Gayatri Chakravorty Spivak, lahir di Calcutta pada tanggal 24 Februari 1942. Wanita keturunan kelas menengah India ini lulus dari Universitas Calcutta pada tahun 1959 kemudian meraih gelar Master dan Doktor dari Fakultas Sastra Inggris di Universitas Cornell, Ithaca, New York. Kini Spivak mengajar di Universitas Iowa. -- Spivak dikenal luas atas kontribusinya yang sangat besar terhadap kajian Poskolonial. Karya-karyanya meliputi pemikiran postrukturalis, kritik sastra, filsafat kontinental, psikoanalisis, teori feminis, gender, dekontruksi, Marxisme, Posmarxisme dan Poskolonilisme. Ciri khas dan kehebatan analisisnya adalah pada sudut pandang Kaum Subaltern yang tertindas oleh kolonialisme, ketidakadilan gender, kebijakan pembangunan internasional dan sebagainya. -- Bersama dengan Edward Said dan Homi Babha, Spivak menjadi juru bicara terakhir dan tokoh penting dalam ranah kajian Poskolonial dan Kaum Sulbatern. Dalam hal ini para ilmuwan sosial berhutang budi kepadanya.
Beberapa hari yang lalu, sebuah partai mengumumkan struktur organisasi beserta orang-orangnya. Saya agak kaget, melihat nama Ullil Abshar Abdalla menjadi salah satu nama pengurus partai tersebut. Bukan apa-apa, saya hanya berpikir, bahwa orang dengan ‘pemikiran’ seperti Ullil itu seharusnya tidak tertarik dengan pola pikir partai yang penuh politik dagang sapi. Tentu, saya juga tidak ingin membatasi kemerdekaan setiap orang untuk menentukan pilihannya. Tapi hanya mencoba mencari tahu, kenapa hal semacam ini bisa terjadi. Sebelum Ullil, ada beberapa nama yang menurut saya juga seharusnya ‘haram’ masuk menjadi pengurus partai, misal Budiman Sudjatmiko, Pius Lustrilanang, dan Dita Indah Sari. Haram ini saya tekankan untuk memberikan gambaran dengan apa yang mereka pikirkan dan perjuangkan sebelum menjadi orang partai.
Setelah membaca buku ini, saya sedikit dicerahkan. Bukan tentang perdebatan peranan intelektual dalam perubahan sosial. Aktivis yang menjadi pengurus partai. Akademisi yang menjadi pengambil kebijakan di pemerintahan, dan lain-lain. Ya, ini mungkin hanya soal pilihan. Tetapi jelas jauh lebih kompleks dari sekedar pilihan “berumah di atas angin” atau “turun ke bumi”, karena melibatkan perubahan-perubahan dalam struktur dan formasi kultural, sosial, ekonomi, dan politik, baik di tingkat global maupun di tingkat lokal, sehingga bukan saja akan menentukan peran intelektual dalam perancangan dan perubahan sosial, tetapi juga menentukan arah dan bentuk keberpihakan intelektual.
Untuk itu, sebenarnya, ada persoalan besar yang tercecer setiap kali dihadapkan dengan perdebatan di atas. Adalah soal masyarakat, yang selama ini diklaim diabdi oleh kaum intelektual. Siapakah sebenarnya mereka? Siapakah mereka yang katanya lidahnya telah disambung oleh kaum intelektual ini?
Di sinilah kita memerlukan Gayatri Chakravorty Spivak, perempuan India, profesor di Universitas Pittsburgh, yang mempublikasikan tulisannya “Can the Subaltern Speak? Speculations on Widow-Sacrifice” (Dapatkah Subaltern Berbicara? Spekulasi-spekulasi tentang Bunuh Diri Janda) di jurnal Wedge. Melalui studinya tentang bunuh diri janda di India (sati), tulisan itu—yang di kemudian hari menjadi sangat berpengaruh di kalangan intelektual pascakolonial—berbicara tentang tendensi-tendensi kolonial dalam teori-teori pascakolonial. Spivak mempertanyakan kembali peran intelektual pascakolonial yang sering dikatakan bisa menyampaikan suara rakyat tertindas, suara kaum subaltern. Betulkah demikian? Betulkah kaum subaltern bisa berbicara?
Istilah “subaltern” diadopsi dari pemikir Italia, Antonio Gramsci, yang menggunakan istilah itu bagi kelompok sosial subordinat, yakni kelompok-kelompok dalam masyarakat yang menjadi subyek hegemoni kelas-kelas yang berkuasa. Petani, buruh, dan kelompok-kelompok lain yang tidak memiliki akses kepada kekuasaan “hegemonik” bisa disebut sebagai kelas subaltern.
Dalam uraiannya, Gayatri menjelaskan, sejarawan India Ranajit Guha dari Kelompok Kajian Subaltern mengadopsi gagasan Gramsci untuk mendorong penulisan kembali sejarah India yang kemudian mendefinisikan subaltern sebagai “mereka yang bukan elite”. Gagasan Guha menggeser dikotomi “menindas-ditindas” karena penindasan juga dilakukan oleh orang-orang di dalam kelompok.
Adopsi Guha atas subaltern-nya Gramsci ini menarik. Karena ia memberikan kerangka yang lebih jernih buat menganalisis soal “siapa kawan, siapa lawan” dan memaksa kita buat memeriksa ulang dikotomi-dikotomi penindasan. Gagasan Guha menggeser dikotomi-dikotomi “kolonial-antikolonial”, “buruh-majikan”, “sipil-militer”, dsb. menjadi “elite-subaltern”. Perhatian kita pada penindasan yang selama ini hanya terpusat pada “aktor-aktor luar”, kini mesti ditambah dengan perhatian kepada “aktor-aktor dalam”. Mereka yang mengatakan dirinya antikolonial bisa lebih bersifat kolonial dari pada mereka yang mengatakan dirinya kolonial.
Bagi kita di Indonesia, saat ini, ilustrasinya bisa menjadi buruh bisa menindas buruh lainnya, sipil bisa menindas sipil lainnya pula, partai yang mengaku pembela demokrasi bisa lebih fasis ketimbang partai fasis, mereka yang mengaku pembela kelompok-kelompok marjinal bisa pula justru menjadi penindas kelompok-kelompok marjinal itu dst. Saya kira rasional ini bisa menjelaskan fenomena aktivis berubah haluan menjadi pengurus partai.
Spivak dalam buku ini telah sampai pada kesimpulan bahwa kelompok-kelompok subaltern atau mereka yang tertindas memang tidak bisa berbicara. Karena itu seorang intelektual tidak mungkin bisa mengklaim dan meromantisir kemampuan mereka buat menggali dan mencari suara kelompok-kelompok subaltern. Klaim-klaim semacam ini justru bersifat kolonial, karena ia menyamaratakan (menghomogenkan) keberagaman kelompok-kelompok subaltern, dan pada akhirnya ia merupakan sebuah “kekerasan epistemologis” terhadap kelompok-kelompok subaltern. Relasi yang tercipta antara intelektual dengan kelompok-kelompok subaltern itu seperti relasi “tuan-hamba”.
Suara kelompok-kelompok subaltern tidak akan bisa dicari, karena mereka memang tidak bisa berbicara, karena mereka memang tidak bersuara. Intelektual datang bukan buat mencari suara itu, melainkan harus hadir sebagai “wakil” kelompok subaltern. Mengutip Gramsci, menurut Spivak intelektual mesti disertai “pesimisme intelek dan optimisme kemauan”: skeptisisme filosofis dalam memulihkan keagenan kelompok-kelompok subaltern yang disertai sebuah komitmen politis untuk menunjukkan posisi mereka yang terpinggirkan.
Tetapi kondisi ini juga dimaknai salah kaprah oleh Yang Terhormat Para Aktivis itu. Kita sering mendengar kelompok-kelompok marjinal yang mengatakan bahwa mereka telah “dimanfaatkan” oleh para aktivis buat menurunkan dana-dana bantuan dari lembaga-lembaga donor internasional. Dalam suatu penelitian yang menjadi bagian dari proyek pengentasan kemiskinan misalnya, kita sering mendengar sindiran masyarakat bahwa pada akhirnya aktivis-lah yang akhirnya justru mentas dari kemiskinan, sementara masyarakat sendiri tetap tinggal miskin.
Lantas siapa sebenarnya kelompok marjinal yang mau diberdayakan itu? Suara siapakah yang sebenarnya mau disampaikan? Dan bagaimanakah kita akan berbicara tentang peran intelektual dalam perubahan sosial?
Sebotol bir mungkin bisa membantu saya menjawabnya.
*Banyak dikutip dari Membaca Gayatri Chakravorty Spivak oleh Maria Hartiningsih dan Ninuk Mardiana Pambudy, termuat di KOMPAS, 12 Maret 2006 dan Intelektual, Gagasan Subaltern, dan Perubahan Sosial oleh Antariksa, termuat di www.kunci.or.id.