"Namaku Da, dan aku tinggal bersama Kinara, kucing gembulku, di sebuah rumah mungil di suatu kota yang jauh sekali. Pekerjaanku adalah mendengarkan cerita. Cerita siapa saja, baik tua maupun muda; laki-laki atau perempuan; golongan kaya, miskin, menengah, menengah yang rendah hati, atau pun kaum menengah yang ngehe. Aku memanggil mereka dengan sebutan para pencerita. Sedangkan mereka menyebutku si pendengar cerita. Dan kau sedang membaca buku catatanku tentang para pencerita."
Avenoir menggambarkan sebuah dilema klise yang muncul setiap kali kita berbicara tentang masa lalu, membuka album foto lama, membaca surat dari masa lampau, atau ketika secara tak sengaja memori lama kita terbangunkan oleh benda-benda kenangan. Dilema itu berbunyi: apakah kita mesti membiarkan masa lalu menuntun kita ataukah kita yang harus menggamit tangan dan menuntunnya?
Avenoir adalah buku kumpulan peristiwa, namun saling terhubung antar cerita. Bukan antologi dengan cerita berbeda, lebih tepatnya novel yang mengisahkan tentang seorang pencerita bernama Da.
Dari Da, kita belajar bahwa luka membuat seseorang lebih peka. Da yang memiliki jarak emosi dengan ibunda, Da yang harus bercerai karena rumah tangganya terbangun tanpa cinta, Da yang yang harus mengundurkan diri sebagai seorang guru BK karena merasa gagal menyelamatkan anak didiknya. Akhirnya, Da memutuskan membuat pojok rumahnya menjadi tempat yang nyaman orang-orang datang, di sana Da, mendengar berbagai cerita.
Da seorang diri, lebih tepatnya ditemani seekor kucing manja bernama Kinara. Kesepian adalah makanannya sehari-hari. Setalah Da, kemudian muncul Hanafi si pencerita pertama di buku ini. Hanafi membawa luka masa lalu yang menganga, kebencian terhadap ayahnya sulit dilenyapkan karena begitu penuh tanya.
Bagaimana tidak? Seorang bapak yang baik, memenuhi berbagai kebutuhan keluarga, mencintai keluarga, sosok yang sangat sempurna selama hidupnya. Meninggalkan luka mendalam, dua hari setelah kematian, di saat masih penuh dengan kedukaan, seorang wanita datang bersama dua anaknya, menggugat warisan. Ternyata, bapak yang sangat sempurna itu, punya kebobrokan yang disembunyikan rapat, terbuka ketika kematian tiba. Hanafi menderita melihat ibunya yang menderita. Namun, kisah Hanafi ini adalah pembuka untuk Da bisa membuka hatinya, di akhir kisah, Hanafi, si lelaki bujangan ini menikahi Da.
Selanjutnya kisah Nyonya Wulan, seorang ibu yang 10 tahun menanti kehadiran buah hati. Kemudian Tuhan hadirkan bayi bernama Kinara, di tengah kesulitannya menjadi seorang Ibu, bayi itu meninggal ketika demam tinggi. Bayi itu dingin dan Nyonya Wulan tidak bisa menerima kenyataan itu, dimasukanlah bayi itu ke dalam kulkas agar awet. Sayangnya, semua orang menuduhnya pembunuh, di saat ia sendiri tak rela atas kematian anaknya yang tiba-tiba. Namun, nyonya Wulan memutuskan untuk memaafkan semua orang yang telah menuduhnya. Sebab, itu satu-satunya jalan agar ia bisa melanjutkan kehidupan.
Kemudian ada kisah Rangga, yang Da temui sekilas di kereta. Kisah ini tidak luput dari kisah si bapak berkacamata hitam yang marah-marah terhadap Rangga yang seorang pramuniaga. Rangga selalu salah dan kikuk menghadapi pelanggan. Ternyata, bukan Rangga tak becus, hatinya sedang runtuh meski ia berusaha menahan air matanya, ibunya telah meninggal. Da yang melihat itu merasa bahwa si Bapak berkaca mata hitam terlalu angkuh, tidak memahami dan berprasangka buruk terhadap orang lain. Lalu kemudian, saat Da hendak pergi, si Bapak berkacamata hitam melepaskan kacamatanya dan kemudian ia menelepon sesorang, matanya sembab dan ia membicarakan penceraian dengan anak gadisnya, ia merasa gagal tidak bisa mem[pertahankan ibunya.
Da merasa bahwa hidup ini penuh tipuan. Semua yang kita lihat hanya riak di permukaan. Nyatanya, manusia terlalu kompleks untuk dinilai hitam dan putih. Bencilah diri sendiri ketika kita memiliki perasaan lebih baik dan bermoral daripada orang lain.
Di buku ini, kita akan disajikan dengan berbagai kisah pencerita lainnya. Ada Shabrina, ada kisah Embun, Havi, bayu, Ayu dan lainnya. Semua kisah pencerita ini pada akhirnya mengantarkan Da pada perjalanan gidupnya sediri.
Betapa emosi dan segala jenis kesedihan para pencerita telah menguras energinya begitu besar. Da, menuliskan cerita para pencerita ini, agar ia dapat merilis emosinya dan melepasnya. Kemudian mengirimnya ke media massa. Yang kemudian, aktivitas menulisnya ini mendekatkan ia pada hanafi, si pria pembuka novel ini, yang seorang redaktur majalah.
Novel ini tak hanya bicara runtutan kejadian, tak hanya menuntaskan alur. Tetapi juga menyisipkan nilai berharga. Urfa, sang penulis novel menyisipkan cerita pendek penuh makna pribadi juga sarkas yang mengkritik fenomena sosial. Cerita pendek itu fenomena tentang manusia yang cendeung sulit beranjak dari masa lalu, dan tidak bisa menikmati masa kini. Sarkas itu tentang betapa manusia mudah mengkriti manusia lainnya tanpa melihat kedalamannya. Sarkas itu juga bercerita tentang hutan bohong, yang didalamnya tumbuh berbagai tanaman mematikan, konon setiap ada yang berbohong, berbuat curang, berbuat jahat, tanamana itu akan tumbuh dan melebat.
Novel ini sarat akan makna dan penghayatan. Menggali jiwa manusia yang ingin dipahami dan berusaha memahami sekitarnya. Menulsi cerita ini, meski nampak sederhana, sebetulnya ini teramat dalam. Butuh orang yang jeli, peka untuk bisa melihat ke dasar jiwa manusia, dan Urfa mampu melakukannya. Sangat direkomendasikan untuk pembaca dewasa dari berbagai kalangan. Seluruh orang bisa menikmati buku ini karena buku ini tak terbatas ruang topik, bisa dipahami dan dibutuhkan oelh siapapun.
Buku Avenoir ini bercerita tentang pendengar cerita yang juga seorang manusia biasa, sebut saja dia Da. Berisi kumpulan cerita yang dia dengar dari para pencerita yang datang kepadanya untuk 'berbagi kisah' hidup yang kalau ditelaah, kisahnya tuh gak jauh dari apa yang terjadi di sekitaran kita, atau bahkan terjadi kepada kita sendiri. Kalau mau lebih di perjelas, bisa juga di sebut 'trauma'?
Ada beberapa kisah didalam buku ini. Tentang kisah percintaan, rasa bersalah, perjalanan spritual seorang ibu, keikhlasan, bagaimana menjadi orang tua, sebuah harapan, dan banyak lagi. Jujur, setiap halamannya gak gagal buat aku nangis karena beneran se-ngena itu ke hatiku. Dengan penuturan yang lembut dan gak terkesan menggurui, buku ini bener-bener serat makna. Banyak kata-kata yang bisa di highlight untuk dijadikan nasihat juga pembelajaran untuk diri sendiri. Seperti salah satu kutipan ini: "Hidup kita tidak selalu baik-baik saja, tapi itu tidak apa-apa. Kita tak perlu malu untuk mengakui itu. Di sisi lain, kita pun tak punya hak untuk menganggap sepele masalah orang lain." Asli, beneran complicated bangett! Aku kembali berpikir ulang untuk gak selalu melihat sesuatu dari satu sudut pandang aja. Buku ini bener-bener menjelajah ruang pikiranku. Semoga kedepannya, aku bisa lebih menjadi pendengar yang baik untuk orang lain dan lebih jujur pada diri sendiri! Rating tinggi untuk Avenoir ini🫶🏻
Buku ini diceritakan dari sudut pandang Da, seorang psikolog yang sehari-harinya terbiasa menjadi pendengar yang baik tanpa menghakimi sedikitpun. Kamu harus membaca sendiri agar mengetahui kisah mencengangkan yang dialami tokoh siapa saja di dalamnya. Penulis sangat piawai memilih sudut pandang. Ide menjadikan Da sebagai pendengar cerita menjadikan kita bisa mendapatkan kisah yang jujur dan utuh dari tokoh cerita. Pesan utama dari buku ini adalah bahwa ternyata "hidup yang tidak baik-baik saja itu baik-baik saja." Dan kita tak pernah sendirian
Ketika awal-awal baca buku ini. Udah ada prediksi kalo i would love this book. Ternyata bener. Bacaan ringan ngalir gitu aja kayak lagi baca diary orang lain, on the other side cerita-ceritanya sangat dalam nyentuh hati, sepanjang cerita disuguhin kisah sedih, merana, bahagia, heartwarming juga. Lalu dibikin kaget sama endingnya. Terima kasih teh ulfah atas karyanya yang bikin hati kebolak-balik.
Bab pertama, bab kedua masih biasa saja. Tapi beberapa bab terakhir menjadi bahan renungan yang menarik mengenai keluarga. Beberapa kalimat terasa klise, tapi beberapa yang lain mengena sekali di hati.
Kalo aku sih yes 😁. Yess suka banget sama buku ini. Buku ketiga karya mba Urfa yg aku baca. Kumcer di dalamnya saling berkaitan. Jdi bacanya harus urut yaa
Suka sekali dengan karya fiksi Teh Urfa ini. Salah satu yang bikin kagum, kok ya kepikiran menjadikan Da sebagai pendengar cerita. hehe Review lengkap di https://ulasannisaa.blogspot.com/2020...
Kak Urfa nulis fiksi? Penasaran banget sih awalnya gimana, tapi sempet ragu juga, bakal serimba biasanya nggak ya? Tapi kalau ditilik ulang, pasti iya sih, kan introvert kepalanya rimba pikir, wkwk
Dan ternyata apa? Bener, bukunya bikin mikir, wkwk. Mulanya sempat bingung tapi, apakah ini satu kesatuan cerita atau bagaimana, saking jarak yang mengaitkan satu sama lain begitu abu-abu, belum kelihatan banget. Jadi sempat bosen bacanya, berbulan-bulan baru beres, lebih sering nongkrong liatin saya kerja dari sudut meja, haha. Iya, soalnya sengaja disimpen di kantor buat healing tadinya. Tapi karena kesan awalnya begitu, nggak tepat sasaran deh jadinya.
Tapi mulai dari tengah, ada beberapa cerita yang cukup relate dan bikin begitu kepincut, lalu nagih. Menanti hikmah dan ibrah selanjutnya untuk dimaknai dalam-dalam. Nikmat banget yang kayak gitu tuh..
Nggak antimainstream banget sih, cuma tetep asik kok ngikutin ceritanya. Cuma buat yang males mikir kayak saya ini, jadi dapet kesan bosen di awalnya, karena males disuru sabar menanti kejutan-kejutan, wkwk. Tapi dari tengah ke belakang bacanya cepet loh. Mulai nanjak cerita-ceritanya, mulai menunjukkan kelindan ikatan.
Salah satu yang menarik dari karya satu ini adalah, mengulik sisi pendengar cerita. Cung hand yang suka dijadiin tempat sampah sama temen? Ternyata kalian begitu berjasa dalam menjaga keseimbangan kesehatan mental temen kalian itu loh! Kalian keren, makasih yaa :)))
Kemudian, em, latar belakang diri, dengan apa yang kala itu tengah digeluti, nggak selamanya kayak jalan tol. Jalan tol aja sometimes tetep ada macetnya, yakan? tetep ada antrinya, ada ajalah pokoknya. Da, adalah seorang psikolog, yang diceritakan bekerja menjadi guru BK suatu sekolah dan merasa gagal karena suatu hal. Ia pun resign, dan melanjutkan studi untuk lebih mendalami keilmuannya. Lalu berprofesi sebagai psikolog anak dan keluarga, tapi nyatanya, ia justru bercerai dengan suaminya. Kira-kira jadi meragukan kredibilitasnya nggak? Yang jelas, Da insecure, awalnya. Selanjutnya? Silakan temukan sendiri, ya XD menarik dah, pokoknya. Kita barangkali juga sering berada dalam situasi itu kan? Singkatnya, hidup di bawah bayang-bayang ekspektasi manusia. Padahal, diri kita, siapa yang lebih kenal?
Finally, berakhir juga air mataku terkuras setelah buku ini kutamatkan walau harus tersedu berkali-kali. (*ah lebay ya, tp jujur lho ini). .
Makin kagum sama mbak penulisnya. Canggih betul rupanya tangan beliau ini dalam merangkai kata sampe diriku terpana. Huhu. Ini bukan novel atau cerita romantisme penuh kebaperan. Ini hanya kisah seorang pendengar cerita, yang telah menjadi pendengar bagi mereka yang memiliki luka mendalam di masa lalu. Yang kemudian kisah-kisah itu dituliskan kembali dg harapan semoga siapa saja tidak merasa bahwa hanya dirinya seorang yg memiliki masalah. Mereka berhak bercerita, dan akan ada yang bersedia mendengarkannya. Anda tidak sendiri. Anda berhak melanjutkan hidup dengan masa depan yang indah. Setiap kita memiliki masalah, tapi itu bukan masalah. .
Diawal cerita akan mikir biasa banget ceritanya, sampai pada akhirnya di akhir setiap cerita muncul pikiran "ternyata semua masalah yang tidak selesai dalam hidup, itu muncul dari hal2 yang kita anggap biasa". Cerita yang kita kira bisa tebak akhirnya, tapi ternyata, "hei, dengerin dulu deh!". Cerita sehari - hari dengan bahasa yang sederhana, tapi bisa bikin kita mikir lagi soal "barangkali kita punya masalah yang sama yang harus dicari lagi jalan keluarnya". Dan ending cerita yang baru kali ini baca yang seperti ini, agak aneh tp tetep bisa bikin senyum walaupun masih kebawa perasaan cerita sebelumnya.
Da seorang 'pendengar cerita', profesi yang ia 'ciptakan' sendiri. Proses Da mendengar para pencerita mengingatkanku pada perkataan seorang teman. Mendengarkan cerita orang lain itu artinya berbagi beban, ringan bagi yang bercerita tapi bisa jadi menambah beban si pendengar. Karena itulah, menjadi seorang Da juga ada ilmunya, ada wewenang ilmiah yang harus diraih sebelum akhirnya kuat mendengar dan merespon cerita yang didengar.
Bagus sekali. Beda dengan karya Urfa yang Happines Laboratory. Pendekatan fiksi Avenoir menjadikan hal yang inigin disampaikan Urfa menjadi lebih ber'rasa'.