Muna Masyari dan Faisal Oddang (cerpennya “Di Tubuh Tara, dalam Rahim Pohon” menjadi Cerpen Terbaik Pilihan Kompas 2014), adalah generasi terbaru dalam deretan para cerpenis yang menulis di Kompas. Ketika menjadi pemenang, cerpen karya Oddang baru pertama kali lolos dari seleksi para editor fiksi. Generasi ini ditambahi pula deretan para penulis yang lahir dari workshop dan kemudian Kelas Cerpen Kompas. Nama-nama mereka antara lain Lina PW, Rika, dan Wisnu Sumarwan. Ketiganya, tidak hanya berhasil menembus saringan para editor Kompas Minggu, tetapi juga karya mereka terpilih dalam buku ini.
Di samping Oddang, Muna, Lina, Rika, Wisnu, masih ada sederet generasi baru yang menulis di Kompas. Sebut misalnya, Miranda Seftiana, dan I Putu Supartika, yang karyanya juga terdapat dalam antologi ini. Generasi terbaru, para penulis yang bisa diidentifikasi memiliki tahun kelahiran antara akhir 1980-an sampai 1990-an ini, kini bercampur-baur dengan generasi pendahulu mereka seperti Budi Darma, Sori Siregar, Ahmad Tohari, Putu Wijaya, Martin Aleida, Seno Gumira Ajidarma, Indra Tranggono, Triyanto Triwrikromo, Agus Noor, Gde Aryantha Soethama, Gus tf Sakai, serta beberapa nama lainnya.
Yaaaah, jagoanku untuk cerpen terbaik gagal. Tapi di buku ini saya terobati. Saya begitu rindu cerpen Radhar, dan akhirnya dia nulis lagi. Selamat Mbak Muna, cerpen lokalitas, cerpen perempuan yang kuat.
Setelah Avianti Armand (Pada Suatu Hari Ada Ibu dan Radian), Nukila Amal (Smokol), Djenar Maesa Ayu (Waktu Nayla), dan Intan Paramaditha (Klub Solidaritas Suami Hilang, Mbak Muna menjadi perempuan selanjutnya yang dianugerahi cerpenis terbaik Kompas.
Judul favoritku: Siapa Suruh Sekolah di Hari Minggu? (Faisal Oddang), Akhir Perjalanan Gozo Yoshimasu (Sori Siregar), Penagih Hutang Bersepeda Kumbang (Farizal Sikumbang), dan Lelaki Garam (Made Adnyana Ole)
Banyak nama-nama cerpenis yang baru gw ketahui dari antologi cerpen pilihan Kompas tahun 2017 ini. Selain nama-nama seperti Ahmad Tohari, Djenar Maesa Ayu, Budi Darma, Sori Siregar, Agus Noor, Putu Wijaya, nama-nama lain seperti Faisal Oddang (yang gw kenal namanya melalui bukunya berjudul Tiba Sebelum Berangkat) dan Gde Aryantha Soethama (Jangan Mati di Bali: Tingkah Polah Negeri Turis) juga sudah gw kenal sebelumnya. Selebihnya, gw baru mengenal nama-nama tersebut melalui antologi cerpen ini.
Entah mengapa hampir tidak ada cerpen di dalam antologi cerpen ini yang meninggalkan kesan buat gw. Alasannya karena di beberapa cerpen alur ceritanya terlalu datar dan di beberapa lainnya alur cerita tersebut mudah ditebak. Jika dipaksakan, mungkin tiga di antara 21 cerpen di dalam buku ini bisa dikatakan meninggalkan kesan walaupun sedikit. Ketiganya mengangkat tema lokalitas. Ketiga judul cerpen tersebut adalah 'Kasur Tanah' karya Muna Masyari, 'Gugatan' karya Supartika, dan 'Paman Klungsu dan Kuasa Peluitnya' karya Ahmad Tohari.
Dalam cerpen berjudul 'Kasur Tanah', Muna Masyari mengangkat cerita tentang tradisi 'sortana', yaitu tradisi pemberian harta seseorang sepeninggal orang tersebut kepada orang-orang yang menangani jenazahnya.
"Kegunaan sortana sebenarnya untuk apa sih, Bu'?" "Selain bernilai sedekah jariyah, juga agar yang meninggal mudah diingat," jawab embu' (ibu dalam bahasa Madura) setelah menyisihkan kegugupannya. "Kalau sortana itu dipakai untuk kebaikan, tentu menambah nilai pahala bagi yang meninggal. Itu sebab, mengapa dinamai sortana, mengambil dari kata kasorra tana, atau kasur tanah." "Artinya, kasurnya orang yang sudah meninggal?" Embu' mengangguk, ... . - halaman 3
Selain mengangkat tradisi sortana, penulis juga mengangkat isu tradisi perjodohan sejak bayi.
Semasih muda embu' memang lebih cantik darimu. Ia menjadi perawan desa yang diperebutkan. Namun, perbedaan status sosial, tradisi pertunangan sejak bayi, hingga martabat yang harus dijunjung tinggi telah menumbalkan sebiji cinta yang dimilikinya. Tidak ada pilihan baginya kecuali tunduk di hadapan orangtua. Pada tradisi perjodohan bayi.
Cerpen 'Gugatan' karya Supartika bercerita tentang kiasan suatu peristiwa di akhirat ketika Malaikat Raqib dan Atid (malaikat pencatat amal baik dan buruk) menunjukkan segala kebaikan maupun keburukan yang manusia lakukan, sekecil apapun dengan sedetail-detailnya.
"Aku selalu taat berdoa" "Hanya untuk pencitraan, agar orang-orang memandangmu sebagai manusia saleh, manusia tanpa cela. Doamu tidak tulus, mulutmu busuk. Dan dalam buku catatanku telah tercatat dengan rapi, dan tidak bisa kau bantah." - halaman 62
"Tapi, aku masih punya perbuatan baik. Sewaktu menjabat wali kota, aku membangun banyak tempat ibadah, dan banyak dari tempat ibadah yang aku bangun, biayanya keluar dari kantongku sendiri. Aku mengalokasikan dana sebesar-besarnya untuk pembangunan tempat ibadah, hingga kota yang aku pimpin menjadi kota suci, tempat para dewa, dan malaikat baik." "Kau membangun banyak tempat ibadah, tapi rakyatmu banyak yang mengemis di pinggir jalan. Uang yang kau sumbangkan atas nama pribadi, kau ambil dari kas kota." - halaman 63
"Hei makhluk pembual. Aku tidak percaya dengan semua bualanmu. Aku perlu bukti!" "Bukti?" Makhluk aneh itu melemparkan buku yang ada di tangannya. ... . Sudarma membuka halaman pertama, dan tertulis dengan jelas kapan ia dilahirkan, di mana ia dilahirkan, dukun yang membantu kelahirannya, siapa orangtuanya, dan tetek bengek lainnya yang berhubungan dengan kelahirannya. Di halaman berikutnya tercatat kapan pertama kali ia melakukan dosa, dan dosa apa yang dilakukannya, dan kebaikan apa pula yang ia lakukan." - halaman 65
Ahmad Tohari kembali menegaskan posisinya dalam kepemilikan kemampuan bercerita yang apik tentang orang-orang kecil beserta kehidupan yang menyertainya. Di cerpen 'Paman Klungsu dan Kuasa Peluitnya', Ahmad Tohari mengangkat kehidupan seorang pengatur lalu lintas (yang menjuluki dirinya sendiri sebagai poltas swakarsa) bernama Paman Klungsu.
Empat-lima tahun yang lalu Paman Klungsu hanya orang lontang-lantung di pasar. Jalannya pincang. Kaki kirinya kecil dan lebih pendek. Sebatang kara, di malam hari jadi peronda pasar. Di siang hari jadi kuli angkut yang membawakan barang milik pedagang dari dalam pasar ke pinggir jalan atau sebaliknya. Para pedagang memberinya seratus atau dua ratus rupiah. Itu bekal Paman Klungsu untuk pergi ke warung nasi rames milik Yu Binah di belakang pasar. - halaman 23
Konflik yang diceritakan walaupun tampak sederhana namun juga meninggalkan kesan buat gw.
Pada awalnya Paman Klungsu sering dicibir orang. "Ah, kamu cuma polisi non-batu, polisi-polisian. Kamu hanya berani mengatur pedagang dan anak sekolah, tapi tidak berkutik bila yang lewat pejabat atau moge. Kamu juga selalu mengistimewakan Yu Binah. Kalau perempuan itu lewat selalu kamu bukakan jalan." - halaman 23
Potret alasan sederhana untuk berbahagia bagi Paman Klungsu yang diceritakan oleh penulis juga semakin membuat gw kagum terhadap penggambaran penulis yang apik.
"Jadi hanya karena bawang goreng, kamu merasa harus mengutamakan Yu Binah?" Paman Klungsu tersipu, kemudian meneruskan penjelasannya. Katanya, ada sesuatu yang sangat mengesankan pada Yu Binah, yaitu gerak tubuh, terutama kedua tangannya ketika Yu Binah menyiduk nasi dari bakul lalu menampungnya dengan piring. - halaman 25
sebelum kumcer berikutnya terbit, kamu harus baca buku ini dulu. Cerita-ceritanya ciamik abis. Meskipun harus aku bilang, beberapa aja yang mind-blowing. Beberapa cerpen lainnya, menurut penilaianku sih pola-polanya udah kebaca dan unsur lokalitasnya kentara sekali. Beberapa cerpen yang meninggalkan kesan bagiku adalah yang pertama cerpen Kasur Tanah tentu aja, tapi aku bisa menebak endingnya. Gaya penceritaannya emang seperti kata juri, dingin. Yang aku suka adalah cara Muna alias sang penulis merangkai cerpen itu sungguh sangat hati-hati, tapi ngena. Tentu aja perihal sortananyalah yang sangat meninggalkab pesan buatku.
Cerpen selanjutnya adalah cerpen Faisal Oddang, Siapa Suruh Sekolah di Hari Minggu. Gila, itu cerpen bengis banget, harus aku bilang penokohannya juara sekali plus konfliknya itu loh keji. Makanya aku suka, kesannya luar biasa, aku rela sumpah kalo cerpen itu jadi juara utama.
Sedangkan cerpen yang meninggalkan kesan dengan aroma hampir sama itu cerpennya Djenar sama Ahmad Tohari, endingnya kayak film-film yang realistis abis meskipun kedua cerpen itu sama-sama mengangangkat hal sederhana yang menjadi rumit (atau sebaliknya?), itu menurutku ya.
Memang sebuah keputusan yang tepat, menempatkan cerpen Kasur Tanah sebagai cerpen utama dan favorit di dalam buku ini. Benar-benar membawa pesan akan kebiasaan salah satu suku di Indonesia. Plot twist yang mengejutkan tapi bukankah cerpen-cerpen bagus selalu mengejutkan, walaupun tidak dengan adanya plot twist didalamnya. Dua cerpenis favorit turut mengisi daftar isi pada buku ini dengan cerpen mereka, Ahmad Tohari dan Putu Wijaya. Gaya bahasa dari Putu Wijaya dan Ahmad Tohari mudah dibayangkan dengan pesan kondisi sosial maupun politik yang selalu ada didalamnya, menjadi alasan kenapa beliau-beliau favorit bagiku. Ada beberapa cerpen didalam buku ini yang aku kurang mengerti dan paham akan isinya, ya daya imaginasiku kurang akan filosofi yang digambarkan dalam cerpen itu.
Menyelesaikan membaca buku ini; sedikit membutuhkan waktu yang lama. Bukan karena alurnya yang membingungkan; tetapi aku yang susah meluangkan waktu (lagi) untuk membaca. Salah satu cerpen yang mengobatiku akan kampung halaman adalah Mbah Dlimo, membaca kata "Damar Kurung" saja sudah membuatku mengingat akan masa kecil, Terima kasih.
Suka dengan kover buku ini. Cerita pertama hingga terakhir memiliki tema beragam. Ada yang sangat kusuka dan sangat kupamahi, tetapi ada juga yang harus membuatku membuka kamus dan informasi lain di internet. Cerita yang masih melekat adalah tentang Mbah Dlimo dan Paman Klungsu.