Jump to ratings and reviews
Rate this book

Balada Gathak Gathuk

Rate this book
Gathak dan Gathuk kelimpungan. Tanah Air mereka, Giri, telah tumpas diganyang Mataram. Bahkan junjungan mereka pun, Raden Jayengresmi—keturunan Sunan Giri Perapen—pergi entah ke mana. Gathak dan Gathuk galau. Mereka tak tahu harus mulai mencari dari mana. Tiba-tiba, Petruk terbang di atas sekerat tempe dan tahu untuk memberi petunjuk. Mereka harus berjalan ke barat. Perjalanan mereka rupanya penuh warna. Bahkan, sempat-sempatnya diundang masuk studio televisi untuk syuting acara talkshow yang tersohor se-Nusantara. Gara-garanya, seluruh warga ikut termehek-mehek menyaksikan si kembar yang tampak frustrasi mencari tuannya. Untung tak lama kemudian, Raden Jayengresmi ketemu. Jayengresmi, keindahan dari segala sesuatu yang indah, telah memikul nama baru: Ki Amongraga, ia yang menggembala raganya.

Tok ... tok ... tok ....

***

Dalam tradisi dakwah di Jawa, ada satu tahap tersukar untuk menjadi kiai. Tahap tersebut adalah mendiamkan dunia berlangsung apa adanya, tanpa main larang ini-itu, sebagaimana sikap Musa terhadap segala kelakuan aneh bin ajaib Nabi Khidir. Akan tetapi, saya tak kuat untuk berpuasa diam dan membiarkan siang berpasangan malam di alam semesta, sebagaimana “baik” dan “buruk” berpasangan demi keberlangsungan hidup. Saya bisa berpuasa makan dan minum. Namun, menghadapi dinamika sosial masa kini, saya tak mau melakoni tapa bisu. Dan, demi tatanan masyarakat yang perlahan bobrok akibat korupsi ini, saya akan bicara dengan meminjam Serat Centhini. Selamat menikmati.

296 pages, Paperback

First published April 1, 2016

10 people are currently reading
69 people want to read

About the author

Sujiwo Tejo

27 books432 followers
Agus Hadi Sudjiwo (lahir di Jember, Jawa Timur, 31 Agustus 1962; umur 47 tahun) atau lebih dikenal dengan nama Sujiwo Tejo adalah seorang budayawan Indonesia. Ia adalah lulusan dari ITB. Sempat menjadi wartawan di harian Kompas selama 8 tahun lalu berubah arah menjadi seorang penulis, pelukis, pemusik dan dalang wayang. Selain itu ia juga sempat menjadi sutradara dan bermain dalam beberapa film seperti Janji Joni dan Detik Terakhir. Selain itu dia juga tampil dalam drama teatrikal KabaretJo yang berarti "Ketawa Bareng Tejo".

Dalam aksinya sebagai dalang, dia suka melanggar berbagai pakem seperti Rahwana dibuatnya jadi baik, Pandawa dibikinnya tidak selalu benar dan sebagainya. Ia seringkali menghindari pola hitam putih dalam pagelarannya.

Ratings & Reviews

What do you think?
Rate this book

Friends & Following

Create a free account to discover what your friends think of this book!

Community Reviews

5 stars
12 (28%)
4 stars
15 (35%)
3 stars
13 (30%)
2 stars
2 (4%)
1 star
0 (0%)
Displaying 1 - 7 of 7 reviews
Profile Image for Ahmad Fitriansah.
27 reviews1 follower
February 5, 2018
Serat Centhini di mixing dengan Ramayana dan Mahabharata.

Dari ngelindur mbah Jiwo kali ini kita bisa tahu isi Serat Centhini(meskipun tidak semua yang sampe berjilid-jilid itu), ditaburi dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi di Nuswantoro.
Sangat menghibur sambil berdesak-desakan di kereta senja sepulang kerja.

heuheuheu..
Profile Image for Itus Tacam.
61 reviews2 followers
November 23, 2017
Buku ini menarik pada pandangan pertama dan membosankan pada akhirnya. Barangkali karena serat centhini pernah saya baca, kali ketiga ini dengan versi ekspansi berbeda.

Nggak sabarnya itu mergo ngalor ngidul. Sisipannya buanyak. Nyandak ramayana yo nyandak mahabarata. Nyinggung isu politik yang hepening dan nyebut nyebut aktornya pula.

Untuk itu sujiwotejo agak lebih tenang karena ia bisa ngeles dengan judulnya. Ia masuk pada ranah kontemporer sehingga bodo amat dengan pakemnya.

Jiwotejo menciptakan tokohnya sendiri yaitu sepasang kawulo yang dinamainya Gathak & Gathuk. Yang memberi pendampingan fulltime sampai selesai serat centhini, bahkan kamu masih dapet imbuh satu bab lagi kicauannya.

Aku harus menyerah dengan kesabaranku dulu. Baru di sepertiga terakhir menyadari "ngalor ngidul"nya itu ada pandulum yang bakal mantul mengusik hatiku (kadang sih. cuma kadang!).

Sekira begini;

Ini tahun 2016! Bukan tahun 1814 ketika kaum wanita masih tak punya hak. Bukan pula 1914 ketika kaum wanita masih memperjuangkan hak haknya. Ini tahun ketika kaum wanita saling berantem karena sama sama mempertahankan haknya. (p.148)

Kekasih, mungkin kau sangka aku pergi meninggalkan dirimu. Sesungguhnya aku tak kemana mana. Aku tak benar benar mencari adikku, niken rancangkapti, yang hilang sejak sultan agung menaklukkan ayah kami di giri prapen. Tidak. Kekasih, aku hanya akan merantau karena ingin mengembara di dalam dirimu. (p.164)

Jaka jaktus adalah pemuda golongan sukerta yang berhak dimakan oleh batara kala. Ada puluhan sukerta yang termasuk jomblo sesat; orang yang memilih jadi jomblo bukan karena ndak laku, melainkan karena malas punya tanggungjawab pasangan. (p.168)

Hanya pas dilahirkan dan menjelang ajal saja manusia tampil aslinya. (p.180)

Ia pergi mencari adiknya. Padahal, sejatinya ia pergi mencari kematiannya sendiri. Ia sudah tak sanggup menanggung raganya yang lama menjadi incaran sultan agung mataram di delapan penjuru mata angin. (p.182)

Cabai saja punya pilihan. Ia bisa memilih harga dirinya sendiri. Ia tau kapan harus memilih menurunkan harga dirinya dan kapan harus memilih menaikkan harga dirinya.

Hidup ini memilih untuk dipilih atau dipilih untuk memilih?
"Kog berat sekali pitakone"
Hidup itu mbok dilakoni saja. (185)

Ki amongraga setelah bertemu nyi tambangraras akhirnya tak punya pilihan. Keinginan mereka menitis kembali sebagai pemimpin tanah jawa. (p.186)

Tapi milih suami beda dari milih presiden, nduk. Percaya bahwa orang bisa berubah, itu untuk milih presiden. Milih suami lebih susah. Kita harus percaya bahwa watuk gampang diobati, tapi watak ndak ada obatnya. (p.195)

Sekolah dasar itu penting. Kalau ketela mukibat, dia akar rimpangnya. Kalau gagal mengukir watak manusia sejak dini, hancur bangsa ini. (p.210)

Mingkar mingkur ing angkoro, akarono karenan mardi siwi; mencegah datangnya angkara murka melalui mengajar manusia sejak usia dini.
Kamu harus menanamkan sejak dini kepada anak anak manusia bahwa semua cita cita bisa menghancurkan. Menjadi perampok dan menjadi agamawan maupun pemimpin bisa sama buruknya. (p.211)

Cacat raga ndak mesti cacat rohani. Pandita durna pincang tetapi kesaktiannya ngedap edapi. Raja dewata batara guru pun cacat lehernya ungu matanya tiga tapi suakti. Sukrasana juga buruk rupa raksasa bajang mengerikan namun kelakuannya luar biasa luhur. (p.221)

Jaya murcita bersikukuh memimpin palangkawati tanpa setor upeti ke pandawa. Negerinya seupil dibanding luas negeri pandawa dan jajahannya, tapi ia tetap tegak sebagai raja dari bangsa yang berdaulat. (p.224)

Sudahlah kang, hidup mbok jangan kagetan. Durna pandai mengajar arjuna memanah tapi ndak becus ngajar anaknya sendiri aswatama. (p.226)

Seeing is believing. Mendatangi suatu tempat dan mengalaminya sendiri jauh lebih bikin kita yakin ketimbang cuma baca atau mendengar lewat media massa. (p.338)

Manusia punya rencana, bandar yang menentukan.

Kalau ndak ingin ada yang cecer, jangan pernah mengumpulkan sesuatu. Semakin mengumpulkan, semakin ada saja yang tercecer. (p.242)

Kalau kita mengagumi seseorang, kita juga harus legawa memaklumi kelemahan kelemahamnya. (p.259)

Lebih besar atau lebih kecil punya ukuran. Jelas. Lha nek lebih baik atau lebih buruk ukurannya mulai ndak jelas. Apalagi kalau sudah soal indah dan tidak. (p.263)
Profile Image for Ilham Alhafizh.
17 reviews
November 25, 2017
bukunya sih oke, aku suka tipikal mbah tejo: Sindir menyindir haha. Tapi dari segi cerita agak kurang bagi saya (mungkin agak membosankan bagi saya).
Profile Image for Septi RA Hayuu.
54 reviews
February 16, 2019
Saya nggak tahu mau mengulas apa. Yang pasti, baru baca daftar isinya, saya cekikikan nggak jelas. Isinya ngalor ngidul ngetan ngulon, tapi, ya ampun!
Displaying 1 - 7 of 7 reviews

Can't find what you're looking for?

Get help and learn more about the design.