Jump to ratings and reviews
Rate this book

The Lost Java

Rate this book
“Kehancuran dunia kian dekat, namun kematian sudah mengintai jauh lebih dekat lagi!”

Bencana mengincar setiap nyawa. Iklim sempurna tak lagi bersinergi dengan bumi. Banjir-banjir mulai berubah status menjadi permanen. Ratusan pulau perlahan tenggelam ditelan luapan air laut. Puluhan juta manusia digiring paksa oleh bencana untuk mengungsi. Terlampau menyeramkan saat menunggu detik-detik mencairnya es di kutub utara dan kutub selatan yang notabene sebagai penyimpan 90% cadangan air di bumi ini. Apakah dunia sudah mengetahui kengerian yang akan terjadi setelahnya?

Puncak bencana akan terjadi ketika panasnya suhu bumi menyebabkan gas metana beku terlepas dari kedalaman es dan laut, padahal ia memiliki kekuatan efek rumah kaca 25 kali lebih hebat dari karbon dioksida.inilah ancaman utama yang akan menghancurkan! Bencana Paleocene Eocene Thermal Maximum yang terjadi 55 juta tahun yang lalu akan terulang kembali. Bencana apakah itu? Itulah saat dimana seluruh permukaan bumi membeku tertutup lapisan es tebal dan setelahnya hanya akan tersisa dua kata saja dari sejarah keberadaan manusia: KEPUNAHAN MASAL.

Sekelompok ilmuwan terbaik dari seluruh dunia berkumpul untuk mencari solusi dari semua kekacauan, di dalam sebuah lab rahasia mereka meneliti nuklir, atmosfer dan es untuk menyelamatkan bumi dari cengkraman awal kehancuran. Setelah 35 tahun melakukan penelitian, Garuda Putih Laboratory akhirnya dapat menyelesaikan formula yang akan dibawa dalam misi WAR (Warriors of Antartic). Lima ilmuwan terbaik dari Indonesia, India, Iran, dan Amerika berangkat menuju atap tertinggi Kutub Selatan, puncak Gunung Vinson Massif. Tujuan mereka satu, menyelamatkan umat manusia dari kepunahan massal.

Selama ekspedisi, badai es beberapa kali mengamuk, oksigen minim pada ketinggian, dan suhu -45° C menyengat dengan dinginnya. Longsor es mengincar setiap saat, tebing-tebing tinggi sulit untuk dilewati,hingga jurang curam menganga untuk disebrangi. Namun, dari semua itu, ada hal lain yang jauh lebih mengancam keselamatan tim WAR. Di belakang mereka, sebuah organisasi bawah tanah kliber internasional yang terkenal kejam dan brutal menaiki Gunung Vinson Massif dari jalur daki yang lain. Tujuan mereka satu, merampas formula dari tim WAR dan menggunakannya untuk menguasai dunia demi satu pemerintahan,The New World Order.

363 pages, Paperback

First published January 1, 2011

5 people are currently reading
77 people want to read

About the author

Kun Geia

1 book7 followers
"Satu Pena, Beribu Karya, Berjuta Makna"

Ratings & Reviews

What do you think?
Rate this book

Friends & Following

Create a free account to discover what your friends think of this book!

Community Reviews

5 stars
23 (28%)
4 stars
21 (25%)
3 stars
20 (24%)
2 stars
11 (13%)
1 star
6 (7%)
Displaying 1 - 25 of 25 reviews
Profile Image for Manikmaya.
99 reviews40 followers
March 24, 2015
The Lost Java

Saya pernah membaca buku : The Book of Names by Jill Gregory dan buku ini adalah antitesis dari buku tersebut. Jika The Book of Names menempatkan para Agen Mossad vs. Freemason atau Illuminati, The Lost Java adalah buku yang ikut pakem favorit banyak orang Indonesia : Penjahatnya adalah Israel! >.<

Para penggemar teori konspirasi terutama yang berkaitan dengan Zionisme dan Israel pasti sangat menyukai buku ini.

Sebelumnya saya hendak memberitahukan dahulu kepada semua orang yang mau baca lanjutan review ini :
1. Saya nggak percaya sama teori konspirasi Zionis! >.<
2. Saya nggak benci sama Israel! >.<
3. Saya bukan seorang Muslim. X3
4. Isi review ini banyak spoilernya! >.<
Segala bentuk reaksi yang bakal anda alami (marah, sebal, serangan jantung, ataupun stroke) setelah baca review ini di luar tanggung jawab saya >.<.


Buku ini sebenarnya cukup bisa dinikmati terutama karena melakukan pendekatan berdasarkan teori-teori sains yang berhubungan dengan masa depan bumi ini terutama tentang dua teori yang saling berseberangan yakni : teori es kutub yang mencair karena pemanasan global dan akan menenggelamkan sejumlah kota dan pelabuhan serta teori tentang kemungkinan timbulnya snowmageddon atau nama panjangnya Paleocene Eocene Thermal Maximum – yakni fenomena di mana dunia masa depan mungkin akan kembali ke zaman es akibat pelepasan metana dalam jumlah besar di daerah Antartika.

Pemilihan tokoh-tokoh ilmuwan (yang kebanyakan berasal dari Indonesia) juga sebenarnya cukup menyenangkan, mengingat kebanyakan novel karya anak negeri kita ini memakai tokoh ilmuwan dari luar negeri (baca : Amerika atau Eropa) untuk bidang-bidang keahlian ilmu pasti. Cukup menyenangkan juga kalau kita bisa punya jajaran ilmuwan sehebat itu yang bisa membiayai laboratoriumnya sendiri tanpa bantuan dana dari pemerintah >.<.

Tapi ... sebagai novel fiksi-ilmiah novel ini punya beberapa hal yang membuat saya tidak bisa memberikan nilai lebih dari dua bintang.

Yang pertama adalah ... GIA!
Doktor Gia adalah sosok yang dicintai semua orang dan segala makhluk langit! Bagaimana tidak? Kala ibunya melahirkan, biaya persalinannya disokong oleh tiga teman ibunya. Kala Gia didiagnosis mengalami lemah otot jantung dan harus menjalani transpalantasi , biaya transplatasi jantung serta perawatannya disokong oleh teman-teman ibunya yang itu juga. Saat Gia mulai sekolah, ia disekolahkan oleh teman-teman ibunya, dan diasuh oleh salah satu dari mereka, yakni Profesor Riyadi di Amerika Serikat. Saat Gia sudah dewasa, dibelikan mobil sport oleh para ayah angkatnya yang juga merupakan teman-teman dekat ibunya tadi. Saat Gia sudah jadi doktor, ia ditaksir oleh Doktor Joda dari India dan Doktor Husna dari GarPu Lab!

Ada yang merasa kenal dengan karakter macam ini? Bagi penggemar manga seperti saya, saya akan langsung merujuk pada ... Shinra Sakaki, protagonis dari manga C.M.B C.M.B. Vol. 1 by Motohiro Katou , yang dibesarkan oleh tiga ayah angkat, punya akses ke dana penelitian dan dana pribadi yang nyaris tak terbatas serta memiliki pesona di kalangan wanita-wanita (walau sejauh ini baru dua wanita sih :P ) ^_^

Oke, mari kita tinggalkan perbandingan antara Doktor Gia dengan Shinra Sakaki. Kali ini saya akan beralih pada kualitas sperma Doktor Gia. Doktor Gia ini punya sperma kualitas prima, baru sehari-dua hari berselang sejak ia berangkat ke Antartika, istrinya sudah hamil!

Kemudian Doktor Gia dideskripsikan oleh penulis sebagai doktor ahli kimia berkebangsaan Indonesia yang dibesarkan di Colorado. Tapi ... saya merasa Doktor Gia tiba-tiba menjadi sangat tolol saat melakukan ekspedisi di Antartika. Bagaimana tidak? Sebagai seorang yang besar di luar negeri (entah kapan dia kembali ke Indonesia), kok Doktor Gia tidak paham mengenai frostbite alias radang dingin? Tempat tinggal Doktor Gia semasa kecil adalah negara empat musim dan bidang keahliannya adalah kimia kan? Masa dia nggak sadar bahwa luka yang dia derita di Antartika itu berpotensi mengancam jiwanya? Masa dia nggak pernah diajari oleh guru geografinya soal bahaya radang dingin bagi para pendaki pegunungan bersalju di K2 atau Everest serta guru biologinya soal kematian sel akibat radang dingin sih?

Yang kedua adalah ... Rio!
Yes! I know you are a computer expert Doctor Rio, but please! Searching some articles on internet while your superior, Prof. Deni, asked you to become witness on his daughter’s marriage??? SERIOUSLY???!!!

Yang ketiga adalah ... Mahmoud!
Saya merasa penulis agak punya sedikit ‘tendensi politik’ saat memasukkan tokoh ini. Kenapa Kapten Mahmoud harus berkebangsaan Iran kalau pada akhirnya ia akhirnya menjadi ‘pengkhianat’ dalam tim? Kenapa Kapten Mahmoud tidak berkebangsaan Iraq atau Turki atau Pakistan saja? Apa karena saat buku ini ditulis, popularitas presiden Iran, Ahmadinejad, sedang populer-populernya? Kalau iya, kenapa anak dari para pejuang Iran yang konon gagah berani dalam melakukan revolusi Islam dan akhirnya berhasil menggulingkan kekuasaan Syah Iran itu digambarkan seperti ini? Diam-diam saya tidak rela melihat bangsa sehebat Iran diwakili tokoh seperti Mahmoud.

*Lagian kalau memang bener lawannya Zionis harusnya Mahmoud kan hubungi agensi VAJA (http://en.wikipedia.org/wiki/Ministry... ) milik pemerintah Iran. Anggota VAJA yang sampai 30.000 orang saya rasa cukup buat menyelamatkan orang yang dikasihi Mahmoud.*


Yang keempat adalah Prof. Deni!
Prof. Dr. Ir. Deni Nugraha, M.S, adalah seorang fisikawan yang hobi banget bikin orang nangis atau bersedih. Nggak percaya? Oke ini buktinya:
• Kasus pertama : Saat Rio jadi saksi di pernikahannya Husna, dia malah ingatkan Rio, si saksi (yang buka-buka internet pas Mahmoud berikan tausiyah) soal nasib ayahnya, Prof. Riyadi, yang belum jelas hidup atau mati.
• Kasus kedua : waktu ia panggil dr. Arif untuk memeriksa apakah Husna hamil atau tidak ia malah bikin sandiwara dengan dr. Arif biar Husna nangis.
• Kasus ketiga : Dia ngomong pada Husna seperti ini :
o “Aku berharap cucuku bisa menjadi manusia sehebat putra beliau, Rasulullah Muhammad.”
o Dan, “Tak sadarkah bahwa apa yang engkau alami saat ini memiliki kesamaan dengan apa yang dialami ibunda Nabi? ... . Beberapa kali ada yang memberitahukan beliau dalam mimpi bahwa dirinya sedang mengandung seorang bayi dan benar saja beliau hamil tidak lama setelah menikah dengan sayyidina Abdullah.”


Saya rasanya pengen teriak, “Bagus sekali Prof! Pertama, anda menaruh harapan yang terlalu besar pada cucu anda! Kedua, anda berhasil bikin putri anda menangis karena menurut kisah ibunda Kanjeng Nabi akhirnya jadi janda dan Husna jelas belum mau jadi janda!”

Yang kelima adalah GarPu Lab
Saya kurang tahu bagaimana caranya tiga orang profesor (Deni, Riyadi, Wahyu – semuanya ayah angkatnya Gia) patungan dana operasional lebih dari satu juta dollar per tahun buat operasional GarPu Lab. Tidak diceritakan di sini apakah mereka punya hak paten yang nilai pembayaran patennya melampaui jumlah tersebut. *Dan mereka masih bisa beliin Gia mobil mewah seharga US$400,000.00??? WTF*

Lalu masalah lainnya adalah ... kenapa kok namanya Garuda Putih Laboratorium? Apa karena pendirinya orang Indonesia makanya namanya jadi begitu meski ilmuwannya sendiri ada yang dari luar Indonesia?

Yang keenam adalah Para Zionis
Yahudi itu (ada yang) jahat! Tapi di sini kayaknya dikesankan bahwa semua Yahudi itu jahat! Dan Israel harus musnah dari peta dunia! ^_^

Yang ketujuh adalah Sharma dan Joda
Yang sekolah dokter dan profesinya dokter itu Sharma ... tapi kenapa yang melakukan tindakan medis pada Gia waktu harus amputasi jari di Vinson Masif itu malah Joda?

Lalu ada hal yang mengganggu saya ketika sudah sampai adegan surat wasiatnya Davis. Davis tiba-tiba saja ingin Sharma menikah sama Gia! Kemudian Husna merelakan Gia jadi suaminya Sharma juga asal Sharma masuk Islam! Akhirya Sharma minta dijadikan mualaf di Bali (walau akhirnya mati dibunuh para Zionis!).

KEPARAT KAU ZIONIST!

Joda? Joda akhirnya menikahi Mahmoud. Entah Jodanya sendiri sebenarnya seorang Muslim atau bukan, di akhir kisah diceritakan bahwa Joda akhirnya berhijab.



Yang kedelapan adalah soal bendera merah putih di Vinson Massif
Saya jadi bertanya-tanya, kenapa Rio nggak bawain sekalian bendera hijau-putih-oranye dari India dan bendera Amerika Serikat buat dipasangkan bersama sang saka merah putih? Biar kelihatan kalau ada ilmuwan dari negara selain Indonesia di sana gitu loh >.< .
This entire review has been hidden because of spoilers.
Profile Image for Nabila.
36 reviews7 followers
September 2, 2017
Jujur, saya memiliki ekspektasi yang tinggi terhadap buku ini. Mungkin karena teman saya bilang buku ini bagus dan karena temanya tentang global warming dan berbau-bau sains, saya jadi semangat banget pengen baca. Ternyata hasilnya mengecewakan.

Kenapa saya tega cuma ngasih satu bintang?

1. Terlalu banyak footnotes yang sebenarnya tidak perlu
Saya tidak suka footnotes. Bagi saya, membaca sesuatu yang tidak ditulis secara sistematis (seperti footnotes yang loncat-loncat dari atas ke bawah terus ke atas lagi) itu sangat membingungkan. Memang sih, kadang footnotes itu perlu. Atau kalau footnotes-nya kocak seperti yang di Bartimaeus Trilogy sih, saya suka-suka aja. Tapi, kalau footnotes-nya banyak berisi hal-hal yang nggak penting? Misalnya 'forecast cuaca'. Apa perlu dikasih footnotes? Kalau takut orang tidak mengerti dengan istilah forecast, kan bisa diganti dengan kata 'prakiraan'.

2. Boros kata
Menulis novel fiksi memang tidak sama dengan menulis laporan hasil riset. Tapi, saya bukan orang yang sabar membaca deskripsi sesuatu yang sebetulnya tidak perlu dideskripsikan. Demi keindahan, memang kadang kita 'perlu' boros kata, tapi coba baca paragraf pertama chapter pertama. "Semua molekul cat berpigmen hijau berikatan satu sama lain untuk menutup rapat seluruh permukaan dinding kamar." Kan sebenernya tinggal bilang aja "dinding kamar itu bercat hijau."

3. Gaya bahasa yang saya kurang suka
Ini sebenarnya masalah selera. Teman saya suka dengan gaya bahasa seperti ini. Tapi, kalau saya nggak. Buat saya, untuk novel sci-fi seperti ini, gaya bahasa yang terlalu puitis seperti itu rasanya kurang cocok.

4. Ada beberapa hal yang tidak masuk akal
Memang ke Antartika bisa dadakan gitu?

5. Inkonsistensi
Di halaman 185, Sharma bilang pada Joda, "Sepanjang perjalanan dari Bandung hingga ke Punta Arenas pun, kusaksikan kau sering memandangnya, tersenyum sendiri padanya, sesekali menyaksikan aktivitasnya dari kejauhan." CMIIW because I have a poor memory. Bukannya Joda nggak berangkat bareng mereka dari Bandung, ya? Bukannya Joda nunggu di Punta Arenas?

6. Grammatical error dan typo
Gemes rasanya kalau melihat kesalahan dalam tata bahasa atau cara menulis kalimat. Contoh, angka tidak boleh ditaruh di awal kalimat. Kita bisa mengganti kalimat itu atau menulis angka dalam huruf saja. Misal, "...sekedar memperlambat laju. 38 menit lagi." (p. 271) Seharusnya, angka itu ditulis pake huruf, atau kalau angka itu lebih dari dua kata, ganti saja susuan kalimatnya supaya tidak ada angka di awal kalimat. Ada juga beberapa salah ketik, kayak huruf besar di tengah-tengah kalimat, padahal bukan nama orang atau tempat.

7. Waktu
Karena kejadian di buku ini cuma disebutkan tanggal dan bulannya saja, tanpa tahun, saya jadi agak bingung. Ini sebenarnya kejadiannya kapan sih? Di halaman 315, ditampilkan hasil studi Univerity of Toronto tahun 2011 dalam presentasi yang diberikan di konferensi IPCC di Bali, tanggal 22 April. Setahu saya, konferensi IPCC Bali itu tahun 2009, dan itupun di bulan Oktober (CMIIW). Atau mungkin konferensi-konferensi yang disebut di buku ini memang benar-benar fiksi?

Yah, ngasih bintang memang gampang. Ngasih kritik juga gampang. Tapi menulis itu sulit. Dan mempublikasikan hasil tulisan itu lebih sulit dan membutuhkan keberanian. Jadi, meskipun saya tidak suka bukunya, saya tetap menghargai penulisnya.
Profile Image for Zahwa az-Zahra.
131 reviews21 followers
October 15, 2012
Berhubung tema novel The Lost Java ini bisa dibilang cukup berat -buat saya-, maka resensi kali ini boleh jadi akan keluar -sedikit- dari pakem yang ada. Mari kita perbincangkan buku ini dengan lebih santai.

(menyeruput kopi)


Seorang kawan mempromosikan The Lost Java (TLJ) di sebuah grup menulis yang saya ikuti. Sebuah novel sci-fiction. Sejujurnya, itu bukanlah tema yang menarik minat saya untuk membacanya. Maka, saat saya diseret masuk ke dalam grup pembaca TLJ dan buku sci-fiction lainnya, keinginan untuk membacanya belum juga memuncak.

Hingga kemudian, di sebuah toko buku, saya menemukan TLJ tertumpuk manis di antara buku-buku yang baru terbit. Great! Awalnya saya pikir buku ini akan sangat sulit ditemukan, mengingat penerbitnya, IG Press, cukup asing di telinga saya. Tapi ternyata mudah juga mendapatkan buku bersampul biru tersebut. Meski kavernya terlalu biasa, namun endorsement yang diberikan serta gaya bahasa yang digunakan sukses membuat saya memutuskan membawa TLJ hingga kasir. Sebagus apakah buku tersebut? Semua baru bisa disimpulkan setelah membacanya.

Sebagian orang mungkin akan menjauhi genre sci-fiction, apalagi yang berbau konspirasi, dalam daftar bacaannya. Saya sendiri termasuk dalam yang sebagian itu. Terbiasa dengan bacaan yang ringan seringkali membuat kening saya berkerut ketika membaca suatu buku yang memuat banyak data dan teori. Kabar baiknya, novel ini menggunakan bahasa yang mengalir hingga tak terasa halaman demi halaman bisa dibaca sampai tuntas.

“Kami adalah negara kepulauan. Sampai saat ini, kami telah kehilangan 52 pulau. Sebentar lagi, pulau tempat ibukota kamipun terancam tenggelam akibat banjir permanen dan terkikisnya pesisir pantai. Rakyat kami sedang diparut ketakutan. Demi Allah. Save the earth now or there will be no day after this year.”

Oke, saya buka ulasan ini dengan pernyataan yang disampikan oleh Dr. Gia Ihza M. Sc di pertemuan antarpeneliti dalam acara IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change). Gia, peneliti asal Indonesia ini menjadi salah satu peserta symposium yang akan melaporkan data-data apa saja yang berkaitan dengan isu perubahan iklim akibat global warming yang mengancam dunia. Uhuy, keren, kan? Ada peneliti Indonesia yang bersuara di tingkat Internasional ^^b

Gia tergabung dalam Garuda Putih Labolatory (Garpu Lab), sebuah laboratorium penelitian yang fokus pada pembuatan formula untuk membuat hujan badai buatan di Antartika. Misi utamanya adalah mempertahankan methane hydrates yang menjadi faktor penting dalam efek rumah kaca tetap tertimbun di dalam es. Penelitian di Laboratorium tersebut dikembangkan sejak 35 tahun yang lalu oleh tiga sekawan: Prof. Deni, Prof. Riyadi, dan Prof. Wahyu.

Untuk menjaga kerahasiaan misi tersebut, pengembangan dilakukan di tiga titik yang berbeda. Prof. Riyadi di Colorado, Prof. Wahyu di Tel Aviv, sedangkan Prof Deni bertanggung jawab terhadap Garpu Lab yang terletak di suatu tempat yang amat tersembunyi di Bandung. Masing-masing peneliti senior tersebut memiliki asisten: para peneliti muda dari berbagai negara yang sudah meraih gelar doktor hingga professor.

Dari Swiss, ke Tel Aviv, lalu Colorado, Jakarta, hingga Bandung. Alur cerita bergulir dalam bentuk potongan-potongan cerita yang berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Ketegangan yang tercipta sejak selesainya IPCC di Swiss berlanjut pada serangkaian serangan yang menewaskan Prof. Wahyu dan Prof. Riyadi. Sinyal merah yang sampai ke Garpu Lab menjadi pertanda bahwa misi mereka telah terendus dan siap untuk digagalkan.

Tak ada waktu lagi. Misi untuk menyelamatkan bumi itu harus dipercepat. Maka, dibentuklah tim WAR (Warriors of Antartic) yang akan menembakkan formula yang telah dibuat ke awan Cumulus di puncak Vinson Massif, Antartika. Misi ini pernah dilakukan sebelumnya, namun sayangnya gagal. Tim WAR sendiri terdiri dari Gia, Davis (murid Prof. Riyadi), Joda (murid Prof Wahyu), Sharma (adik Joda sekaligus kekasih Devis), Rio (anak dari Prof. Riyadi), dan Mahmoud (captain jet sekaligus mata bagi pendakian ke gunung es Vinson Massif).

Sesungguhnya, bukan hanya waktu yang mengancam misi mereka. Ada kekuatan besar di balik itu semua yang menghendaki kekuasaan mutlak di muka bumi ini. Adalah Dark Star Knight, sebuah organisasi Yahudi Internasonal yang menjadi otak dari serangkaian serangan yang terjadi sebelumnya. Tujuan mereka tak lain adalah merebut formula yang dibawa oleh Tim WAR dan menggagalkan misi tersebut.

Kawanz, pernahkah terpikir di benak kita bahwa isu global warming atau pemanasan global ternyata hanyalah sebuah konspirasi belaka?

Inilah tema besar yang dibawa Kun Geia dalam The Lost Java. Bahwa permasalahan bukan lagi pada seberapa besar akibat yang ditimbulkan oleh pemanasan global, namun tentang bagaimana fakta-fakta seputar pemanasan global yang digulirkan lewat media dapat menjadi amunisi yang baik untuk mewujudkan ketidakstabilan negara. Hingga akhirnya, mereka yang lemah akan mudah digerakkan layaknya boneka.

Tanpa diketahui rakyatnya, jika tidak ada masalah, maka ciptakanlah! Jika tidak punya musuh, maka carilah! Dengan begitu pemerintah akan terus dipercaya oleh rakyatnya untuk melindungi mereka. -hal. 139


The Lost Java memang sarat akan ilmu pengetahuan. Tidak tanggung-tanggung, data ilmiah serta informasi seputar bagaimana formula itu bekerja dan hal-hal yang berkaitan dengan pendakian gunung es dibahas dengan sangat detil. Bahkan, tak jarang istilah asing yang termuat disertai foot note untuk memperjelasnya. Salut atas kegigihan penulis dalam menyajikan data yang lengkap.

Satu hal yang tak terungkapkan adalah latar belakang para peneliti tersebut. Jika berkaca pada nasib para peneliti di Indonesia yang bisa dibilang kurang mendapat perhatian dari pemerintah, maka melihat sosok para peneliti di GarPu Lab tentu menimbulkan rasa takjub tersendiri. Darimana mereka memiliki dana yang amat besar untuk membiayai proyek penelitian tersebut? Seberapa tangguh mereka hingga bisa bersaing dengan kelompok Yahudi Internasional dalam hal konspirasi?

Yang cukup mengganggu adalah interaksi yang terjalin antara Gia dan Dr. Husna. Husna adalah putri dari Prof. Deni. Karena misi ke Vinson Massif yang dipercepat, pernikahan Gia dan Husna yang awalnya direncanakan berlangsung dua bulan setelah kepulangan Gia dari Swiss akhirnya dipercepat hingga sebelum tim WAR berangkat ke Antartika.

Entah karena tak ingin meninggalkan kesan berat dalam tema yang diusung, atau menyadari bahwa genre romance amat disukai oleh segala kalangan, penulis kemudian menyisipkan nuansa roman dalam novel karangannya. Yang sayangnya, hal ini terkesan dipaksakan dan membuat TLJ sedikit melenceng dari tema cerita yang sudah dibuat. Akhirnya, saya geli sendiri setiap kali romansa itu muncul sebagai selingan di tengah adrenalin yang memuncak saat mengikuti petualangan tim WAR.

Oh, bahkan prosesi pernikahan Gia dan Husna -lengkap dengan khutbah nikahnya- yang diulas dalam satu chapter tersendiri itu cenderung berlebihan. Meniadakan atau setidaknya mempersingkat bagian itu menurut saya tak membuat novel ini kehilangan gregetnya.

Terlepas dari nuansa roman yang -gagal- dibangun, TLJ sukses mengaduk emosi saya sebagai pembaca. Saya hanyut terbawa alur cerita yang membikin penasaran. Sekian menit adrenalin saya terpacu untuk turut merasakan rintangan yang menghadang para pendaki gunung es situ. Di lain waktu saya hampir dibuat menangis akibat kepergian beberapa orang dalam cerita tersebut. Hei, bahasanya sungguh menyentuh dan membuat haru. Aseli, deh!

Dan selalu, bagi saya yang paling menarik adalah mengetahui eksekusi akhir dari sebuah novel. Apakah ending-nya sejalan dengan alur yang digulirkan sejak awal. Lalu, adakah kaitannya dengan judul novel yang dibuat? The Lost Java ternyata mampu memberikan kelegaan di hati saya. Ending yang baik meski penyelesaian kasus seputar nasib ayah Gia belum jua tuntas.

Terakhir, novel ini boleh jadi bukan hanya merupakan sebuah peringatan agar kita selalu waspada terhadap konspirasi yang dilancarkan zionis tanpa kita sadari, atau bagaimana setiap kita mampu berperan serta menjaga bumi, terlepas dari benar atau tidaknya isu seputar global warming. Bagi saya, novel ini menjadi sebuah harapan bahwa Indonesia kelak akan melahirkan putra-putri bangsa yang memiliki sumbangsih besar dalam perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan, tanpa melupakan jati dirinya sebagai seorang muslim.

Ke depan, semoga semakin banyak novel bertema sci-fiction di Indonesia yang mampu menambah khazanah ilmu bagi para pembacanya.
Profile Image for Kun Geia.
Author 1 book7 followers
December 9, 2012
“Kehancuran dunia kian dekat, namun kematian sudah mengintai jauh lebih dekat lagi!”

Bencana mengincar setiap nyawa. Iklim sempurna tak lagi bersinergi dengan bumi. Banjir-banjir mulai berubah status menjadi permanen. Ratusan pulau perlahan tenggelam ditelan luapan air laut. Puluhan juta manusia digiring paksa oleh bencana untuk mengungsi. Terlampau menyeramkan saat menunggu detik-detik mencairnya es di kutub utara dan kutub selatan yang notabene sebagai penyimpan 90% cadangan air di bumi ini. Apakah dunia sudah mengetahui kengerian yang akan terjadi setelahnya?

Puncak bencana akan terjadi ketika panasnya suhu bumi menyebabkan gas metana beku terlepas dari kedalaman es dan laut, padahal ia memiliki kekuatan efek rumah kaca 25 kali lebih hebat dari karbon dioksida. inilah ancaman utama yang akan menghancurkan! Bencana Paleocene Eocene Thermal Maximum yang terjadi 55 juta tahun yang lalu akan terulang kembali. Bencana apakah itu? Itulah saat dimana seluruh permukaan bumi membeku tertutup lapisan es tebal dan setelahnya hanya akan tersisa dua kata saja dari sejarah keberadaan manusia: KEPUNAHAN MASAL.

Sekelompok ilmuwan terbaik dari seluruh dunia berkumpul untuk mencari solusi dari semua kekacauan, di dalam sebuah lab rahasia mereka meneliti nuklir, atmosfer dan es untuk menyelamatkan bumi dari cengkraman awal kehancuran. Setelah 35 tahun melakukan penelitian, Garuda Putih Laboratory akhirnya dapat menyelesaikan formula yang akan dibawa dalam misi WAR (Warriors of Antartic). Lima ilmuwan terbaik dari Indonesia, India, Iran, dan Amerika berangkat menuju atap tertinggi Kutub Selatan, puncak Gunung Vinson Massif. Tujuan mereka satu, menyelamatkan umat manusia dari kepunahan massal.

Selama ekspedisi, badai es beberapa kali mengamuk, oksigen minim pada ketinggian, dan suhu -45° C menyengat dengan dinginnya. Longsor es mengincar setiap saat, tebing-tebing tinggi sulit untuk dilewati, hingga jurang curam menganga untuk disebrangi. Namun, dari semua itu, ada hal lain yang jauh lebih mengancam keselamatan tim WAR. Di belakang mereka, sebuah organisasi bawah tanah kliber internasional yang terkenal kejam dan brutal menaiki Gunung Vinson Massif dari jalur daki yang lain. Tujuan mereka satu, merampas formula dari tim WAR dan menggunakannya untuk menguasai dunia demi satu pemerintahan, The New World Order.

Petualangan novel bergenre science-thriller fiction ini menyajikan tiga komponen yang digarap dengan serius berupa “sisi keilmuan” yang dipadukan dengan adegan-adegan “pemicu adrenalin” yang menyedot habis “rasa penasaran” pembaca di setiap akhir babnya. Dan tentu saja disempurnakan dengan “romantika cinta” yang dibingkai apik dalam konflik yang bertubi-tubi. The Lost Java lebih dari sekedar novel Sci-Fi. Ceritanya dipersiapkan dengan matang. Jadilah alur dalam buku ini penuh dengan jalinan yang syarat ketegangan, menyuguhkan kepuasan tersendiri bagi para pemburu bacaan thriller.

-----------------------------------------------------------------------

"Setiap kita punya gambaran masa depan tentang hidup kita sendiri, tentang karir, pendidikan, maupun keluarga. Namun tahukah kita masa depan Indonesia? Masa depan pulau Jawa? Siapa sangka jika di masa depan pulau terpadat di dunia ini akan tenggelam? Novel The Lost Java menggambarkan bagaimana ilmuwan Indonesia di masa depan berjuang menciptakan sejarahnya sendiri, melawan hegemoni global dan diktatorisme barat. Dengan gaya bahasa lugas dan cerdas, Kun Geia membawa kita ke puncak Gunung Vinson Massif‒Antartika, ke Tel Aviv‒Israel, London, hingga ke perkampungan di Yogyakarta. Alur yang tajam dan latar yang kuat ditambah dengan data-data fantastis, membuat kita terus tertarik ke dunia petualangan seru.
Selamat, Anda telah menjadi pembaca berkualitas!"

[Ashif A. Fathnan, Taichung City - Kandidat Master of Science Asia University, Taiwan]


"Saat membaca tulisan awal novel ini, dua kata yang terlintas adalah cerdas dan detail. Scientific feel-nya sangat dapat. Dahsyat dan Menginspirasi. Sebagai seorang yang belajar sains, tulisan ini membawa ke ranah yang saya inginkan."

[Nurma Yunita Indriyanti - Kandidat Doktor University of Muenser, Germany]
Profile Image for Igpress.
1 review1 follower
December 9, 2012
MISI SEJUTA UMAT
Oleh Novia Syahidah
sumber: http://www.facebook.com/notes/novia-s...

Kun, Maka Jadilah The Lost Java

Seperti makna kata Kun yang berarti jadilah, maka saya pun “menjadi” membaca The Lost Java besutan Kun Geia ini di sela-sela saya menjalankan ibadah di bulan Ramadhan. Jujur, saya tidak membelinya, tetapi saya mendapatkan dari seorang teman. Awalnya saya menolak, tetapi setelah diberitahu bahwa ini adalah novel fiksi ilmiah mata saya mulai berbinar. Rasanya sudah lama saya tidak merasakan karya fiksi jenis ini bahkan saya sendiri sudah lupa kapan terakhir saya membaca karya anak negeri ini.

“Kenapa Pulau Jawa yang pertama kali dihancurkan?”
Mr. Yozak menyeringai bengis mendengar pertanyaan.
“Rumusnya begini, untuk menguasai seluruh dunia, maka pertama kali kuasailah negara dengan penganut Islam terbanyak di dunia, Indonesia. Negara itulah nadinya Islam di dunia, ia strategis serta politis, maka setelahnya... negara yang lain akan sangat mudah untuk ditaklukkan jika Indonesia sudah berada dalam genggaman. Untuk menguasai Indonesia, maka yang pertama kali harus kita kuasai adalah nadinya Indonesia, Pulau Jawa!”

Semua yang ada di sana tertawa bersama. Mr. Yozak kembali mengangkat gelas anggurnya, mereka kembali bersulang.
“For The Lost Java!” (hal.347)

Itulah salah satu kausalitas yang muncul dalam petualangan Gia bahwa ada konspirasi yang muncul seiring adanya pemanasan global dan upaya para peneliti untuk menyelamatkan kehancuran bumi. Rasa ke-Indonesia-an Kun yang menjadikan Jawa sebagai pusat dari semua alur cerita dan pusat dari Garuda Putih Laboratory yang setelah 35 tahun bisa menyelesaikan sebuah formula dalam misi Warriors of Antartic; Gia bersama ilmuwan lainnya dari Indonesia, India, Iran, dan Amerika memiliki misi di puncak Gunung Vinson Massif demi menghidari bumi dari kepunahan umat manusia akibat pemanasan global. Tetapi misi mulia itu akan berhadapan dengan sebuah perkumpulan rahasia internasional yang siap merebut dengan segala cara formula penyelamat itu dan menggunakannya untuk menguasai dunia.

Novel ini adalah cerita konspirasi fiksi ilmiah yang sungguh mengeksplorasi tidak sekadar persoalan pemanasan global (global warming) tetapi juga wisata dan Islam di dalamnya.


Wisata dan Islam

Seperti makna Kun, menjadikan novel fiksi ilmiah tentu saja memerlukan riset mendalam. Tidak sehari atau sebulan malah terkadang riset yang melelahkan itu berlangsung selama bertahun-tahun.

Salah satu kekuatan karya novel (fiksi ilmiah) adalah penggambaran detail tempat. Bukan berarti karya-karya lain tidak memiliki kekuatan, tetapi sudah menjadi sesuatu yang “jamak” bahwa mendeskrispikan tempat adalah unsur penting dalam sebuah novel dengan ketebalan naskah yang jauh lebih banyak dibandingkan sebuah cerita pendek. Gambaran Antartika, Israel, Inggris, hingga Indonesia sendiri menjadi penegas bahwa ini adalah setting tempat yang sejak awal sudah diimajikan ke pembaca melalui gambar di kaver depan novel setebal 357 halaman itu.

Yang terasa adalah bagaimana sang penulis menjelaskan Yogyakarta (hal.293). Sepertinya memang Kun adalah penulis yang menjadi tour guide melalui kata karena menunjukkan jalan demi jalan yang ada di kota pelajar itu. Setelah saya membuka halaman biodata penulis—ini ditulis cukup unik sekali—saya pun tidak begitu heran bahwa Kun memang terbilang cukup lama berada di kota itu (hal.359-360). Maka wajarlah kalau ia bisa menjelaskan pelosok Yogyakarta dengan piawai. Tetapi, kepiawaian Kun ternyata juga dibuktikan dengan deskripsi ketiga tempat lainnya tadi; saya pun berandai, jika tidak ada halaman biodata penulis, maka novel ini bolehlah ditaruh di rak novel terjemahan di toko buku. Meski ada beberapa bagian yang penulis luput menjelaskan setting tempat ini secara detail, namun jika ini adalah novel pertama yang ditulis Kun maka bagi saya itu ditutupi oleh adegan demi adegan yang akhirnya bisa mengalihkan dari sekadar detail tempat ke rasa penasaran.

Keunikan lain dari novel Kun ini adalah ada nilai Islam yang coba dimasukkan sebagai salah satu klimaks antartokoh. Saya tidak melihat sepenuhnya pada cerita Kun yang berkutat di misi Yahudi dan Protocols of Zion, ini sudah terlalu biasa dan banyak dijadikan batu pijakan dalam novel-novel fiksi ilmiah ataupun konspirasi (thriller), melainkan pada upaya Kun untuk menjadikan poligami sebagai penambah klimaks cerita fiksi ilmia. Ya, perbincangan sepanjang tiga halaman (hal.294-296) antara Gia dan Husna seperti menyadarkan bahwa persoalan poligami dan tentu saja cinta terasa seru juga untuk dijadikan peristiwa dari sekadar konspirasi an sich.


The Secret Number

Seperti arti Kun, novel fiksi ilmiah ini telah menjadi artefak dalam sejarah karya fiksi ilmiah tanah air. Tetapi, patut disayangkan, saya melihat artefak itu belum lagi lama usianya sudah terkikis oleh beberapa kelemahan yang bagi saya sangat mengganggu.

Pertama, novel ini semestinya bisa membawa benak pembaca pada penjelasan detail yang dibangun oleh penulis. Namun, ada beberapa bagian yang membuat pembaca tidak bisa mencerna atau bahasa halusnya seperti keheranan melihat fakta yang disajikan. Misalnya, penyebutan kata gang sebagai sebuah jalan yang bisa dimasuki oleh Rolls Royce Phantom Couple (hal.293) terasa aneh. Sepengetahuan saya yang tinggal di Jakarta jika disebutkan gang, maka yang muncul adalah jalan sempit di antara pemukiman dan biasanya pula hanya motor yang bisa masuk melaluinya. Nah, ketika sebuah mobil mewah masuk ke dalam gang, saya jadi berpikir apakah sebesar itu sebuah gang di Yogyakarta. Ingat, tidak semua pembaca adalah penduduk atau pernah datang ke Kota Pelajar itu. Selain itu, Kun sepertinya harus lebih berhati-hati dalam pemilihan kata: apakah tidak lebih baik mengunakan kata “di tanjakan” dibanding “dalam tanjakan” sehingga ketika membaca “Gia kehilangan keseimbangan. Ia terjatuh dalam tanjakan” (hal.201) menjadi lebih renyah.

Kedua, saya tak mengerti atau mungkin karena standar rasa ke-Indonesia-an saya terlalu tinggi sehingga ketika membaca teks dalam The Lost Java ada yang janggal di sana. Tidak hanya satu, tetapi beberapa halaman sempat membuat saya mengernyitkan dahi. Coba baca kutipan ini:

Sepatutnya, yang perlu lebih di khawatirkan bukanlah global warming, tetapi snowmagedon atau membekunya bumi, kembali ke masa ice age.(hal.354)

Coba perhatikan dan tanyakan apa bedanya kata “masa” dan kata “age” yang ada di dalam kalimat di atas. Bukankah kedua-duanya juga berarti sama sehingga cukuplah Kun menuliskannya dengan kalimat singkat zaman es. Ketercampuran ini sepertinya seperti disengaja oleh Kun sejak permulaan halaman novel ini (lihat hal.5). Sebenarnya saya sebagai pembaca secara pribadi lebih senang jika sebuah kalimat tidak disusupi oleh bahasa asing, kecuali tentu saja bahasa ilmiah layaknya sebuah novel fiksi ilmiah. Juga, mengapa harus ber-english pula untuk menjelaskan sesuatu yang belum tentu pembaca langsung mengerti? Meski hal itu sudah diterangkan maknanya dalam catatan kaki “timer” (hal.4), “ice axes” (hal.7), “dead lock” (hal.41), “cloud seeding” (hal.119) atau “sit harness” (hal.173), tetapi entah kenapa Kun lebih senang menggunakan kata berbahasa asing dibandingkan terjemahan Indonesianya. Kenapa harus tetap menggunakan “ice axes” sementara dengan kata kapak “es saja” sudah cukup; tak heran jika pembaca akan mencari makna kata asing itu di dalam catatan kaki dari halaman yang sudah puluhan atau ratusan terlewati. Entah disengaja atau tidak, dari semua judul bab dalam novel ini dari 21 judul yang tertera (hal.xv-xvi) hanya 8 yang berbahasa tanah air, sisanya bisa Anda lihat sendiri di halaman daftar isinya.

Ketiga, banyak pertanyaan yang saya sulit menduga jawaban-jawabannya. Sebuah karya fiksi ilmiah tentulah penuh dengan misteri dan tak jarang misteri itu dijelaskan dengan penjelasan seilmiah mungkin. Meski The Lost Java adalah sebuah karya fiksi tetapi tidak serta-merta ia bisa mengabaikan kemisterian tersebut. Misalnya, saya tidak bisa memperkirakan kapan tahun peristiwa itu terjadi. Kun hanya membiarkan sajian tanggal dan bulan tanpa ada tahun di sana. Padahal sebuah angka yang menunjukkan tahun bisa mereferensikan artefak teknologi yang muncul; telepon genggam di akhir tahun 1990-an sangat berbeda bentuknya dengan tahun 2010-an. Meski, lagi-lagi sebuah karya fiksi ilmiah, boleh saja bilangan tahun tidak menunjukkan artefak yang ada saat itu, tetapi tidaklah menjadikan tanggal sebagai pembuka sebuah bab; lihatlah karya pelopor fiksi ilmiah menjelang abad ke-19 Jules Gabriel Verne (1828-1905) dengan Twenty Thousand Leagues Under the Sea-nya atau pelopor karya siber seperti William Gibson dengan Neuromancer.

Seperti judul di bab ketiga “secret number”, rasanya tiga hal inilah yang membuat saya merasa terganggu dan meninggalkan banyak pertanyaan yang sulit saya temui jawabannya bahkan setelah saya menyelesaikan novel ini. Saya menduga novel ini merupakan karya pertama dari seorang penulis yang mencoba bermain di ranah fiksi ilmiah. Walaupun ada yang mengganggu, di tengah gempuran karya-karya yang menampilkan romantisme masa lalu atau ragam budaya, Kun mencoba atau memberanikan diri untuk masuk di jalur karya fiksi ilmiah yang sepi persaingan.


Seperti Kata Kun

Seperti makna Kun, karya ini akan betul menjadi; entah itu menjadi bacaan yang diburu atau malah menjadi bacaan yang tak seru.

Diburu karena karya ini hadir mengisi kekosongan dari buku berjenis fiksi ilmiah sehingga ada harapan akan banyak pembaca yang sejak lama mendambakan munculnya karya fiksi ilmiah khas dalam negeri. Dalam lintasan penerbitan novel fiksi illmiah, Kun bukanlah generasi mula yang melahirkan fiksi ilmiah. Penerbit Mizan, sebagai misal, telah melahirkan nama-nama seperti Eliza F Handayani dengan Area X, Arul Khan dengan Labirin, Efi F. Arifin dengan NSJ 2122 Mummi Legenda, dan Sulung Haryanto melalui Alpha Vetta-nya. Di luar itu, nama Dewi Lestari sudah kokoh dengan magnum opus fiksi ilmiah Supernova-nya. Selebihnya? Hampir bisa dikatakan nihil bahkan Purwanto Setiadi di rubrik Ruang Baca Koran Tempo pada tahun 2005 pernah mengatakan bahwa karya fiksi ilmiah adalah karya fiksi di negeri sepi pembaca.

Tak seru karena bisa jadi karya ini hanya numpang lewat dari rak-rak di toko buku atau menghilang setelah lelah berpromosi di situs jejaring sosial seperti Facebook atau Twitter. Ya, fiksi ilmiah adalah karya yang memiliki pembaca yang unik. Tidak seperti lainnya—ditambah dengan kegemaran akan hal-hal yang berbau impian seperti hidup bahagia atau menemukan cinta—sebuah karya fiksi ilmiah tidak hanya memerlukan imajinasi saja ketika membaca, melainkan juga memaksa otak untuk mencerna bahkan memikirkan fakta-fakta yang tersajikan. Tak jarang (calon) pembaca sudah merasa kelelahan dahulu memandang sebuah karya berlabel fiksi ilmiah.

Tapi itulah makna Kun. Walau novel ini hadir dengan di antara dua kemungkinan yang disebutkan, namun saya melihat ada keberanian dari penulis cum penerbit bermain di ranah yang sepi bahkan bisa jadi banyak ditinggalkan oleh pelaku lainnya. Pertarungan antara laku atau tidak dari sisi ekonomis sepertinya sudah dipikir masak-masak. Toh, kalau pun akhirnya karya ini jeblok di pasaran novel ini sudah menjadi satu mata rantai yang menyambung tradisi karya-karya fiksi ilmiah di tanah air. Sebuah karya yang selalu mengandung rasa penasaran, setidaknya bagi saya, untuk mengetahui misteri di halaman selanjutnya.

Percayalah akan makna Kun, novel ini telah menjadikan saya (kembali) sebagai pembaca dan penyuka karya ilmiah. Tak perlulah best seller, meski saya berharap demikian, tetapi seorang Kun dengan The Lost Java-nya telah menghilangkan kedahagaan saya dan tentu saja saya akan merekomendasikan kolega saya untuk membaca buku ini. Karena, buku ini memang layak untuk dibaca setidaknya untuk menghilangkan rasa penasaran apakah Jawa benar-benar akan hilang dari peta tanah air atau tak bisa ditemukan melalui Google Earth?

Kun, maka jadilah The Lost Java
1 review
December 9, 2012
Konspirasi dalam Mitos Global Warming

Judul: The Lost Java
Penulis: Kun Geia
Penerbit: IG Press, Yogyakarta
Cetakan: Pertama, Juni 2012
Tebal: 363 halaman
Peresensi: Muhammad Itsbatun Najih*

Tema global warming ramai dibicarakan. Seminar digelar, pertemuan tingkat internasional semakin intensif diadakan walau perihal hasil konferensi akan dijalankan atau tidak itu soal lain. Semua seremonial itu sebenarnya menjelmakan ketakutan atau persisnya semacam antisipasi dalam rangka mengejawantahkan eksistensi manusia agar masa depan bumi dalam konteks keberlangsungan peradaban manusia mutlak bisa terus dipertahankan. Atau justru seremonial itu malahan semacam bentuk kepuraan-puraan. Kemungkinan ada maksud tersembunyi. Buktinya, aktor pembelot kesepakatan hasil konferensi masih berlenggang jemawa tanpa harus merasa berdosa.

Sedangkan Indonesia sebagai representasi negara berkembang toh hanya sebagai korban. Kedigdayaan mereka (baca: negara industri penghasil karbon dengan jumlah besar -Amerika Serikat, misalnya) membuat negara dengan diplomasi lemah macam kita tak mempunyai kekuatan mendobrak status quo tersebut. Protokol Kyoto atau hasil dari KTT Perubahan Iklim Rio de Janeiro serta Bali beberapa waktu silam pun hanya menjadi parade keapesan negara loyo dengan nantinya dijanjikan iming-iming bantuan insentif pembangunan.

Kekeringan, lahan persawahan terbengkalai, masyarakat kesulitan mendapat air bersih menjadi efek domino dari asumsi gara-gara isu global warming. Beberapa orangtua pun mengamini hal itu dengan asumsi bahwa saat masa kecil sengatan panas terik matahari tak sepanas sekarang. Maka, anak cucu macam kita secara spontan mengamini bahwa bumi ini memang masuk dalam masa pemanasan global.

Kun Geia menampilkan wacana baru. Wacana ilmiah dalam jalinan bungkus alur fiksi. Berkebalikan dari asumsi masyarakat luas termasuk para ahli. Keberanian menampilkan sanggahan serta hipotesa baru kadang dianggap lucu, tak menyajikan kebenaran populer. Tapi, Kun Geia tak sekadar berceloteh. Ia menyajikan alur logis dengan dukungan fakta ilmiah. Bukan prasangka tapi hipotesa yang mendekati keputusan akhir. Kun Geia ibarat suara lirih di tengah kebisingan corong kapitalis yang mengonsep adanya global warming.

Kun Geia berkata itu tak tepat. Bumi kita lebih dingin dibanding suhu bumi 160.000 tahun silam. Beberapa peneliti telah mengambil sampel inti es pada kedalaman 2000 meter dari permukaan Greenland yang sampai menghasilkan hasil akhir itu. Lebih lanjut, rata-rata suhu di Greenland pada abad pertengahan memiliki suhu 1,5 derajat lebih panas ketimbang saat ini. Inti es secara konsisten menunjukkan pendinginan suhu dari sejak ribuan tahun lalu. Walhasil, bumi mengalami pendinginan (hal 354). Untuk itu, lebih baik singkirkan konsep yang telah tertanam kuat istilah “global warming”, lalu “snowmagedon” menjadi pengganti yang perlu ditancapkan dalam-dalam.

Penelitian akan selalu terkalahkan dengan penelitian lanjutan. Kesalahan -jika itu memang salah- yang sudah menembus alam bawah sadar masyarakat dunia perlu corong yang sama besar dan kuat bahwa itu salah. Dan snowmagedon buru-buru kudu dikampanyekan. Pergeseran ini rasanya sebagai antiklimaks bahwa sebagian ilmuwan terkadang berwajah ganda. Kalau beberapa ilmuwan yang masih istikamah menyimpulkan snowmagedon, kenapa kita serasa diprogram untuk selalu membenarkan asumsi kebenaran global warming oleh ilmuwan lainnya?

Wajah ganda itu adalah mereka dengan menyembunyikan kepalsuan sambil memakai topeng kesantunan. Melihat kekeringan, cuaca tak menentu, sebagai nantinya akan berdampak pada kemiskinan terutama di negara-negara berkembang. Di sinilah letak kesempatan untuk bermurah hati dari negara-negara kaya penghasil emisi dan karbon menyalurkan bantuan. Bak pahlawan.

Haruskah itu disikapi sebagai rencana jahat sebagian manusia berwajah ganda itu? Mereka sebenarnya tahu bahwa ini adalah rencana panjang yang hanya diketahui oleh orang-orang tertentu. Snowmagedon adalah fakta. Tapi diselipkan dalam arus informasi global. Kebekuan bumi akan terjadi dan itu menjadi bagian yang lagi-lagi harus ditutup rapat-rapat. Kuota orang-orang busuk ini hanya kecil tapi memegang peranan penting yang konon sebagai kemudi negara adidaya.

Menjual isu global warming adalah hal logis. Dan itu sampai saat ini berhasil. Rupanya ada segerombolan manusia yang telah menyiapkan rumah tinggal permanen yang dibangun untuk mengantisipasi datangnya ice age yang Kun Geia bilang datangnya bisa sangat cepat. Sementara masyarakat dunia lain -yang rasnya berbeda dengan para gerombolan itu- tanpa memiliki informasi jujur, apalagi persiapan untuk menghadapinya.

Dan mengharap selain mereka akan binasa itu telah menjadi tujuan utama. Dengan begitu, hanya ras yang satu ini –bermarkas di Tel Aviv- akan menjadi pemain tunggal, penguasa dunia. Sebuah tatanan dunia baru akan segera dimulai.

Novel The Lost Java merangkum itu semua. Termasuk konspirasi menghancurkan manusia. Membincangkan Jawa dalam judul novel dipersepsikan sebagai wilayah yang perlu diperhitungkan dengan penghuninya sebagai lakon antagonis. Musuh besar itu adalah mereka yang masih menapaki laku ketaatan beragama. Kun Geia sebut sebagai umat Islam. Menjadi mayoritas dan dijadikan sebagai musuh besar oleh kelompok yang menghuni di Tel Aviv tersebut. Islam dianggap sebagai kekuatan besar yang tak cuma akan menjadi kerikil tapi batu besar yang setiap saat akan menimpa kelompok busuk itu guna menggagalkan rencana tengik itu.

Jadi wajar bila kelompok dalam novel itu yang disebut dengan Dark Star Knight akan mengarahkan target pembinasaan manusia mulai dari Pulau Jawa, Indonesia. Indonesia dikenal memiliki peran politik serta cakupan wilayah strategis dan dengan didukung oleh masih adanya ketaaatan religius. Jika bisa ditaklukkan, tentu negara-negara lain akan mudah dibinasakan karena Indonesia sebagai episentrum soal wajah keislaman, peran politik dan budaya di kancah internasional.

Alur perang ideologi diakui atau tidak menahbiskan pelbagai cara termasuk operasi-operasi intelijen, peperangan, sampai konspirasi. Islam dipandang sebagai kekuatan besar yang akan membangun imperiumnya kembali. Ancaman itu rasanya membawa kebenaranya sendiri persisnya ketika Uni Soviet dengan komunismenya tumbang. Dan Francis Fukuyama menahbiskan sebagai kemenangan bangsa Barat dengan kapitalismenya. Dan kini, sayangnya denyut kapitalisme tampaknya sudah tersendat-sendat menuju kiamat.

Denyut Islam abad ini semakin bergeliat khususnya di wilayah Eropa dan Amerika. Perihal kuantitas telah mengabarkan bahwa jumlah penganut Islam semakin bertambah. Sistem ekonomi syariah kian digemari.

Alasan Islam sebagai ancaman dan menjadi motif pembahasan novel ini sayangnya tidak disinggung secara jelas. Paparan perihal Islam sebagai musuh mereka tanpa melatarbelakangi apa sebab-musababnya meninggalkan pertanyaan besar: Mengapa Islam begitu ditakutkan sehingga cepat-cepat ingin dihancurkan?
***
Narasi fiksi ilmiah setebal 363 halaman itu menyajikan begitu detail misi pendakian lima ilmuwan plus satu penerbang di Vinson Massif, Antartika. Keenamnya menjalankan misi lanjutan. Telah didirikan sebuah laboratorium khusus yang dirancang demi misi itu. GarpuLab terletak tersembunyi di bawah tanah. Tak sembarang orang bisa menembus tempat itu. Bahkan alat secanggih apapun konon tidak mampu mendeteksi keberadaannya. Wajar saja karena mereka berhadapan dengan kelompok yang juga mengandalkan teknologi dan topangan anggaran finansial yang besar.

Di Garut, setting emosional seorang Kun Geia ditempatkan sebagai latar GarpuLab. Laboratorium itu di bawah komando Prof. Deni, karib orangtua Gia –lakon utama. Di Himalaya ada Prof. Wahyu dengan laboratoriumnya sendiri –semacam kamp penelitian. Di Colorado, markas laboratorium ketiga di bawah pimpinan Prof. Riyadi.

Ketiganya sebenarnya adalah personel misi Antartika Vinson Massif yang pertama. Mencoba menyelamatkan bumi dengan menembakkan roket yang berisi formula khusus guna melindungi lapisan es agar tidak mencair. Tapi misi gagal terwujud. Malahan mereka terjebak oleh longsoran es.

Beberapa anggota misi itu hilang namun akhirnya berhasil ditemukan. Sementara seorang lelaki anggota misi lainnya tak kunjung ditemukan. Ia dinyatakan hilang. Ada misteri yang coba dibuat oleh Kun Geia. Ada narasi balas dendam. Pecah kongsi. Kun Geia membuka tirai misteri itu di babak akhir penceritaannya.
***
Kali ini persiapan telah matang. Formula sudah ditemukan kuncinya. Prof. Deni seperti seorang suhu dengan cantrik-cantriknya yang terbilang cerdas macam Gia. Selama 30 tahun berselang sejak misi pertama itu, Prof. Deni memilih ilmuwan-ilmuwan muda jenius. Ada ahli kimia, fisika, dan aritmatika. Tak cuma itu, keberanian serta mental tangguh jadi syarat selanjutnya. Buktinya pada putri semata wayang Prof. Deni, Husna, berkali-kali ia meminta untuk dimasukkan dalam misi kedua itu namun ditolak ayahnya sendiri. Walau sebenarnya Husna mampu secara keilmuwan. Namun, faktor fisik rupanya jadi kendala utama.

Gia, ditempatkan sebagai tokoh utama dalam pendakian. Di usia mudanya, 30 tahun, ia telah bergelar doktor dalam ranah ilmu kimia. Ia dijadikan sebagai prolog novel ini melalu peristiwa pertaruhan nyawa. Ibunya juga adalah salah satu anggota ekspedisi pertama itu. Saat pendakian, Gia masih diam seribu bahasa dalam kandungan. Saat kelahiran, Gia dinyatakan mengalami masalah pada jantungnya. Mau tidak mau ia harus hidup dalam bantuan “jantung” buatan sebagai penopang sementara kelangsungan hidupnya.

Meskipun untuk perawatan itu dibutuhkan biaya besar, namun ada ekspektasi besar menggelayuti tiga karib ayahnya itu, dan tentu juga ibunya. Maka, walau memakan biaya besar, mereka bertiga dengan kebesaran hati merogoh kocek dalam-dalam untuk membiayai operasi itu.

Dan terbayar sudah. Begitu setelah melihat Gia di usia 30 tahun ia telah menjadi peserta konferensi perubahan iklim dengan paparannya yang berbobot serta analisa tajam. Di situlah ia bertemu Joda dan Davis. Ada runut tentang dua orang asing ini -mereka juga disiapkan mengemban misi. Davis tak lain adalah murid terbaik Prof. Riyadi.

Keberangkatan ekspedisi terus dimatangkan dan semakin cepat mendesak. Apalagi kabar duka datang secara tiba-tiba dan hampir bersamaan. Pihak Dark Star Knight diam-diam telah mengetahui letak laboratorium di Colorado. Dan .... , kabar duka segera datang. Ledakan mengguncang laboratorium Prof. Riyadi. Sinyal merah otomatis segera terkirim ke GarpuLab di Garut. Tangis seluruh awak di GarpuLab tak bisa dibendung. Tak lama berselang, laboratorium di Himalaya pun terdeteksi oleh kelompok biadab itu. Akhir tragis menjadi episode pamungkas Prof. Wahyu. Tangis tak bisa dibendung untuk kedua kalinya.

Tapi, di GarpuLab ada tekad besar nan membara. Perjuangan mesti segera dimulai. Prof. Deni segera menetapkan anggota misi. Masing-masing adalah Gia yang didaulat sebagai ketua misi, kemudian Davis, Joda, Rio, Sharma serta penerbang andal, Mahmoud. Mahmuod adalah tokoh kunci setidaknya dalam episode pendakian itu. Dia dikenal mahir dan mengerti betul medan Vinsof Massif.

Di titik awal pendakian semula terasa mudah. Namun gejala tantangan itu baru dimulai ketika tiba-tiba Mahmuod meminta izin untuk tidak meneruskan pendakiannya dengan alasan yang tidak bisa dijelaskan namun mengharap kemengertiannya kepada anggota misi lainnya. Gejala lain adalah saat cuaca mulai menunjukkan tajinya dengan datangnya badai sehingga menyebabkan semua harus saling menopang dan membantu. Tenda pun hancur. Nyawa menjadi pertaruhan.

Di saat yang sama mereka dihadapkan oleh kejaran kelompok biadab itu yang persis di bawahnya. Mereka mengejar dan berhasil mendapatkannya. Mereka bersenjata api. Dan ada pengkhiatan yang kemudian bisa dimaklumi. Rio tewas dihajar peluru setelah mencoba melawan. Dan yang lain tersungkur dengan darah mengalir deras. Kelompok itu berhasil merampas formula Gia dan mencoba menggandakan untuk dibuat formula baru guna merusak bumi. Tapi percayalah pada akhirnya kejahatan selalu menjadi pecundang.

Akhirnya misteri imaji Kun Geia diungkapkan pada bagian jelang akhir penceritaannya. Pemimpin kelompok itu adalah Prof. Keinan. Motif balas dendam karena merasa ditinggal serta limpahan materi pihak petinggi Dark Star Knight jadi alasan kuat ia memimpin aksi konspirasi itu. Gia selamat dengan berpura-pura meninggal dunia.

Beberapa waktu kemudian, Prof. Keinan kemudian berada di Bali berencana menghabisi anggota misi yang masih hidup, Gia yang menghadiri konferensi perubahan iklim. Sayangnya, keberadaan Prof. Keinan di Bali rupanya diketahui oleh Mahmoud yang punya misi balas dendam karena ibunya akhirnya meninggal juga setelah dijanjikan akan dilepas namun meninggal dunia dalam bekunya Antartika. Ayah Gia akhirnya meregang nyawa oleh pistol Mahmoud.

Keinan meninggalkan laptop yang berisi formula yang siap digunakan untuk menghancurkan bumi. Namun, Prof. Deni yang bersama Mahmoud mencoba mengubah unsur formula itu sehingga formula akan melempem ketika ditembakkan dengan roket. Keduanya lalu mengirimkan email itu ke kantor pusat Dark Star Knight. Di ujung sana instruksi tersebut ditaati yang mengira hal itu merupakan instruksi langsung dari Prof. Keinan. Dark Star Knight bergembira. Bersiap menyambut kehancuran dunia. Sayang sekali lagi, kejahatan akan berakhir menjadi pecundang.

Formula ditembakkan dan nihil adanya. Tak ada reaksi. Badai es dan kehancuran dunia yang diharapkan tidak kunjung terjadi. Mereka kacau, galau. Miliaran dollar telah dihabiskan untuk misi busuk itu. Alhasil, bumi sementara menjadi aman untuk beberapa waktu ke depan.
***
Novel ini mencoba melawan selera pasar yang masih terlena dengan melimpahnya novel pop bergenre percintaan. Kun Geia sebagai seorang penyandang gelar master di bidang disiplin ilmu Kimia, The Lost Java tentu kaya akan taburan istilah-istilah sains yang tentunya menambah wawasan pembaca. Ada urun rembug yang coba ditawarkan Kun Geia: yakni dengan upaya memasyarakatkan penanaman pohon trembesi yang terbilang bermanfaat menyerap karbondioksida guna menahan laju perubahan iklim.

*Pencinta buku, tinggal di Yogyakarta
Profile Image for Dwi Supriyadi.
1 review
December 9, 2012
THE LOST JAVA by KUN GEIA

Judul Resensi : Misi Penyelamatan Bumi
Judul Buku : The Lost Java
Penulis : Kun Geia
Penerbit : IG Press, Yogyakarta
Cetakan 1 : Juni 2012
ISBN : 978-602-18409-0-0
Ukuran Buku : 13,5 x 19,5 cm
Halaman : vii+363 hlm
Harga : Rp63.000,-

"Bagiku, tesis bukanlah sesederhana paradigma tentang KECEPATAN menyelesaikan, bukan pula melulu bersangkut paut dengan STRESSING pikiran dan perasaan, tapi bagiku tesis lebih tentang KERJA KERAS, KESABARAN, KUALITAS dan PERTANGGUNGJAWABAN. Aku tidak sedang berbicara mengenai idealisme tapi ini tentang PROSES." (Kun Geia, 2011)

Semangat itu benar-benar terlihat dalam proses pembuatan buku ini. Dalam suatu kesempatan bedah buku, seorang Kun Geia, Master Kimia jebolan UGM, mengungkapkan bagaimana perjuangnya menghasilkan novel The Lost Java, demi sebuah tujuan “MENGHAJIKAN ORANG TUA”. Menulis “ala orang kesetanan”. Pernah suatu hari, selama 24 jam full, tanpa rehat kecuali untuk makan, shalat, dan kebutuhan primer lainnya. Satu hal yang terus dilakukan yaitu menulis. Adrenalin terasa habis karena dipakai untuk kerja paksa dalam 3 minggu. Setiap kali semangat menulis mulai menurun, maka segera dilihatnya tulisan besar di atas kertas karton putih di dinding kamar. “MENGHAJIKAN ORANG TUA”. Seketika itu juga ia terlahir kembali dengan semangat menggebu.

Jika karya-karya Habiburrahman El-Shirazy yang telah beredar di pasaran seperti Ayat-Ayat Cinta (telah dibuat versi filmnya, 2004), Di Atas Sajadah Cinta (telah disinetronkan Trans TV, 2004), Ketika Cinta Berbuah Surga (2005), Pudarnya Pesona Cleopatra (2005), Ketika Cinta Bertasbih (2007), Ketika Cinta Bertasbih 2 (Desember, 2007) Dalam Mihrab Cinta (2007), Bumi Cinta, (2010) dan The Romance. Yang mana semua itu begitu kental nuansa percintaan. Maka Kun Geia, kelahiran Garut 27 silam, mencoba mendobrak alur pemikiran para penulis novel tanah air untuk tidak hanya melahirkan karya yang berkutat di sekitar masalah percintaan saja. Isu global warming menjadi sasaran puncak konfliknya, dengan memadukan kemajuan sains dengan konspirasi politik global.

Satu hal lagi yang membedakan novel ini dengan novel yang lain. The Lost Java sarat dengan nilai-nilai keislaman namun tidak terkesan menggurui, melainkan disampaikan secara elegan melalui karakter dan interaksi antar tokoh. Penulis yang juga anggota FLP wilayah Yogyakarta, berhasil menginspirasi pembaca untuk memberikan pembuktian pada dunia bahwa seorang cendekiawan muslim pun mampu memiliki andil, kontribusi, dan kebermanfaatan bagi dunia.

Cerita dalam novel ini diawali dengan sebuah diskripsi ilmiah yang menunjukkan fakta bahwa iklim sempurna tak lagi bersinergi dengan bumi. Banjir-banjir mulai berubah status menjadi permanen. Ratusan pulau perlahan tenggelam ditelan luapan air laut. Puluhan juta manusia digiring paksa oleh bencana untuk mengungsi. Perlahan namun pasti, es di kutub utara dan kutub selatan mencair yang notabene sebagai penyimpan 90% cadangan air di bumi ini. Siklus kehancuran yang mematikan sudah dekat. Dan, mayoritas masyarakat dunia tidak mengetahui itu.

Bencana besar akan terjadi ketika panasnya suhu bumi menyebabkan gas metana beku terlepas dari kedalaman es dan laut. Padahal ia memiliki kekuatan efek rumah kaca 25 kali lebih hebat dari karbon dioksida. Inilah ancaman utama yang akan menghancurkan! Bencana Paleocene Eocene Thermal Maximum yang terjadi 55 juta tahun yang lalu akan terulang kembali. Bencana apakah itu? Itulah saat dimana seluruh permukaan bumi membeku tertutup lapisan es tebal dan setelahnya hanya akan tersisa dua kata saja dari sejarah keberadaan manusia: KEPUNAHAN MASAL.

Alur cerita ini semakin memuncak ketika para ilmuwan yang telah 35 tahun melakukan penelitian di Garuda Putih Laboratory dan akhirnya dapat menyelesaikan formula yang akan dibawa dalam misi WAR (Warriors of Antartic). Formula khusus untuk memberikan reaksi fisika di dalam awan. Satu tujuan mereka, menyelamatkan umat manusia dari kepunahan massal. Formula itu tertanam dalam roket, di atas puncak Vinson Massif. Nuklir pemicu badai yang mereka pakai. Para Ilmuwan berharap setelah merekayasa hujan buatan di sekitar daerah stratus (lapisan awan tipis dekat permukaan bumi), akan memicu terjadinya badai di puncak Vinson Massif untuk memperluas sebaran air dan es. Setelah itu, dinginnya Kutub Selatan akan membuat jutaan kubik hujan dan menjadi es abadi baru. Namun sayang, Mission failed (gagal). Nuklir itu meledak terlalu cepat dari waktu yang telah diatur.

Prahara yang tidak dikehendaki menghampiri tanpa bisa diprediksi. Kerusakan kecil pada roket nuklir menimbulkan malapetaka besar menghadirkan kehancuran besar. Daerah tempat benda itu ditanam hancur lebur dan mulai erupsi. Meluncur turun ke bawah. Menggulung es yang dilewatinya menjadi longsor. Terus memperbesar diri. Siap melahap apa pun yang berada di depannya. Dahsyatnya kekuatan ledakan merambat cepat, es permukaan di tiga ratus meter sebelum puncak ikut bergetar kuat (halaman 5).

Kun Geia mampu memenuhi ambisi dasar setiap pembaca (meminjam istilah Remy Sylado), yaitu untuk mendapatkan pengetahuan (penge-tahu-an) yang menyeluruh atas semua bagian tulisan yang ingin diketahui (dike-tahu-i), sampai pembaca benar-benar tahu apa yang dibaca. Disinilah kepiawaian penulis, dengan formula khusus yang diracik dengan rapi mampu meberikan banyak informasi dan pengetahuan ilmiah, namun tidak terkesan menggurui.

Bahkan novel ini benar-benar “liar” dan menyita ruang imajinasi dengan memunculkan para kstaria yang memberikan harapan bagi masa depan bumi, yang mana ilmuwan Indonesia di masa depan berjuang menciptakan sejarahnya sendiri, melawan hegemoni global dan diktatorisme barat. Perjuangan yang keras dan sebuah tekad telah tertanam kuat dalam sanubari. Jangan pernah berhenti berupaya, walaupun kemungkinan untuk berhasil sangat kecil. Bahkan dikala semua orang tidak peduli, atau tidak mau peduli.

Setting yang ditampilkan juga bukan sekadar tempelan, sehingga terasa benar-benar merupakan pengalaman pribadi pengarangnya dan mampu menyihir alam bawah sadar pembaca untuk benar-benar merasakan setting saat itu. Kita serasa dibawa berpetualang ke Gunung Vinson Massif merasakan dinginnya Antartika, ke Tel Aviv-Israel, London, hingga ke perkampungan di Yogyakarta.

Pembaca (saya) ketika membaca novel ini, justru teringat beberapa film. Pertama, film animasi Saint Seiya karya Masami Kurumada. Yang mana film itu bercerita tentang lima ksatria dengan julukan Ksatria "Saint" dan memiliki kekuatan khusus yang disebut "Cosmo" untuk melindungi Dewi Athena (Dewi perang dan kebijakan). Maka The Lost Java menampilkan perjuangan lima ilmuwan terbaik dari Indonesia, India, Iran, dan Amerika yang bersatu untuk menaklukkan atap langit Antartika, melindungi manusia dari kepunahan masal.

Kedua, film Waterworld yang disutradarai oleh Kevin Reynolds dan Kevin Costner dengan penulis Peter Rader dan David Twohy. Film sains fiksi ini berkisah pada masa depan, es di kutub telah mencair dan Bumi seluruhnya dilapisi oleh air. Maka The Lost Java mencoba menyadarkan dunia dan memberikan solusi nyata agar bencana itu tidak terjadi.

Ketiga, film The Day After Tomorrow yang ditulis sekaligus disutradarai sendiri oleh Roland Emmerich. Film fiksi ilmiah ini menggambarkan secara visual akibat-akibat dari pemanasan global. Yang mana seluruh dunia telah terjadi cuaca ekstrem secara massal. Ini disebabkan oleh turunnya suhu di bawah -150 °F(-101,1 °C) dan ini merupakan awal dari Pembekuan Global. Film ini berakhir dengan dua astronot melihat pemandangan bumi dari Stasiun Luar Angkasa Internasional, menunjukkan mayoritas belahan bumi utara tertutup es.

Bagaimana jika The Lost Java diangkat menjadi film layar lebar? Jika The Lost Java benar-benar difilmkan, mungkin akan menjadi film berkelas dunia dan menjadi sejarah baru film Indonesia. Lima film karya anak bangsa yang sudah sukses di kancah internasional. Pertama, The Raid yang ditulis sekaligus disutradarai sendiri oleh Gareth Evans. Kedua, Pintu Terlarang yang disutradarai oleh Joko Anwar yang diadaptasi dari novel berjudul sama karya Sekar Ayu Asmara. Ketiga, Daun di atas Bantal yang ditulis sekaligus disutradarai sendiri oleh Garin Nugroho. Keempat, Laskar Pelangi garapan sutradara Riri Riza yang diadopsi dari novel laris karya Andrea Hirata dengan judul yang sama. Kelima, Pasir Berbisik yang ditulis sekaligus disutradarai sendiri oleh Nan Achnas. Semoga yang keenam The Lost Java yang diadaptasi dari novel berjudul sama, karya Kun Geia.

Sebuah kalimat pernah dilontarkan penulis, yang akan membuat berdecak kagum siapun yang mendengarnya. “Seorang penulis dikatakan gagal, ketika menjadikan emosi pembaca berhenti sebelum buku itu selesai di baca.” Maka Kun Geia membuktikan kalimat itu lewat novel ini yang menyuguhkan petualangan dengan alur cerita cepat dan mengalir, menjadi sebuah serum yang mampu membuat siapa pun yang membacanya penasaran dan ingin segera menyelesaikan hingga lembar terakhirnya. Bahkan kejutan-kejutan tak terduka dalam cerita ini akan membuat jantung setiap pembaca berdebar lebih kencang. Ditambah lagi dengan adegan-adegan pemicu adrenalin yang pasti akan membuat ketegangan tanpa henti di setiap lembarnya.

The Lost Java lebih dari sekadar novel science-thriller fiction. Novel ini memiliki 5 komponen unik, yang jarang dimiliki novel lain. Pertama, alur cepat (menguras adrenalin dengan adegang-adegan penuh ketegangan). Kedua, konflik bertubi-Tubi (mengaduk-aduk emosi). Ketiga, detail setting (membawa nyatanya tempat ke kepala pembaca). Keempat, sains (menawarkan banyak ilmu pengetahuan). Dan kelima, romantika cinta (melengkapi harmonisasi cerita). Sebuah karya anak negeri yang langka dan layak mendapatkan apresiasi tinggi karena mampu mendobrak, membuka wacana akan kepedulian terhadap kondisi bumi saat ini, esok, dan seterusnya.


http://desapena.blogspot.com/2012/10/...
Profile Image for Khalidah.
1 review
December 9, 2012
The Lost Java, Ancaman Kepunahan Massal dari Puncak Tertinggi Antartika


Kematian sungguh dekat, namun kemusnahan massal sudah lebih dekat lagi!

Apa yang anda lakukan kalau tahu dunia sedang dalam fase kritis kepunahan massal makhluk hidup ? Pemanasan global memasuki masa yang semakin gawat. Perubahan suhu ekstrim tiba-tiba terjadi di berbagai negara di belahan dunia.

Bumi terancam mengulang masa 65,5 juta tahun lalu saat terjadinya paleoncene-eocene thermal maximum. Kondisi di mana permukaan bumi mengalami perubahan ekstrem, pergeseran ekosistem, dan gangguan siklus gas rumah kaca.

Data yang terkumpul dari berbagai penelitian mengabarkan bahwa es abadi di antartika memendam 400 miliar ton gas metana yang terperangkap dalam struktur kristal air. Jika naik ke permukaan dan menumpuk di atmosfer, metana yang mempunyai efek 25 kali lebih besar dari karbondioksida, akan menciptakan siklus mengerikan.

Iklim kacau, suhu bumi melesat ke tingkat terpanas, memicu kebakaran, air laut semakin naik, daratan tenggelam dan ujungnya adalah kepunahan massal. Sayangnya tidak semua orang tahu dan mau melakukan sesuatu.

Tidak begitu dengan Wahyu, Riyadi dan Deni, ilmuwan jenius dari Indonesia. Mereka bahu membahu membuat sebuah formula untuk menyelamatkan dunia dari kepunahan massal.

Tiga puluh tahun lalu, misi mereka hampir sempurna jika saja formula itu tidak meledak terlalu cepat. Ledakan mendadak itu memicu longsor, Wahyu, Riyadi, Deni dan dua orang ilmuwan lain lari tunggang-langgang menyelamatkan diri.

Kini setelah tiga puluh tahun berlalu Gia Ihza melanjutkan misi mereka. Anak yang bertahan hidup dengan dua jantung ini di rawat oleh ketiga sahabat Ayahnya. Gia berada di bawah bimbingan Deni mengoperasikan sebuah laboratorium rahasia di Garut, Jawa Barat.

Demi keamanan, Wahyu dan Riyani berpencar di dua negara lain. Wahyu bersama Anjeli Joda dan Priya Sharma bereksperimen di bawah Pegunungan Himalaya India. Sedangkan Riyadi bersama Dale Davis dan Rio bekerja di Colorado Amerika Serikat.

Gia, Joda dan Davis, masing-masing mewakili negaranya hadir dalam Intergovernmental Panel on Cilmate Change untuk memaparkan temuan-temuan mereka bersama ratusan ilmuwan dari seluruh dunia.

“Gletser di Himalaya akan mencair seluruhnya pada 20 tahun mendatang,” kata Joda. “26 desa di Alaska sudah tenggelam, 60 lainnya segera menyusul” tambah Davis. Gia mewakili Indonesia mengatakan “Sebentar lagi pulau tempat ibu kota kami pun tenacam tenggelam akibat banjir permanen dan terkikisnya pesisir pantai.”

Ketegangan berlanjut manakala hari kedua konferensi ratusan demonstan berteriak bahwa pertemuan tersebut hanyalah pengalihan isu dunia. Macam-macam ulah warga dunia yang tersulut provokator semakin membuat pusing kepala. Para ilmuwan sedang memperingatkan dunia namun dituduh sedang bersandiwara.


Konspirasi Sains
Di ujung negara lsrael, sekelompok anggota organisasi Dark Star Knight tertawa terbahak-bahak. Mereka mempersiapkan rencana penghancuran salah satu negara dan menyebar propaganda bahwa pelakunya adalah negara tetangganya.

Orator mereka yang tersebar di seluruh penjuru dunia akan menerangkan keadaan yang genting sehingga negara lain terprovokasi dan menjadi isu internasional. Sementara ini isu dampak pemanasan global akan mereka singkirkan dari benak warga dunia.

Salah satu anggota kelompok terlihat menggebu-gebu. Dendam kesumat selama tiga puluh tahun terpancar dari sorot matanya. Percobaan membuat formula yang dilakukan oleh beberapa ilmuwan dari berbagai negara yang dikomando Deni, diteror. Lab rahasia di Colorado dan Himalaya diledakkan.

Gia, Joda, Sharma, Davis, Rio dan Mahmoud berlari mengejar waktu ke gunung Vinson Massif di Antartika. Mereka akan melakukan serangkaian aksi untuk menimbun es abadi dan memperlama gas metan membeku di lapisan es Kutub Selatan tersebut.

Bau pengkhianatan belum tercium manakala Dark Star Knight mengejar mereka ke Vinson Massif. Gagal atau tidaknya mereka, masyarakat dunia tak ada yang akan tahu. Namun kepunahan massal yang akan mempertimbangkan waktu.


Menguras Adrenalin
Menyantap novel bergenre fiksi ilmiah ini membuat imajinasi pembaca terpuaskan sekaligus penasaran. Selama membaca The Lost Java, anda akan menemukan catatan kaki di banyak halaman.

Cerita yang disajikan Kun Geia memang fiksi, namun sebagian besar data yang dipaparkannya ilmiah dan diambil berdasarkan penelitian berbagai ilmuwan. Itulah sebabnya data ilmiah yang ditampilkan selalu diberi catatan kaki.

Pembaca akan bertanya-tanya, apakah kejadian di novel ini memang sedang berlangsung di kehidupan nyata ? Beberapa forum, lokasi, isu dan teror memang menjelma di kehidupan nyata. Banyak pesan-pesan tersembunyi yang disuratkan penulis. Informasi tersebut menggelitik tangan pembaca untuk menelusuri fakta lebih jauh.

Penulis tak segan menyebutkan beberapa anak organisasi persaudaraan Kabbalah atau yang sejalan dengannya. Menariknya alur pemikiran konspirasi yang dirancang mengambil sumber The Protocol of Zion yang kontroversial itu.

Kun Geia menyajikan novel dengan alur maju yang sangat cepat. Anda yang tidak terbiasa membaca novel rasa ilmiah akan merasa terengah-engah menghadapi serentetan fakta yang disajikan penulis dalam catatan kaki.

Ketajaman alurnya membawa imajinasi anda berkelana mulai dari Garut, London, Colorado, Israel, sampai ke puncak gunung tertinggi Vinson Massif di Antartika. Tak ada jeda untuk mengambil nafas dengan cerita datar.

Konflik demi konflik yang berbalut konspirasi terasa menguras adrenalin pembaca. Untungnya pembaca masih diajak tersenyum dengan romantika percintaan yang ditata rapi. Kepiawaian penulis dalam mengaduk emosi pembacanya, membuat pembaca tak sabar untuk segera menuntaskan sampai lembar terakhir.

Sayangnya kekuatan alur ide cerita tidak diimbangi dengan penguatan karakter. Di sana-sini alur kuat, namun karakter tokoh teras longgar. Seperti penggambaran dendam Keinan dan kehancuran mentalnya saat menyadari bahwa langkah yang diambilnya termentahkan kesumat.

Keinan sebagai salah satu tokoh kunci hanya digambarkan karakternya dalam satu kata : dendam. Tak ada rincian dramatis tentang pertemuan pertama Keinan dengan Gia.

Buat anda penikmat novel ilmiah, pembelajar konspirasi, aktivis lingkungan, sampai yang merasa berkepentingan dalam gelombang perhitungan warga dunia, sayang melewatkan novel ini. Jangan terjebak dengan datarnya judul dan sampul depan yang kurang mewakili kedahsyatan pergolakan di dalamnya. Selamat membaca, sadar dan bergerak!

The Lost Java / Kun Geia / Ig Press / 2012 / 978-602-18409-0-0


http://www.mediaindonesia.com/jendela...
Profile Image for Alvina.
732 reviews120 followers
August 11, 2012
Judul Buku : The Lost Java
Penulis : Kun Geia
Editor : Baharuddin dan Ika Yuliana K.
Penerbit : IG Press
Tebal : 366 halaman, paperback
Cetakan Pertama : Juni 2012
ISBN : 978-602-18409-0-0

Semenjak munculnya The Inconvenient Truth yang dibawakan Al Gore ke tengah tengah penduduk dunia, kita dihadapkan pada satu fakta yang tak terelakkan lagi, kalau suhu Bumi memang mulai memanas, istilah kerennya global warming. Melelehnya gletser-gletser di kutup pun di pegunungan bersalju, termasuk di Jaya Wijaya, negeri kita sendiri, adalah salah satu buktinya, yang juga menyebabkan kenaikan permukaan air laut beberapa tahun terakhir ini. Well, kalau film sih sudah banyak yang mengambil latar fenomena ini, tapi rasanya tidak demikian dengan novel.

Sampai suatu hari seorang teman mempromosikan buku ini kepada saya. Cocok sih, karena saya sangat suka hal-hal yang berhubungan dengan fiksi ilmiah, baik Film maupun Novel. Nah, berhubung di buku ini tidak dituliskan sinopsisnya, ad abaiknya saya mengawali review ini dengan sedikit bocoran kisahnya.

Kisah berawal dari 29 tahun ke belakang, tanpa waktu yang jelas (karena di novel ini hanya diberikan tanggal dan bulan tanpa tahunnya) seorang anak laki-laki lahir dan sayangnya mengalami kelainan jantung. Di usianya yang kesembilan bulan kemudian, ia diberi bantuan jantung buatan yang setelah sepuluh tahun kemudian bisa dilepas karena jantung aslinya diharapkan sudah mengalami perbaikan.

Dr. Gia Ihza, M.Sc, 29 tahun kemudian anak lelaki itu telah menjadi seorang ilmuwan di bidang kimia. Mewakili Indonesia, ia berbicara singkat di depan panel ilmiah iklim internasional tentang bahayanya global warming. Setelah acara selesai, ia diberi kabar dari Indonesia untuk segera pulang, ada hal yang jauh mendesak untuk dipenuhi.
Lelaki ini ternyata tergabung dalam kelompok Ilmuwan Garuda Putih Lab, sebagai general manager lab, di mana kelompok ini sedang meneliti dan mencoba menyelamatkan dunia dari dampak pemanasan global. Dipimpin tiga orang ilmuwan yang bertempat tinggal di tiga lokasi yang berbeda, mereka memiliki misi untuk menciptakan hujan salju di kutub sampai bisa menurunkan suhu sehingga gas metana yang tersimpan di dalamnya tidak keluar. Metana adalah salah satu gas rumah kasa yang memiliki dampak 25 kali lebih parah daripada CO2, sehingga benar diperlukan penanganan khusus terhadap ratusan ribu kubik lebih gas tersebut yang terpendam dalam es kutub.

Tapi ada kelompok Dark Star Night milik zionis yang berupaya menggagalkan rencana para ilmuwan ini. Tanpa disadari, ada mata-mata yang membocorkan info-info penting dari GarPu Lab ke Dark Star Night. Untuk itu Gia dan teman-teman ilmuwannya harus segera pergi ke Antartika meledakkan peluru peluru nuklir yang juga berisi perak iodide ke awan-awan tertentu agar mampu menurunkan salju di tempat itu.

Berhasilkah Gia dan teman-temannya? Sedangkan kaum Zionis semakin mengancam keselamatan manusia di seluruh dunia..

Saya pertama kali membaca science fiction milik penulis Indonesia kayaknya waktu masih duduk di bangku SMP. Judul bukunya Area-X, semenjak itu saya jatuh cinta terhadap buku ataupun film bertemakan science fiction. Buku itu adalah salah satu karya anak negeri yang sanggup membuat saya bertahan membacanya dari awal sampai akhir dan sampai susah berhenti bacanya XD

Tadinya saya berharap novel tentang global warming ini juga begitu, berhubung salah satu film yang sangat berkesan tentang global warming ini adalah The Day After Tomorrow jadi saya benar-benar mengharap lebih untuk novel dalam negeri. (Berharap kan boleh aja yah). Well, ternyata saya salah memberikan penilaian awal dan ekspektasi awal. Ditambah sinopsis yang biasa aja, (bahkan lebih banyak endorsmentnya daripada sinopsis di buku ini) dan banyaknya keterangan membuat jalan ceritanya kaku.

Sebuah buku science fiction memiliki sinyal kelemahannya sendiri, terutama dalam menyajikan data-data ilmiah yang diharapkan bisa luwes masuk ke dalam cerita. Di buku ini memang ada banyak fakta ilmiah global warming yang dimasukkan, termasuk data-data Negara dan di bagian akhir bahkan disertakan jenis tanaman apa yang bisa mengurangi polusi udara. Yah, semuanya dalam bentuk tabel. Adalagi beberapa catatan kaki yang berkelimpahan di buku ini, bahkan beberapa hal yang dijelaskan menurut saya adalah suatu hal yang umum, seperti keterangan apa itu UNESCO, Eskimo, dan NASA.
-____-“

Selain itu detail yang terasa tak perlu juga dijelaskan di buku ini, seperti seperti apa bentuk Pesawat Jet Cessna 525C, Mobil phantom Couple, identifikasi scanner retina, dan ah.. beberapa hal lainnya.

Lalu kalimat-kalimat yang digunakan, saya cukup.. kecewa. Boros. Saya tahu menulis novel itu suasahnya bukan main, apalagi kalau jumlah halamannya dirasa kurang banyak. Tapi untuk pemborosan kata, saya rasa nggak perlu deh. Mendingan tipis tapi nyaman dibaca daripada kepanjangan tapi intinya gitu doank. Saya ambil contoh ya :

”Tidak tampak retakan sedikitpun di setiap jengkalnya. Semua molekul cat berpigmen hijau berikatan satu sama lain untuk menutup rapat seluruh permukaan dinding kamar.”-Hal. 9

”Semua pelayanan pasca melahirkan tetap tidak dapat memberikan pengaruh besar manakala hati yang gundah tak jua mereda, manakala pikiran yang kalut tak lagi memberi ketenangan rasa.”- Hal.11


Dan..
Ah, dua aja cukup ya, daripada kepanjangan. XD

Saya paham kalau penulis merasa perlu menambahi kisah cinta yang Islami di buku ini, tetapi sampai harus ada option menikah lagi? Poligami? What The... aduh, nggak banget deh. Nggak perlu begituan deh menurut saya, nambah kegaringan aja. -___-

Sebenarnya saya suka dengan ide utama cerita, penyelamatan bumi dari ancaman global warming. Misi yang terencana (meski eksekusinya kurang mantaap), konflik yang memuncak, serta unsur-unsur Islami di buku ini, semuanya membuat saya gemes, kecewa karena sayang banget buku ini masih belum memuaskan saya.

Lalu Ending. Aaaaa... Endingnya bikin saya gegoleran di kasur buat ndinginin kepala. Masa iya gitu doank sih endingnya? Nggak selese dengan lengkap. That’s it. Gitu aja.
Dan saya secara jujur kurang suka dengan tokoh Gia di sini. Gentle sih, tapi nggak spesial.

Well, saran saya yang utama untuk buku ini kalau-kalau dicetak ulang, singkirkan itu sebagian besar endorsment. Sisakan sedikit saja. Beri ruang untuk sinopsis, karena sebuah buku tanpa sinopsis akan jarang dilirik pencinta buku yang sedang memilih-milih buku di toko dengan ekstra hati-hati karena budgetnya sedikit, contohnya saya.

Profile Image for Nukleofil Lia.
51 reviews1 follower
May 15, 2021
Pendahuluan cerita cukup membuatku tertarik untuk terus membaca setiap sudut halamannya. Tidak mudah untuk menulis sebuah novel karangan penulis Indonesia dengan tema science fiction. Hal-hal berbau sains nya sangat menarik, bahkan sempat berpikir mungkin ini bukan novel. Tapi bagian fictionnya lah yg mengingatkan ini hanya karangan, fantasi.
Aku sepakat dengan salah satu komentar tentang si penulis mungkin bisa menjadi si pengarang 'Ayat-ayat Cinta' versi sains, karena separo lebih ceritanya mirip, dan cukup membuatku merasa tidak tertarik.
The lost java, inti dari judul nya hanya ada di bab terakhir, dan itu pun sangat sedikit, mungkin 1 paragraf. Alur cerita berhamburan karena banyak tokoh utama.
Tapi mungkin ini cerita yang menarik teruntuk anak-anak remaja yang baru mengenal novel dan sedikit tertarik akan sains nya.
1 review
December 20, 2012
Membosankan dan penuh kebohongan yang di bumbui istilah-sitilah ilmiah adalah pendapat ketika membaca buku ber-genre fiksi ilmiah. Ya begitulah kenyataannya jika pembaca novel saat ini banyak menyukai novel fiksi romantis atau percintaan. Namun beda ceritanya jika fiksi ilmiah tersebut mengandung sebuah konspirasi berdasarkan kejadian-kejadian sebenarnya yang terjadi di luar novel dan dibuat thriller. Pembaca akan dibuat berpikir lebih banyak apakah cerita itu sisi lain dari kenyataan yang terjadi di luar novel (benar-benar terjadi), begitulah buku “The Lost Java” ini akan menyihir pembacanya.

Buku karya Kun Geia ini menceritakan sebuah konspirasi internasional yang menggunakan isu “global warming” , yang saat ini banyak digaungkan oleh aktivis pecinta lingkungan, oleh konspirator ulung kelas dunia, Zionis. Pengambilan tema ini didasari sekali oleh latar belakang penulis sebagai mahasiswa master of science pada bidang kimia lingkungan universitas Gadjah Mada. Sehingga kita akan banyak sekali mendapatkan “kuliah” singkat mengenai proses kimia pada lingkungan.

Pembongkaran konspirasi tentang isu ini diawali buku ini dengan diceritakan sekolompok tim ilmuwan terdiri dari 5 orang yang berasal dari indonesia di puncak Vinson Massif, gunung tertinggi di Antartika, yang sedang melakukan peluncuran formula kimia yang mereka rekayasa untuk membuat lapisan es di seluruh antartika tidak mudah mencair dan memungkinkan untuk menambah ketebalannya jika formula itu berhasil. Hal inilah yang akan membuat Paleocene-Eocene Thermal Maximum, yaitu perubahan ekstrim kondisi permukaan bumi, pergeseran ekosistem, dan gangguan siklus gas rumah kaca akan tertunda. Namun di tengah usaha tim tersebut meluncurkan rekayasa formula mereka tersebut ternyata mengalami gangguan kecil yang menyebabkan gagalnya rencana yang sudah mereka buat lama, yaitu nuklir pemicu badai salju yang berada di roket peluncur meledak lebih awal dari prediksi mereka. Malang tak dapat dihindarkan, ribuan kubik tersebut lebih cepat turun dari mereka sehingga mengakibatkan seorang ilmuwan terlukan parah dan satunya lagi menghilang.

Setelah kegagalan tersebut misi itu tidak begitu saja berhenti, beberapa tahun setelah kegagalan tersebut bersama tim ilmuwan yang baru, ilmuwan-ilmuwan muda yang didik langsung oleh ilmuwan penggagas misi tersebut melanjutkan rencana yang tertunda. formula uji coba tersebut disempurnakan dan menjadi lebih baik dan lebih siap untuk diujikan kembali. Ketika semuanya telah siap, disinilah kemudian rintangan itu muncul, seorang ilmuwan bersama kelompoknya yang juga memiliki kepentingan terhadap “global warming” ini berusaha mendapatkan formula tersebut dengan motif balas dendam dan kekuasaan atas dunia ini.

Buku ini cocok sekali bagi akademisi maupun pembaca yang peduli pada lingkungan. Pemakaian kata-kata yang sarat dengan keilmuan kimia lingkungan pun akan menambah banyak pengetahuan, seperti ; Paleocene-Eocene Thermal Maximum, methane hydrates, green house gases, dan masih banyak lagi. Namun bagi mereka yang termasuk bukan orang yang banyak mencari tahu tentang isu lingkungan apalagi mengerti proses kimia yang ada di lingkungan tidak perlu takut untuk bingung terlalu lama atau harus membolak-balikan halaman untuk mencari arti dari sebuah kata pada lembar glosarium pada novel tersebut, karena setiap kata-kata yang menggunakan istilah ilmiah yang dijelaskan langsung pada bagian bawah halaman tersebut.

Pembaca pun akan menemukan sisi lain dari buku ini yaitu perasaan yang ikut terbawa ketika mendaki puncak tertinggi di dunia tersebut. Penulis secara sengaja menceritakan bagaimana serunya pendakian tersebut untuk mengajak penulis tertarik untuk mendaki yang merupakan salah satu hobinya sebagai salah satu cara bagaimana memahami besarnya nikmat lingkungan jika tidak dirusak.

“Sekuat apa kau mencintai putriku, Gi?”
“Insya Allah sekuat kecintaan yang ada pada putri anda terhadap agama.”
“Jika kecintaannya pada agama kuat?”
“Cinta saya semakin kuat padanya!”
“Jika cintanya pada agama melemah?”
“Cinta saya pun melemah karenanya!”
“Jika cintanya pada agama hilang?”
“Habislah cinta saya untuknya!”

Demikianlah sedikit potongan diskusi pada novel tersebut. Dengan tidak melupakan kekhasan karya sastra sebuah novel, penulis juga menambahkan drama romantis, cinta, cemburu, dan persahabatan agar pembaca tetap merasakan konflik yang umum dari sebuah novel. Namun sayang pada sisi puitis kata-kata yang digunakan pada novel ini, kita akan sangat jarang menemukan kata beralur indah yang bersajak. Pada novel ini juga kita akan di ajak kebeberapa tempat belahan bumi yang lain, karena novel ini menggunakan banyak setting latar pada adegan tokoh-tokohnya yang menekankan bahwa konflik konspirasi yang diangkat adalah konspirasi internasional. Antartika, Swiss, Tel Aviv, Colorado, Gunung Everest, Argentina, Chili, dan Jakarta.

Buku yang baru dicetak pertama kali pada pertengahan tahun 2012 oleh penerbit IG-Press ini mempunyai banyak halaman berjumlah 363 halaman. Meskipun mempunyai halaman yang cukup tebal, namun isi pada buku ini akan menghipnotis membaca sehingga akan terasa sebentar untuk menyelesaikan novel untuk dibaca. Dari segi genre juga sangat sedikit sekali penulis yang ada di Indonesia yang mengambil genre Sci-fi thriller, hal ini dikarenakan penulisnya harus menjaga ritme cepat dan wajib membuat rasa penasaran pembaca selalu meningkat. Walaupun begitu Kun Geia mampu membuat pencinta novel ber-genre seperti itu menemukan penulis idola yang baru yang berasal dari tanah air dan tidak berlebihan jika buku ini layak disandingkan dengan buku yang bertema sama hasil karya penulis Sci-fi thriller ternama, Dan Brown.


http://www.facebook.com/notes/ahmad-s...
1 review
December 11, 2012
Judul : The Lost Java
Pengarang : Kun Geia
Halaman : x + 363
Tebal : 13,5 x 19,5 cm
Kategori : Science – Thiller – Fiction
Penerbit : IG Press, Yogyakarta
Resensi oleh : Istiqomah Shariati Zamani

"Penyelamatan Umat Manusia Dari Kemusnahan Massal."

Perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan semakin pesat. Manusia sudah mulai memikirkan dampak dari pembangunan yang mereka bangun sendiri terhadap kondisi bumi. Berbagai kegiatan yang bertema upaya pelestarian bumi semakin gencar dilakukan. Mulai dari pejabat negara hingga ilmuan yang bergerak sendiri mulai ikut serta dalam upaya konferensi yang membahas tentang upaya penyelamatan bumi.

Dalam novel ini mengambil tema tentang Global Warming yang menjadi isu global yang selalu dibahas oleh negara-negara berkembang maupun negara maju. Negara-negara kepulauan mulai kehilangan pulau-pulau mereka, air laut semakin meninggi, iklim berubah tak bersahabat. Ancaman terbesar ialah akan kembali terjadi Paleocene Eocene Thermal Maximum yang terjadi 55juta tahun yang lalu.

Diceritakan ilmuan muda tengah melalukan suatu misi secara diam-diam di puncak Visson Massif, Antartika. Satu misi untuk keselamat seluruh umat manusia. Suatu misi yang dijalankan oleh ilmuan dari Indonesia. Namun misi tersebut gagal. Kegagalan tersebut justru menjadi awal mula mereka mulai bergerak kembali melakukan misi yang sama dengan tujuan yang sama.

Ilmuan-ilmuan yang tetap gigih menjalankan misi yang gagal tersebut terdiri dari Prof. Deni, Prof. Wahyu dan Prof. Riyadi kembali mengembangkan suatu formula di dalam Garuda Putih Laboraturium (GarPu Lab.) yang akan ditembakkan di puncak Visson Massif. Dalam menjalankan misi tersebut dipilihlah ilmuan-ilmuan muda yaitu Dr. Gia, Prof. Joda, Dr. Davis, Sharma, Rio, dan seorang pilot Mahmoud yang disebut sebagai tim WAR (Warrior of Antartic). Pemilihan tim WAR ini merupakan keputusan dari pihak GarPu Lab dengan berbagai pertimbangan mereka akan saling membantu dalam menjalan misi penyelamatan umat manusia. Ilmuan terbaik dari berbagai negara Indonesia, Iran, India dan Amerika.

Untuk melakukan misi tersebut mereka dihadapkan dengan berbagai rintangan alam yang datang tiba-tiba. Perjalanan untuk mencapai puncak tidak semulus dengan perkiraan mereka. Bahkan Gia sering kali mengalami high altitude pulmonary edema. Perjalanan ke Visson Massif dalam medan alam yang begitu tak terduga.

Tidak semua ilmuan, negara dan organisasi setuju dengan jalannya konferensi penyelamatan umat manusia dan kelestarian alam. Dalam novel ini, sekelompok organisasi bawah tanah kliber Internasional Dark Star Knight yang kejam dan jahat menjadi dalang dari usaha perlawanan terhadap misi yang dijalankan oleh tim ilmuan GarPu Lab dan tim WAR. Misi dari organisasi ini ialah menciptakan suatu negara baru yang menguasai seluruh dunia “The New World Order”.

Penulis novel ini tidak hanya bergender kisah thiller dan science saja, namun dilengkapi kisah romantis dan drama kehidupan yang sangat menyentuh. Kisah pernikahan Gia dan Husna, kisah cinta dalam hati Prof. Joda, serta kisah Sharma yang ditinggal oleh Davis. Unsur agama pun kental tersajikan dalam novel ini, mengajarkan kita memaknai kehidupan. Penghianatan, kehilangan seseorang yang sangat berarti, perjuangan, serta pengorbanan akan terasa mengaduk emosi pembaca.

Kemampuan Kun Geia dalam menulis mampu memberikan kita bayangan bagaimana perjuangan tim WAR dan GarPu Lab dari berbagai belahan dunia dalam membuat suatu formula yang khusus akan ditembakkan di puncak Visson Massif dengan target titik sasaran tertentu. Selain itu, novel ini akan mengantarkan kita berjelajah dari dinginnya Visson Massif, Bern Swiss, Tel Aviv Israel, Corolado, Himalaya, Brazil, hingga Jakarta, Garut, Bali hingga mengarahkan kita ke suatu wilayah di Yogyakarta.

Novel ini sangat memiliki kelebihan antar lain penulis mampu meracik kata-kata ilmiah menjadi kata-kata yang memberikan pengetahuan kepada pembacanya namun tidak bersifat menggurui apalagi bersifat seperti buku bacaan mata pelajaran. Bahasa yang lugas dan mengalir akan membawa kita ke tiap bab dari novel tersebut. Selain itu, dalam novel ini alur yang cepat disajikan namun kejadian yang tidak terduga menjadi suatu yang sangat memberikan nuansa penasaran bagi pembaca. Dalam novel ini pula tidak memojokkan suatu ras tertentu namun yang menjadi tokoh permasalah ialah keberadaan kelompok Dark Star Knight. The Lost Java juga dilengkapi dengan catatan kaki yang akan semakin memperjelas uraian kisah yang disajikan.

Novel ini dapat dikatakan sebagai multi in one, mengingat banyaknya informasi yang tersajikan dari berbagai sumber ilmu. Agama, teknologi, sains, geografi, dan lain sebagainya. Novel yang memberikan petualangan tersendiri terhadap pembacanya.

Walaupun novel ini memiliki banyak kelebihan, namun tidak dipungkiri terdapat pula beberapa kekurangan antara lain yaitu terkadang percakapan yang disajikan terlalu banyak yang tidak disertai dengan keterangan siapa yang sedang berbicara. Selain itu perpindahan latar yang instan membuat pembaca harus benar-benar jeli dalam membaca karena novel ini tersajikan layaknya suatu film yang sedang bercerita.


http://www.facebook.com/notes/alwahid...
Profile Image for Diannafi.
1 review
December 19, 2012
Yeahhhh.. alhamdulillah,akhirnya aku berhasil mengkhatamkan novel THE LOST JAVA (TLJ). Yang terus terang saja tadinya harus melewati keogahan dan keenggananku membacanya. Yang pertama, nama penulisnya belum kukenal. Yang kedua, membaca halaman – halaman awal membuatku pusing. Yang ketiga, aku punya banyak PR lain yang bejibun.

Tapi setelah kupaksakan diri membacanya demi untuk bisa membuat resensi ini, aku berhasil memperoleh kenikmatan di dalamnya. Beberapa kali aku menangis bahkan. Pada saat kematian profesor andalan tim hebat ini, saat pernikahan Gia dan Husna, lalu yang paling menakjubkan saat Husna merelakan Gia kalau mau menikah lagi dengan Sharma.

Secara keseluruhan ini novel yang sangat baik. Menggambarkan kehancuran dunia di ambang mata dengan lugas dan keberpihakan yang sangat jelas. Kebenaran Islam dan kekuatan jahat zionis. Alur yang disusun cukup rapi, dan data yang mendukung dieksplor dengan proporsional.

Tokoh utama yang dibangun di sini merupakan warga negara Indonesia. Profesor-profesornya berkebangsaan Indonesia. Bahkan mereka membuat skenario luar biasa penyelamatan bumi dan mahluk hidup dari kepunahan akibat pemanasan global. Orang-orang yang digambarkan lebih jenius dari Habibie ini mendirikan Garuda Putih Lab (GarPu Lab) yang tersembunyi di bawah tanah dan tak terlacak oleh satelit. Di situ, mereka melakukan penelitian selama 35 tahun dengan menghimpun 50 ilmuwan dari berbagai negara demi menyelesaikan sebuah formula untuk misi WAR (Warriors of Antartic).

Dalam misi WAR inilah, lima ilmuwan akhirnya berangkat menuju puncak tertinggi di Kutub Selatan yaitu Gunung Vinson Massif. Di tengah badai es yang beberapa kali mengamuk, oksigen yang semakin menipis, suhu yang mencapai -45 derajat Celcius juga avalance yang sesekali mengincar, mereka terus melaju untuk misi mulia ini. Tapi siapa sangka jika di belakang mereka sebuah organisasi rahasia sedang mengikuti mereka dari jalur yang lain untuk merebut formula. Di sinilah mulai terkuak kejahatan Zionis Internasional dengan berbagai jubah organisasinya.

Subhanallah. Novel TLJ ini ternyata menggetarkan. Di samping juga ilmiah dan penuh petualangan. Berbagai data, kajian dan analisa ilmiah di sana, insya Allah akan kubaca lagi kapan – kapan dengan upgraded chip tentu saja.

Kepedulian terhadap bumi menjadi titik kuat misi dan visi novel ini. Dari titik inilah terutama novel ini direkomendasikan. Namun dari sisi romance-nya juga aduhai deh. Hampir mendominasi seluruh novel ini, membuatnya juga indah dan menyentuh. So lovely.

Meresapinya, membangkitkan rasa nasionalisme dan keimanan secara bersamaan. Kun Geia seolah ingin menegaskan bahwa Zionis Internasional adalah musuh bersama bagi semua manusia yang masih bernurani. Dengan alur yang cepat, adrenalin kita dipacu. Ditambah lagi konflik pribadi dan keluarga yang mengiringinya dengan dendam dan romantisme membuat emosi kita diaduk-aduk.

Pengetahuan, wawasan dan riset Geia yang memadai, menjadikan cerita ini benar – benar hidup. Seolah – olah kejadiannya benar – benar ada. Mengajak pembaca menikmati petualangan dan ketegangannya.

Kun Geia berhasil memancing kepenasaranan pembaca. Dia menaruh pengait di setiap akhir bab-nya untuk menggugah pembaca. Membuat kita mau membuka halaman dan bab berikutnya.

Lihat caranya memotong adegan menegangkan saat Gia berusaha menyelamatkan Davis, dan juga di beberapa tempat serta adegan lainnya. Persis seperti kita menonton film yang baru seru – serunya, lalu tiba – tiba diselingi adegan di tempat lainnya. Membuat tambah penasaran dan makin tegang.

Kejutan – kejutannya juga membuatku sebagai pembaca lumayan puas. Meski ketika membaca sedikit clue-nya ketika kejutan itu mau dihadirkan, kita bisa mulai menebak – nebak. Tapi lumayan banget lah kejutannya.
Meskipun ada sedikit lompatan yang kurang manis saat mereka – para pahlawan – ini turun dari Vinson Massif. Kurang dramatisasi dan penggambaran detail. Seandainya saja claws di bagian ini diperbaiki, pasti hasilnya lebih ciamik.

Most of all, two thumbs up buat Kun Geia yang menghadirkan TLJ untuk kita semua. Melalui The Lost Java, kita jadi tahu adanya isu – isu tentang konspirasi dengan tajuk Save The Earth. Sejarah zionisme dan seluk beluknya yang bagi sebagian besar orang mungkin tidak diketahui. Seluk beluk medis, percobaan kimiawi, pengetahuan geologi dan lain – lain hal berkaitan dengan science, yang menambah kekayaan wawasan bagi para pembaca.

Beliau telah melalui riset panjang dan berbagai penyempurnaan seperti yang bisa kita baca melalui halaman persembahannya. Dan ketika aku membaca proses kreatif pembuatannya, wow wow, beliau melakukan dua puluh kali revisi untuk penyempurnaannya. Pantas saja.

Congrats. Selamat untuk Kun Geia. Selamat telah berhasil memukauku meski sebelumnya sempat tidak kulirik.


http://diannafi.blogspot.com/2012/08/...
Profile Image for Fifa.
35 reviews3 followers
July 3, 2015
Mau ngasih 1 bintang tapi rasanya nggak pantas, 2 bintang aja deh, karena menulis itu nggak mudah tapi mengkritik itu gampang.

Saya merasa kurang sreg dengan penulis yg memasukkan data2 yg kelihatannya rahasia, classified, atau hanya expert yg tahu padahal semua itu googleable. Jadi sepertinya ini cuma cerita dr penulis yg menggugel teori konspirasi ini itu, lalu menumpahkannya di novel, sembari dibumbui hal2 ilmiah lainnya.

Gaya bahasa juga, ada bbrp bagian yg gaya bahasanya setajam silet ala infotainment, bikin mata langsung skip aja mencari kata2 yg lebih bersahabat. Saya curiganya sih itu hanyalah utk menggenapkan halaman saja spy memenuhi kuota.

Di novel ini juga terasa banyak loophole, yg sebenarnya berpotensi lho utk membuat alur lebih menarik, kayak misalnya dari mana sumber dana GarpuLab (bukankah lebih menarik kalau ketiga ilmuwan itu ternyata dibiayai oleh organisasi rahasia apaaa gitu, yg ternyata adalah begini atau begitu), latar belakang cerita insider Mahmoud yg 'kurang diolah' tsb, dll

Kadang saat membaca novel ini, terasa kalau penulis masih belum maksimal mengolah kalimat supaya pembaca mampu menghayati, disini sepertinya pepatah "knowing the path and walking the path" berlaku.
Kalimat2 yg terpapar cuma seperti menceritakan hasil riset saja.

Terutama saat di antartika, saya masih merenung2 apakah kalau "bom nuklir" meledak tdk mengakibatkan radiasi, apakah tim pendaki GarpuLab tidak berkoordinasi dengan pengelola kawasan pendakian tsb krn berpotensi membahayakan pendaki lainnya (minimal menutup kawasan sementara), apakah memang mungkin bagi Dr. Gia mendaki gunung es practically cuma dengan satu tangan saja - krn tangan satunya habis diamputasi dan tdk berjari dll.

Paling tidak relevan adalah memasukkan unsur romansa ke dalam novel ini. Ketegangan yg sdh dibangun rontok begitu scene berpindah ke salah satu pelaku roman. Saya rasa roman antara Gia / Husna / Joda / Sharma / Davis kalaupun tdk ada tdk akan banyak berpengaruh pada cerita keseluruhan.
Profile Image for Gita Ganesha.
78 reviews11 followers
December 12, 2012
Ini novel science-fiction karya penulis dalam negeri yang pertama ku baca. Ya not bad lah. Bercerita tentang sekumpulan ilmuwan yang berusaha mencegah kiamat di bumi ini. Kiamat disini adalah pendinginan global yang disebabkan oleh pemanasan global. Maksudnya???? Pemanasan global atau efek rumah kaca yang belakangan ini semakin parah ternyata melepaskan molekul-molekul kimia ke atmosfer yang perlahan akan membentuk semacam lapisan. Bukan seperti lapisan ozon yang melindungi bumi. Ntahlah bagaimana penjelasan ilmiahnya, pokoknya yang ditakutkan adalah bumi kembali pada jaman es seperti di film Ice Age. You know what, tim ilmuwan itu berisi kebanyakan ilmuwan dari Indonesia. Lab mereka pun terletak di bawah salah satu gunung di Jawa. hahah ntah itu settingnya Indonesia tahun berapa. Ya saya mikir aja, kalo misalnya Indonesia punya uang segitu banyaknya untuk membangun lab super canggih di bawah gunung, kenapa uang itu gak dipake untuk membayar hutang luar negeri yang makin hari makin berbunga-bunga. Haha. Typical novel science-fiction, novel ini juga menampilkan berbagai data, bahkan data dalam bentuk tabel maupun diagram. Oowwww too much. Saya sih sebagai pembaca cukup tau aja, ga mau tau tentang data itu sampai sedetail-detailnya. Kecuali kalo saya memang orang yang sangat teliti dan kurang kerjaan. Lalu yang membuat saya agak kurang sreg adalah cara memanggil tokoh lengkap dengan gelar akademiknya. Ckckck. Saya tau tokoh itu adalah seorang professor tanpa diingatkan di setiap halaman. Dan yang paling bikin saya face-palm adalah ketika mendapati bahwa akhir novel ini persis seperti Ayat-Ayat Cinta, huaaaa capedeeee…. Jadi kenapa saya memasukkan novel ini ke dalam the list the best books? Ya supaya kalian tau aja, kalo orang Indonesia juga bisa menulis science-fiction, gak kalah ma Michael Crichton… ^.*
Oiya yang pertama kali membuat saya tertarik dengan buku ini adalah gambar Tugu Jogja di covernya.
Profile Image for Hidayah.
61 reviews2 followers
August 24, 2013
Alhamdulillah, prihatin baru bisa menyelesaikan tulisan Kun Geia,. Sci-fi tentang Global Warming issue, cukup menarik malakukan pemikiran-pemikiran Global, konspirasi atau mungkin gejala paranoid akut alias terlalu meletakkan dunia diatas kepala, bukan, namanya pemikiran semua adalah sah-sah saja. Kisah 5 ilmuwan Indonesia menuju puncak Vinson Massif boleh juga.., ^_^

catatan kaki dalam buku untuk aku pribadi cukup mengganggu, kita pembaca yang haus akan tulisan merasa sakit jika meninggalkan satu kata pun, sementara footnote membuat pembaca harus bolak-balik menyambung-nyambung kata yang diatas, sehingga suasana yang sudah terbangun akan terputus rasanya, hanya karena melihat kebawah untuk membaca footnote, meski footnote itu adalah pengetahuan penting juga..,

fakta-fakta yang dipaparkan membuat aku harus membalik halaman dengan cepat , tanpa menyentuh kata didalamnya, cukup mengatakan dalam hati “ oh intinya seperti itu” cukup…, ^_^
Kisah alur didalamnya itu seperti aku menggabungkan film “Vertical Limit, Ayat-ayat Cinta, dan Bom bali” dijadiin satu,…yang aku tidak rela Semudah itukah Sharma harus segera Meninggal, kemudian Husna tetap menjadi istri tunggal Gia,, ah itu tatap sah-sah saja, pembaca adalah pembaca yang tugasnya hanya membaca, selebihnya terserah …, hehehe terima kasih Buku The Lost Java telah datang menyapa ida…, ^_^ semangat..!
Profile Image for Purnama Madinah.
1 review
January 21, 2013
Penulis mampu menghadirkan suasana yang membuat jantung berdetak lebih cepat. Konflik dan romansa cinta yang terbangun demikian bagus, hadir menguras emosi pembaca.

Kepedulian akan ancaman terhadap keberlangsungan hidup manusia, kisah pendakian gunung es, persahabatan, serta bahasa-bahasa kimia benar-benar terangkai saling menguatkan dalam sebuah alur cerita yang luar biasa.

Novel plus pengetahuan ilmiah.
Sukses untuk Kun Geia.
Profile Image for Anis Arafah.
135 reviews24 followers
August 16, 2016
Pernah baca karya-karyanya Dan Brown? Nah, genre buku ini semacam itu. Patut diacungi jempol untuk pemilihan tema yang tidak monoton romansa. Tapi, cara penuturan kisah kurang menggigit. Istilah-istilah yang sangat ilmiah, karena memang penulis memiliki latar belakang keilmuan yang sesuai dengan tema cerita.
Jadi, untuk keseluruhan 3 bintang buat Kun Geia. :)
Profile Image for Nadia Refaniadewi.
60 reviews8 followers
July 2, 2013
Mengingatkan pada plot di buku-bukunya Dan Brown. Namun nampak kurang detail dalam penggambaran suasana dan riset yg dilakukan kurang mendalam mengingat genre buku ini adalah sci-fi yang menuntut penulis untuk lebih "meyakinkan".
Profile Image for Bening Pertiwi.
Author 2 books2 followers
December 12, 2014
saya sudah cukup lama 'ngidam' buku ini
setelah ketinggalan, karena di tok-buk sudah menghilang dari rak-nya
akhirnya terbeli juga
dan ... saya berhasil dibuat menangis oleh penulisnya
meski alurnya bisa dibilang lambat dan kurang tegang
tapi saya menikmati setiap bagiannya
menarik
Profile Image for Ananda Sivi.
46 reviews
October 11, 2014
padahal belom kelar, tp udah masuk di read shelf. udahan aja ah bacanya hihi, smg lain waktu ada greget buat baca lagi, see ya
Profile Image for Alfa.
203 reviews8 followers
February 3, 2017
Novel sci-fiction yang menarik sebenarnya, mungkin ini hanya masalah selera yang membuat saya memberikan dua bintang untuk novel ini. :)
Displaying 1 - 25 of 25 reviews

Can't find what you're looking for?

Get help and learn more about the design.