Jump to ratings and reviews
Rate this book

Gayatri Spivak: Ethics, Subalternity and the Critique of Postcolonial Reason

Rate this book
Gayatri Chakravorty Spivaks seminal contribution to contemporary thought defies disciplinary boundaries. From her early translations of Derrida to her subsequent engagement with Marxism, feminism and postcolonial studies and her recent work on human rights, the war on terror and globalization, she has proved to be one of the most vital of present-day thinkers. In this book Stephen Morton offers a wide-ranging introduction to and critique of Spivaks work. He examines her engagements with philosophers and other thinkers from Kant to Paul de Man, feminists from Cixous to Helie-Lucas and literary texts by Charlotte Bronte, J. M. Coetzee, Mahasweta Devi and Jean Rhys. Spivaks thought is also situated in relation to subaltern studies. Throughout the book, Morton interrogates the materialist basis of Spivaks thought and demonstrates the ethical and political commitment which lies at the heart of her work. Stephen Morton provides an ideal introduction to the work of this complex and increasingly important thinker.

216 pages, Paperback

First published January 1, 2006

8 people are currently reading
195 people want to read

About the author

Ratings & Reviews

What do you think?
Rate this book

Friends & Following

Create a free account to discover what your friends think of this book!

Community Reviews

5 stars
11 (23%)
4 stars
19 (41%)
3 stars
13 (28%)
2 stars
2 (4%)
1 star
1 (2%)
Displaying 1 - 2 of 2 reviews
Profile Image for gieb.
222 reviews75 followers
June 22, 2010
Beberapa hari yang lalu, sebuah partai mengumumkan struktur organisasi beserta orang-orangnya. Saya agak kaget, melihat nama Ullil Abshar Abdalla menjadi salah satu nama pengurus partai tersebut. Bukan apa-apa, saya hanya berpikir, bahwa orang dengan ‘pemikiran’ seperti Ullil itu seharusnya tidak tertarik dengan pola pikir partai yang penuh politik dagang sapi. Tentu, saya juga tidak ingin membatasi kemerdekaan setiap orang untuk menentukan pilihannya. Tapi hanya mencoba mencari tahu, kenapa hal semacam ini bisa terjadi. Sebelum Ullil, ada beberapa nama yang menurut saya juga seharusnya ‘haram’ masuk menjadi pengurus partai, misal Budiman Sudjatmiko, Pius Lustrilanang, dan Dita Indah Sari. Haram ini saya tekankan untuk memberikan gambaran dengan apa yang mereka pikirkan dan perjuangkan sebelum menjadi orang partai.

Setelah membaca buku ini, saya sedikit dicerahkan. Bukan tentang perdebatan peranan intelektual dalam perubahan sosial. Aktivis yang menjadi pengurus partai. Akademisi yang menjadi pengambil kebijakan di pemerintahan, dan lain-lain. Ya, ini mungkin hanya soal pilihan. Tetapi jelas jauh lebih kompleks dari sekedar pilihan “berumah di atas angin” atau “turun ke bumi”, karena melibatkan perubahan-perubahan dalam struktur dan formasi kultural, sosial, ekonomi, dan politik, baik di tingkat global maupun di tingkat lokal, sehingga bukan saja akan menentukan peran intelektual dalam perancangan dan perubahan sosial, tetapi juga menentukan arah dan bentuk keberpihakan intelektual.

Untuk itu, sebenarnya, ada persoalan besar yang tercecer setiap kali dihadapkan dengan perdebatan di atas. Adalah soal masyarakat, yang selama ini diklaim diabdi oleh kaum intelektual. Siapakah sebenarnya mereka? Siapakah mereka yang katanya lidahnya telah disambung oleh kaum intelektual ini?

Di sinilah kita memerlukan Gayatri Chakravorty Spivak, perempuan India, profesor di Universitas Pittsburgh, yang mempublikasikan tulisannya “Can the Subaltern Speak? Speculations on Widow-Sacrifice” (Dapatkah Subaltern Berbicara? Spekulasi-spekulasi tentang Bunuh Diri Janda) di jurnal Wedge. Melalui studinya tentang bunuh diri janda di India (sati), tulisan itu—yang di kemudian hari menjadi sangat berpengaruh di kalangan intelektual pascakolonial—berbicara tentang tendensi-tendensi kolonial dalam teori-teori pascakolonial. Spivak mempertanyakan kembali peran intelektual pascakolonial yang sering dikatakan bisa menyampaikan suara rakyat tertindas, suara kaum subaltern. Betulkah demikian? Betulkah kaum subaltern bisa berbicara?

Istilah “subaltern” diadopsi dari pemikir Italia, Antonio Gramsci, yang menggunakan istilah itu bagi kelompok sosial subordinat, yakni kelompok-kelompok dalam masyarakat yang menjadi subyek hegemoni kelas-kelas yang berkuasa. Petani, buruh, dan kelompok-kelompok lain yang tidak memiliki akses kepada kekuasaan “hegemonik” bisa disebut sebagai kelas subaltern.

Dalam uraiannya, Gayatri menjelaskan, sejarawan India Ranajit Guha dari Kelompok Kajian Subaltern mengadopsi gagasan Gramsci untuk mendorong penulisan kembali sejarah India yang kemudian mendefinisikan subaltern sebagai “mereka yang bukan elite”. Gagasan Guha menggeser dikotomi “menindas-ditindas” karena penindasan juga dilakukan oleh orang-orang di dalam kelompok.

Adopsi Guha atas subaltern-nya Gramsci ini menarik. Karena ia memberikan kerangka yang lebih jernih buat menganalisis soal “siapa kawan, siapa lawan” dan memaksa kita buat memeriksa ulang dikotomi-dikotomi penindasan. Gagasan Guha menggeser dikotomi-dikotomi “kolonial-antikolonial”, “buruh-majikan”, “sipil-militer”, dsb. menjadi “elite-subaltern”. Perhatian kita pada penindasan yang selama ini hanya terpusat pada “aktor-aktor luar”, kini mesti ditambah dengan perhatian kepada “aktor-aktor dalam”. Mereka yang mengatakan dirinya antikolonial bisa lebih bersifat kolonial dari pada mereka yang mengatakan dirinya kolonial.

Bagi kita di Indonesia, saat ini, ilustrasinya bisa menjadi buruh bisa menindas buruh lainnya, sipil bisa menindas sipil lainnya pula, partai yang mengaku pembela demokrasi bisa lebih fasis ketimbang partai fasis, mereka yang mengaku pembela kelompok-kelompok marjinal bisa pula justru menjadi penindas kelompok-kelompok marjinal itu dst. Saya kira rasional ini bisa menjelaskan fenomena aktivis berubah haluan menjadi pengurus partai.

Spivak dalam buku ini telah sampai pada kesimpulan bahwa kelompok-kelompok subaltern atau mereka yang tertindas memang tidak bisa berbicara. Karena itu seorang intelektual tidak mungkin bisa mengklaim dan meromantisir kemampuan mereka buat menggali dan mencari suara kelompok-kelompok subaltern. Klaim-klaim semacam ini justru bersifat kolonial, karena ia menyamaratakan (menghomogenkan) keberagaman kelompok-kelompok subaltern, dan pada akhirnya ia merupakan sebuah “kekerasan epistemologis” terhadap kelompok-kelompok subaltern. Relasi yang tercipta antara intelektual dengan kelompok-kelompok subaltern itu seperti relasi “tuan-hamba”.

Suara kelompok-kelompok subaltern tidak akan bisa dicari, karena mereka memang tidak bisa berbicara, karena mereka memang tidak bersuara. Intelektual datang bukan buat mencari suara itu, melainkan harus hadir sebagai “wakil” kelompok subaltern. Mengutip Gramsci, menurut Spivak intelektual mesti disertai “pesimisme intelek dan optimisme kemauan”: skeptisisme filosofis dalam memulihkan keagenan kelompok-kelompok subaltern yang disertai sebuah komitmen politis untuk menunjukkan posisi mereka yang terpinggirkan.

Tetapi kondisi ini juga dimaknai salah kaprah oleh Yang Terhormat Para Aktivis itu. Kita sering mendengar kelompok-kelompok marjinal yang mengatakan bahwa mereka telah “dimanfaatkan” oleh para aktivis buat menurunkan dana-dana bantuan dari lembaga-lembaga donor internasional. Dalam suatu penelitian yang menjadi bagian dari proyek pengentasan kemiskinan misalnya, kita sering mendengar sindiran masyarakat bahwa pada akhirnya aktivis-lah yang akhirnya justru mentas dari kemiskinan, sementara masyarakat sendiri tetap tinggal miskin.

Lantas siapa sebenarnya kelompok marjinal yang mau diberdayakan itu? Suara siapakah yang sebenarnya mau disampaikan? Dan bagaimanakah kita akan berbicara tentang peran intelektual dalam perubahan sosial?

Sebotol bir mungkin bisa membantu saya menjawabnya.

*Banyak dikutip dari Membaca Gayatri Chakravorty Spivak oleh Maria Hartiningsih dan Ninuk Mardiana Pambudy, termuat di KOMPAS, 12 Maret 2006 dan Intelektual, Gagasan Subaltern, dan Perubahan Sosial oleh Antariksa, termuat di www.kunci.or.id.





Profile Image for Jess orellana.
21 reviews21 followers
June 17, 2017
Diffucult text but very useful for my Literature Theory class.
Displaying 1 - 2 of 2 reviews

Can't find what you're looking for?

Get help and learn more about the design.