Goodreads Indonesia discussion
Buku & Membaca
>
Robohnya Surau Kami
date
newest »



Biar pun malam, serasa itu adalah pagi buat si abang itu. Pagi karena ia adalah satu-satunya yang bersemangat dan harum sementara sisa lainnya hanya mahluk sisa semangat tadi pagi :D

Kenapa pas turun di halte UKI, gak dikejar pengamennya Jeng? Katanya pengen berbincang2?"
iya, ini buku yang keren. pesan moralnya disampaikan tanpa menggurui tp menohok banget.


Beli yg antologi cerpen nya AA Navis deh Mbah. "Cuma" 85 rb lho tapi dapat semua cerpennya Navis.
Mantep banget :-)


Robohnya Surau Kami, one of my all time favorites.
Beruntung artinya tidak ada gangguan. Gangguan itu bisa berupa pesawat tv dengan volume yang dikeraskan atau yang paling sering adalah pengamen. Saya tidak pernah bisa menyukai pengamen. Maaf, mungkin pernyataan saya ini terdengar sok ya. Namun, apa boleh buat karena demikianlah apa adanya yang saya rasakan. Kehadiran para pengamen itu selalu terasa mengganggu. Apalagi jika ngamennya keroyokan. Fiuhh….serasa dirampok kemerdekaan saya memperoleh kenyamanan dalam transportasi umum.
Untunglah, sepertinya sore itu tak ada pengamen. Tidur saya bakal pulas sampai terbangun nanti di halte UKI, Jakarta. Akan tetapi itu tidak lama. Tiba-tiba menggelegarlah sebuah suara bariton; memasuki gendang telinga saya.
“Selamat sore bapak ibu penumpang sekalian,” kata suara itu. Huh…gangguan deh, saya menggerutu dalam hati tanpa membuka mata. Paling-paling mau baca puisi. Mending kalau puisinya bagus. Biasanya sih puisi ciptaan sendiri yang tidak jelas apa maunya. Sudah sering saya menjumpai para pengamen puisi ini. Dulu pernah sekali saya bertemu pengamen puisi yang lumayan bagus. Puisinya maksud saya, bukan membacanya. Puisi yang dideklamasikannya adalah “Derai-derai Cemara.” karya Chairil Anwar. Lumayan, kan, untuk seorang pengamen jalanan?
“Sebentar lagi saya akan membacakan untuk Anda sekalian sebuah karya sastra yang cukup fenomenal,” si pengamen melanjutkan, “Bapak Ibu tahu, sastra adalah juga sebuah karya seni. Melalui karya-karya sastra kita bisa mengetahui banyak hal..”
Wah, apa ini? Secepat kilat mata saya terbuka; terjaga sepenuhnya. Siapa ini yang sok-sokan ceramah tentang sastra? Mata saya segera bertemu dengan asal suara. Pemiliknya tentu pengamen tadi. Dia ada di tengah-tengah bus, di gang antara kursi-kursi. Sosoknya menjulang tinggi. Barangkali di atas 170. Di kepalanya ada kupluk, topi rajutan dari benang wol, berwarna coklat tanah. Tubuhnya yang ramping dibungkus jaket parasut warna hijau tentara. Di dalamnya ia mengenakan kaus biru gelap. Celananya jins biru. Saya tak bisa melihat sepatunya karena saya duduk di kursi deret kedua dari belakang. Ia tampak cerdas dengan kacamata John Lennon-nya. Duhai, saya jadi penasaran. Siapakah pengamen ini?
“Lewat karya sastra kita juga bisa menyampaikan kritik dan protes. Karya sastra juga menjadi semacam catatan sejarah, mewakili zamannya,” pengamen itu meneruskan pidato kesusatraannya. Kini saya terjaga sepenuhnya. Kantuk yang tadi menggelayuti mata, kabur entah ke mana. Sementara ia berkhotbah, saya sibuk menebak-nebak siapa gerangan pengamen sastra ini? Bisa jadi ia seorang mahasiswa sastra yang belum memperoleh pekerjaan dan untuk mengisi waktu ia mengamen. Atau bisa juga ia memang seorang “sastrawan”. Maksud saya, seorang yang menggemari sastra dan mengamen hanya untuk iseng-iseng saja, menyalurkan hobinya. Kemungkinan berikutnya, ia seorang seniman miskin yang tidak terkenal dan sedang tidak punya job. Untuk sementara ia mengamen demi menyambung hidupnya. Tapi kira-kira apa yang akan ditampilkannya? Tepatnya, puisi apa yang akan dibacakannya.
“Nah, para penumpang yang terhormat, kali ini saya akan membacakan sebuah cerpen. Cerpen yang sangat terkenal. Cerpen yang meski ditulis berpuluh tahun lalu, tepatnya 1955, tetapi temanya masih tetap relevan dengan keadaan zaman sekarang”. Oh…dia hendak membaca cerpen. Wah, ini sesuatu yang baru, saya membatin. Cerpen apa ya?
“Cerpen yang akan saya bacakan adalah karya fenomenal Ali Akbar Navis, Robohnya Surau Kami”. Saya tertegun. Dia bahkan menyebut dengan tepat nama lengkap sastrawan Minang itu. A.A. Navis. Ya, dia membaca karya terbaik A.A. Navis itu.
Maka tampillah ia layaknya seorang pembaca cerpen profesional, lengkap dengan gerak tubuh teaterikal, vokal yang diubah-ubah sesuai karakter cerita, intonasi yang baik, serta permainan mimik wajah. Alhasil, kisah Haji Saleh yang taat beribadah tetapi malah masuk neraka itu lumayan menarik dibawakannya.
Cerpennya sendiri memang sudah bagus. Cerita yang ditulis sastrawan kelahiran Padangpanjang, 17 November 1924 ini sangat kental warna lokal Minang dan nuansa keislamannya; menjungkirbalikkan logika umum keislaman tentang seorang haji penjaga langgar yang taat beribadah selama hidupnya justru dijebloskan ke neraka begitu ia meninggal. Ganjaran tersebut akibat ia melalaikan kewajiban duniawinya sebagai manusia; menelantarkan keluarganya untuk asyik masyuk bercinta dengan Tuhan di surau yang dijaganya sembari diam-diam mendamba surga sebagai imbalan ketaatannya.
Melalui cerpen ini Navis menyindir dengan tajam para ulama dan ahli ibadah yang hanya sibuk mementingkan kesalehan ritual ketimbang kesalehan sosial. Padahal mestinya keduanya berjalan seiring dan seimbang. Navis ingin menyampaikan bahwa mencari nafkah untuk menghidupi keluarga adalah juga ibadah.
“Kau lebih suka beribadat saja, karena beribadat tidak mengeluarkan peluh ,
tidak membanting tulang, sedang Aku menyuruh engkau semuanya beramal, kemudian
baru beribadat. Tetapi kau membaliknya. Seolah-olah Aku ini kau anggap suka
pujian, mabuk disembah saja…. Kamu semua mesti masuk neraka. Hai, malaikat
halaulah mereka ini kembali ke neraka. Letakkan di keraknya.” Demikian salah satu dialog Tuhan dengan para ulama saleh di akhirat dalam cerpen tersebut.
Lalu bagaimana dengan pengamen kita? Sayang saya tak sempat berbincang dengannya. Setelah usai pertunjukannya, ia duduk di kursi paling belakang. Padahal saya sangat ingin mengorek keterangan darinya tentang pilihannya mengamen cerpen. Kalau saja saat itu Pak Navis masih hidup dan saya memiliki nomor HP-nya, pasti saya sudah meng-sms beliau ihwal peristiwa menarik ini. Sayangnya, sastrawan itu telah tiada. Ia wafat pada 22 Maret 2003 dalam usia 79 tahun. Namun, karya, idealisme, gagasan, dan semangat beliau akan terus hidup melampaui usianya. Ars Navis, vita brevis. Navis “panjang umur”, hidup (itu) singkat.
Sesampainya di halte UKI saya melihat si pengamen cerpen itu ikut turun. Diam-diam saya berharap suatu hari bisa bersua kembali dengannya. Mungkin saja nanti saya bisa request “Orang-Orang Bloomington” atau “Ripin” untuk dibacakannya.***