Pas banget lah itu judul.
Dan karena saya sudah pernah beberapa kali menonton Ernest, saya tahu bahwa materi yang ada di buku ini sudah pernah dia sampaikan pada saat stand up. Tapi sama sekali nggak mengurangi kelucuannya. Hal lain yang saya suka adalah Ernest terlihat honest. Jujur. Apa adanya.
Mungkin saya salah (I’ve never been good in judging people’s characters), tapi yang saya lihat adalah Ernest wrote this book to express (himself), not to impress (anyone). Dan saat itulah dia menjadi lucu tanpa terlihat maksa.
Karena saya banyak menemukan buku komedi (fiksi dan non fiksi) yang mungkin karena dilabeli genre komedi, terlihat berusaha keras untuk menjadi lucu sehingga menjadi lebay dan out of place. So they failed miserably.
Yang paling mengganggu justru lebih bersifat teknis. Saya nggak tau ini kesalahan siapa, penulis, editor, yang bikin layout atau entah siapa, tapi mengganggu banget ketika nggak ada spasi di antara kata. Masya Allah, pencet space bar kan nggak ada susahnya yak? Dan karena ini minor (walaupun mengganggu kenyamanan membaca), mudah-mudahan kalau dicetak ulang bisa dibenerin.
Ini udah kepanjangan kayaknya ya. Baiklah, mari saya akhiri sampai disini. Kalau ada yang bertanya apakah saya akan membaca buku Ernest lagi? Iya. Apakah saya akan nonton Ernest (live) lagi? Kalau ada temennya sih, iya. Hehehe :D
Sekian dan salam manis dari pojokan lantai 8 Plaza Mandiri*
*Review ini dibuat maghrib-maghrib sambil nunggu meeting audit dimulai. Damn you, auditor!
Ngenest: Ngetawain Hidup A la Ernest by Ernest Prakasa is a refreshing and candid exploration of identity, race, and the often humorous struggles of growing up as a Chinese-Indonesian in a predominantly non-Chinese environment. With his sharp wit and self-deprecating humor, Ernest offers readers a glimpse into his life, sharing personal stories that are both laugh-out-loud funny and deeply relatable.
Ernest’s storytelling is engaging and approachable, with a tone that feels like you’re listening to a friend share their life experiences over coffee. He tackles complex issues, such as racism and cultural identity, with a light touch, making the book accessible to a wide audience. Despite the heavy themes, Ernest’s humor shines through, allowing him to address these topics without ever feeling preachy or overly serious.
One of the strengths of Ngenest is its honesty. Ernest doesn’t shy away from discussing the challenges he faced growing up, from dealing with stereotypes to finding his place in Indonesian society. His reflections on these experiences are both insightful and poignant, offering readers a deeper understanding of the issues faced by minority communities in Indonesia. At the same time, his ability to laugh at himself and the absurdities of life makes the book an enjoyable and often hilarious read.
The book is structured around a series of essays that each touch on different aspects of Ernest’s life, from childhood to adulthood. This episodic format works well, allowing readers to dip in and out of the book while still getting a cohesive picture of his journey. Some of the essays are more impactful than others, but the overall quality remains consistently high.
While Ngenest is primarily a humorous book, it also carries a strong message about the importance of embracing one’s identity and finding the humor in life’s challenges. Ernest’s reflections on his experiences as a minority in Indonesia are thought-provoking, but he never loses sight of the comedic elements that make the book so entertaining.
Overall, Ngenest: Ngetawain Hidup A la Ernest is a must-read for anyone who enjoys humor with a dose of reflection. Ernest Prakasa’s unique voice and perspective make this book both a funny and meaningful exploration of life’s ups and downs. Whether you’re familiar with his work as a comedian or new to his writing, Ngenest offers a delightful mix of laughter, insight, and heart.
Aku bener-bener yakin kalau Ernest tuh bisa bikin buku ini beberapa kali lebih lucu, soalnya kalau ngeliat gimana dia bawain materi di tiap stand-up comedy yang aku tonton, dia emang lucu dan candaannya lumayan cerdas.
Buku ini sempat bikin aku ngakak pas baca bagian awal-awal. Ke pertengahan masih senyum-senyum gak jelas, tapi makin ke belakang kok Ernest malah kayak ngasih wejangan yang kesannya tuh bukan sesuatu yang perlu diketawain. Bikin kening berkerut. Padahal sampai halaman terakhir pun aku masih nyimpen harapan kalau bakal ada sesuatu lagi yang pantas aku ketawain. Apalagi ini bacanya di sela-sela belajar untuk ujian akhir. Pas otak lagi mumet... mutusin buka ini lagi.
Lumayan menghibur sih. Tapi ayolah... biasanya lebih lucu dari ini. Atau mungkin efek lucunya udah berkurang karena beberapa bagian dari buku ini sudah pernah aku dengar pas nonton di Youtube ya? Entahlah...
Btw, nama anaknya Ernest cool deh. Seperti kata dia, nama anaknya itu keren. Emang dia ngasih 2 alasan kenapa dia ngasih nama anaknya Sky Tierra Solana (artinya: langit, bumi matahari). Ada alasan filosofis dan ada alasan jujur. Aku yakin sih, alasan filosofis itu baru kepikiran sekarang. Hehehehe
Entah sejak kapan aku emang suka -mungkin bukan suka, tapi suka banget.banget. dengan stand-up comedy- sampai pernah berencana untuk nonton langsung. Pokoknya sejak Radit, trus pas liat Kemal, Ge, Ernest, Panji sampe ngikutin SUCI dan nyari video-video mereka. Sebabnya mungkin karena aku selalu butuh dan selalu suka momen-momen saat aku lagi tertawa lepas. Itu asyik banget. Aku gak suka nonton OVJ atau acara komedi apapun di TV yang menurutku gagal total bikin aku ketawa dan malah cuma bikin senyum sinis. Menurutku #standupcomedy itu lawakan yang cerdas. Punya strategi yang rumit tapi akhirnya bikin orang ketawa dengan ikhlas.
Pokoknya aku tetap nunggu buku-buku Ernest selanjutnya sambil berdoa kalau Ge juga ngeluarin buku kayak gini (suka Ge karena gayanya yang songong :D), bahkan sampai Fiko, Babe, Dodit, Dzahwin dkk juga ngeluarin buku. Semoga deh.
Ga pernah nonton dan ngeliat koh ernest stand up comedy, tapi cuma denger dan liat namanya aja di twitter (selebtwit). dan penasaran sama buku #ngenest ini se-ngenes apa sih hidupnya koh ernest.. eh ternyata emang rada ngenest atau bisa dibilang cukup targis apalagi di bagian-bagian dipalak dan pengalaman cinta pertama yang ga sesuai harapan.
Dan akhirnya beli buku ini di pertengahan november dan baru dibaca kemarin 9 desember 2013 dan selesai hanya dalm waktu beberapa jam..
tau ada buku ini karena waktu itu gue ngeliat koh ernest di acara sarah sechan dan promo buku ngenest ini..
dan gue baru tau kalo koh ernest udh nulis buku juga sebelumnya tapi katanya ga laku yaa koh... hohoho mungkin karena kemahalan koh.. coba kalo harga bersahabat mungkin bisa banyak yang mau beli.. mungkin yaa :p
nah buku #ngenest ini menurut gue bisa dibaca oleh semua umur, mungkin tepatnya dari SD sampe lansia.. soalnya ya itu isinya ringan dan ada absurdnya juga..
oh iya ngebaca buku ini juga gue jadi kaya ngerasa ngebaca buku yang ya gitu deh.. ini isinya kayak catatan kehidupan koh ernest yg di rangkum menjadi seonggok buku nan dinamis dan cukup manis.
pokoknya nanti kalo mau nulis buku lagi.. mungkin bisa nyoba bikin fiksi komedi hehe.. dan nanti kalo bikin buku harganya jangan mahal-mahal biar pembaca ga lari-lari (alias abis baca buku lo di toko buku terus lari naro lagi deh bukunya di rak buku tanpa dibeli).
Ditengah maraknya buku komedi yang mirip-mirip penceritaannya, saya mencari buku komedi yang berbeda di toko buku untuk sekedar mengusir penat. saya menemukan sebuah nama cukup familier. Dialah Ernest Prakasa,komedian yang berbasis stand up comedy. Jika kalian cari di Youtube maka dia akan muncul dalam berbagai aktifitas komedi. Buku ini akhirnya saya beli seharga Rp.55.000. Ketika saya baca,buku ini merupakan bahan ketika ia sedang melakukan stand up komedi,isu-isu sensitif seperti dalam topik "kondom",ataupun ketika ia bercakap-cakap dengan Sky (anak dari Ernest),ternyata bisa menarik dan mengundang banyak gelak tawa yang tidak bosan saya baca. Apalagi sembari mengimajinasikannya. Buku ini boleh saya bilang amat ringan,baik penulisannya maupun bobot bukunya. Ditambah lagi ilustrasi yang memakan begitu banyak halaman. Isi materi dalam tiap bab hanya 2 hingga 4 halaman, sehingga mudah untuk dibaca secara acak. Tidak banyak yang bisa saya kupas didalam buku ini,walau selain nama besar seorang Ernest,ada pula materi yang tidak akan anda temui di buku komedi lain yaitu bab mengenai Air Susu Ibu. Sebuah materi ringan untuk pengetahuan,diluar komedi yang menarik untuk dibaca dan direnungkan. Akhir kata buku ini memiliki konsep yang menarik, apabila anda ingin mencoba stand up mungkin anda bisa menggunakan materi yang ada di buku ini.
Walaupun saya suka sekali penampilan Ernest waktu dia ber-stand-up comedy, saya tidak pernah menaruh ekspektasi apa-apa terhadap buku ini. Maklum, agak trauma dengan buku-bukunya Raditya Dika yang menurut saya kurang dan makin lama makin gak lucu.
Ternyata buku Ernest ini oke punya (minjem dikit istilah orang Cina Indonesia). Buku ini cukup membuat saya ketawa-ketawa kecil (berhubung bacanya numpang di Gramedia, gak pake beli, jadi kalau tertawa terbahak-bahak bisa diliatin orang). Ada beberapa bagian yang super lucu, bahkan ada beberapa bagian yang lucunya jenius. Seru.
Saya hanya punya dua kritik: 1. Agak kurang edit. Ada tuh di bab soal minoritas kalimat yang kira-kira bunyinya seperti ini, "kebanyakan orang gak mampu beli motor tapi gak suka naik kendaraan umum, makanya banyak orang yang beli motor". Saya mengerti kalau kata "motor" yang pertama harusnya diganti "mobil", tapi ya bukti editornya kurang teliti saja. Ditambah lagi dengan spasi yang kurang dimana-mana, apalagi setelah kata-kata yang dimiringkan. 2. Agak kepanjangan ya? Saya kurang yakin sih ini perasaan saya sendiri atau bukan, tapi di 5-10 bab terakhir saya merasa tidak sabar untuk membacanya. Mungkin kalau bukunya diperpendek, harganya bisa diturunkan, dan bukunya bisa lebih laku?
Secara keseluruhan, buku ini oke. Cocok untuk orang-orang yang ingin hiburan tapi bingung mau ngapain.
“Ngenest: Ngetawain Hidup Ala Ernest” bercerita tentang serba-serbi hidup Ernest Prakasa, dibagi kepada dua puluh tiga cerita pendek di dalamnya. Ringan. Bikin ketagihan tapi tidak terasa kosong. Yang pasti isinya humor berat. Dari mulai menyinggung ras, politik, lantas beranjak ke sosial. Dari yang sehari-hari sampai yang tidak pernah diperhatikan karena sepele dibahas oleh Ernest Prakasa dengan gaya humor kritisnya.
Karena keselurhan isinya ada dua puluh lebih cerita pendek, saya hanya pengin spoiler enam yang terdepan saja:
1. Woy, Cina! Bercerita tentang ras Tionghoa yang sering menjadi kaum minoritas di tengah masyarakat Indonesia, begitu pun kisah hidup kedua keluarganya sebagai kaum minor.
2. Gejala Kecanduan Twitter Sekadar berisi kuisioner yang menjurus kepada tren penggunaan Twitter belakangan ini. Kesan saya: saya nge-skip bagian ini karena kurang menggigit sih walaupun saya suka dengan sentilannya kepada masyarakat Indonesia yang terlalu keranjingan sosial media.
3. Koh Ahok Jagoanku Bisa dibilang Ernest bias dengan wakil gurbernur yang satu ini. Masih berhubungan dengan bab yang pertama.
Sejujurnya, buatku pribadi agak susah memberikan penilaian terhadap buku ini tanpa mengait-ngaitkannya dengan sosok penulisnya, Ernest Prakasa. Terasa agak susah karena bisa dibilang aku sudah mengenal Ernest sebelum dia menjadi selebriti seperti sekarang (meskipun bisa jadi Ernest-nya lupa atau malah tak kenal padaku). Intinya, buatku bukan hal mengagetkan melihatnya menjadi sengetop sekarang, karena memang sejak baru kenal dia bertahun-tahun lalu pun sudah ada tanda-tanda rejekinya menuju ke arah sana.
Anyway, buku ini lumayan lucu dan menghibur. Tidak sampai membuat jidat berkerut karena sok njelimet atau pretensius biar terlihat pintar. Kalau tak percaya, baca saja komentar-komentar yang dicantumkan di cover belakang buku ini. Satu hal yang disepakati oleh semua pembaca, buku ini begitu ringan, baik dari segi bobot isi maupun bobot berdasarkan gravitasi. Saking ringannya, buku ini bisa selesai dibaca dalam tempo sesingkat-singkatnya, tidak sampai dua jam. Bagi seorang slow reader seperti diriku, tentu saja ini merupakan sebuah prestasi.
Asli kocak banget nih buku..sekoplak & segokil pengarangnya, ga heran sih g..
Dan ini paragrap yang selalu bikin g ngakak tiap kali ngulang bacanya..hadeh...
Selesai makan,sayangnya,gue pun harus bayar.Ditotal sama pajak dan tip,genap setengah juta duit gue angus disitu.Gak rela,asli.Gak rela duit segitu bakal berakhir di jamban.Menjadi seonggok tokai.Tau gitu mendingan gue beli sepatu baru.Kalo sepatu mau lo pake berapa taun pun gak akan bertransformasi jadi tokai.Dia nginjek tokai sekalipun, gak akan berubah jadi tokai.Nyesek lah pokoknya.Sanking nyeseknya, gue sempet ga mau buang air besar selama hampir seminggu.Ga ikhlas.
Wkwkwk...lebay !
Selamat menikmati "Ngetawain hidup ala Ernest" ya gaes...Sangat menghibur & bikin sakit perut smp akhr.