Saya surprised waktu membca buku ini. Sebenarnya membaca buku ini memang karena lagi ada PR untuk lebih mengetahui mengenai Sudjojono. Tapi ternyata saya jadi lebih asyik mengenal Mia Bustam. Gambarannya yang lugas mengenai Sudjojono sangat membantu untuk memahami ybs sebagai manusia dan seniman. Dan surprisingly, ceritanya mengalir enak dibaca dan memperkaya kita dengan pandangan-pandangannya. Tidak saja gambaran mengenai Sudjojono yang kita dapatkan di situ tetapi juga potret mengenai saat- saat revolusi, dan betapa manusianya manusia. Mia wanita hebat, dan perkembangannya dari istri yang swarga nunut neraka katut menjadi wanita yang harus mandiri sangat menarik. Saya membaca bahwa buku ini ditulisnya waktu usianya sudah 9 windu, atau tahun - tahun sekitar itu, tetapi freshness dari ceritanya, kekinian emosinya sangat nyata, dan seolah-olah kita menjadi salah satu tetangganya yang mengikuti hidupnya dari hari ke hari. Sekarang saya sedang mencari buku Dari Kamp ke Kamp buku cerita babak kehidupan berikutnya dari bu Mia.
Saya kagum dengan Mia Bustam di banyak hal setelah selesai membaca bukunya ini. Ingatan yang tajam, wawasannya yang luas, ketegaran hatinya, dan caranya mendidik anak-anaknya; terlebih ketika lepas dari Sudjojono adalah sesuatu yang sulit saya bayangkan untuk bisa dilakukan oleh banyak perempuan, dan itulah sumber utama kekaguman saya terhadap Mia Bustam. Dan buku ini merangkum semua hal itu dengan baik.
Memoar ini membantu memahami bukan saja perjalanan hidup Mia Bustam, tetapi juga kondisi Indonesia di zaman pendudukan Jepang, awal kemerdekaan, Agresi Militer Belanda I & II, sampai kemudian masa pasca kemerdekaan sebelum pecahnya peristiwa '65, dan kisah hidup dari Sudjojono. Dikisahkan dengan baik bagaimana watak, pendirian, idealisme, dan perubahan Sudjojono dari seorang suami dan bapak yang merawat dengan baik keluarganya sampai kemudian pada akhirnya tega 'menelantarkan' anak-anaknya yang berjumlah delapan dari hasil pernikahan dengan Mia Bustam. Hal ini diungkapkan langsung juga pada Appendiks buku ini yang memuat tulisan dari delapan anak-anaknya pertama.
Perasaan saya naik turun membaca yang dikisahkan Mia Bustam tentang Sudjojono di bukunya ini. Mulai dari kagum, sedih, emosi, sampai kemudian perasan itu ditutup dengan perasaan kasian kepada sang maestro. Ya, saya setuju dengan yang dirasakan Mia Bustam terhadap Sudjojono, bahwa Ia merasa iba dengan hidup yang dijalani mantan suaminya ini pasca Ia bercerai sampai akhir hayatnya di tahun 1986.
Seseorang dengan idealisme tinggi, memiliki detail yang menawan dari setiap karyanya, dan pendirian yang teguh dalam membela sesuatu yang dirasanya benar pada akhirnya harus meredam hanya karena (mungkin) keberaniannya yang menciut di hadapan istrinya yang kedua. Membayangkan hidup seperti itu, tidak ada kata lain selain iba.
Tapi bagaimanapun, ia tetaplah seorang maestro. Untuk sesuatu di luar keagungannya itu, khususnya kehidupan pribadinya, saya meminjam kata yang dipakai Mia Bustam untuk menyambut Tedja (anak pertamanya) setelah belasan tahun ditahan sebagai Tapol di Pulau Buru: "C’est la vie, Tedja."
Buku ini buku kedua karangan Mia Bustam yang saya baca, setelah dari Kamp ke Kamp yang menceritakan perjalanan Mia sebagai tahanan politik Indonesia tahun 1965. Buku ini ia selesaikan ketika ia berusia sembilan windu (penanggalan Jawa untuk 9x8 tahun -- 72 tahun); namun rasa rasanya buku ini masih dilingkupi emosi dan perasaan perasaan aktual ketika ia menjalani hidup bersama dengan Sudjojono dan delapan anaknya. Mía perempuan hebat, ia tumbuh dari jenis perempuan Jawa (di masanya) yang "swarga nunut, neraka katut" menjadi perempuan mandiri dan memiliki pendirian kuat. Banyak bagian hidupnya yang membuat saya sebagai pembaca penasaran. Buku dihadirkan dengan pendekatan naratif kuat. Sebagai pembaca saya merasa seperti berdiri dan berjalan di belakang cerita Mia. Membuat membaca buku ini menjadi penuh warna saking serunya. Banyak bagian membuat saya tertawa; seperti kisah kelahiran anaknya si Watu Gunung yang kerap sakit sakitan dan menurut dukun Jawa namanya harus diganti menjadi Sugiyanto setelah ngebel Kanjeng Ratu Kidul. Beberapa bagian (terutama jelang perpisahan Mia dan Sudjojono) membuat saya memaki. Kenapa Sudjojono harus jadi laki laki gatel dan nyebahi? Tapi buku ini juga membuat mata saya hampir basah membaca jatuh bangkit kehidupan Mia Bustam.
Memoar pertama Mia Bustam ini menceritakan tentang sosok Mia Bustam ketika bertemu dengan Sudjojono, masa-masa rumah tangganya hingga masa ketika rumah tangganya harus kandas.
Pada memoar ini, ia menceritakan dengan cukup detail tentang kehidupannya bersama Sudjojono, dan juga kehidupan berpolitik dan kesenian Sudjojono. Ia juga menceritakan cerita-cerita yang disampaikan Sudjojono kepadanya, cara berpikir Sudjojono tentang lukisan, tentang para pelukis, tentang kritiknya terhadap ini dan itu, hingga cara berpikir Sudjojono sehari-hari. Meskipun penyampaiannya sangat detail dan terasa begitu akrab, tapi di sisi lain juga terasa jauh. Ada semacam tembok besar yang menghalangi antara Mia Bustam dan Sudjojono. Hal ini bisa dirasakan saat membaca, karena ada sifat 'objektif' di dalamnya.
Meskipun demikian, Bu Mia tidak menghilangkan unsur subjektifnya saat menceritakan pengalaman yang ia rasakan sendiri terhadap suatu situasi yang berhubungan dengan Sudjojono. Misalnya, ketika di bab pembahasan ketika hubungan Bu Mia dan Sudjojono renggang. Ia tidak menghilangkan perasaan kecewa, sedih, dan marahnya terhadap Sudjojono. Meskipun tidak secara terang-terangan, tapi dari kalimat yang dipilih kita tahu bahwa kesalahan pertama disini adalah di Sudjojono.
Memoar ini membuat kita banyak berpikir, terutama tentang kehidupan para perempuan Indonesia pada saat itu, kondisi politik, kondisi para seniman dan terutama pelukis dan kontribusi mereka terhadap negara. Banyak hal baru yang saya temukan di dalam buku ini, yang tentunya sangat menarik.
This entire review has been hidden because of spoilers.
Memoar ini ditulis dari sudut pandang Mia Bustam, yang menurutku disampaikan dengan cukup obyektif meskipun beliau adalah seseorang yang pernah menjadi istri Sudjojono. Ini merupakan memoar pertama dari tetralogi memoar Mia Bustam. Ketika aku mengetahui bahwa Mia Bustam menulis memoar ini, aku berusaha mengingat-ngingat apakah ada sekelumit dari diri beliau yang aku dapatkan ketika terakhir mengunjungi galeri Cemara 6 di Menteng, dimana beberapa karya-karya Sudjojono dipamerkan, dan dengan segera aku langsung mencari memoar ini karena, well...sosok wanita di belakang bayang-bayang Sudjojono, sudah pasti menarik dan memiliki kualitas yang memikat. Benarlah bahwa Mia Sudjojono ternyata seorang wanita yang terampil dan tegar. Dirinya yang pendiam dan pemalu, namun dengan pengetahuan yang luas bisa menjadi kawan diskusi Sudjojono dari jaman awal kemerdekaan sampai revolusi. Banyak kisah-kisah sejarah yang menarik juga dituturkan disini, mengingat Sudjojono merupakan sosok yang dekat dengan Bung Karno. Aku nggak sabar untuk menuntaskan tetralogi ini. Kisah-kisah selanjutnya menuturkan Mia Bustam sebagai tahanan politik (btw aku juga baru ingat bahwa Tedjabayu, yang memoarnya juga cukup membekas di hati saya, merupakan anak kandung dari Sudjojono dan Mia Bustam).
Akhirnya selesai juga buku ini setelah sekian lama ga ke perpus. BAGUS BANGETT
Mia, you deserve the world❤️
Sudjojono dan Aku merupakan sebuah memoar apik yang menceritakan keluarga Sudjojono, Bapak Pelukis Modern Indonesia. Mia berhasil menggambarkan keadaan masa lalu yang diguratkan secara rinci namun tidak membosankan.
Melihat dari perspektif Mia, mengajarkanku bahwa pada hakekatnya manusia akan berubah. Seperti bagaimana kita dinujukkan 'kehidupan lain' dari sang tokoh Sudjojono. Yang tak jauh dari andil sang Istri pertama.
Tidak sengaja check-out buku ini dari Kedai Pataba di aplikasi hijau karena sedang suka-sukanya menyelami kisah-kisah pergantian dari Orde Lama ke Orde Baru. Membacanya pun ketika di waktu senggang di saat sedang menunggui anak bermain. Surprisingly, ceritanya mengalir dan menarik, membuat saya tercandu ingin membacanya terus menerus. Bahasanya mudah dipahami, dan gambaran bu Mia tentang masa-masa pendudukan Belanda, Jepang, hingga menjelang dan masa awal kemerdekaan diceritakan dari kacamata akar rumput warga perkotaan di masa itu.
Di samping catatan pribadi yang lengkap menggambarkan hubungan antara Sudjojono dan Mia Bustam, buku ini juga jelas mendeskripsikan lingkungannya ketika itu. Dari Hindia Belanda, sampai pasca kemerdekaan.
Berjodoh dengan Mia Bustam dari waktu ke waktu, membuat saya memikirkan ulang segalanya ketika harus membaca buku ini ulang. Banyak sekali hal yang berseliweran dari kepala saya untuk hanya membayangkan bagaimana seseorang seperti Mia bisa bertahan menghadapi terpaan demi terpaan kehidupan. Memilih menjadi istri seorang seniman seperti Sudjojono, yang dibelanya dalam susah dan senang. Namun bagaimana ia pun bisa tegas mengambil sikap tidak mau dimadu dan dengan tegar berdiri di atas kakinya sendiri untuk menjadi seorang Mia Bustam. Bagaimana ia menjadi seorang ibu tunggal atas delapan anaknya. Bagaimana ia dipisahkan oleh mereka selama 14 tahun dengan dipenjara tanpa pengadilan oleh Orde Baru, karena keanggotaan aktifnya di Gerwani dan Lekra.
Bagaimana seorang Sudjojono mematahkan sekaligus mengecewakan saya sekaligus dalam paparan Mia yang begitu personal. Sebagai Bapak Lukis Indonesia, sosok Sudjojono untuk saya runtuh dan menjadi seorang bapak yang gagal. Karya-karya terbaik dan produktifnya dibangunnya bersama Mia. Dan caranya mencampakkan Mia bukanlah pilihan yang terhormat sebagai laki-laki. Bagaimana CC PKI pun memecatnya karena kasus perselingkuhannya dan bagaimana seorang Mia tetap bisa menghargainya walau dengan kecewaan yang mendalam. Perjalanan melalui catatan-catatan Mia adalah sebuah perjalanan kehidupan yang penuh lika liku. Mendengarkan Mia adalah mendengarkan suara-suara sunyi nan lantang seorang perempuan, yang menolak dikalahkan dan ditundukkan oleh kehidupan.