Agus Sunyoto, Drs., M.Pd., Pendidikan S1 diselesaikan di Jurusan Seni Rupa, FPBS IKIP Surabaya tahun 1985. Magister Kependidikan diselesaikan tahun 1990 di Fakultas Pascasarjana IKIP Malang bidang Pendidikan Luar Sekolah. Pengalaman kerja diawali sebagai kolumnis sejak 1984. Tahun 1986-1989 menjadi wartawan Jawa Pos. Setelah keluar dan menjadi wartawan freelance, sering menulis novel dan artikel di Jawa Pos, Surabaya Post, Surya, Republika, dan Merdeka. Sejak tahun 1990-an mulai aktif di LSM serta melakukan penelitian sosial dan sejarah. Hasil penelitian ditulis dalam bentuk laporan ilmiah atau dituangkan dalam bentuk novel. Karya-karyanya yang sudah diterbitkan dalam bentuk buku adalah: Sumo Bawuk (Jawa Pos, 1987); Sunan Ampel: Taktik dan Strategi Dakwah Islam di Jawa (LPLI Sunan Ampel, 1990); Penelitian Kualitatif dalam Ilmu Sosial dan Keagamaan (Kalimasahada, 1994); Banser Berjihad Melawan PKI (LKP GP Ansor Jatim, 1995), Darul Arqam: Gerakan Mesianik Melayu (Kalimasahada, 1996); Wisata Sejarah Kabupaten Malang (Lingkaran Studi Kebudayaan, 1999); Pesona Wisata Sejarah Kabupaten Malang (Pemkab Malang, 2001). Karya-karya fiksinya banyak dipublikasikan dalam bentuk cerita bersambung, antara lain di Jawa Pos: Anak-Anak Tuhan (1985); Orang-Orang Bawah Tanah (1985); Ki Ageng Badar Wonosobo (1986); Khatra (1987); Hizbul Khofi (1987); Khatraat (1987); Gembong Kertapati (1988); Vi Daevo Datom (1988); Angela (1989); Bait al Jauhar (1990); Angin Perubahan (1990).Di harian sore Surabaya Post: Sastra Hajendra Pangruwat Diyu (1989); Kabban Habbakuk (1990); Misteri di Snelius (1992); Kabut Kematian Nattayya (1994); Daeng Sekara (1994-1995); Sang Sarjana (1996); Jimat (1997). Di harian Surya: Dajjal (1993). Di Radar Kediri, sejak tahun 2000 hingga sekarang: Babad Janggala-Panjalu dengan episode: (1) Rahuwahana Tattwa, (2) Ratu Niwatakawaca, (3) Ajisaka dan Dewata Cahangkara, (4) Titisan Darah Baruna. Di harian Bangsa: Suluk Abdul Jalil (2002).
Walau penggunaan bahasanya sulit untuk dicerna, dan pembawaan cerita yang berbalut tasawwuf, buku ini tetap terasa magikal dan membawa pembaca menyelami sejarah Syaikh Siti Jenar yang tercoreng namanya hingga sekarang.
Selesai baca buku ke-2 Syaikh Siti Jenar: Suluk Malang Sungsang (Buku Ke-6) - Agus Sunyoto Mizan Pustaka, Bandung (2017) 324 halaman Lama baca: 12 Maret - 4 April 2024
Buku ini menutup Heksalogi Syaikh Siti Jenar dengan penuh teka-teki. Sebagaimana digambarkan dalam sampul buku terakhir ini, terdapat lingkaran dengan lubang kecil yang terang di ujungnya, dapat diinterpretasikan sebagai simbol moksa.
Aku membacanya di bulan Ramadan merasakan suasana kebatinan yang serupa cerita Abdul Jalil ini. Dakwah yang dilakukan Abdul Jalil pada buku terakhir ini terpaku pada pendirian pedukuhan-pedukuhan yang memiliki kemandalaan Lemah Abang. Tentu saja, diterapkan model peradaban yang diajarkan Abdul Jalil.
Alasan penisbatan nama warna merah terhadap Abdul Jalil juga diungkapkan dalam buku terakhir. Terdapat korelasi antara kegemaran Sang Maut dalam menyantap penghuni Nusa Jawa dengan kegemaran penghuni Nusa Jawa yang mengunyah sirih dan pinang. Hasil akhirnya darah dan dubang (idu abang) yang berwarna merah.
Tugas Abdul Jalil mengantarkan pemahaman akan pengenalan kepada manusia agar tidak takut akan kematian karena rasa takut hanya ditujukan untuk Allah saja. Kematian yang bertalian erat dengan Sang Maut serta penghuni Nusa Jawa itulah yang menyebabkan Abdul Jalil disebut dengan beberapa nama bernada warna merah, termasuk Syaikh Lemah Abang.
Ulasan lebih lengkapnya bisa dilihat di s.id/elsuyuthi
Quote "Kematian adalah sisi lain dari kehidupan. Karena itu, mereka yang mengenal kematian, tidak aja menjadi manusia yang tidak takut pada kematian, melainkan akan mencintai pula kematian sebagaimana mencintai kehidupan." - Abdul Jalil (h. 288-289)