Pada usia berapa kamu percaya bahwa dirimu spesial, unik, dan di atas rata-rata?
Lalu, pada usia berapa kamu sadar bahwa dirimu ternyata hanya orang biasa, seperti kebanyakan manusia lainnya?
Kapan kamu mulai menerima bahwa ternyata hidup menjadi orang biasa bukanlah suatu masalah yang luar biasa?
Buku Tak Masalah Jadi Orang Biasa berisi pengalaman, penghayatan, tinjauan ilmiah, dan opini, mengenai peran dan status manusia di hadapan sesama manusia. Buku ini mengajak pembaca untuk berpikir dan bertanya ulang tentang hidup seperti apa yang mesti manusia jalani.
Cara pandang yang ditawarkan buku ini sangat humanis, berbeda dengan cara pandang industri yang memandang manusia sebagai mesin produksi yang bisa diperlombakan demi keuntungan sebesar-besarnya.
Membaca buku ini berarti mengembalikan hak setiap orang untuk menjadi manusia biasa.
Terdorong dampak Pandemi, Penulis mengejawantahkan perdebatan dalam dirinya mengenai manusia "biasa" dan "luar biasa". Penulis mengulik segala hal dalam diri untuk mencari esensi. Sebelum pembaca diajak menyelami diri penulis, diawal, pembaca dipahamkan akan konteks "luar biasa" yang dimaksudkan penulis.
Tak ada yang salah dengan "ambisi" atau "tanpa ambisi", karena karakter tiap orang berbeda. Nah disinilah maksud yang kutangkap dari buku ini, yakni lebih mengenali kemampuan diri sendiri, menikmati apapun peran yang dilakoni. Mempertanyakan kembali esensi dari tindakan yang kita pilih.
Baca buku ini makin meyakinkanku akan "standar pribadi" yang tak sama, belum tentu yang dia lakoni cocok untuk aku, begitu pula sebaliknya. Jangan sampai melakukan pembelaan diri dengan menjatuhkan "standar" orang lain. Semacam, "ipk itu ga penting, yang penting itu relasi". Padahal, ada orang yang emang jago di akademis, ada juga yang jago di non-akademis. Sama pentingnya, semuanya punya jalan. Ada lagi "baca buku tuh jangan cepet-cepet, ga bisa nikmatin loh", padahal bisa jadi dengan cepat itulah dia bisa nikmatin. Pengasuhan, Financial, Hobi, Pekerjaan, dll, Intinya ga ada standar baku bagi tiap orang.
Kelebihan dari buku ini, selain bahasan daging yang mengalir membacanya, juga ada ilustrasi cantik, sorotan quotes, Tipografinya ramah di mata.
Buku ini aku rekomendasikan bagi pembaca yang tak ingin terlalu tenggelam ke dalam overthinking dan insecure.
Jangan salah paham dengan judulnya ya kawan. Penulis menuturkan di awal buku, bahwa buku ini bukan bertujuan untuk menghalangi seseorang utk berambisi menjadi luar biasa. Bahwa buku ini tak dibuat utk membenarkan sikap malas dan asal-asalan dalam bekerja. Maksud penulis ialah: "Menjadi orang biasa bukan berarti tidak berusaha menjadi berguna. Menjadi orang biasa artinya memahami bahwa untuk menjadi berguna kita bisa melakoni peran-peran yang dekat dan sederhana". . Pernah gak, merasa insecure ketika melihat teman-teman kita memasang story di instagram mereka? Tentang kehidupannya, pencapaiannya dan lain-lain. Lalu terbesit pikiran, kenapa aku tertinggal dari mereka? Kenapa aku tak seambisius mereka? Kenapa aku tak seproduktif mereka? Kenapa aku tak secantik mereka? dan lain-lain. . Hidup itu "sawang sinawang", kata orang Jawa. Hakekat hidup itu hanyalah persoalan bagaimana seseorang memandang atau melihat sebuah kehidupan. Tak masalah jika kita hanya jadi orang biasa, yg mungkin tidak terkenal, tidak punya pengaruh besar, tidak keren. Jika hidup ini adalah sebuah permainan, maka pemenangnya bukanlah dia yg tampak hebat dari luar, tetapi dia yg merasakan tenang dalam hatinya. (Hal 116) . Membaca buku ini aku mengangguk-angguk sendiri, karena jujur saja buku ini sangat relate dengan hidupku sekarang. Buku yang ringan dibaca, cara penyampaian dari penulis menurutku mengalir begitu saja. Ditambah buku ini berwarna, selalu berwarna di setiap halamannya. Serta terdapat beberapa ilustrasi dan kutipan-kutipan kalimat pointnya. Sehingga saat membaca buku ini, aku sama sekali tidak merasa bosan. . Jadi, untuk teman-teman yg merasa insecure, buku ini saya rekomendasikan untuk dibaca. Kita semua sama. Sama-sama berperan. Apapun yg kita jalani, yg kita lakoni, kita semua pantas utk berbahagia. ❤️ .
Suka banget buku-buku seperti ini. Buku yang tetep ngingetin kita untuk tetap membumi, dan ngingetin kita untuk terus melangit menggapai tujuan hidup kita masing-masing. Tidak membandingkan dengan orang lain dan fokus dengan peran yang dijalani saat ini dengan sebaik-baiknya, dan tetap menghargai sesama manusia yang memang derajatnya sama di mata Allah. Yang paling penting dan perlu kita pertanyakan adalah bagaimana penilaian Allah terhadap diri kita? Bagaimana kedudukan kita disisiNya?
Ketika banyak orang menuliskan bagaimana cara menjadi sukses, Teh Urfa berani menantang arus. Tertarik membaca buku ini karena judul bukunya yang kontradiktif dengan keadaan sekarang. Dimana semua orang haus akan pengakuan dari orang lain. Buku ini hadir cukup menenangkan hati dan menampar kita yang telalu melihat kehidupan hanya dari kacamata dunia.
Akan terasa menenangkan saat kita ingat bahwa semua peran yang kita jalani sebenarnya hanyalah selembar karcis menuju keabadian. Halaman 196
Apapun peran yang kamu jalani sekarang, mau jadi CEO, Influencer, Tukang batu, tukang kayu, Guru, Dokter atau yang lainnya merupakan sebuah karcis untuk menuju keabadian. Semuanya sama di mata Allah SWT. Tak masalah menjadi orang biasa, karena surga pun di ciptakan untuk semua orang.
Teh Urfa menulisakn buku ini dengan begitu menyenangkan. Kalimat demi kalimat mudah di pahami dan disertai dengan tulisan-tulisan yang diberi highlight sehingga tidak bosan ketika membaca buku ini.
Sempat merasa kurang sreg dengan pembahasan penulis di awal-awal cerita tapi semakin ke belakang aku semakin nyaman membaca buku ini, sebagai pengingat bahwa kita semua manusia biasa yang punya peran di bumi ini. Saling menghargai apapun perannya.
Hanya tertarik pada bagian awal bukunya. Buku ini bicara tentang ide hidup sebagai orang tanpa label yang luar biasa, tidak merasa tertinggal hanya karena punya cita-cita biasa dan hidup dalam keadaan materi yang biasa. Sangat bagus di tengah kondisi pandemi yang bikin kita cukup sulit mengejar sesuatu karena keadaan.
Tapi, sepertinya buku ini tidak memenuhi ekspektasi aku dalam membahas "jadi orang biasa". Buku ini ibarat rem bagi mobil yang terlampau kencang. Rem ini akan membuat kita berpikir kembali tentang, "memangnya kenapa kalau kondisi kita spt ini?"
Sedangkan yang aku butuh bukan itu. Makanya rasanya terlalu lama untuk menghabiskan buku ini padahal tulisannya cukup enak dibaca.
Penulis mengawali buku ini dengan cerita masa kecilnya, memberikan gambaran awal mengenai konflik batin antara pandangan orang lain dan dirinya terhadap pemahaman mengenai ambisi menjadi orang yang berpengaruh. Selanjutnya, dari pandangan tersebut penulis mulai mengantarkan pembaca pada pertanyaan-pertanyaan tentang eksistensi diri, kemudian menuju pada jawaban-jawaban dari banyak pertanyaan tersebut.
Buku ini memberikan gambaran kepada saya bahwa menjadi orang biasa tanpa ambisi besar untuk dunia tak berarti ia terhalang untuk memberikan manfaat sebaik-baik potensi yang ada di dalam dirinya. Sebuah sisi pandang lain yang saya dapatkan, yakni mengenai keuntungan menjadi orang biasa yang juga sama dengan orang yang memiliki pengaruh, tetapi di lini yang berbeda.
Saya mengambil buku ini dalam konteks berbagi peran dalam manfaat, sebab selama perjalanan hidup saya pribadi, saya merasakan hal yang dirasakan oleh penulis, dan buku ini membantu saya dalam meyakinkan pandangan saya mengenai eksistensi diri saya.
Keuntungan buku ini adalah bahasa penulis yang komunikatif, halaman yang berwarna penuh, ditambah poin penting yang mendapatkan highlight, memudahkan pembaca untuk mendapatkan inti topik. Buku ini pun mudah diakses, tersedia buku cetak, maupun e-book, saya pribadi membeli buku elektronik untuk menghemat tempat penyimpanan.
Sebab saya membaca melalui gawai, warna buku yang cerah cenderung membuat mata sedikit lelah, tapi terbayar dengan keuntungan yang saya dapatkan dari buku ini.
Kalau boleh kuumpakan, buku ini tuh seperti obat di tengah kehidupan yang mulai serba terburu-buru. Buru-buru pengen jadi A, buru-buru pengen punya B, dan dikejar banyak hal yang sebenarnya gak ada yang meminta juga kita mengejar itu semuanya.
Sebagai contoh, liat teman yang sudah jadi founder di usia 20; melihat kawan seusia yang sudah punya karir mapan; melihat teman kecil yang sudah bisa ini dan itu; sedangkan melihat ke dalam diri? Rasanya kayak gak tau apa yang mau dibanggakan. Saat orang bertanya, "kamu lagi sibuk apa sekarang?"
Dan pertanyaan-pertanyaan basa-basi yang gak jarang melukai, ah rasanya pengen tenggelam aja deh dari bumi. Terus akhirnya merasa malu sama diri sendiri karena merasa gak tau ih apa yang harus kubanggain dari diriku. Gitu deh pokoknya. Relate? Ya, karrna memang begitulah nyatanya hidup kita saat ini. Semuanya serba diukur dari standar kebanyakan yang gak tau itu yan nyiptain siapa sih wkwkwk
Buku yang sangat menggambarkan keadaanku saat ini, Penggambaran pemikiran yang ditulis dengan hasil kehawatiran penulis tentang menyikapi dunia yang terbiasa dengan hustle culture, bukan menolak hustle culture, tapi membuatku berfikir ulang terkait padangan apa itu produktif?
Produktif itu berasal dari kata produktifitas yang biasanya digunakan untuk produksi dalam sebuah factory? Aneh ngga si manusia disamakan dengan barang? Bagaimana kalau mengubah produktif menjadi bermanfaat? Sepertinya lebih cocok untuk manusia. Jika tolak ukurnya bermanfaat maka meluangkan waktu untuk keluarga juga bermanfaat, tidur dikondisi ultra lelah juga bermanfaat, kerja juga bermanfaat.
Sekian banyak buku dengan kalimat motivasi yang dibaca, buku ini menjadi buku yang paling bisa saya terima dengan akal dan hati.
Menerima diri kita yang bukan seorang dengan gelar hebat, bukan seorang dengan popularitas yang besar, bukan seorang yang cantiknya dipuja seantero jagat raya, dan bukan seorang dengan kekayaan berlimpah tak habis tujuh turunan.
Menerima diri kita dengan peran-peran kecil kita, yang sering kita lupakan manfaat dan kebaikannya.
Menerima diri kita yang tak luar biasa, karena tak masalah jadi orang biasa.
Setiap lembarnya begituuuu saya banget. Apalagi banyak bagian dalam buku ini bertutur dari sudut pandang seorang ibu rumah tangga, yang merasa dunianya hanya itu itu saja dan ia hanya berperan dalam rutinitas itu-itu saja yang seringkali dipandang sebelah mata. Mengapa tidak bintang 5? Karena ada beberapa bagian dalam buku ini yang 'lari kemana mana', maksudnya, pikiran penulis tidak terjaga di pokok bahasan yang sedang ia jabarkan dan ada beberapa bagian yang terkesan mendakwahi. But overall, really worth to read!
Walaupun judulnya Tak Masalah jadi Orang Biasa, tapi senang sekali ada disclaimer bahwa buku ini bukan untuk mengiyakan kemalasan. Part terfavorit di akhir-akhir buku.
Mengingatkan ku pada tempat yang katanya sering disebut di akhir buku, tempat menuliskan langkahku yg kecil kecil. Sama persis, alasanku memilih kata itu, karna memang langkahku yg kecil. Hehe
Ketika mungkin semua orang mempertanyakan kemana akan kau bawa hidupmu jika langkahmu kecil kecil, tapi sekali lagi langkah yang kecil kecil tadi ternyata cukup.
Banyak hal yang aku nggak sepakati dalam buku ini tapi setidaknya buku ini ngasih perspektif yang menarik bahwa gapapa kok hidup dijalani dengan biasa saja tetapi tetap dengan menjalani sebaik-baiknya peran.
Di tengah kondisi yang selelu heboh membahas 30 underpressure buku ini menyajikan bahwa tekanan hidup sesungguhnya adalah dari bagaiamana kita bereskpektasi pada diri sendiri. Perenungan yang cukup mendalam di kala pandemi.
Perspektif yang baru bahwa tak masalah jadi orang biasa, bukan sekedar orang biasa namun melangkah lebih, memaknai hidup. Aktivitas yang dijalani untuk tetap all out dan disyukuri, kesederhanaan memandang hidup (barang sesuai fungsi) tak perlu termakan gengsi yang akhirnya mempersulit hidup, lingkungan keluarga dan tetangga untuk lebih menghargai setiap pertemuan. Menjadikan hidup lebih tenang. 😉📚
Buku yang bisa dibaca dalam 3 kali duduk ini menyajikan keresahan tentang menjadi manusia. Bahwa saat kita menjadi oang yang biasa saja, kehidupan akan baik-baik saja. Ini sangat mengena untuk saya bahwa orang yang berjalan lambat bukan berarti tak mengejar apa pun. Tapi itulah jalan yang dipilih. Ini membantu saya untuk lebih realistis dalam mencapai tujuan hidup. Semangat, buku yang sangat sederhana dan menarik.
Sebuah buku bagi orang-orang biasa yang memberikan dukungan bahwa tidak masalah untuk menjadi orang yang biasa-biasa saja. Membahas pemikiran orang-orang biasa yang sering mempertanyakan mengapa dirinya tidak bisa menjadi orang yang terlihat luar biasa. Karena masing-masing orang memiliki perannya masing-masing.
Buku ini mengingatkan kita untuk kembali menjadi manusia 'biasa' ditengah - tengah gempuran teknologi dan informasi yang banyak selain itu juga mengingatkan kita untuk memanusiakan manusia. Tak masalah jadi orang biasa saja karena kita memiliki peran masing - masing dalam hidup. Hidup bukan saling mendahului kalo kata Hindia :)
Tetep agak dilematis sih pas baca buku ini, disatu sisi menjadi orang biasa ala Teh Urfa itu cocok banget buatku, tapi disisi lain ada bagian diri yang tetep berontak harus mencapai sesuatu yang besar.
Tapi perspektif tentang jadi orang biasa ini bagus banget, memberikan jawaban dari beberapa pertanyaan diri dan kehidupan.
Bukunya Teh Urfa ini seperti menjadi penawar tulisan-tulisan yang mengajak para pembacanya untuk harus poll-pollan mengejar ini dan itu. Bukan berarti meminta pembacanya untuk tidak berambisi lebih-lebih pesimis, tapi melalui buku ini aku seperti diajak oleh Teh Urfa untuk pelan-pelan menikmati proses dan hidup yang sedang aku jalani, tidak terburu-buru dan iri hati melihat pencapaian orang lain.
Saya suka cara penulis menuturkan semua yang ia pikirkan, terasa ringan dan menenangkan. Saya seperti baru saja diingatkan untuk lebih percaya diri bahwa menjadi berbeda dan biasa bukanlah kesalahan. Saya rekomendasikan buku ini kepada orang-orang yang merasa dunia tidak pernah terasa "santai" dan selalu merasa terburu-buru dalam perlombaan mencari pengakuan.
Relate banget sama aku yang lagi tingkat 4 saat ini. Mahasiswa yang dari dulu ngerasain hidup jadi mahasiswa berbeda, baik cara mikirnya maupun pandangan terkait hidup. Ketemu buku ini, fix! Saya normal normal saja. Biasa, jadi saya tidak takut jadi orang biasa.
Urfa menghadirkan sudut pandang yg berbeda dari buku-buku kebanyakan. Ia menceritakan kegelisahannya menjadi "orang yang biasa-biasa saja" serta jawaban atas kegelisahannya tersebut pada buku ini.
Barangkali kita hidup di zaman dimana orang-orang meng-glorifikasi kesuksesan sebagai sesuatu yang diukur dengan angka-angka, pencapaian di atas rata-rata, koneksi di berbagai bidang dan kalangan, dan segala hal berkilauan yang bertebaran di linimasa sosial media kita. Well, itu bagus tentu saja. Tapi berapa banyak sebenarnya orang-orang berpredikat "sukses" tersebut jika dibandingkan dengan jumlah mediocre yang mungkin juga telah berusaha semampu mereka untuk hidup sebaik mungkin?
Buku ini adalah salah satu buku yang membuatku sebagai orang-orang biasa seperti mendapat tepukan hangat di pundak. Tentang bagaimana pentingnya kita sebagai manusia tetap menghargai sesama manusia lain tanpa harus selalu memandang segala prestasi, jabatan, kekuasaan, gelar, pekerjaan, dll yang melekat pada diri kita.
Ketika sampai di halaman akhir buku ini, ada kesan mendalam yang kutangkap dan berhasil mengubah penilaianku terhadap banyak ketakutan-ketakutan yang selama ini bersemayam dalam diri. "Menjadi orang biasa ternyata tak seburuk dan semenakutkan itu, selama kita serahkan segala penilaian pada Allah semata."
Diantara buku-buku pengembangan diri yang terlihat menjanjikan begitu banyak hal, buku ini adalah buku 'paling biasa' yang kutemukan. Tapi ajaibnya, ke-'biasa-biasa saja'-an tersebut justru terasa sangat dekat dan bisa membuatku jujur pada diri sendiri untuk mengakui ketakutan-ketakutanku sebagai manusia biasa.
Dan pada akhirnya, buku yang 'biasa-biasa saja' ini berhasil membuatku belajar banyak hal dengan cara tidak biasa. Jadi, bisa dibilang, buku ini adalah buku yang menormalisasi menjadi manusia 'biasa-biasa saja' dengan cara yang istimewa buatku.
Barakallahufiik, Kak Urfa telah menuliskan buku ini <3
Pertama kali membaca judul dan cuplikan buku dari Teh Urfa, pertanyaan yang muncul di kepalaku adalah, bahasan ini nanti akan disalahpahami nggak, ya?
Habis, gagasan yang ditawarkan buku ini melawan arus kebanyakan orang, kan.
Namun ternyata pertanyaanku langsung terjawab begitu membaca konteks yang dituliskan di awal buku. Sebuah keputusan bijaksana untuk menyamakan frekuensi pembaca sebelum melanjutkan ke halaman selanjutnya ;)
Seperti biasa, Teh Urfa lagi-lagi berhasil mewakili kegelisahan dan kekhawatiran sehari-hari yang jarang kita utarakan. Sejauh ini, menurutku ini buku yang terbaik di antara karya beliau lainnya. Gaya berceritanya lebih mengalir dan blak-blakan, menyenangkan untuk diikuti.
Aku juga suka ilustrasi dan layout bukunya yang memanjakan mata. Rasanya seperti benar-benar diajak istirahat dari penatnya hidup :")
Untuk yang sedang lelah kejar-kejaran dengan dunia, mengalami quarter life crisis, atau ingin menjalani mimpi mimpi kecil yang sederhana, barangkali ini buku yang kamu butuhkan :)
Sepanjang baca buku ini, aku banyak ikut berpikir dan lebih melihat ke belakang, apa saja yang telah aku lakukan? Kemudian memberikan kelapangan hati atas aku yang selama ini memang terlalu berpikir payah akan diri sendiri.
Ternyata, banyak juga teman dekat yang bilang kalau dia sangat relate dengan buku ini. Mereka yang merasa biasa saja atas kehidupannya saat ini, merasa tidak memiliki prestasi. Padahal jika aku lihat, mereka itu sungguh keren dengan pencapaiannya.
Setelah baca buku ini aku jadi mikir, oh ternyata setiap orang memiliki pencapaiannya masing-masing. Hanya saja memilih untuk lebih fokus ke keberhasilan orang lain dan lupa bahwa diri sendiri pun memiliki prestasinya sendiri.