Tergelitik oleh imajinasi Nuraini Juliastuti dalam pengantar untuk melihat koplo sebagai teori kuasa. Sebab, sebagaimana yang berhasil dijelaskan oleh buku ini, koplo benar-benar memiliki kekuatan untuk menguji dan menggoyang kemapanan.
Menariknya, dalam dua kasus yang dibahas, keduanya menampilkan perempuan sebagai subjek yang menggoyang kemapanan melalui koplo.
Pertama, Inul dengan goyang ngebornya. Saking kuatnya efek goyang Inul, banyak yang panik/ketakutan sampai melancarkan berbagai wacana supaya ia berhenti ngebor.
Kedua, Prista dengan curahan hatinya mengenai pekerja migran yang kemudian dijadikan lirik lagu. Kasusnya sangat menunjukan potensi koplo untuk dijadikan siasat bagi "orang-orang (menolak) kalah". Kasus Prista inilah ternyata yang ada di balik judul buku ini.
Berbicara soal kuasa tidak melulu perihal yang besar, tetapi juga pada hal-hal kecil bahkan hal-hal yang kita sukai seperti musik. Dari ragam musik yang ada, dangdut merupakan contoh kecil nan dekat dengan kehidupan.
Buku ini berbicara soal praktik kuasa pada musik dangdut khususnya dari adanya dangdut koplo. Seakan ada sebuah 'gerbang' yang didobrak, di mana penjaganya tak terima batasannya yang dilanggar.
Pertanyaannya, siapa pembuat 'gerbang'? Dan mengapa 'gerbang' itu dibuat dan membatasi?
Buku ini berfokus pada fenomena pencekalan Inul Daratista beberapa tahun silam. Selain itu juga menyoroti tentang bagaimana dangdut berkembang.
Meski saya bukan pendengar dangdut yang budiman, buku ini menarik untuk dibaca sekaligus berguna untuk mengasah pemahaman kita akan kuasa-kuasa yang ada di sekitar.
Memang menelisik perihal medium musik itu general sekali, tetapi buku ini memberikan gambaran akan palung dalam akan post kontemporer akan musik terutama dangdut, genre yang bagi khalayak disukai & dirundung juga, pemaparan akan buku ini sangat ciamik untuk di bahas lebih lanjut bagi pencinta analisis media dewasa ini, penggambaran akan sosok genre dangdut dan relasi kuasa, buku ini bisa masuk dalam sosiopolitk karena analisis wacana yang di berikan memberikan pouchline yang berati bagi pembaca dan masa depan analis perihal tema segaris ini.
bukan sekedar musik; Dangdut Koplo memiliki sejarah yang panjang. Acap kali disebut sebagai musik kampungan, pembajakan yang menjamur, terdapat praktik kuasa, curhatan masyarakat dalam syairnya - namun Dangdut Koplo terus memiliki resistansi, mengklaim kembali kekuatannya.
Inul memang adalah sensasi, tapi Rhoma Irama lebih geli lagi. Dulu si raja adalah pencipta lagu-lagu perlawanan, sampai kena boikot tahun 1970 sama pemerintah, dilarang tampil di TVRI. Namun akhirnya si raja goyah juga, terbukti akhirnya tampil sebagai juru bicara kampanye Golkar. Toh, ternyata, itu juga yang ia lakukan ke Inul: pelarangan. Si raja juga suka bikin pendisiplinan tubuh dan seksualitas perempuan. Inul nda boleh ngebor, kerna itu nda nujukkan "perempuan baik". Tapi mbuh, dia sendiri pernah kedapatan di apartemen dengan artis perempuan juga.
Buku ini serius, tapi juga bisa kamu baca sambil membayangkan apa yang terjadi antara seteru Rhoma dan Inul, bisa sambil gosip. Irfan tegas sekali dalam menyajikan pemikirannya. Marjin Kiri, yang selalu saya suka, berani ambil jalan menerbitkan buku-buku yang punya usia panjang. Saya rasa buku ini akan menjadi rujukan bagi siapa saja yang tertarik meneliti dangdut, dangdut koplo, dangdut pop, dangdut pantura, dsbnya.