Jump to ratings and reviews
Rate this book

Mysticism in Java: Ideology in Indonesia

Rate this book
Rezim Presiden Soeharto memproyeksikan diri sebagai sebuah orde kultural dengan justifikasi atas nama "tradisi".

Rezim ini mencita-citakan pembangunan sebuah negara Pancasila berisikan Manusia Indonesia Seutuhnya yang berbudaya dan sarat dengan investasi dalam pendidikan nilai-nilai. Untuk memahami apa yang terjadi, kita harus menyelami latar belakang pemikiran Jawa mengenai semua itu, dan karena itu tujuan buku ini adalah menjuktaposisikan pola pemikiran mistis Jawa dengan pola-pola pemikiran yang tampaknya menyokong rekayasa nation building di Indonesia.

168 pages, Paperback

First published January 1, 1998

7 people are currently reading
62 people want to read

About the author

Niels Mulder

30 books5 followers

Ratings & Reviews

What do you think?
Rate this book

Friends & Following

Create a free account to discover what your friends think of this book!

Community Reviews

5 stars
8 (25%)
4 stars
9 (28%)
3 stars
15 (46%)
2 stars
0 (0%)
1 star
0 (0%)
Displaying 1 - 3 of 3 reviews
Profile Image for Arief Bakhtiar D..
134 reviews82 followers
October 8, 2017
ALIRAN

SATU karya penting yang dihasilkan dari salah kira adalah Mistisisme Jawa: Ideologi di Indonesia—terjemahan dari Mysticism in Java Ideology in Indonesia.

Pada tahun 1969 Niels Mulder, dengan motor mungil Honda 65 yang dibelinya di kota Bangkok, menempuh perjalanan darat untuk sampai di Jawa Tengah. Setelah banyak menabung “dengan susah payah”, ia memberanikan diri melewati aspal Malaysia, jalanan berlumpur di tanah Sumatera, jalanan berlubang di Jawa, untuk sampai di Jawa Tengah.

Itu penantiannya sejak lama. Pada tahun 1958, seperti yang ditulisnya dalam pengantar buku Mistisisme Jawa, ia sangat ingin ke Indonesia. Tapi ia takut-takut. Tahun itu Indonesia masih berada di bawah rezim Orde Lama. Belanda belum lama selesai menjajah, dan belum lama ingin menjajah kembali lewat agresi. Orang-orang Indonesia belum lupa dengan kekejaman dan kelicikan Belanda yang kolonial. Ia, seorang Belanda, khawatir ada pengusiran seandainya nekad ke Indonesia. Sejarah sangat mungkin menimbulkan sentimen berlebih—Niels bahkan mengamati peristiwa besar 1965-1966 dari Thailand.

Baru pada saat Orde Lama jatuh, dan setelah ia selesai dengan Buddhisme dan Thai, ia menempuh beribu-ribu kilo dari kampusnya Northern Illionis University, lalu ke San Fransisco. Dari sana ia pergi ke Hawaii, Jepang, Filipina, Thailand, Malaysia, dan sampai di Indonesia. Perkiraan Niels tentang negeri di bawah pemerintahan yang baru ini benar: ia dapat segera mengubah visa, melakukan penelitian, dan tinggal selama dua tahun. Dalam kata-katanya sendiri: “segala rintangan birokrasi disingkirkan dengan ketangkasan kaum muda”—ketangkasan yang terlampau “ajaib” untuk birokrasi zaman ini.

Ia jauh-jauh dan capek-capek datang ke Pulau Jawa untuk menanyakan sebuah soal: aliran. Ia bayangkan kata “aliran” seperti yang dibayangkan dan ada dalam literatur, misal, tulisan Clifford Geertz berjudul The Religion of Java yang terbit tahun 1960 (terjemahannya, Agama Jawa: Abangan, Santri, Priyayi dalam Kebudayaan Jawa, diterbitkan kembali dalam 640 halaman oleh Komunitas Bambu pada bulan Juli 2013 dengan penampilan yang memikat).

Rupanya bayangan orang-orang Jawa tentang “aliran” berbeda. Di Yogyakarta, tempat di mana penelitian dilakukan, ia memang dibantu oleh orang-orang yang ia temui. Dan dengan begitu peneliti Belanda ini nyasar. Ia malah diarahkan kepada aliran dalam dunia mistik. Tapi dengan penuh semangat pula ia meneruskan kebetulan itu: Niels segera asyik dengan aliran kebatinan yang berarti “ilmu tentang batin manusia” ketimbang kelompok-kelompok politik. Tapi penelitian ini tidak sia-sia. Niels menemukan hubungan antara hal-hal mistik itu dengan politik Indonesia. Ia mengamati kaitan antara tradisi atau keaslian (dalam hal ini “pola pemikiran mistis Jawa”) dengan rezim Soeharto yang “mencita-citakan pembangunan sebuah negara Pancasila berisikan Manusia Indonesia Seutuhnya yang berbudaya” dan sarat dengan “pendidikan nilai-nilai”.

Ia memulai pembahasan dengan mencari tahu sejarah polemik kejawen (Jawanisme), dari berdirinya Partai Indonesia Raya yang berusaha menghimpun segala sekte mistik, sampai kebangkitan kejawen yang mulai melembaga pada tahun 1970-an ketika dibentuk Direktorat Kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa di bawah Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. Jawanisme itu, yang lebih menunjuk pada “etika” dan “gaya hidup”, mewujudkan diri dalam pembicaraan “kehidupan dalam perspektif wayang”, slametan, kepercayaan tentang ramalan Sabdopalon, penghargaan terhadap pusaka keramat tertentu, atau ziarah makam leluhur. Praktik mistisisme itu, bagi orang kejawen merupakan “upaya menempa hidup yang lurus” dan “mewujudkan keadaan yang didambakan”.

Neils menjelaskan, dulu unsur mistis yang paling kuasa adalah para raja. Mereka, para raja, dipandang berkuasa di bawah wahyu atau wangsit demi kesejahteraan rakyat. Mereka penghubung antara langit dan bumi—dan kita ingat raja di Surakarta dan Yogyakarta disebut Paku Buwono dan Paku Alam. Penyertaan kata “paku” yang punya sifat kuat dan menetap untuk bertahan dari goncangan membuat para raja mesti dijunjung tinggi. Sabdanya sulit ditolak. Sebab raja dilihat secara “moral” dan “material” sebagai sinar dunia dan penjaga ketertiban dan keseimbangan.

Ketertiban dan keseimbangan itulah yang kental pada aliran kebatinan. Aliran kebatinan menekankan pada sisi dalam dan kepekaan rasa untuk menemukan “hakikat dan kebenaran”. Dan yang ada pada batin itu mesti membimbing yang lahir. Sebab hanya dari situasi batin yang peka itu manusia menemukan bahwa kejadian di alam raya ini adalah tanda-tanda kerja kosmos. Nomor polisi mobil seorang jenderal, bagi seorang yang percaya, bisa jadi merupakan patokan untuk melakukan perbuatan-perbuatan tertentu di masa datang. Bagi seorang penganut kebatinan tak ada yang kebetulan di alam ini. Pasti saling kait-mengait. Hal itulah yang ditunjukkan dalam kepercayaan terhadap primbon dan petungan. Juga tentang nomor lotre.

Di tengah pesiarnya Niels Mulder menemukan Pak Amat: seorang pemimpin kelompok kecil kebatinan lulusan Universitas Gadjah Mada yang punya minat pada psikologi Jawa. Yang menarik dari Pak Amat, ia sering dimintai meramal nomor lotre oleh pengikutnya. Waktu itu rakyat tengah demam lotre. Koentjaraningrat menyebut demam itu sebagai bentuk pelarian dari “himpitan kesukaran hidup sehari-hari”. Perjudian itu seperti dibiarkan oleh pemerintah, meskipun kadang-kadang ada penertiban secara acak (biasanya di akhir pekan saat para bandar punya uang, dan uang itu segera berpindah pada polisi atau tentara).

Pak Amat punya kepercayaan diri bahwa dirinya punya hubungan yang baik dengan alam gaib, sehingga ia bisa menafsirkan perlambang-perlambang ke dalam nomor lotre. Tentu saja nomor yang ia tebak sering keliru. Tapi pengikutnya yang terdiri dari beberapa orang Jawa dan pemilik toko Cina tidak terlalu serius memandang kehilangan uang mereka.

Sampai kemudian sebuah peristiwa mengubah ketenaran Pak Amat: ia menafsirkan suatu perlambang atau simbol sebagai angka 15 atau 34, dan pengikutnya ramai-ramai membelinya. Pengikutnya yang orang Cina bahkan sampai membeli 100.000 ribu rupiah (yang nilanya sama dengan 240 dollar). Tafsiran itu salah, dan seorang keluarga Jawa yang sakit dilanda krisis karena tak ada uang untuk berobat. Segera diadakan slametan. Pak Amat memimpin upacara itu dengan syahdu: ia mengutuki diri sebagai pendosa dan manusia pongah karena merasa mampu menafsirkan kehendak Tuhan dalam angka-angka. Tapi di akhir slametan sesuatu yang mistis terjadi. Pak Amat menghadapkan perlambang atau simbol yang ditebaknya dulu ke arah cahaya, dan terlihat di situ, bila dibaca terbalik: 95.

Sejak saat itu Pak Amat menjadi tenar karena sanggup “menguak masa depan”. Tiap hari beratus-ratus orang datang untuk meminta angka-angka. Dan sambil terus menyebarkan tentang kebatinan dan kebenaran (di mana menurut Niels aspek ini tidak diminati para pengikutnya), dengan suaranya yang enak didengar dan suara protes pihak gereja, Pak Amat terus menikmati situasi itu. Bagi Pak Amat ramalannya mampu “menyelamatkan orang” dan lotre itu sendiri “bisa menghapus kemiskinan”. Nomor-nomor itu seakan-akan membuktikan bahwa alam dan batinnya punya koordinasi yang memunculkan penemuan-penemuan dalam angka.

Saya ingat pada tahun 1990-an di meja ruang tamu rumah nenek saya berserakan kertas-kertas yang berisi ramalan nomor. Dari situ paman-paman saya, tamu-tamu yang datang, berusaha menghubungkan angka dengan peristiwa-peristiwa. Bapak saya, juga paman-paman saya, selalu mengharap sebuah mimpi dalam tidur mereka tiap hari untuk ditafsirkan menjadi angka-angka togel.

Dari cerita di Jawa itulah Niels menemukan keterhubungan pola pemikiran mistisisme Jawa dengan indoktrinasi Orde Baru dalam tiga kata pokok: sesuatu yang keramat, realitas lahir, dan sosok ampuh.

Dalam rezim Orde Baru, Pancasila dan UUD 1945 didudukkan sebagai pusaka keramat semacam primbon—siapa yang mau selamat mereka harus bertindak sesuai aturan. Manusia Indonesia mesti berterima kasih sebab takdir Pancasila-lah yang telah menuntun bangsa ini pada terbentuknya Indonesia. Dan untuk terus menjaga pusaka itu tentu saja membutuhkan Pembangunan sebagai bentuk realitas. Juga kepatuhan terhadap orang ampuh dalam hierarki tertinggi: seorang Presiden sebagai pengganti sosok raja yang sabdanya mesti dituruti.

Niels Mulder manusia yang bisa salah. Tapi tentang mistisisme Jawa ini ia sanggup membuat saya mengangguk-angguk.
Profile Image for Taarna.
4 reviews1 follower
January 29, 2013
An interesting book. I feel like it may be necessary to have some previous knowledge/experience/etc about Indonesia/Javanese culture to fully appreciate it however.
Profile Image for Nissa Rachmidwiati.
47 reviews100 followers
March 31, 2017
Jadi buku pilihan waktu ngerjain UAS Metpen Antropologi (tapi kuliahnya gak dilanjutin wkakak)
Milih buku ini karena sudah kenal dengan terminologi-terminologinya.. Dan sebagai buku etnografi ketebalannya tipis.. Jadi memudahkan dalam mengerjakan UAS. Karena sebenarnya gak gitu suka "pendidikan formal" jad mental saya mental "kalau buat tugas nggak usah muluk-muluk yak, yang gampang-gampang aja"; beda cerita tapi kalau untuk kerja dan "perjalanan pribadi". ;P
I should say that I read this not out of curiosity but merely as a university task. tee-hee
Displaying 1 - 3 of 3 reviews

Can't find what you're looking for?

Get help and learn more about the design.